Sosial Politik

Jumat, 13 Mei 2016

KEARIFAN DEMOKRASI (Perpaduan Berkuasa dan Siap Dikritik)

Dalam konteks Indonesia,
pertarngan opini antara oposisi dan penguasa
belum lagi ditangkap publik secara luas
sebagai sesuatu yang penting untuk kontrol.
Dalam situasi seperti ini penguasa terlibat secara massif
menggunakan opini publik
sebagai justifikasi untuk melakukan counter balik
terhadap kritikan oposisi.

      Pengalaman proses transisi politik di Indonesia sampai pada situasi sekarang mendorong kita berfikir skeptis. Mungkinkah transisi demokrasi Indonesia berakhir dengan suatu kemenangan realitas demokratik, bahwa demokrasi (politik, terutama ekonomi dan hukum) betul-betul bisa diwujudkan. Sebab, Variabel, pendukung ke arah demokratisasi, nampaknya masih jauh api dari panggang. Aktor di panggung kekuasaan belum sepenuhnya serius menggawangi dan meretas demokrasi itu sendiri.

      Seperti biasa terjadi di Indonesia, faktor penghambat proses transisi demokrasi berasal dari dalam Negara sendiri. Secara sepintas, yang bisa dilihat adalah berakar pada aktor dan keterkaitan dengan masa lalu. Dengan kata lain, aktor yang sekarang memegang posisi sebagai pejabat Negara belum menyadari dirinya merupakan faktor signifikan pendorong demokratisasi. Kondisi ini ditambah lagi oleh adanya imitasi---untuk tidak mengatakan keterkaitan dengan---kekuatan politik masa lalu, sehingga yang terjadi selalu kompromi "di belakang layar" bukan---meminjam istilah Norberto Bobbio (1989)---Kompromi institusional yang dijamin oleh konstitusi demokrasi.

      Dalam kaitan ini, pertarungan politik yang melibatkan oposisi dengan pemerintah tidak bisa dihindarkan. Pada awalnya, oposisi hanya melakukan kritik keras terhadap kebijakan pemrintah (misalnya, tentang inpres Release & Discharge). Tampaknya pemerintah tidak bergeming terutama menyangkut hal imitasi terhadap masa laludan komprominya dengan para konglomerat dan birokrasi korup. Sehingga realitasnya, oposisi meningkatkan intensitas gerakan untuk mengkritik semakin keras pemerintah. Saya melihat dalam konteks persoalan di atas, ada diskursus menarik yang perlu disampaikan sebagai refleksi, terutama bagi pemerintah, yaitu mengenai makna demokrasi serta sikap demokrasi.

      Ketika melihat Negara-Negara yang sedang mengalami transisi demokrasi Juan K. Linz dan Alfred Stepan (1996) mengemukakan suatu tesis penting, yaitu proses kali yang ketiga pengertian suatu pemrintahan merupakan faktor peling menentukan: benar-benar terjadi konsolidasi demokrasi ataukah sebaliknya. Jika pemerintah pengganti menjelma menjadi aktor demokrasi, maka proses selanjutnya---dengan pengalaman yang telah dimiliki selama dalam kondisi belum normal---akan memanifestasikan  sistem dan pengelolaan Negara yang demokratis pula. Tetapi jika sebaliknya, maka Negara akan semakin otoriter (nondemocratic).

      Situasi tersebut ditengarai mengemuka karena beberapa hal, di antaranya:
1. Terjadinya kebosanan dan kelelahan publik terhadap proses pergantian rezim secara terus-menerus dibarengi oleh direkrutnya sedikit kekuatan oposisi dengan kompromi minimal. Kebosanan publik terhadap pergantian rezim berubah menjadi apatisme politik, karena harapan yang senantiasa didengungkan ketika pergantian rezim tidak bisa diwujudkan. Pada satu sisi, kebosanan ini bagi oposisi berikutnya yang mengkritik kebijakan-kebijakan penguasa terasa mendahului kehendak masyarakat. Sehingga, alih-alih mendapatkan dukungan dari nurani dan suara kuantitatif masyarakat, malahan ditiduh sebagai biang kerok ketidakberesan, atau justru malahan tidak mendapatkan respons sama sekali dari masyarakat. Pada sisi lain, bagi pemerintah kebosanan publik justru digunakan sebagai legitimasi bahwa apatisme politik publik merupakan bukti kebijakan mereka telah mengapresiasi aspirasi masyarakat luas.

    Direkrutnya sedikit kekuatan oposisi dalam proses kompromi minimalis, yang dipilih oleh pemerintah justru adalah mereka yg tidak memiliki basis massa. Hal ini membawah dampak serius, yakni demoralitas kekuatan oposisi lainnya. Dengan kata lain, ada semacam stigmatisasi terhadap oposisi yang senantiasa melakukan kritik bahwa mereka mengkritik karena tidak mendaparkan jatah kekuasaan. Sehingga, kalau mereka telah mendapatkan kekuasan akan sama saja dengan oposisi yang sudah direkrut.

2. Polarisasi kekuatan oposisi.
    Hal ini merupakan implikasi dari yang pertama. Dimana oposisi mengalami situasi saling menyalahkan. Yang terjadi akhirnya bukan konsolidasi demokrasi oleh posisi, melainkan kompromi---tepatnya "pelacuran" politik antara sebagian oposisi dengan penguasa.

3. Kesigapan pemerintah pengganti menangkap kesempatan kekuasaan sebagai legitimasi bahwa dirinya adalah penguasa sah dalam situasi normal. Padahal, dalam dalam kondisidemikian penguasa mestinya memosisikan diri sebagai penguasa interim (transisi). Situasi ini mengarahkan situasi politik dan sistem politik pada ruang konsolidasi Negara, bukan konsolidasi demokrasi. Sehingga yang dilahirkan rezim bukanlah kebijakan-kebujakan baru yang bisa dijadikan instrumen pendorong demokrasi, melainkan mobilisasi aparatur Negara menjadi penyangga kepentingan kekuasaan.

     Jika mengikuti keterangan di atas, maka transisi dan konsolidasi demokrasi di Indonesia secara signifikan bisa disebut analogis mengalami langkah mundur atau belum sempurna. Paling tidak, indikator, 1, 2 & 3 di atas merupakan kenyataan faktual kegagalan proses transisi dan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Apalagi, bagi Linz dan Stepen, defenisi transisi demokrasi agak sulit direalisasikan.

      Transisi demokrasi menurut defenisi tersebut sempurna bila kesepakatan yang cukup mengenai prosedur politik untukmembentuk pemerintahan telah dicapai; bila pemerintahan dibentuk berdasarkan hasil langsung yang bebas dan popular vote; bila pemerintahan secara defacto memiliki otoritas penuh untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru; serta bila kekuatan eksekutif, legislatif dan yudikatif dihasilkan oleh demokrasi baru yang tidak harus melakukan pembagian kekuasaan dengan institusi lain di luar dirinya secara de jure.

      konteks Indonesia, pertarungan opini antara oposisi dan penguasa belum lagi ditangkap publik secara luas sebagai sesuatu yang penting untuk kontrol. Dalam situasi seperti ini penguasa terlihat secara massif menggunakan opini publik sebagai justifikasi untuk melakukan counter balik terhadap kritikan oposisi. Penguasa dalam beberapa kali pidato presiden misalnya, mengemukakan bahwa kinerja pemerintahan telah mengakomodir kepentingan masyarakat luas, sedangkan pada saat yang sama belum disertai perubahan kebijakan yang dituntuk oposisi (misalnya tentang penegakan hukum bagi para koruptor dan konglomerat hita). Penguasa melalui pidato Presiden dihadapan para pendukungnya justru mengklaim bahawa para pengkeritik Pemerintahsekarang ini tidak memiliki sense of nation, hanya penguasa dan para pendukungnya saja yang memiliki hal tersebut.

     Penguasa sepertinya khawatir otoritasnya dengan kritikan tersebut semakin pudar, bukan menjadikan kritikan tersebut sebagai sebuah masukan bagi Pemerintah yang patut di hargai, malah di anggap sebagai sebuah ancaman bagi kelangsungan Otoritas Pemerintahannya. Dalam posisi ini yang bisa dinilai dari penguasa adalah belum menyadari otoritasnya sebagai pemegang pemerintahan transisi. Pemerintah terlihat berusaha sekuat tenaga untuk melakukan konsolidasi Negara bukan konsolodasi demokrasi. Yang paling aktual sebagai upaya konsolidasi Negara untuk berhadapan dengan society adalah penggunaan aparat neegara sebagai alat kekuasaan. Pemerintah mengambil suatu perilaku politik yang represif terhadap siapapun yang mencoba mengkritiknya secara keras.

      Dengan dfenisi demokrasi seperti diungkapkan Norberto Bobbie (1989) yaitu, demokrasi minimum meliputi kesetaraan, jaminan hak-hak minoritas, penegakan aturan hukum, dan jaminan hukum bagi kebebsan berserikat dan menyamoaikan pendapat serta metode mencegah siapapun yang berkuasa agar tidak secara permanen menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, maka pemerintah Indonesia sebagaimana kebijakan-kebijakan kompromistik yang dikeluarkan---bukan yang lahir sebagai kebijakan yang sama sekali baru dengan model demokrasi baru---bisa dikatakan telah masuk dalam jurang otoriterianisme.

Otoriterianisme Negara, menurut Anders Uhlin (1997) biasanya ditandai oleh beberapa hal yaitu :
1. Sistem politik sebagai manifestasi dominasi negara atas masyarakat
2. Struktur ide-ide yang menjadi basis legitimasi otoriterianisme, serta
3. Keberadaan aktor-aktor otoriterianisme.
Realitas politik di Indonesia mutakhir, nampaknya tidak bisa dielakkan dari kesimpulan bahwa penguasa memang berperilaku otoriter. Inilah justru yang membuat sulit manifestasi defenisi transisi dan konsolidasi demokrasi sebagaimana diungkapkan Linz dan Stepan.

Maka dari itu, otoriterianisme Negara berjalan karena penguasa belum memiliki kearifan demokrasi. Kearifan demokrasi merupakan sikap perpaduan antara kekuasaan dan kesiapan dikritik. Menurut ungkapan Prof. Djaman Al-Kindi (Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta, UMS) pada suatu kesempatan, demokrasi itu memiliki 3 tabiat dan sikap dasar, yaitu : Kebebasan, Pembatasan dan Kearifan. Tiga hal di atas harus jalin-berkelindan, agar penguasa tidak masuk ke lubang otoriterianisme atau bahkan fasisme. Demokrasi berbasis kebebasan seharusnya selalu disertai kearifan agar tidak menibulkan chaotic. Demikian juga, demokrasi berbasis pembatasan semestinya ditemani kearifan supaya tidak terjebak ke dalam otoriterianisme.

Akhir kata, bagaimanapun Pemerintah sebagai producer kebijakan-kebijakan semestinya memiliki keberanian tegas untuk tidak berkompromi dengan kekuatan manapun yang mencoba menghambat konsolidasi demokrasi. Sehingga tetap memegang teguh prinsip membangun konsolidasi demokrasi, bukan konsolidasi Negara. Sebab jika penguasa tdak segera mengubah langkah dan orientasi politiknya, maka hal itu berarti kegagalan penguasa meretas konsolidasi demokrasi. Dengan demikian tidak bisa disalahkan apabila oposisi memintanya mundur atau bahkan melengserkannya dari tampuk kekuasaan. Sebagaimana lumrah terjadi dalam setiap proses perubahan politik, sistem yang dikelola sangat bergantung kepada aktor politiknya. Oleh karena itu, jika aktornya memang gagal dan tidak mampu lagi mengelola Negara dalam kerangka konsolidasi demokrasi memang sebaiknya diminta mengundurkan diri saja secara terhormat atau kalau tidak berkenan, perlu segera dipikirkan untuk dilengserkan.

Senin, 02 Mei 2016

GELIAT SEJARAH AKTOR DEMOKRASI

Membangun demokrasi merupakan anti tesis terhadap
praktik otoriterianisme dan totaliterisme
dalam segala bidang kehidupan,
baik politik, ekonomi, hukum, maupun menyangkut hubungan publik-Negera.
Dalam sejarah lembaga-lembaga dan individu-individu
ketika menancapkan geliat demokrasi
seringkali disandarkan pada kenyataan kebuthuan mereka untuk hidup
berbangsa dan bernegara,
agar tidak dimanipulasi oleh kekuatan eksternal (militer refresif,
kekuatan modal, dan sebagainya).

      Wacana tentang demokrasi selalu menantang untuk dikaji. Dalam sejarah Negara di Barat, perdebatan tentang wacana demokrasi marak dipenuhi oleh parah kampiun pemikir, praktisi politik, hingga ideolog. Geneologi sejarah pemikiran politik Barat menguak bahwa pada jaman klasik sebenarnya Negara demokrasi tidaklah begitu diidamkan. Ada banyak alasan, diantaranya adalah pengalaman empiris Negara Athena yang Sistem demokrasi akhirnya dinilai sebagai model paling lemah dari sistem Negara. Demikian kira-kira beberapa wacana yang sempat mengharu-biru dunia perpolitikan Barat sebagaimana diasumsikan oleh Plato, Aristoteles hingga Thomas Aquinas (intuk kajian pengantar lihat, Ahmad Suhelmi: 1999).
      Sejarah demokrasi terus bergulir. Publik (para pemikir, intelektual organik, dan juga creative minority groups) politik Barat telah sampai pada kebutuhan egaliterianisme, kemerdekaa berfikir, penentangan terhadap terhadap sistem oligarkis dan ortodok. Mereka mulai melirik sistem yang bisa menjamin aktualisasi konsepsi di atas. Kebutuhan terhadap sistem organisatoris termasuk di dalamnya Negera yang memberikan peluang keterlibatan diri untuk memikirkan nasib sendiri adalah keniscayaan.

      Sistem Negara demokrasi kemudian didapkan dengan sistem Negara otoriter, totaliter. Pengalaman Barat selama ini yang dikuasai kaum aristokrat, borjuis dan pemerintahan otoriter-totaliter-fasis dirasakan tidak memberikan ruang keterlibatan publik secara luas, misalnya; pengalaman pahit mereka ketika berada dalam kungkungan raja-raja, Hitler, Lenin, Stalin, Mussolini dan semacamnya adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dibantah turut mengontribusikan akar sistem Negara demokrasi.

Jika ditarik lebih ke depan, seperti ditulis Samuel P. hungtingtion (1991), perjuangan menuju Negara demokrasi itu berdarah-darah; memakan korban publik yang tidak sedikit. Amerika Latin, sebagai contoh yang ungkap Hungtington adalah gambaran umum betapa  mewujudkan demokrasi merupaka cita-cita yang aralnya begitu dahsyat. Demokrasi sebagai suatu sifat dan sikap universum telah menandaskan rongga cita-cita setiap insan publik dalam suatu Negara. Sesuatu yang harus segera diperjuangkan dan direalisasikan.

      Membangun demokrasi merupakan anti tesis terhadap praktik otoriterianisme dalam segala bidang kehidupan, baik politik, ekonomi, hukum maupun menyangkut hubungan politik -Negeara. Dalam sejarah lembaga-lembaga dan individu-individu ketika menacapkan geliat demokrasi seringkali disandarkan pada kenyataan kebutuhan mereka untuk hidup nerbangsa dan bernegara agar tidak dimanipulasi oleh kekuatan eksternal (militer, refresif, kekuatan modal, dan sebagainya). Gambaran umum tentang bangunan berdemokrasi ini berkaitan erat dengan isu penguatan lemabaga berhadapan dengan  Negara totaliter, model perlawanan, dan sebagainya.

      Demokrasi sebagai sistem signifikan untuk membentuk struktur kesempatan politik (political apportunity structure) adalah cita-cita setiap aktifis demokrasi. Di dalam buku "aktor demokrasi",---hasil penelitian bersama yang diketahui oleh Arief Budiman dan Olle Tornquist---merupakan gambaran analitis yang cukup mendalam tentang sajian perjuangan para kator demokrasi dalam merealisasikan demokratisasi, termasuk kelemahan dan kelebihannya. Perwujudan demokrasi di Indonesia adalah sejarah panjang yang tak bisa terlupakan dan dilupakan. Arief Budiman dan Olle tornquist membidik geliat sejarah perjuangan demokrasi di era pemerintahan otoriter Orde Baru. Tesis yang coba-dikembangkan adalah siapa saja mereka, bagaimana karakteristis aktor tersebut, apa isu-isu yang dilontarkan, dan bagaimana metode perjuangan mereka?

      Ilustrasi geliat perjuangan demokrasi dalam buku tersebut cukup menarik. "dalam keadaan dimana masyarakat dibatasi kebebasannya, setiap usaha yang menentang pemerintah, apapun alasannya, dapat diaktana punya dampak bagi penegakan demokrasi.

      Sebab, gerakan ini memperlemah Negara otoriter yang ditentangnya. Kalau gerakan ini berhasil, dia memperluas ruang demokrasi yang sebelumnya dibatasi. Kalau tidak berhasil paling sedikit gerakan ini bisa memberikan inspirasi kepada orang atau kelompok yang ada di masyarakat bahwa pembatasan kebebasan yang dilakukan pemerintah harus dilawan".

      Menurut Arief Budiman dan Olle Tornquist, pengalaman membangun demokrasi di Indonesia mengalami pasang surut, dan yang paling penting dari masa ke masa, gerakan pro-demokrasi selalu kandas. Pasang surut perjuangan demokrasi disertai kekandasannya, disebabkan oleh faktor adanya hubungan erat antara demokrasi dan peran militer dalam politik kaum sipil.

     "Kalau kaum miliiter mencampuri kehidupan pilitik sipil, maka hasilnya biasanya adalah pemerintahan otoriter". Dalam setiap kasus dimana aktor demokrasi terlibat di dalamnya, militer yang refresif memang begitu menghambat arus gerakan demokrasi era Orde Baru, misalnya tampak dari ragam intimidasi, paksaan, penahanan,bahkan teror yang dialami aktor demokrasi.

      Analisis tersebut nampaknya tidak sendirian. William R. Liddle (1996)---dengan persfektif budaya politik dan kepemimpinan---menyebutkan, ketika Orde Baru berkuasa demokrasi sangat sulit dipraktiskan di Indonesia karena beberapa tesis
1. Adanya institusionalisasi Soeharto---seseorang yang berasal dari militer sendiri---sebabagi kekuatan penguasa totaliter.
2. Sokongan kekuatan militer refresif bersenjata yang senantiasa siap menghadang dan menghabisi kekuatan demokrasi.

      Analisis lainya dari Anders Uhlin (1998). Uhlin menandaskan beberapa faktor otoriterianisme, salah satunya adalah ABRI. Analisis tersebut diperkuat oleh pengalaman aktifis Lingkar Studi-aksi untuk demokrasi Indonesia (LS-ADI) Jakarta ketika menyelenggarakan "pelatihan advokasi buruh" (PAB). Dala kesimpulan LS-ADI, militer tidak mau disaingi---bahkan dalam kesan sekalipun---oleh kekuatan lain yang selama ini menjadi musuh bebuyutannya. Pelatihan Buruh kemudian dikonotasikan sebagai identik dengan gerakan komunisme (neo-PKI). Padahal, PAB itu hanyalah sebagai respon terhadap penindasan buruh, dan pencarian alternatif bagaimana cara mengadvokasi buruh. PAB itu dibubarkan paksa. stigmatisasi selalu menjadi senjata penguasa Orde Baru untuk menangkal gerakan demokrasi, termasik stigmatisasi fundamentalisme Islam misalnya (proceeding PAB, LS-ADI, 1997, unpublished).

      Studi Arief Budiman dan Olle Tronquist mempertegas kenyataan pentingnya aktor demokrasi dalam turut menyumbangkan persfektif sistem politik yang membuka ruang sepenuhnya bagi partisipasi masyarakat. Untuk menunjukkannya, Arief Budiman dan Olle Tornquist membuktikan telaanya dengan beberapa pokok bahasan;
1. Mempelajari sifat-sifat dari gerakan pro-demokrasi, motivasi gerakan ini dan dampak yang diakibatkannya, serta kelanggengannya.
2. Mempelajari isu-isu dan kepentingan-kepentingan dari gerakan-gerakan ini, serta metode gerakan yang dipakainya.
3. Mempelajari jaringan gerakan-gerakan ini, apakah terbatas sampai pada taraf lokal saja, atau berkembang menjadi gerakan nasional bahkan iternasional.
4. Mempelajari keterkaitan antara gerakan yang satu dan gerakan lainnya samapai gerakan ini mecapai puncaknya pada gerakan mahasiswa tahun 1998.
Hal ini untuk menunjukkan bahwa keberhasilan sebuah gerakan pro-demokrasi merupakan kerja bersama yang panjang dari baebagai kelompok dan perorangan secara estafet. Gerakan pro-demokrasi pad era Orde Baru beragam, yaitu; gerakan koreksi dan konfrontasi (dilihat dari metode), gerakan regional dan internasional (ditinjau dari keluasan daerah gerakan), serta gerakan pers dan gerakan partai (dilihat dari aktornya).

Arief Budiman dan Olle Tornquist memilih beberapa kasus geliat pro-demokrasi dengan berbagai tipologinya. Ada kasus Kedung Ombo, Nipah, Buruh Medan, Pembredelan Tempo, Perjuangan Suku Amungme, Sabtu Kelabu 27 Juli 1996, Persekutuan Mega-Bintang.

Ditambah lagi dengan gambaran umum tentang bagaimana proses geliat pro-demokrasi dalam melakukan perlawanan, misalnya; bagaimana cara mereka menyusun prioritas isu,; bagaimana mereka menggalang sistem orientasi dan mobilitas masyarakat; bagaimana pandangan mereka terhadap militer; bagaimana mereka membangun jaringan di tingkat lokal, nasional, internasional; dan sebagainya.

Akhirul kalam, telaah aktor demokrasi, sebagaimana ditunjukkan pada tulisan di atas itu sangat bermanfaan sebagai refrensi bagi aktifis pro-demokrasi yang akan melanjutkan perjuangan demokrasi. Oleh karena itu, pembacaan terhadap persfektif mereka menjadi sangat penting bagi aktifis pro-demokrasi, bahkan siapapun yang menginginkan perubahan menuju kesejahteraan publik dan penguatan civil society. Bagi kelompok politik yang biasa berkonspirasi dengan kekuatan korup dan meliteristik, serta hanya menginginkan otoriterianisme terjadi di Negeri ini, juga perlu melirik dan menghayati telaah mereka. Sebab, siapa tahu bisa menjadi jalan mendapatkan hidayah Tuhan untuk turut terlibat bersama aktifis pro-demokrasi dalam menggeliatkan demokrasi.

Sabtu, 30 April 2016

MORALITAS PEMBANGUN

Dalam persfektif agama, manusia adalah hasil ciptaan Tuhan.
Manusia merupakan makhluk Tuhan.
Term sebagai makhluk Tuhan bermakna,
bahwa manusia harus tunduk kepada keagungan dan kebesaran Tuhan,
serta selau patuh terhadap semua aturan-Nya.

       Ekses pembangunan dan model pembangunan akhir-akhir ini menjadi fenomena menarik di Indonesia. Model pembangun memang menentukan ragam eksesnya. Jika ekses pembangun disinyalir menimbulkan kesenjangan sosial, maka diperlukan perbaikan dalam pilihan pembangunan yang ada, atau agar pembangunan membawa ekses positif-afirmatif sewajarnya memiliki dibutuhkan kode etik. Kode etik pembangun adalah moralitas pembangunan.

      Pembangunan sebagai sebuah upaya Negara dalam menyejahterahkan rakyat memiliki dukungan dari infrastruktur dan suprastruktur. Infrastruktur adalah lembaga dengan orang-orangnya yang berfungsi sebagai sarana pembangunan. Sedangkan suprastruktur merupakan sistem yang membawahi roda pembangunan tersebut. Jadi dengan begitu, maka sasaran moralitas pembangunan adalah suprastruktur dan infrastruktur. Lalu pertanyaannya adalah:
Moralitas apakah yang ideal bagi seluruh pembangunan, apakah dari Tuhan ataukah dari kontraktual (kontrak sosial) masyarakat.

     Garis pemisah antara konsep dan praktik mengandaikan perbedaan yang selalu ada dalam semua sentralitas pemikiran. Dalam diskursus moral--sebagai pengetahuan atau ilmu pengetahuan---titik fokus bahasannya akan tetap mengacu kepada pengandaikan tersebut di atas. Di mana akan ada pelaku konsep moral dan konsep moral itu sendiri.

      Antara pelaku dan konsep moral dijembatani oleh objek moral. Diandaikan ada tiga hal yang mendasari keyakinanasal-muasal ajaran moral, yaitu: dari Tuhan, dari kesepakatan, kontrak sosial, dan gabungan dari keduanya.

      Keyakinan pertama berlandaskan kepada basis normatir realitas moral berasal dari ajaran Tuhan. Dasar pijakan moral---secara praktis---hanya untuk Tuhan. Keyakinan kedua memandang moral sebagai proyeksi kesepakatan masyarakat. Realitas moral tidak ada yang bersifat spekulatif; tidak mempunya pengaruh for the next. Moral hanya untuk integritas masyarakat, Yang menjadi tujuan adalah fakta sosial masyarakat.

     Sedangkan keyakinan ketika mengasumsikan bahwa moral memang berasal dari Tuhan, tapi bentuk teknisnya dari masyarakat. Artinya, Tuhan dalam memberikan konsep moral hanya yang bersifat global, umum, dan mendasar saja. Sementara, interpretasinya untuk diaktualisasikan dalam ruang sosial merupakan kesepakatan masyarakat. Realitas moral dengan demikian adalah hukum Tuhan serta paksaan yang berlaku dalam masyarakat dan lingkungan.

      Hadits Nabi Saw. menyatakan "sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak (moral) yang mulia." Secara Bahasa Arab, kata buitsu adalah dalam bentuk kata kerja pasif, "aku diutus". Siapa yang mengutus, memanifestasikan konsep tentang sumber ajaran moral dan subjeknya. Kata Liutammima berbentuk kata kerja aktif, "menyempurnakan". Berarti terdapat pengertian adanya subjek moral.

      Kata "Aku" memperjelas posisi manusia dalam hubungannya dengan moralitas, apakah berasal dari masyarakat dan/ atau Tuhan merupakan subjek  dan objek moral. Suatu hal yang memperkuat tesis mengenai titik sasaran moralitas pembangunan., yakni suprastruktur dan infrastruktur; manusia dan kehidupan.

       Mekanisme dan teknis pembangunan dilaksanakan oleh pemerintah (yang berwenang) sebagai lembaga eksekutif. Pemerintah dipilih oleh rakyat setiap lima tahun untuk mengemban amanat pembangunan. Asasnya adalah keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan dalam makna di atas merupakan pembangunan seutuhnya; dari segi material dan spiritual.

      Premis subjek dan objek moral bersifat sekaligus; jalin-berkeadilan. Oleh karena itu, yang menafikan keseimbangannya berarti meniadakan arti kemanusiaan. Sementara itu, dalam praktik, sangat bisa dipastikan pembangunan memiliki ekses terhadap kehidupan kemanusiaan. Moralitas pembangunan dengan demikian berarti membangun dalam artisesungguhnya; memenuhi harkat dan martabat manusia secara utuh.

      Dalam pada itu, mekanisme dan teknis pembangunan itu eksesnya sangat dipengaruhi oleh metodenya; asas teoritis praktisnya yang berkesinambungan. Karenanya yang mendambakan ekstrimitas matearilistik, akan menghasilkan pemenuhan material secara maksimal. Tapi bahayanya manusia hanya menjadi subjek material saja dalam pembangunan.

      Dengan metode ini persaingan yang mengerikan (hukum rimba) akan dilegalkan. Yang mengharapkan hedonisme dalam pembangunan hanya akan mendapatkan kenikmatan pembangunan. Sedang manusia hanya menjadi alat yang dieksploitir untuk memperoleh hasil pembangunan tersebut.

      Tampak jelas, ekstremitas materialistik metodologis dalam pembangunan akan mereduksikan harkat dan martabat manusia. Menurut hemat saya, yang ideal untuk sekarang ini adalah "balance" (keseimbangan) antara pemenuhan manusia sebagai subjek dan objek pembangunan. Lalu apakah yang membuktikan tesis ini?

      Dalam persfektif agama, manusia adalah hasil ciptaan Tuhan. Manusia merupakan makhluk Tuhan. Term sebagai makhluk Tuhan bermakna, bahwa manusia harus tunduk kepada keagungan dan kebesaran Tuhan, serta selalu patuh terhadap semua aturan-Nya.

      Sementara itu, dalam persfektif sosiologis, manusia adalah individu yang merupakan realitas personal yang membentuk masyarakat dan sekaligus struktur sosial yang melingkupinya. Tesis diatas mengejawantahkan justifikasi mengenai keberadaan moral (akhlak) yang berasal dari Tuhan dan kontrak sosial.

      Kecenderungan dari tesis tersebut relevan dengan eksistensi kemanusiaan. Artinya, manusia itu secara natural adalah mikrokosmos (termasuk di dalamnya masyarakat). Di samping itu, masih secara natural, ia adalah pribadi unik yang berdimensi material dan spiritual. Oleh karena itu, ketika ia dituntut bergerak dalam ruang balance merupakan sesuatu yang wajar.

Jumat, 29 April 2016

ETOS PROFESIONALISME IDEAL

Profesionalisme ideal adalah profesionalisme yang melihat dunia
dalam persfektif material
untuk diarahkan kepada usaha merealisasikan pemenuhan
tujuan-tujuan logis dan kehidupan yang penuh makna,
baik bagi diri pribadinya maupun orang di sekelilingnya.
  
       Hijrah Rasulullah dan Kaum Muslimin dari Mekkah ke Madinah merupakan suatu fenomena bersejarah dalam dunia Islam. Secara historis, hijrah memiliki banyak arti penting bagi tonggak eksistensi dunia Islam. Hijrah merupakan etos alternatif yang hendak diupayakan Islam, yakni mengejawantahkan visi doktrinalnya Al-Amanah dan  At-Ta'dil (kesejahteraan dan keadilan sosial).

       Makna hijrah secara etimologi mempunyai arti pindah. Kata ini adalah bentuk masdar (sandaran bentuk kata benda) dari akar kata Hijara. Sedang berdasarkan terminologi hijrah berarti pindah untuk menghindari perbuatan, aktivitas, dan kegiatan yang merugikan nilai kemanusiaan menuju alternatif perbuatan, aktivitas dan kegiatan bermanfaat bagi etos humanitas.

      Dengan kata lain, hijrah berarti mengorientasikan berbagai macam alternatif untuk meninggikan rasa kemanusiaan. Alternatif ini merupakan indefferensia (pilihan) seseorang---dengan kesadaran dan segenap pengetahuannya---untuk menentukan arah dan langkah-langkah dalam hidupnya. Jadi hijrah itu bukan berarti menyerah kepada keadaan, tapi lebih merupakan usaha mencari wawasan demi problem solving dan arahan menuju suksesnya target-target program hidup seseorang.

      Rasulullah beserta Kaum Muslimin berhijrah bertujuan untuk menjaga stabilitas iman. Sebuah pilihan alternatif yang bermakna pengejawantahan pertahanan lebih daripada penyerahan. Hijrah merupakan langkah menyusun strategi untuk kemenangan yang tertunda.

       Sebagai strategi terlihat terutama di saat hijrah ke Madinah. Afiliasi dengan masyarakat setempat---yang mengeluh-eluhkan beliau Saw.---dipergunakan dengan baik oleh Rasulullah. Kesuksesan penyusunan strategi ini terlihat ketika Rasulullah berhasil mendirikan lembaga Negara di Madinah.

      Dengan kekuatan ini beliau beserta kaum Muslimin mengadakan Fath al-Makkah (perebutan kembali kota kelahiran Mekkah). Itu berarti hijrah bukan penyerahan diri kepada keadaan, melainkan exi stategy untuk arah kehidupan yang lebih baik.

      Permasalahnnya adalah bagaimana memaknai kembali makna hijrah untuk masalah kekinian? Implikasi dari pertanyaan tersebut adalah nilai makna hijrah---yang sedemikian rupa itu---mesti mengimajinasikan etos profesionalisme ideal.

ETOS PROFESIONALISME

      Profesi (dalam bahasa Inggris Prifession) memiliki makna pekerjaan dengan keahlian khusus sebagai mata pencaharian tetap. Kata profesional adalah bentuk subjek dari kata profesi. Profesionalisme adalah paham yang menganjurkan untuk mempunyai skill khusus dalam bidang masing-masing, demi menghasilkan etos kerja yang baik dan matang secara interdisipliner.

      Kata prifesonalisme---dalam arti tertentu---sangan dipengaruhi oleh kata yang melekat padanya. Kata "petinju profesional" dan "intelek profesonal" misalnya, memiliki makna yang berbeda. Kata pertama berarti seseorang ahli tinju, dan karena keahlianya ia menjadikan tinju sebagai mata pencaharian tetap. Sedangkan yang kedua mempunyai arti orang yang memiliki keahlian khusus dalam bidang keinteltualan yang dijadikan mata pencaharian tetap. Hal ini bisa kita analogikan pada istilah lain, misalnya pencopet profesional, perampok profesional, ulama profesional, dan seterusnya. Berdasarkan problema kata ini mesti dipertanyakan, yaitu apakah paham profesionalisme dengan pemaknaan terbatas sebagai akumulasi skill khusus bersifat bebas nilai?

      Paham (isme) adalah kegiatan memahami objek untuk diasumsikan menjadi suatu aliran paham. Suatu paham terejawantahkan ke dalam subjek yang sedangn melakukan tindakan memahami. Istilah paham dikaitkan dengan istilah ideologi ketika kita akan diorientasikan kepada tataran praksis. Berpijak kepada pengertian istilah paham dan ideologi ini maka bisa diasumsikan, bahwa pertanyaan di atas dijawab dengan negatif. Dengan kata lain, profesionalisme tidak terbatas pada pemaknaan skill khusus yang bebas nilai. Akan tetapi lebih dari itu, bisa juga berorientasi pada akhlak (etika).

     Dalam konsep Islam, profesionalisme sangat ditekankan. Merujuk QS. 53:39, diterangkan, bahwa seluruh kredibilitas manusia itu tergantung kepada yang diusahakannya. Usaha yang tidak maksimal (baca: tidak berorientasi kepada ilmu pengetahuan) akan sepadan pula hasilnya. Nilai profesionalitas menjadi ukuran bagi tingkat intensitas usaha yang telah dikerjakan oleh seseorang. Lalu, apakah nilai profesionalisme ideal itu?

       Profesionalisme tidak terbatas  pada skill khusus yang bebas nilai. Dengan begitu idealnya bisa dibawah kepada akulturasi nilainya yang material dan non-material. Alasannya, profesionalisme ketika melekat pada identitas seseorang menghasilkan hubungan-hubungan intens antarmerekal. Sementara hubungan itu bisa dikategorisasikan kepada hubungan material dan non-material.

       Hubungan material memiliki ciri khas. Yakni, bila dikaitkan dengan tindakan profesionalisme, hubungan yang berorientasi kepada kepentinganmaterial semata tersebut akan menghasilkan tingkah laku material. Hubungan tersebut lebih jadi menghalalkan segala cara.

      Contoh kongkret, barangkali bisa disebutkan kasus Edi Tansil, ketika membobol bank. Boleh jadi---keputusannya untuk malarikan diri didasarkan pada hubungan material ini. Dia yang demi bisnis---sampai menghalalkan segala cara (korupsi)p---akan tidak sabar, kalau hidupnya hanya berdiam diri dipenjara. Baginya hidup di dalam penjara jelas tidak akan bermanfaat secara material.

       Atas paham profesionalisme semacam ini, maka melarikan diri adalah jalan terbaik baginya, meskipun perbuatannya itu merugikan pihak-pihak lain (misalnya, pihak kehakiman). Tampak disni profesionalisme "material" mengesploitasi orang lain, termasuk juga orang yang memberi bantuan jalan keluar baginya untuk melarikan diri. Kalau seandainya diketahui, maka---paling tidak---dia akan didakwa pula secara hukum.

       Sementara itu, hubungan non-material adalah interaksi yang bermuara kepada tercapainya tujuan-tujuan logis dan tidak saling merugikan. Hubungan non-material itu juga mempunyai ciri khas. Yaitu, hubungan tersebut berprinsip kepada kesadaran akan hakikat diri untuk tidak melakukan hubungan yang merugikan.

      Peristiwa Abu Ishaq as-Sirozi (faqih besar di zaman Daulah Abbasiyah) dan Al-Ghozali barangkali bisa dijadikan ilustrasi untuk makna hubungan ini. Konon masyarakat waktu itu mengisukan pengangkatan Abu Ishaq untuk jadi mahaguru di Universitas an-Nhidomiyah. Abu Ishaq yang punya skill khusus dibidang fikih itu---semakin gencar diisukan. Ini pun menjadi makna bagi kita, bahwa fiqih memang sangat populer dan dibutuhkan masyarakat yang komplekas dan metropolis waktu ini.

      Tetapi ketika hari pengangkatan itu tiba, kenyataan menjadi lain. Abu Ishaq melarikan diri, menghindari jabatan. Masyarakat bertanya-tanta, gerangan apakah yang terjadi pada Abu Ishaq? Tatkala ditanya di tempat persembunyiannya, beliau menjawab : "saya takut untuk digaji dari jabatan saya. Gaji itu mengganggu saya dalam pekerjaan saya. Jabatan itu memporak-porandakan keikhlasan saya."

      Tampak keteguhan hati Abu Ishaq tidak mengubah tawaran yang diberikan kepadanya. Yang menarik adalah Abu Ishaq tidak gentar menghadapi khalifah. Padahal waktu itu jika terdapat seorang ulama yang tidak mengindahkan khalifah, maka dianggap membangkan kepada khalifa dan Negara. Selanjutnya dapat dipastikan dia akan menerima hukuman (mihnah). Bagi kami perbuatan Abu Ishaq ini terlepas dari keadaan yang melatar belakanginya---tidak menyelesaikan masalah. Dia hanya demi keselamatan pribadinya untuk mengabdi kepada Allah, marelakan keselamatan masyarakat untuk tidak diurusnya. Oleh karena itu, keputusannya untuk menolak jabatan sebagai mahaguru di bidang fikih tersebut tidak masuk dalam kategori profesionalisme ideal.

      Kemudian Al Ghazali ditunjuk sebagai pengganti Abu Ishaq. Penerimaan sikap Al-Ghazali, sekalipun pernah mengalami pergolakan pemikiran dalam dirinya---dari seorang filsuf ke seorang sufi sampai meninggalkan jabatan tersebut kemudian kembali lagi ke an-Nhidhomiyah---sesungguhnya menunjukkan, bahwa perbuatan Al-Ghazali termasuk kategori profesionalisme ideal.

      Dengan persfektif tasawuf, menilai "keputusan" Al-Ghozali di atas adalah sangat urgen. Tasawuf melihat dan menilai realitas dengan segala kesadaran, penuh muatan rohani dan riyadhah menuju kepada pengejawantahan tujuan-tujuan  logis dan kemanfaatan hidup yang penuh makna, baik bagi diri pribadinya ataupun orang lain.

     Dalam konteks keputusan Al-Ghozali tersebut persfektif tasawuf menyatakan bahwa profesionalisme ideal adalah profesionalisme yang melihat dunia dalam persfektif material untuk diarahkan kepada usaha merealisasikan pemenuhan tujuan-tujuan logis dan kehidupan yang penuh makna, baik bagi diri pribadinya maupun orang di sekelilingnya.

 SPIRITUALITAS:arapan Peradaban

      Gambaran umum orang tentang dunia akan sangat dipengaruhi oleh paradigmanya mengenai realitas duniawi. Seseorang yang materialistis akan melihat dunianya dengan mengejawantahkan langkah-langkah praktis menuju pemenuhan kebutuhan-kebutuhan materialnya. Penganut paham idealisme mengorientasikan dunianya kepada semangat ide-ide. Baginya ide-ide yang melahirkan intelektualisme an sich yang akan dapat menguasai dunia.

      Pemihak agnotisisme memandang dunianya sebagai persfektif kesadaran "tanpa aktifitas". Dunia baginya adalah sebuah gradualisasi kesadaran. Tingkat kesadaran ini---meskipun tanpa aktifitas---merupakan gejala umum bagi seseorang untuk menghalangi laju dunia. Dunia mesti tidak memengaruhinya. Nilai material tidak ada artinya sama sekali bagi mereka.

      Bila dianalogikan dengan tema yang kita bahas dalam pembuka tulisan ini, yakni tentang hijrah, maka bisa diandaikan bahwa kalau kaum Anshor dalam profesionalismenya hanya berpandangan material, maka mereka akan sangat dikuasasi oleh kepentingan material. Mereka akan senantiasa perhitungan terhadap materi yang telah dikeluarkannya. Mereka akan merasa dirugikan oleh kedatangan kaum Mihajirin. Mereka seolah-olah akan berkata : "mengapa kami mesti membantu mereka, sedangkan mereka selalu dalam kesusahan, lalu kapan mereka akan membayar utang mereka?"

     Tetapi tidaklah demikian pandangan kaum Anshor. Mereka tetap meyakini, Tuhan akan menolong mereka. Kesadaran inilah yang membawa mereka kepada profesionalisme ideal. Profesionalisme yang berbasiskan spiritualitas. Yakni, penyerahan diri secara total dalam kesadaran meyakini Tuhan sebagai Al-Shamad (tempat bergantung sejati). Spiritualitas inilah yang mengarahkan mereka kepada akulturasi antara profesionalisme non-material dan profesionalisme material.

Meskipun begitu, bukan berarti profesionalisme dalam hubungan material harus dimusnahkan dan dihancurkan. Pemusnahan dan penghancuran terhadap kondisi-kondisi akumulasi material akan menyatakan makna pelarian diri dari kenyataan manusia yang material pula. Oleh karena itu, profesionalisme mesti diarahkan kepada kesadaran akan nilai hubungan yang sebenarnya. Pandangan material tentang profesionalisme mesti diingatkan kepada nilainya yang juga non-material.

Etos profesionalisme bukan berarti meninggalkan segi-segi material dan bukan terlalu mengagungkannya. Tetapi, etos profesionalisme yang sebenarnya adalah nilai materialis yang diarahkan kepada spiritualitas yang dilingkupi oleh kesadaram akan dasar-dasar eskatologis. Yakni keyakinan akan kehidupan nanti setelah kehidupan pertama di dunia ini.

Dengan kata lain, profesionalisme yang sebenarnya adalah profesionalisme yang diarahkan demi pengabdian kepada Tuhan (baik material dan non-material). Kehidupan yang dimuarakan untuk beribadah kepada Tuhan Yang Mahakuasa.

Kamis, 28 April 2016

MEMBANGUN BANGSA DENGAN CINTA

Kiranya mulai detik ini, pembangunan Bangsa dengan intrik tidak sehat harus segera diakhiri.
Tahun-tahun mendatang akan penting ditasbihkan menjadi tahun
ketulusan cinta.
momentum pengelolaan Negara menuju "Babak baru Indonesia".
Suatu babak yang babak yang di tandai dengan CINTA.

.....Siapa lagi yang mencintai Bangsa sendiri kalau bukan kita sendiri.....
Cinta Bangsa tidak diskriminatif.
Maling kita cintai, penghianat kita cintai.
Semuanya, yang jelek, yang baik kita cintai. Namun,
Begitu Hukum harus berjalan.

     Beberapa penggalan kata di atas dapat mendeskripsikan bahwa dengan demikian, Pemimpin menjalankan kekuasaan dengan tetap dilandasi rasa cinta, bahkan menghukum pun falsafahnya do'a, "Semoga orang ingin menjadi baik."
(Soemitro dan Peristiwa 15 Januari '74, Heru Cahyono: 1998)

      Pengalaman-pengalaman mengenai sistem pembangunan Indonesia terdahulu, memberikan ilustrasi mengenaiketiadaan ketulusan cinta. Kalaupun ada ketulusan cinta yang dimaksud, hanyalah muncul dari rongga suara, belum pernah manifest dalam realitas. Istilah yang familiar terdengar, ketulusan cinta dalam membangun Bangsa hanyalah seonggok---memakai tesis Kantian---niat baik (good will)  yang belum pernah terealisir dengan dukungan nalasr praktis murni (pure practical reason) secara praktis empiris.
Dalam bahasa Hegelian, belum pernah menjadi kesadaran subjektif yang menyejarah, atau dengan asumsi  Habermasian, belum pernah praksis de-liberative di ruang publik (public sphere).

      Beberapa implikasi negatif faktual telah sering kita rasakan sebagai Bangsa. Sebagai rakyat kecil terutama kita sering alami dinodai dan diperkosa tanpa perasaan,dihadapi dengan repsesi, ditindas, dilecehkan, dikorbankan, serta dimarginalkan baik secara sosial, budaya, ekonomi, politik dan hukum.
      Perasaan kita hinga hari ini mengatakan, implikasi negatif di atas merupakan indikator kegagalan pembangunan. Apakah itu pembangun secara mental (pembangunan kemanusiaan) atau pembangun secara fisik (pembangunan Bangsa). Hal itu ditandai oleh ketimpangan sistem dan disfungsi birokrasi. Dengan akibat lebih lanjut, kerusuhan sosial dengan varian perbedaan Agama, Ras, dan ketimpangan Ekonomi, yang konon timbul disebabkan oleh pengelolaan Negara yang diselewengkan (abused), seperti tampak dalam  fenomena Agama (dan juga varian yang serupa: Ras dan Suku-Bangsa) yang dipolitisasi, dan ekonomi dinikmati segelintir golongan tertentu saja.

        Kiranya mulai detik ini pembangunan Bangsa dengn intrik tidak sehat harus segera diakhiri. Tahun-tahun mendatang penting ditasbihkan menjadi tahun 'Babak baru Indonesia'. Suatu babak yang ditandai 'Pembangunan dengan Cinta'.

      Pembangunan dengan cinta menandaskan sikap bebas memanifestasikan kebaikan dan kebenaran kemanusiaan, tanpa dilandasi rasa takut karena pertanggujawaban, tanpa pakewuh karena menyangkut (kesalahan) pimpinan, tanpa enggan dianggap menyalahi kebijakan organisasi karena membela kepentingan kesejahteraan rakyat, dan seterusnya.
Ilustrasi sangat bagus tentang pembangunan dengan cinta berlandaskan sikap bebas diberikan oleh Amartya Sen, peraih nobel dalam bidang Ekonomi tahun 1999, dalam buku berjudul Development as Freedom (1999).

      Buku tersebut berikrat tentang sumpah setia sekaligus keharusan manifestasi tema di atas di ruang publik. "Pembangunan itu akan berhasil, jika berorientasi kepada pemenuhan hajak kebebasan manusia sebagai rakyat dan Bangsa. Pembangunan yang selama ini hanya berkecenderungan materialistis (dilihat dari indikator pertumbuhan dan pendapatan), dus tanpa hirau pada kebebasan (freedom) yang penuh hasrat cinta, kata Amartya, akan menuai kegagalan demi kegagalan."

Menurut Amartya Sen, ada lima "Instrumental" persfektif pembangunan membebaskan yaitu :
1. Political Freedom
2. Economic Facilities
3. Social Opportunities
4. Transparency Guarantees
5. Protective Security

       Lima "Instrumental" pembangunan tersebut menjadi pra syarat sekaligus indikator suatu pembangunan dengan cinta; development as freedom (pembangunan yang bercitra dan mendorong masyarakat untuk secara kreatif membangun diri dan ranah sosial). Ketika lima persfektif di atas telah manifest di kanca publik, dus terbangun kondisi membebaskan bagi publik, maka sesungguhnya telah tercipta suatu suasana dan kesempatan bagi publik untuk mengembangkan masing-masing personal yang menjadi anggota publik tersebut. Jadi, kata kuncinya adalah kesempatan dan fasilitas untuk meraih hakikat diri secara personal dan publik sebagai warga Negara.
Akhirul Kalam, distingsi antara pembangunan yang membebaskan (Penuh Hasrat Cinta) dan yang sebaliknya terletak dalam orientasi pembangunan itu sendiri. Apa sisi pragmatis pembangunan tersebut bagi publik scara individu dan sosial. Oleh karena itu, tidak bisa disebut membebaskan, jika suatu pembangunan Bangsa masih menyisakan kemiskinan sebagai tirani, menyuburkan deprivasi sosial yang sistenmatis terhadap kesempatan ekonomi yang dimiliki miskin papa.

Senin, 25 April 2016

MENEMUKAN KEMBALI LANDASAN MORAL MASYARAKAT MAJEMUK

MENEMUKAN KEMBALI LANDASAN MORAL MASYARAKAT MAJEMUK
Adhymuliadi (Jhon M. Prior, SVD)

1. Mission Imposible
   Kehidupan masyarakat kita sedang bergolak. Soeharto sudah lama tumbang, namun rezimnya-dengan penyesuaian sana-sini-berjalan terus. Banyak orang sudah kurang percaya pada cita-cita bernegara dan bermasyarakat seperti yang pernah menggerakkan roda nation building di Indonesia pada tahun 1950-an. Sikap skeptis semakin meluas terhadap reformasi politik yang dipentaskan di Jakarta oleh pelakon-pelakon elite negara. Rezim Orde Baru yang represif berhasil melemahkan-kalau tidak sama sekali menghancurkan-perangkat-perangkat sipil. Ternyata, keamanan dibawah kaki militer diganti dengan kekacauan dan kerusuhan yang disuluh oleh isu etis dan agama. Malahan, di Timor Barat dan tanah Papua perbatasan dengan negara-negara tetangga terjadi kekacauan, dan kita belum menyinggung hasrat manusia Papua untuk diakui sebagai manusia, dihargai sebagai citra dan gambaran Allah sementara tanah serta sumber alamnya berangsur-angsur menjadi tempat pijak sejuta pendatang. Di tengah pergolakan yang melanda seluruh wilayah Indonesia, tampaknya sedikit orang yang memperhatikan apalagi memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan umum. Orang sibuk merebut apa yang bisa direbut untuk kelompoknya sendiri.
     Kita menghadapi suatu pilihan yang sungguh menentukan:
melanjutkan situasi khaos seperti adanya sampai ke jurang kehancuran atau, berupaya menghasilkan kesepakatan (kontrak sosial) bersama-kecuali kita pasrah dan rela kembali ke rezim militer. Rezim militer sperti Orde Baru berdasarkan kekerasan sedangkan kontrak sosial berbasil moral.
    Dalam situasi yang serba kacau ini, Gereja tidak selalu menampilkan diri sebagai jalan keluar yang meyakinkan karena masalah-masalah kemasyarakatan sering tercermin di dalam persekutuan Gereja sendiri.
II. Masyarakat Majemuk
    Tulisan ini beranjak dari pengalaman atau realitas yang terjadi di kepulauan Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Walaupun paham "Indonesia Timur" bersifat artifisial, pembatasan manapun pasti bersifat agak artifisial juga. Yang jelas adalah bahwa Indonesia Timur-termasuk tanah Papua- merupakan wilayah yang sangat majemuk.
A. Kebudayaan Majemuk
     Kebudayaan-kebudayaan manusia Indonesia Timur termasuk golongan Austronesia, sedangkan manusia Papua hidup dalam ruang budaya Melanesia- Dua lingkup budaya yang sangat berbeda. Masing-masing lingkungan terdiri dari ratusan bahasa dan kelompok etnis. Sejarah mencatat bahwa pada umumnya kebudayaan-kebudayaan kita terlalu beragam untuk mendapat perhatian besar dari agama-agama mondial seperti Islam dan Kristen. Sama seperti kaum saudagar, kita kurang memakai bahasa rakyat setempat dan memilih untuk memakai bahasa administrasi, persekolahan dan perdagangan antarpulau, yaitu bahasa Indonesia.
     Hampir semua kebudayaan daerah di kawasan ini dapat disebut tribal  dalam arti terdiri dari lingkup budaya kecil-kecilan serta berdasarkan kekerabatan dan ikatan pada tanah/hutan/tempat. Walaupun para peramu dan petani pernah tinggal relatif terpencil satu dari yang lain, sebagian besar dari pulau-pulau di kawasan ini sejak dulu dilintasi kaum pelaut dan kaum saudagar yang berasal dari Indonesia, Mindanao, Cina selatan, India serta negara-negara Arab dan eropa. Dari sejarah saja sudah jelas bahwa paham seperti "ras", "suku" dan "kelompok etnis" bersifat politis. Sulit ditemukan lingkup budaya Indonesia Timur yang bersifat "murni". Umpamanya, ada sejumlah kampung di pulau Lembata (Flores timur) yang penduduknya berasal dari Ambon. Rupanya orang Kei Kecil datang dari Bali sedangkan darah Arab mengalir dalam sebagian orang sikka (flores tengah) dan semua ini terjadi ratusan tahun yang lalu.
B. Sejarah majemuk
    Sejarah masing-masing pulau di kawasan budaya Papua dan Indonesia Timur berbeda satu sama lain. Ketika kesultanan Ternate, Kesultanan Makassar dan Kesultanan Bima memegang kekuasaan, "daerah pengaruhnya"menjadi cukup luas. Penjajah Portugis turut menciptakan sejarah Nusa Tenggara Timur, Timor Lorosa'e, dan Maluku, sedangkan penjajah Belanda berangsur-angsur menaklukkan seluruh wilayah Indonesia Timur dan Papua Barat-paling kurang di atas kertas.
    Alur sejarah tidak pernah bersifat linear, mala kita tidak selalu dapat menemukan benang merahnya. Kisah sejarah sungguh berliku-liku. Kita perlu menyusun sejarah dari sisi manusia tersisih daripada menerima sejarah dari orang pusat; merumuskan sejarah dari sudut pandang mereka yang kalah dan bukan dari pihak kaum pemenang; mengakui sejarah seperti dikenang oleh kaum perempuan dan bukan melulu melanjutkan kisah kebanggaan kaum laki-laki; mendengar sejarah dari mereka yang mendiami wilayah ini daripada menelan begitu saja sejarah dari sudut mereka yang pernah mendudukinya; memandang sejarah yang bertolak dari ratusan kisah lisan daerah dan bukan sejarah yang takluk pada kerangka kisah tunggal-politik orang luar; mengakui seluruh keberagaman sejarah, Islam dan Kristen, Katolik dan Protestan. Dalam kemajemukan budaya, kita perlu merumuskan kembali jati diri kita secara utuh-terbuka.
C. Agama majemuk
   

FILSAFAT ILMU



Teori Pengetahuan

       Pengetahuan (knowledge atau ilmu )adalah bagian yang esensial- aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari "berpikir ". Berpikir ( atau natiqiyyah) adalah sebagai differentia ( atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya,yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan " barangkali " keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Lalu apa yang telah dan ingin diketahui oleh manusia ? Bagaimana manusia berpengetahuan ? Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar memiliki pengetahuan ? Kemudian apakah yang ia ketahui itu benar ? Dan apa yang mejadi tolak ukur kebenaran ?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan-pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita. Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu maka tidak menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang rumit (complicated). Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia (world view), sehingga pada gilirannya muncul perbedaan ideologi. Dan itulah realita dari kehidupan manusia yang memiliki aneka ragam sudut pandang dan ideologi.
Atas dasar itu, manusia -paling tidak yang menganggap penting masalah-masalah diatas- perlu membahas ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini, ilmu tidak lagi menjadi satu aktivitas otak, yaitu menerima, merekam, dan mengolah apa yang ada dalam benak, tetapi ia menjadi objek.

       Para pemikir menyebut ilmu tentang ilmu ini dengan epistemologi (teori pengetahuan atau nadzariyyah al ma'rifah).

       Epistemologi menjadi sebuah kajian, sebenarnya, belum terlalu lama, yaitu sejak tiga abad yang lalu dan berkembang di dunia barat. Sementara di dunia Islam kajian tentang ini sebagai sebuah ilmu tersendiri belum populer. Belakangan beberapa pemikir dan filusuf Islam menuliskan buku tentang epistemologi secara khusus seperti, Mutahhari dengan bukunya "Syinakht", Muhammad Baqir Shadr dengan "Falsafatuna"-nya, Jawad Amuli dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya dan Ja'far Subhani dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya. Sebelumnya, pembahasan tentang epistemologi di bahas di sela-sela buku-buku filsafat klasik dan mantiq. Mereka -barat- sangat menaruh perhatian yang besar terhadap kajian ini, karena situasi dan kondisi yang mereka hadapi. Dunia barat (baca: Eropa) mengalami ledakan kebebasan berekspresi dalam segala hal yang sangat besar dan hebat yang merubah cara berpikir mereka. Mereka telah bebas dari trauma intelektual. Adalah Renaissance yang paling berjasa bagi mereka dalam menutup abad kegelapan Eropa yang panjang dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru. Supremasi dan dominasi gereja atas ilmu pengetahuan telah hancur. Sebagai akibat dari runtuhnya gereja yang memandang dunia dangan pandangan yang apriori atas nama Tuhan dan agama, mereka mencoba mencari alternatif lain dalam memandang dunia (baca: realita). Maka dari itu, bemunculan berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak sedikit yang kontradiktif. Namun secara garis besar aliran-aliran yang sempat muncul adalah ada dua, yakni aliran rasionalis dan empiris. Dan sebagian darinya telah lenyap. Dari kaum rasionalis muncul Descartes, Imanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Dan dari kaum empiris adalah Auguste Comte dengan Positivismenya, Wiliam James dengan Pragmatismenya, Francis Bacon dengan Sensualismenya.

       Berbeda dengan barat, di dunia Islam tidak terjadi ledakan seperti itu, karena dalam Islam agama dan ilmu pengetahuan berjalan seiring dan berdampingan, meskipun terdapat beberapa friksi antara agama dan ilmu, tetapi itu sangat sedikit dan terjadi karena interpretasi dari teks agama yang terlalu dini. Namun secara keseluruhan agama dan ilmu saling mendukung. Malah tidak sedikit dari ulama Islam, juga sebagai ilmuwan seperti : Ibnu Sina, al Farabi, Jabir bin al Hayyan, al Khawarizmi, Syekh al Thusi dan yang lainnya. Oleh karena itu, ledakan intelektual dalam Islam tidak terjadi. Perkembangan ilmu di dunia Islam relatif stabil dan tenang.

Filsafat
       Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang telah di-Arabkan. Kata ini barasal dari dua kata "philos" dan "shopia" yang berarti pecinta pengetahuan. Konon yang pertama kali menggunakan kata "philoshop" adalah Socrates. (dan masih konon juga) Dia menggunakan kata ini karena dua alasan, Pertama, kerendah-hatian dia. Meskipun ia seorang yang pandai dan luas pengetahuannya, dia tidak mau menyebut dirinya sebagai orang yang pandai. Tetapi dia memilih untuk disebut pecinta pengetahuan.
Kedua, pada waktu itu, di Yunani terdapat beberapa orang yang menganggap diri mereka orang yang pandai (shopis). Mereka pandai bersilat lidah, sehingga apa yang mereka anggap benar adalah benar. Jadi kebenaran tergantung apa yang mereka katakan. Kebenaran yang riil tidak ada. Akhirnya manusia waktu itu terjangkit skeptis, artinya mereka ragu-ragu terhadap segala sesuatu, karena apa yang mereka anggap benar belum tentu benar dan kebenaran tergantung orang-orang shopis. Dalam keadaan seperti ini, Socrates merasa perlu membangun kepercayaan kepada manusia bahwa kebenaran itu ada dan tidak harus tergantung kepada kaum shopis. Dia berhasil dalam upayanya itu dan mengalahkan kaum shopis. Meski dia berhasil, ia tidak ingin dikatakan pandai, tetapi ia memilih kata philoshop sebagai sindiran kepada mereka yang sok pandai.

       Kemudian perjuangannya dilanjutkan oleh Plato, yang dikembangkan lebih jauh oleh Aristoteles. Aristoteles menyusun kaidah-kaidah berpikir dan berdalil yang kemudian dikenal dengan logika (mantiq) Aristotelian.
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan methafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusa rumah tangga; (3) sosial dan politik. Filusuf adalah orang yang mengetahui semua cabang-cabang ilmu pengetahuan tadi.

Mungkinkah Manusia itu Mempunyai Pengetahuan ?
       Masalah epistemologis yang sejak dahulu dan juga sekarang menjadi bahan kajian adalah, apakah berpengetahuan itu mungkin ? Apakah dunia (baca: realita) bisa diketahui ? Sekilas masalah ini konyol dan menggelikan. Tetapi terdapat beberapa orang yang mengingkari pengetahuan atau meragukan pengetahuan. Misalnya, bapak kaum sophis, Georgias, pernah dikutip darinya sebuah ungkapan berikut, "Segala sesuatu tidak ada. Jika adapun, maka tidak dapat diketahui, atau jika dapat diketahui, maka tidak bisa diinformasikan."
       Mereka mempunyai beberapa alasan yang cukup kuat ketika berpendapat bahwa pengetahuan sesuatu yang tidak ada atau tidak dapat dipercaya. Pyrrho salah seorang dari mereka menyebutkan bahwa manusia ketika ingin mengetahui sesuatu menggunakan dua alat yakni, indra dan akal. Indra yang merupakan alat pengetahuan yang paling dasar mempunyai banyak kesalahan, baik indra penglihat, pendengar, peraba, pencium dan perasa. Mereka mengatakan satu indra saja mempunyai kesalahan ratusan. Jika demikian adanya, maka bagaimana pengetahuan lewat indra dapat dipercaya ? Demikian pula halnya dengan akal. Manusia seringkali salah dalam berpikir. Bukti yang paling jelas bahwa di antara para filusuf sendiri terdapat perbedaan yang jelas tidak mungkin semua benar pasti ada yang salah. Maka akalpun tidak dapat dipercaya. Oleh karena alat pengetahuan hanya dua saja dan keduanya mungkin bersalah, maka pengetahuan tidak dapat dipercaya.
Pyrrho ketika berdalil bahwa pengetahuan tidak mungkin karena kasalahan-kesalahan yang indra dan akal, sebenarnya, ia telah mengetahui (baca: meyakini) bahwa pengetahuan tidak mungkin. Dan itu merupakan pengetahuan. Itu pertama. Kedua, ketika ia mengatakan bahwa indra dan akal seringkali bersalah, atau katakan, selalu bersalah, berarti ia mengetahui bahwa indra dan akal itu salah. Dan itu adalah pengetahuan juga.
Alasan yang dikemukakan oleh Pyrrho tidak sampai pada kesimpulan bahwa pengetahuan sesuatu yang tidak mungkin. Alasan itu hanya dapat membuktikan bahwa ada kesalahan dalam akal dan indra tetapi tidak semua pengetahuan lewat keduanya salah. Oleh karen itu mesti ada cara agar akal dan indra tidak bersalah.

        Menurut Ibnu Sina, ada cara lain yang lebih efektif untuk menghadapi mereka, yaitu pukullah mereka. Kalau dia merasakan kesakitan berarti mereka mengetahui adanya sakit (akhir dawa' kay).

" Cogito, ergosum "-nya Descartes.
       Rene Descartes termasuk pemikir yang beraliran rasionalis. Ia cukup berjasa dalam membangkitkan kembali rasionalisme di barat. Muhammad Baqir Shadr memasukkannya ke dalam kaum rasionalis. Ia termasuk pemikir yang pernah mengalami skeptisme akan pengetahuan dan realita, namun ia selamat dan bangkit menjadi seorang yang meyakini realita. Bangunan rasionalnya beranjak dari keraguan atas realita dan pengetahuan. Ia mencari dasar keyakinannya terhadap Tuhan, alam, jiwa dan kota Paris. Dia mendapatkan bahwa yang menjadi dasar atau alat keyakinan dan pengetahuannya adalah indra dan akal. Ternyata keduanya masih perlu didiskusikan, artinya keduanya tidak memberika hal yang pasti dan meyakinkan. Lantas dia berpikir bahwa segala sesuatu bisa diragukan, tetapi ia tidak bisa meragukan akan pikirannya. Dengan kata lain ia meyakini dan mengetahui bahwa dirinya ragu-ragu dan berpikir. Ungkapannya yang populer dan sekaligus fondasi keyakinan dan pengetahuannya adalah " Saya berpikir (baca : ragu-ragu), maka saya ada ".

        Argumentasinya akan realita menggunakan silogisme kategoris bentuk pertama, namun tanpa menyebutkan premis mayor. Saya berpikir, setiap yang berpikir ada, maka saya ada.

Keraguan al Ghazzali.
       Dari dunia Islam adalah Imam al Ghazzali yang pernah skeptis terhadap realita, namun iapun selamat dan menjadi pemikir besar dalam filsafat dan tashawwuf. Perkataannya yang populer adalah " Keraguan adalah kendaraan yang mengantarkan seseorang ke keyakinan ".

Sumber Dana Alat Pengetahuan.
       Setelah pengetahuan itu sesuatu yang mungkin dan realistis, masalah yang dibahas dalam lliteratur-literatur epistimologi Islam adalah masalah yang berkaitan dengan sumber dan alat pengetahuan. Sesuai dengan hukum kausaliltas bahwa setiap akibat pasti ada sebabnya, maka pengetahuan adalah sesuatu yang sifatnya aksidental -baik menurut teori recolection-nya Plato, teori Aristoteles yang rasionalis-paripatetik, teori iluminasi-nya Suhrawardi, dan filsafat-materialisnya kaum empiris- dan pasti mempunyai sebab atau sumber. Tentu yang dianggap sebagai sumber pengetahuan itu beragam dan berbeda sebagaimana beragam dan berbedanya aliran pemikiran manusia. Selain pengetahuan itu mempunyai sumber, juga seseorang ketika hendak mengadakan kontak dengan sumber-sumber itu, maka dia menggunakan alat.

Para filusuf Islam menyebutkan beberapa sumber dan sekaligus alat pengetahuan, yaitu :
1. Alam tabi'at atau alam fisik
2. Alam Akal
3. Analogi ( Tamtsil)
4. Hati dan Ilham

1. Alam tabi'at atau alam fisik
       Manusia sebagai wujud yang materi, maka selama di alam materi ini ia tidak akan lepas dari hubungannya dengan materi secara interaktif, dan hubungannya dengan materi menuntutnya untuk menggunakan alat yang sifatnya materi pula, yakni indra (al hiss), karena sesuatu yang materi tidak bisa dirubah menjadi yang tidak materi (inmateri). Contoh yang paling konkrit dari hubungan dengan materi dengan cara yang sifatnya materi pula adalah aktivitas keseharian manusia di dunia ini, sepert makan, minum, hubungan suami istri dan lain sebagianya. Dengan demikian, alam tabi'at yang materi merupakan sumber pengetahuan yang "barangkali" paling awal dan indra merupakan alat untuk berpengetahuan yang sumbernya tabi'at.
Tanpa indra manusia tidak dapat mengetahui alam tabi'at. Disebutkan bahwa, barang siapa tidak mempunyai satu indra maka ia tidak akan mengetahui sejumlah pengetahuan. Dalam filsafat Aristoteles klasik pengetahuan lewat indra termasuk dari enam pengetahuan yang aksioamatis (badihiyyat). Meski indra berperan sangat signifikan dalam berpengetahuan, namun indra hanya sebagai syarat yang lazim bukan syarat yang cukup. Peranan indra hanya memotret realita materi yang sifatnya parsial saja, dan untuk meng-generalisasi-kannya dibutuhkan akal. Malah dalam kajian filsafat Islam yang paling akhir, pengetahuan yang diperoleh melalui indra sebenarnya bukanlah lewat indra. Mereka mengatakan bahwa obyek pengetahuan (al ma'lum) ada dua macam, yaitu, (1) obyek pengetahuan yang substansial dan (2) obyek pengetahuan yang aksidental. Yang diketahui secara substansial oleh manusia adalah obyek yang ada dalam benak, sedang realita di luar diketahui olehnya hanya bersifat aksidental. Menurut pandangan ini, indra hanya merespon saja dari realita luar ke relita dalam.

Pandangan Sensualisme (al-hissiyyin).
       Kaum sensualisme, khususnya John Locke, menganggap bahwa pengetahuan yang sah dan benar hanya lewat indra saja. Mereka mengatakan bahwa otak manusia ketika lahir dalam keadaan kosong dari segala bentuk pengetahuan, kemudian melalui indra realita-realita di luar tertanam dalam benak. Peranan akal hanya dua saja yaitu, menyusun dan memilah, dan meng-generalisasi. Jadi yang paling berperan adalah indra. Pengetahuan yang murni lewat akal tanpa indra tidak ada. Konskuensi dari pandangan ini adalah bahwa realita yang bukan materi atau yang tidak dapat bersentuhan dengan indra, maka tidak dapat diketahui, sehingga pada gilirannya mereka mengingkari hal-hal yang metafisik seperti Tuhan.

2. Alam Akal
       Kaum Rasionalis, selain alam tabi'at atau alam fisika, meyakini bahwa akal merupakan sumber pengetahuan yang kedua dan sekaligus juga sebagai alat pengetahuan. Mereka menganggap akal-lah yang sebenarnya menjadi alat pengetahuan sedangkan indra hanya pembantu saja. Indra hanya merekam atau memotret realita yanng berkaitan dengannya, namun yang menyimpan dan mengolah adalah akal. Karena kata mereka, indra saja tanpa akal tidak ada artinya. Tetapi tanpa indra pangetahuan akal hanya tidak sempurna, bukan tidak ada.

Aktivitas-aktiviras Akal
1. Menarik kesimpulan. Yang dimaksud dengan menarik kesimpulan adalah mengambil sebuah hukum atas sebuah kasus tertentu dari hukum yang general. Aktivitas ini dalam istilah logika disebut silogisme kategoris demonstratif.
2. Mengetahui konsep-konsep yang general. Ada dua teori yang menjelaskan aktivitas akal ini, pertama, teori yang mengatakan bahwa akal terlebih dahulu menghilangkan ciri-ciri yang khas dari beberapa person dan membiarkan titik-titik kesamaan mereka. Teori ini disebut dengan teori tajrid dan intiza'. Kedua, teori yang mangatakan bahwa pengetahuan akal tentang konsep yang general melalui tiga tahapan, yaitu persentuhan indra dengan materi, perekaman benak, dan generalisasi.
3. Pengelompokan Wujud. Akal mempunyai kemampuan mengelompokkan segala yang ada di alam realita ke beberapa kelompok, misalnya realita-realita yang dikelompokkan ke dalam substansi, dan ke dalam aksdensi (yang sembilan macam).
4. Pemilahan dan Penguraian.
5. Penggabungan dan Penyusunan.
6. Kreativitas.

3. Analogi (Tamtsil)
       Termasuk alat pengetahuan manusia adalah analogi yang dalam terminologi fiqih disebut qiyas. Analogi ialah menetapkan hukum (baca; predikat) atas sesuatu dengan hukum yang telah ada pada sesuatu yang lain karena adanya kesamaan antara dua sesuatu itu.
Analogi tersusun dari beberapa unsur; (1) asal, yaitu kasus parsial yang telah diketahui hukumnya. (2) cabang, yaitu kasus parsial yang hendak diketahui hukumnya, (3) titik kesamaan antara asal dan cabang dan (4) hukum yang sudah ditetapkan atas asal.
Analogi dibagi dua;
1. Analogi interpretatif : Ketika sebuah kasus yang sudah jelas hukumnya, namun tidak diketahui illatnya atau sebab penetapannya.
2. Analogi Yang Dijelaskan illatnya : Kasus yang sudah jelas hukum dan illatnya.

4. Hati dan Ilham
       Kaum empiris yang memandang bahwa ada sama dengan materi sehingga sesuatu yang inmateri adalah tidak ada, maka pengetahuan tentang in materi tidak mungkin ada. Sebaliknya kaum Ilahi ( theosopi) yang meyakini bahwa ada lebih luas dari sekedar materi, mereka mayakini keberadaan hal-hal yang inmateri. Pengetahuan tentangnya tidak mungkin lewat indra tetapi lewat akal atau hati.
Tentu yang dimaksud dengan pengetahuan lewat hati disini adalah penngetahuan tentang realita inmateri eksternal, kalau yang internal seperti rasa sakit, sedih, senang, lapar, haus dan hal-hal yang iintuitif lainnya diyakini keberadaannya oleh semua orang tanpa kecuali.

Bagaimana mengetahui lewat hati ?
       Filusuf Ilahi Mulla Shadra ra. berkata, "Sesungguhnya ruh manusia jika lepas dari badan dan berhijrah menuju Tuhannya untuk menyaksikan tanda-tanda-Nya yang sangat besar, dan juga ruh itu bersih dari kamaksiatan-kemaksiatan, syahwat dan ketarkaitan, maka akan tampak padanya cahaya makrifat dan keimanan kepada Allah dan malakut-Nya yang sangat tinggi. Cahaya itu jika menguat dan mensubstansi, maka ia menjadi substansi yang qudsi, yang dalam istilah hikmah teoritis oleh para ahli hikmat disebut dengan akal efektif dan dalam istilah syariat kenabian disebut ruh yang suci. Dengan cahaya akal yang kuat, maka terpancar di dalamnya -yakni ruh manusia yang suci- rahasia-rahasia yang ada di bumi dan di langit dan akan tampak darinya hakikat-hakikat segala sesuatu sebagimana tampak dengan cahaya sensual mata (alhissi) gambaran-gambaran konsepsi dalam kekuatan mata jika tidak terhalang tabir. Tabir di sini -dalam pembahasan ini- adalah pengaruh-pengaruh alam tabiat dan kesibukan-kesibukan dunia, karena hati dan ruh -sesuai dengan bentuk ciptaannya- mempunyai kelayakan untuk menerima cahaya hikmah dan iman jika tidak dihinggapi kegelapan yang merusaknya seperti kekufuran, atau tabir yang menghalanginya seperti kemaksiatan dan yang berkaitan dengannya "
Kemudian beliau melanjutkan, "Jika jiwa berpaling dari ajakan-ajakan tabiat dan kegelapan-kegelapan hawa nafsu, dan menghadapkan dirinya kepada Alhaq dan alam malakut, maka jiwa itu akan berhubungan dengan kebahagiaan yang sangat tinggi dan akan tampak padanya rahasia alam malakut dan terpantul padanya kesucian (qudsi) Lahut ." (al-Asfar al-Arba'ah jilid 7 halaman 24-25).
Tentang kebenaran realita alam ruh dan hati ini, Ibnu Sina berkata, "Sesungguhnya para 'arifin mempunyai makam-makam dan derajat-derajat yang khusus untuk mereka. Mereka dalam kehidupan dunia di bawah yang lain. Seakan-akan mereka itu, padahal mereka berada dengan badan mereka, telah melepaskan dan meninggalkannya untuk alam qudsi. Mereka dapat menyaksikan hal-hal yang halus yang tidak dapat dibayangkan dan diterangkan dengan lisan. Kesenangan mereka dengan sesuatu yang tidak dapat dilihat mata dan didengar telinga. Orang yang tidak menyukainya akan mengingkarinya dan orang yang memahaminya akan membesarkannya." (al-Isyarat jilid 3 bagian kesembilan tentang makam-makam para 'arif halaman 363-364)
Kemudia beliau melanjutkan, "Jika sampai kepadamu berita bahwa seorang 'arif berbicara -lebih dulu- tentang hal yang gaib (atau yang akan terjadi), dengan berita yang menyenangkan atau peringatan, maka percayailah. Dan sekali-sekali anda keberatan untuk mempercayainya, karena apa yang dia beritakan mempunyai sebab-sebab yang jelas dalam pandangan-pandangan (aliran-aliran) tabi'at."
Pengetahuan tentang alam gaib yang dicapai manusia lewat hati jika berkenaan dengan pribadi seseorang saja disebut ilham atau isyraq, dan jika berkaitan dengan bimbingan umat manusia dan penyempurnaan jiwa mereka dengan syariat disebut wahyu.
 
Islam dan Sumber-sumber Pengetahuan
Dalam teks-teks Islam -Qur'an dan Sunnah- dijelaskan tentang sumber dan alat pengetahuan:
1. Indra dan akal
Allah swt. berfirman, "Dan Allah yang telah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian, sementara kalian tidak mengetahui sesuatu pun, dan (lalu) Ia meciptakan untuk kalian pendengaran, penglihatan dan hati ( atau akal) agar kalian bersyukur ". (QS. al-Nahl: 78).
Islam tidak hanya menyebutkan pemberian Allah kepada manusia berupa indra, tetapi juga menganjurkan kita agar menggunakannya, misalnya dalam al-Qur'an Allah swt. berfirman, "Katakanlah, lihatlah segala yang ada di langit-langit dan di bumi." (QS. Yunus: 101 ). Dan ayat-ayat yang lainnya yang banyak sekali tentang anjuran untuk bertafakkur. Qur'an juga dalam membuktikan keberadaan Allah dengan pendekatan alam materi dan pendakatan akal yang murni seperti, "Seandainya di langit dan di bumi ada banyak tuhan selain Allah, niscaya keduanya akan hancur." (QS. al-Anbiya': 22). Ayat ini menggunakan pendekatan rasional yang biasa disebut dalam logika Aristotelian dengan silogisme hipotesis.
Atau ayat lain yang berbunyi, "Allah memberi perumpamaan, seorang yang yang diperebutkan oleh banyak tuan dengan seorang yang menyerahkan dirinya kepada seorang saja, apakah keduanya sama ?" (QS. al-Zumar: 29)
2. Hati
Allah swt berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, niscaya Ia akan memberikan kepada kalian furqon." (QS. al-Anfal: 29) Maksud ayat ini adalah bahwa Allah swt. akan memberikan cahaya yang dengannya mereka dapat membedakan antara yang haq dengan yang batil.
Atau ayat yang berbunyi, "Dan bertakwalah kepada Allah maka Ia akan mengajari kalian. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. al-Baqarah: 282). Dan ayat-ayat yang lainnya.

Syarat dan Penghalang Pengetahuan.
       Meskipun berpengetahuan tidak bisa dipisahkan dari manusia, namun seringkali ada hal-hal yang mestinya diketahui oleh manusia, ternyata tidak diketahui olehnya.
Oleh karena itu ada beberapa pra-syarat untuk memiliki pengetahuan, yaitu :
1. Konsentrasi
Orang yang tidak mengkonsentasikan (memfokuskan) indra dan akal pikirannya pada benda-benda di luar, maka dia tidak akan mengetahui apa yang ada di sekitarnya.
2. Akal yang sehat
Orang yang akalnya tidak sehat tidak dapat berpikir dengan baik. Akal yang tidak sehat ini mungkin karena penyakit, cacat bawaan atau pendidikan yang tidak benar.
3. Indra yang sehat
       Orang yang salah satu atau semua indranya cacat maka tidak mengetahui alam materi yang ada di sekitarnya.
Jika syarat-syarat ini terpenuhi maka seseorang akan mendapatkan pengetahuan lewat indra dan akal. Kemudian pengetahuan daat dimiliki lewat hati. Pengetahuan ini akan diraih dengan syarat-syarat seperti, membersihkan hati dari kemaksiatan, memfokuskan hati kepada alam yang lebih tinggi, mengosongkan hati dari fanatisme dan mengikuti aturan-aturan sayr dan suluk. Seorang yang hatinya seperti itu akan terpantul di dalamnya cahaya Ilahi dan kesempurnaanNya.
            Ketika syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka pengetahuan akan terhalang dari manusia. Secara spesifik ada beberapa sifat yang menjadi penghalang pengetahuan, seperti sombong, fanatisme, taqlid buta (tanpa dasar yang kuat), kepongahan karena ilmu, jiwa yang lemah (jiwa yang mudah dipengaruhi pribadi-pribadi besar) dan mencintai materi secara berlebihan.