Dalam konteks Indonesia,
pertarngan opini antara oposisi dan penguasa
belum lagi ditangkap publik secara luas
sebagai sesuatu yang penting untuk kontrol.
Dalam situasi seperti ini penguasa terlibat secara massif
menggunakan opini publik
sebagai justifikasi untuk melakukan counter balik
terhadap kritikan oposisi.
Pengalaman proses transisi politik di Indonesia sampai pada situasi sekarang mendorong kita berfikir skeptis. Mungkinkah transisi demokrasi Indonesia berakhir dengan suatu kemenangan realitas demokratik, bahwa demokrasi (politik, terutama ekonomi dan hukum) betul-betul bisa diwujudkan. Sebab, Variabel, pendukung ke arah demokratisasi, nampaknya masih jauh api dari panggang. Aktor di panggung kekuasaan belum sepenuhnya serius menggawangi dan meretas demokrasi itu sendiri.
Seperti biasa terjadi di Indonesia, faktor penghambat proses transisi demokrasi berasal dari dalam Negara sendiri. Secara sepintas, yang bisa dilihat adalah berakar pada aktor dan keterkaitan dengan masa lalu. Dengan kata lain, aktor yang sekarang memegang posisi sebagai pejabat Negara belum menyadari dirinya merupakan faktor signifikan pendorong demokratisasi. Kondisi ini ditambah lagi oleh adanya imitasi---untuk tidak mengatakan keterkaitan dengan---kekuatan politik masa lalu, sehingga yang terjadi selalu kompromi "di belakang layar" bukan---meminjam istilah Norberto Bobbio (1989)---Kompromi institusional yang dijamin oleh konstitusi demokrasi.
Dalam kaitan ini, pertarungan politik yang melibatkan oposisi dengan pemerintah tidak bisa dihindarkan. Pada awalnya, oposisi hanya melakukan kritik keras terhadap kebijakan pemrintah (misalnya, tentang inpres Release & Discharge). Tampaknya pemerintah tidak bergeming terutama menyangkut hal imitasi terhadap masa laludan komprominya dengan para konglomerat dan birokrasi korup. Sehingga realitasnya, oposisi meningkatkan intensitas gerakan untuk mengkritik semakin keras pemerintah. Saya melihat dalam konteks persoalan di atas, ada diskursus menarik yang perlu disampaikan sebagai refleksi, terutama bagi pemerintah, yaitu mengenai makna demokrasi serta sikap demokrasi.
Ketika melihat Negara-Negara yang sedang mengalami transisi demokrasi Juan K. Linz dan Alfred Stepan (1996) mengemukakan suatu tesis penting, yaitu proses kali yang ketiga pengertian suatu pemrintahan merupakan faktor peling menentukan: benar-benar terjadi konsolidasi demokrasi ataukah sebaliknya. Jika pemerintah pengganti menjelma menjadi aktor demokrasi, maka proses selanjutnya---dengan pengalaman yang telah dimiliki selama dalam kondisi belum normal---akan memanifestasikan sistem dan pengelolaan Negara yang demokratis pula. Tetapi jika sebaliknya, maka Negara akan semakin otoriter (nondemocratic).
Situasi tersebut ditengarai mengemuka karena beberapa hal, di antaranya:
1. Terjadinya kebosanan dan kelelahan publik terhadap proses pergantian rezim secara terus-menerus dibarengi oleh direkrutnya sedikit kekuatan oposisi dengan kompromi minimal. Kebosanan publik terhadap pergantian rezim berubah menjadi apatisme politik, karena harapan yang senantiasa didengungkan ketika pergantian rezim tidak bisa diwujudkan. Pada satu sisi, kebosanan ini bagi oposisi berikutnya yang mengkritik kebijakan-kebijakan penguasa terasa mendahului kehendak masyarakat. Sehingga, alih-alih mendapatkan dukungan dari nurani dan suara kuantitatif masyarakat, malahan ditiduh sebagai biang kerok ketidakberesan, atau justru malahan tidak mendapatkan respons sama sekali dari masyarakat. Pada sisi lain, bagi pemerintah kebosanan publik justru digunakan sebagai legitimasi bahwa apatisme politik publik merupakan bukti kebijakan mereka telah mengapresiasi aspirasi masyarakat luas.
Direkrutnya sedikit kekuatan oposisi dalam proses kompromi minimalis, yang dipilih oleh pemerintah justru adalah mereka yg tidak memiliki basis massa. Hal ini membawah dampak serius, yakni demoralitas kekuatan oposisi lainnya. Dengan kata lain, ada semacam stigmatisasi terhadap oposisi yang senantiasa melakukan kritik bahwa mereka mengkritik karena tidak mendaparkan jatah kekuasaan. Sehingga, kalau mereka telah mendapatkan kekuasan akan sama saja dengan oposisi yang sudah direkrut.
2. Polarisasi kekuatan oposisi.
Hal ini merupakan implikasi dari yang pertama. Dimana oposisi mengalami situasi saling menyalahkan. Yang terjadi akhirnya bukan konsolidasi demokrasi oleh posisi, melainkan kompromi---tepatnya "pelacuran" politik antara sebagian oposisi dengan penguasa.
3. Kesigapan pemerintah pengganti menangkap kesempatan kekuasaan sebagai legitimasi bahwa dirinya adalah penguasa sah dalam situasi normal. Padahal, dalam dalam kondisidemikian penguasa mestinya memosisikan diri sebagai penguasa interim (transisi). Situasi ini mengarahkan situasi politik dan sistem politik pada ruang konsolidasi Negara, bukan konsolidasi demokrasi. Sehingga yang dilahirkan rezim bukanlah kebijakan-kebujakan baru yang bisa dijadikan instrumen pendorong demokrasi, melainkan mobilisasi aparatur Negara menjadi penyangga kepentingan kekuasaan.
Jika mengikuti keterangan di atas, maka transisi dan konsolidasi demokrasi di Indonesia secara signifikan bisa disebut analogis mengalami langkah mundur atau belum sempurna. Paling tidak, indikator, 1, 2 & 3 di atas merupakan kenyataan faktual kegagalan proses transisi dan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Apalagi, bagi Linz dan Stepen, defenisi transisi demokrasi agak sulit direalisasikan.
Transisi demokrasi menurut defenisi tersebut sempurna bila kesepakatan yang cukup mengenai prosedur politik untukmembentuk pemerintahan telah dicapai; bila pemerintahan dibentuk berdasarkan hasil langsung yang bebas dan popular vote; bila pemerintahan secara defacto memiliki otoritas penuh untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru; serta bila kekuatan eksekutif, legislatif dan yudikatif dihasilkan oleh demokrasi baru yang tidak harus melakukan pembagian kekuasaan dengan institusi lain di luar dirinya secara de jure.
konteks Indonesia, pertarungan opini antara oposisi dan penguasa belum lagi ditangkap publik secara luas sebagai sesuatu yang penting untuk kontrol. Dalam situasi seperti ini penguasa terlihat secara massif menggunakan opini publik sebagai justifikasi untuk melakukan counter balik terhadap kritikan oposisi. Penguasa dalam beberapa kali pidato presiden misalnya, mengemukakan bahwa kinerja pemerintahan telah mengakomodir kepentingan masyarakat luas, sedangkan pada saat yang sama belum disertai perubahan kebijakan yang dituntuk oposisi (misalnya tentang penegakan hukum bagi para koruptor dan konglomerat hita). Penguasa melalui pidato Presiden dihadapan para pendukungnya justru mengklaim bahawa para pengkeritik Pemerintahsekarang ini tidak memiliki sense of nation, hanya penguasa dan para pendukungnya saja yang memiliki hal tersebut.
Penguasa sepertinya khawatir otoritasnya dengan kritikan tersebut semakin pudar, bukan menjadikan kritikan tersebut sebagai sebuah masukan bagi Pemerintah yang patut di hargai, malah di anggap sebagai sebuah ancaman bagi kelangsungan Otoritas Pemerintahannya. Dalam posisi ini yang bisa dinilai dari penguasa adalah belum menyadari otoritasnya sebagai pemegang pemerintahan transisi. Pemerintah terlihat berusaha sekuat tenaga untuk melakukan konsolidasi Negara bukan konsolodasi demokrasi. Yang paling aktual sebagai upaya konsolidasi Negara untuk berhadapan dengan society adalah penggunaan aparat neegara sebagai alat kekuasaan. Pemerintah mengambil suatu perilaku politik yang represif terhadap siapapun yang mencoba mengkritiknya secara keras.
Dengan dfenisi demokrasi seperti diungkapkan Norberto Bobbie (1989) yaitu, demokrasi minimum meliputi kesetaraan, jaminan hak-hak minoritas, penegakan aturan hukum, dan jaminan hukum bagi kebebsan berserikat dan menyamoaikan pendapat serta metode mencegah siapapun yang berkuasa agar tidak secara permanen menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, maka pemerintah Indonesia sebagaimana kebijakan-kebijakan kompromistik yang dikeluarkan---bukan yang lahir sebagai kebijakan yang sama sekali baru dengan model demokrasi baru---bisa dikatakan telah masuk dalam jurang otoriterianisme.
Otoriterianisme Negara, menurut Anders Uhlin (1997) biasanya ditandai oleh beberapa hal yaitu :
1. Sistem politik sebagai manifestasi dominasi negara atas masyarakat
2. Struktur ide-ide yang menjadi basis legitimasi otoriterianisme, serta
3. Keberadaan aktor-aktor otoriterianisme.
Realitas politik di Indonesia mutakhir, nampaknya tidak bisa dielakkan dari kesimpulan bahwa penguasa memang berperilaku otoriter. Inilah justru yang membuat sulit manifestasi defenisi transisi dan konsolidasi demokrasi sebagaimana diungkapkan Linz dan Stepan.
Maka dari itu, otoriterianisme Negara berjalan karena penguasa belum memiliki kearifan demokrasi. Kearifan demokrasi merupakan sikap perpaduan antara kekuasaan dan kesiapan dikritik. Menurut ungkapan Prof. Djaman Al-Kindi (Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta, UMS) pada suatu kesempatan, demokrasi itu memiliki 3 tabiat dan sikap dasar, yaitu : Kebebasan, Pembatasan dan Kearifan. Tiga hal di atas harus jalin-berkelindan, agar penguasa tidak masuk ke lubang otoriterianisme atau bahkan fasisme. Demokrasi berbasis kebebasan seharusnya selalu disertai kearifan agar tidak menibulkan chaotic. Demikian juga, demokrasi berbasis pembatasan semestinya ditemani kearifan supaya tidak terjebak ke dalam otoriterianisme.
Akhir kata, bagaimanapun Pemerintah sebagai producer kebijakan-kebijakan semestinya memiliki keberanian tegas untuk tidak berkompromi dengan kekuatan manapun yang mencoba menghambat konsolidasi demokrasi. Sehingga tetap memegang teguh prinsip membangun konsolidasi demokrasi, bukan konsolidasi Negara. Sebab jika penguasa tdak segera mengubah langkah dan orientasi politiknya, maka hal itu berarti kegagalan penguasa meretas konsolidasi demokrasi. Dengan demikian tidak bisa disalahkan apabila oposisi memintanya mundur atau bahkan melengserkannya dari tampuk kekuasaan. Sebagaimana lumrah terjadi dalam setiap proses perubahan politik, sistem yang dikelola sangat bergantung kepada aktor politiknya. Oleh karena itu, jika aktornya memang gagal dan tidak mampu lagi mengelola Negara dalam kerangka konsolidasi demokrasi memang sebaiknya diminta mengundurkan diri saja secara terhormat atau kalau tidak berkenan, perlu segera dipikirkan untuk dilengserkan.
1. Terjadinya kebosanan dan kelelahan publik terhadap proses pergantian rezim secara terus-menerus dibarengi oleh direkrutnya sedikit kekuatan oposisi dengan kompromi minimal. Kebosanan publik terhadap pergantian rezim berubah menjadi apatisme politik, karena harapan yang senantiasa didengungkan ketika pergantian rezim tidak bisa diwujudkan. Pada satu sisi, kebosanan ini bagi oposisi berikutnya yang mengkritik kebijakan-kebijakan penguasa terasa mendahului kehendak masyarakat. Sehingga, alih-alih mendapatkan dukungan dari nurani dan suara kuantitatif masyarakat, malahan ditiduh sebagai biang kerok ketidakberesan, atau justru malahan tidak mendapatkan respons sama sekali dari masyarakat. Pada sisi lain, bagi pemerintah kebosanan publik justru digunakan sebagai legitimasi bahwa apatisme politik publik merupakan bukti kebijakan mereka telah mengapresiasi aspirasi masyarakat luas.
Direkrutnya sedikit kekuatan oposisi dalam proses kompromi minimalis, yang dipilih oleh pemerintah justru adalah mereka yg tidak memiliki basis massa. Hal ini membawah dampak serius, yakni demoralitas kekuatan oposisi lainnya. Dengan kata lain, ada semacam stigmatisasi terhadap oposisi yang senantiasa melakukan kritik bahwa mereka mengkritik karena tidak mendaparkan jatah kekuasaan. Sehingga, kalau mereka telah mendapatkan kekuasan akan sama saja dengan oposisi yang sudah direkrut.
2. Polarisasi kekuatan oposisi.
Hal ini merupakan implikasi dari yang pertama. Dimana oposisi mengalami situasi saling menyalahkan. Yang terjadi akhirnya bukan konsolidasi demokrasi oleh posisi, melainkan kompromi---tepatnya "pelacuran" politik antara sebagian oposisi dengan penguasa.
3. Kesigapan pemerintah pengganti menangkap kesempatan kekuasaan sebagai legitimasi bahwa dirinya adalah penguasa sah dalam situasi normal. Padahal, dalam dalam kondisidemikian penguasa mestinya memosisikan diri sebagai penguasa interim (transisi). Situasi ini mengarahkan situasi politik dan sistem politik pada ruang konsolidasi Negara, bukan konsolidasi demokrasi. Sehingga yang dilahirkan rezim bukanlah kebijakan-kebujakan baru yang bisa dijadikan instrumen pendorong demokrasi, melainkan mobilisasi aparatur Negara menjadi penyangga kepentingan kekuasaan.
Jika mengikuti keterangan di atas, maka transisi dan konsolidasi demokrasi di Indonesia secara signifikan bisa disebut analogis mengalami langkah mundur atau belum sempurna. Paling tidak, indikator, 1, 2 & 3 di atas merupakan kenyataan faktual kegagalan proses transisi dan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Apalagi, bagi Linz dan Stepen, defenisi transisi demokrasi agak sulit direalisasikan.
Transisi demokrasi menurut defenisi tersebut sempurna bila kesepakatan yang cukup mengenai prosedur politik untukmembentuk pemerintahan telah dicapai; bila pemerintahan dibentuk berdasarkan hasil langsung yang bebas dan popular vote; bila pemerintahan secara defacto memiliki otoritas penuh untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru; serta bila kekuatan eksekutif, legislatif dan yudikatif dihasilkan oleh demokrasi baru yang tidak harus melakukan pembagian kekuasaan dengan institusi lain di luar dirinya secara de jure.
konteks Indonesia, pertarungan opini antara oposisi dan penguasa belum lagi ditangkap publik secara luas sebagai sesuatu yang penting untuk kontrol. Dalam situasi seperti ini penguasa terlihat secara massif menggunakan opini publik sebagai justifikasi untuk melakukan counter balik terhadap kritikan oposisi. Penguasa dalam beberapa kali pidato presiden misalnya, mengemukakan bahwa kinerja pemerintahan telah mengakomodir kepentingan masyarakat luas, sedangkan pada saat yang sama belum disertai perubahan kebijakan yang dituntuk oposisi (misalnya tentang penegakan hukum bagi para koruptor dan konglomerat hita). Penguasa melalui pidato Presiden dihadapan para pendukungnya justru mengklaim bahawa para pengkeritik Pemerintahsekarang ini tidak memiliki sense of nation, hanya penguasa dan para pendukungnya saja yang memiliki hal tersebut.
Penguasa sepertinya khawatir otoritasnya dengan kritikan tersebut semakin pudar, bukan menjadikan kritikan tersebut sebagai sebuah masukan bagi Pemerintah yang patut di hargai, malah di anggap sebagai sebuah ancaman bagi kelangsungan Otoritas Pemerintahannya. Dalam posisi ini yang bisa dinilai dari penguasa adalah belum menyadari otoritasnya sebagai pemegang pemerintahan transisi. Pemerintah terlihat berusaha sekuat tenaga untuk melakukan konsolidasi Negara bukan konsolodasi demokrasi. Yang paling aktual sebagai upaya konsolidasi Negara untuk berhadapan dengan society adalah penggunaan aparat neegara sebagai alat kekuasaan. Pemerintah mengambil suatu perilaku politik yang represif terhadap siapapun yang mencoba mengkritiknya secara keras.
Dengan dfenisi demokrasi seperti diungkapkan Norberto Bobbie (1989) yaitu, demokrasi minimum meliputi kesetaraan, jaminan hak-hak minoritas, penegakan aturan hukum, dan jaminan hukum bagi kebebsan berserikat dan menyamoaikan pendapat serta metode mencegah siapapun yang berkuasa agar tidak secara permanen menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, maka pemerintah Indonesia sebagaimana kebijakan-kebijakan kompromistik yang dikeluarkan---bukan yang lahir sebagai kebijakan yang sama sekali baru dengan model demokrasi baru---bisa dikatakan telah masuk dalam jurang otoriterianisme.
Otoriterianisme Negara, menurut Anders Uhlin (1997) biasanya ditandai oleh beberapa hal yaitu :
1. Sistem politik sebagai manifestasi dominasi negara atas masyarakat
2. Struktur ide-ide yang menjadi basis legitimasi otoriterianisme, serta
3. Keberadaan aktor-aktor otoriterianisme.
Realitas politik di Indonesia mutakhir, nampaknya tidak bisa dielakkan dari kesimpulan bahwa penguasa memang berperilaku otoriter. Inilah justru yang membuat sulit manifestasi defenisi transisi dan konsolidasi demokrasi sebagaimana diungkapkan Linz dan Stepan.
Maka dari itu, otoriterianisme Negara berjalan karena penguasa belum memiliki kearifan demokrasi. Kearifan demokrasi merupakan sikap perpaduan antara kekuasaan dan kesiapan dikritik. Menurut ungkapan Prof. Djaman Al-Kindi (Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta, UMS) pada suatu kesempatan, demokrasi itu memiliki 3 tabiat dan sikap dasar, yaitu : Kebebasan, Pembatasan dan Kearifan. Tiga hal di atas harus jalin-berkelindan, agar penguasa tidak masuk ke lubang otoriterianisme atau bahkan fasisme. Demokrasi berbasis kebebasan seharusnya selalu disertai kearifan agar tidak menibulkan chaotic. Demikian juga, demokrasi berbasis pembatasan semestinya ditemani kearifan supaya tidak terjebak ke dalam otoriterianisme.
Akhir kata, bagaimanapun Pemerintah sebagai producer kebijakan-kebijakan semestinya memiliki keberanian tegas untuk tidak berkompromi dengan kekuatan manapun yang mencoba menghambat konsolidasi demokrasi. Sehingga tetap memegang teguh prinsip membangun konsolidasi demokrasi, bukan konsolidasi Negara. Sebab jika penguasa tdak segera mengubah langkah dan orientasi politiknya, maka hal itu berarti kegagalan penguasa meretas konsolidasi demokrasi. Dengan demikian tidak bisa disalahkan apabila oposisi memintanya mundur atau bahkan melengserkannya dari tampuk kekuasaan. Sebagaimana lumrah terjadi dalam setiap proses perubahan politik, sistem yang dikelola sangat bergantung kepada aktor politiknya. Oleh karena itu, jika aktornya memang gagal dan tidak mampu lagi mengelola Negara dalam kerangka konsolidasi demokrasi memang sebaiknya diminta mengundurkan diri saja secara terhormat atau kalau tidak berkenan, perlu segera dipikirkan untuk dilengserkan.