Sosial Politik

Senin, 07 Desember 2015

MAKNA "KESATUAN" DALAM KERAGAMAN

MAKANA "KESATUAN" DALAM KEBERAGAMAN
(Adhymuliadi)
I. Kotak-Kotak Sosial
    Sejak awal abad lalu para pecinta Nusantara kian menyadari pentingnya peran kesatuan dalam kawasan penjajahan Belanda. Kesadaran ini lahir dari penerapan polotik pecah-belah (devide et impera) oleh pemerintahkolonial Belanda. Masyarakat dipecah-belah sesuai perbedaan latar belakang hidup sosial, agama, kebudayaan. Masyarakat yang satu berstatus lebih tinggi, sedangkan masyarakat lain berstatus lebih rendah. Kelas-kelas dan sekat-sekat sosial terbentuk dalam suatu sistem sosial serba majemuk, sehingga langsung atau tidak era penjajahan melahirkan benih-benih diskriminasi individual dan sosial dalam masyarakat. Perbedaan status sosial menimbulkan kecemburuan sosial yang ujung-ujungnya memperkental semangat diskrimitatif sosial dan membabi buta.
    Pengotak-ngotakan berdasarkan politik apartheid melahirkan fragmentasi sosial di tengah masyarakat majemuk. Manusia yang satu menganggap diri lebih tinggi daripada sesamanya, merasa lebih berhak daripada yang lain; malah terjadi proses perendahan harkat dan martabat sesama yang pada hakikatnya setara. Perbedaan yang memperlebar kesenjangan sosial  ini mengundang manusia membentuk sekat-sekat hidup sosial.  Politik apartheid memandang manusia berdasarkan warna kulit, latar belakang kebudayaan, bahasa, dan status sosial. Situs apartheid melahirkan tatanan sosial retak dan terpecah, yang memprihatinkan, ditengah perbedaan-perbedaan muncul pemisahan anak-anak manusia.
    Pengotak-ngotakan sosial bangsa kita ternyata menguntungkan penjajah yang berpolitik  devide et impera. Masyarakat retak, mereka tak berdaya menghadapi kekuatan penguasa asing. Yang dikotak-kotakkan bukan hanya manusia, melainkan juga mencakup kodrat setara dalam keunikannya masing-masing. Pengotak-ngotakan ini turut membentuk pola pikir dan cara pandang manusia terhadap sesamanya karena dalam diri manusia muncul sekat-sekat apriori. Dalam otak manusia, terbentuk ruang-ruang diskriminatif yang diwariskan turun-temurun dalam hampir semua bidang hidup. Kecenderungan diskriminatif masih berkembang subur dalam sejumlah lapisan hidup manusia.
    Sistem pengotak-ngotakan ini diteruskan oleh mereka yang berhasil "merebut" kemerdekaan dan memerintah Indonesia. Status kewarganegaraan rakyat Indonesia de facto masih memiliki perbedaan. Penggunaan istilah pribumi dan non-pribumi, misalnya membuktikan adanya kelanjutan politik devide et impera, warisan penjajah tempo doloe. Dosa sosial politik tempo doloe diturunkan dan dijabarkan dalam hidup sosial dewasa ini. Dimana manusia  yang satu memandang sesamanya bukan sebagai saudara, tetapi sebagai objek yang boleh diperlakukan sesuka hati tanpa menimbang dimensi keluhuran harkat dan martabat manusia. Pribadi manusia dipandang sebagai anggota etnis yang memiliki klise latar belakang hidup. Rasisme masih eksis dan berkembang disejumlah kalangan masyarakat dan di seluruh dunia.
     Pengotak-ngotakan sosial ini diperkental oleh aneka bentuk konflik individual dan sosial sejak runtuhnya rezim Soeharto dkk. Konflik, kekerasan dan kerusuhan sosial yang menimpah seluruh tanah air, khususnya sumatera, jawa, kalimantan, sulawesi, maluku, lombok, papua membuktikan adanya keretakan dalam tubuh bangsa kita. Tapi kelompok sosial memiliki dan mewarisi semangat fragmentasi dan balas dendam. Hidup bersama diwarnai oleh sekat-sekat yang memisahkan dan mencerai-beraikan mereka. Identitas bangsa dan ke-Indonesiaan menjadi sebuah pertanyaan mendasar hari ini, besok, dan di masa mendatang. Akan ke manakah bangsa kita?
II. Pluralisme Radikal
     Pluralisme adalah sebuah realitas sosial yang eksistensial. Ciri khas masyarakat kita adalah kemajemukan radikal yang mencakup berbagai bidang hidup manusia. Masyarakat monokultur telah lenyap dari permukaan bumi, termasuk dalam negara kita. Kemajemukan sosial ini dari satu sisi, memberikan sumbangan positif demi kemajuan manusia, yang dialami sebagai salah satu kekayaan dalam hidup sosial. Keunikan dan keistimewaan pola pikir, bahasa, budaya, agama, pandangan hidup, daca kerja tiap manusia atau tiap kelompok sosial pada hakikatnya dapat saling mengisi dan memperkaya. Praksis hidup lintas-bahasa, lintas-budaya, lintas-agama, lintas-pandangan hidup, dan lintas-cara hidup dengan sendirinya menawarkan alternatif mutu hidup yang lebih bervariasi. Kemajemukan yang dianggap tulen pada dasarnya dapat membangun dialog konstruktif dan kerja sama yang akan saling memperkaya.
     Kemajemukan iniseharusnya menjadi kesadaran awal dan hakiki pengendali roda pemerintahan dalam menentukan kabijakan dalam negara kita. Semua anasir sosial yang berwarna-warni perlu diperhatikan dalam tiap perencanaan pembangunan. Keberadaan kelompok mayoritas dan minoritas tak bisa mengurangi hak-hak dasar tiap manusia  yang mengatur prinsip keadilan sosial. Tiap pribadi manusia sebagai warga negara memiliki hak dan kewajiban yang setara dan (secara teoretis) tanpa diskriminasi sosial. Perwujudan nilai demokrasi dalam kemajemukan sosial sangat mendesak. Apakah pengambilan keputusan hanya berdasarkan jumlah suara mayoritas mutlak atau sunggu-sunggu mendengarkan suara dari tiap golongan? Kalupun keputusan sudah diambil, apakah tidak ditemukan pasal-pasal pengecualian sebagai penghargaan terhadap kelompok lain yang aspirasinya tak tertampung dalam perumusan undang-undang itu?
    Salah satu kasus yang menarik untuk disimak adalah lolosnya RUU Sisdiknas menjadi UU Sisdiknas, walaupun RUU itu di tolak dengan terang-terangan oleh sejumlah anasir sosial. Jelas, keputusan itu suara pihak-pihak lain diabaikan. Inikah bentuk demokrasi yang dicita-citakan dalam suatu negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945? Langkah-langkah prosedural apakah yang haru7s ditempuh dalam rangkah mengambil keputusan yang terkait dengan orang banyak? Apakah kelompok yang dianggap "minoritas" dalam arti tertentu harus selalu menjadi korban keadilan dalam pengambilan keputusan?
     Hanya, sejak dulu kemajemukan sosial ini diperalat dan dimanfaatkan oleh mereka yang terjun dalam politik kotor. Kemajemukan ini turut menentukan kodrat hidup politik suatu negara. Hak dan kemampuan untuk mengambil keputusan misalnya, tidak hanya terletak pada tangan orang-orang atau kelompok tertentu, tetapi sungguh-sungguh melibatkan semua pihak yang berhak mengambil keputusan politik. Pemerintah, baik nasional maupun daerah, berperan sebagai pusat yang memperhatikan kepentingan-kepentingan tiap kelompok dalam masyarakat.Tuntutan-tuntutan dan aspirasi sosial masyarakat mutlak diperhatikan sambil memperhatikan kepentingan umum dan yang lebih tinggi daripada kepentingan sektarian. Kepentingan dan pelayanan umum mendapat tempat utama dalam masyarakat kita.Kemajemukan radikal dalam zaman kita menimbulkan masalah-masalah yang mendalam dan rumit bagi mereka yang sungguh-sungguh ingin menempuh hidup dengan integritas intelektual, moral, dan spiritual. Mengapa? karena kemajemukan radikal mengundang manusia untuk dengan bijaksana mempertimbangkan sesuatu sebelum mengambil keputusan. Keterlibatan pihak-pihak yang berbeda pendapat perlu dipikir secara mendalam sambil mempertimbangkan dampak sampingan yang bakal muncul. kekurangan kesadaran akan kemajemukan membuat manusia cenderung melakukan sesuatu "sesuka hati" dan melupakan suara-suara dari kelompok kecil dalam masyarakat.
III. "Kesatuan", Sbuah Gejala Dilematis
     Indonesia adalah sebuah negara artifisial warisan zaman penjajahan Belanda. Pada awal pendirian republik ini, belum perna diadakan pemungutan suara secara demokratis dalam menentukan bentuk dan arah negara kita. Yang ada adalah mereka yang dianggap sebagai wakil-wakil rakyat kita. Kecenderungan untuk mewujudkan kesatuan dalam hidup bersama termasuk kodrat hidup manusia. Mpu tantular, seorang pujangga di zaman Majapahit, pengarang kakawin Sutasoma, antara lain, telah meluncurkan semboyan Bhinneka tunggal ika, yang berarti walaupun berbeda, tetapi tetap bersatu. Jiwa saling keterkaitan berpengaruh dalam hidup manusia. Kesatuan disadari sebagai kekuatan yang dapat diandalkan untuk menghadapi penjajah.Ini tampak dalam pembentukan Jong Sumatera, Jong Jawa, Jong Sulawesi dan dalam pembicaraan-pembicaraan BPUPKI dan PPKI.
     Dimensi kesatuan dan persatuan bangsa kita terungkap dalam rumusan Pancasila sebagai dasar dan falsafa bangsa. Dari sila I hingga sila V, bisa kita temukan gagasan kesatuan dan persatuan dalam hidup rohani dan jasmani. Dalam sila I, diungkapkan "keesaan" ("monotheismus") Tuhan; sila II menggarisbawahi bahwa semua manusia mempunyai kemanusiaan yang satu dan sama; sila III menekankan persatuan Indonesia; sila IV menyoroti kerakyatan (kebersamaan dalam kesatuan) yang dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan; sila V menyoroti keadilan sosial lagi seluruh rakyat Indonesia. Malah dalam BAB I Pasal I UUD 1945, dinyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Kesatuan dikaitkan dengan kebersamaan manusia sebagai makhluk sosial.
     Dalam perjaloan sejarah bangsa kita, tidak semua pihak merasa dan mengalami diri sebagai bagian integral RI. Beberapa tahun setelah kemerdekaan, bentuk negara kesatuan mulai dirongrong. Ada pihak tertentu yang ingin melepaskan diri dari RI, seperti Aceh dan Maluku selatan. Mereka merasakan Republik ini sebagai tempat tinggal mereka yang sebenarnya. Dari sisi lain, RI berambisi memperluas wilahnya dengan "mencaplok" kawasan yang bertangga RI, seperti Timor Timur (sekarang Timor Timur telah merdeka dan mengenakan nama Loro Sae!) dengan alasan-alasan  yang kebenarannya masih perlu dikaji lebih mendalam.
     Berkenaan dengan bentuk dan sistem pemerintahan kesatuan, muncul pendapat-pendapat berbeda.
1. ada pihak yang beranggapan bahwa bentuk pemerintahan negara kesatuan yang kaku ini sudah saatnya ditinjau ulang. Alasannya, birokrasi selama ini tidak menyalurkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sistem pemerintahan federal sudah saatnya diterapkan di Indonesia.
2. Ada pihak yang tetap berpendangan bahwa sistem pemerintahan yang menekankan kesatuan masih diperlukan oleh bangsa kita. Suara ini umumnya muncul dari kalangan pemegang tampuk pemerintahan.
     Haruskah kesatuan dan persatuan dipertahankan dalam negara kita? Sebenarnya, tidak ada jawaban tunggal dan defenitif atas pertanyaan ini, karena berbagai kepentingan sosial., ekonomi, dan politik akan melatarbelakangi dan mewarnai jawaba? tidak sedikit daerah yang berkekayaan alam ?(seperti Aceh, Riau, Irian jaya) ingin melepaskan diri dari pemerintahan pusat di jakarta. Selama rezim Orba, kekayaan daerah tersebut telah disedot ke pusat. Pembagian kekayaan alam sama sekali tidak adil dan merata kalau dibandingkan dengan kebutuhan rakyat jelata. Secara nasional misalnya, Kalbar adalah penyumbang nasional kelima, namun provinsi ini hanya menempati peringkat ke-25 dari urutan daerah termakmur di Indonesia. Pembangunan di banyak daerah merana. Hidup dan perkembangan daerah ditelantarkan. Kriteria apakah yang diterapkan oleh pusat dalam pembangunan dan pengembangan daerah? Rakyat jelata merasa dikibuli dan dibohongi oleh mereka yang pintar memainkan angka-angka dalam RAPBN. Sistem pemerintahan yang memiskinkan dan menyengsarakan hidup rakyat jelata di daerah akan digugat terus-menerus oleh mereka yang sebenarnya lebih berhak menikmati kekayaan alam. Tak heran, kalau sistem pemerintahan yang menjunjung tinggi kesatuan dan persatuan akan menjadi persoalan dalam nusa dan bangsa kita.
     Kesatuan ini akan terus menerus menjadi bahan diskusi dan masalah sosial dalam negara yang serba majemuk. Dapatkah kesatuan ini dipertahankan terus kalau keadilan sosial dalam arti luas (dalam bidang hukum, politik, ekonomi, kebudayaan) tidak terwujud di tengah-tengah masyarakat? Akankah "balkanisasi ala kita" melanda negara kita di hari-hari mendatang? Pertanyaan ini perlu diantisipasi sejak sekarang sambil memperhatikan keadaan yang sedang berkembang.
IV. Menuju Indonesia Reformatif
    Sejak tragedi kemanusiaan 13-14 Mei 1998, sejumlah anak bangsa meneriakkan ferormasi hidup berbangsa dan bernegara. Dalam banyak bidang, keadaan negara kita kacau setelah rezim Orba selama 30-an tahun. Tampaknya tidak sedikit perilaku yang bertentangan dengan Pancasila dibiarkan berkembang. Pelanggaran HAM sejak kelahiran Orba (kasus penumpasan G 30 S/PKI/Peraku) telah menelan begitu banyak nyawa manusia. Pertumpahan dara terus mencemarkan ibu pertiwi. Kekerasan, kekejaman dan penindasan diskriminatif masih mewarnai seluruh negeri kita. Korupsi besar-besaran mewarnai seluruh republik ini. Tak heran editorial salah satu media dalam negara kita pernah mencap reformasi kita mati muda. "hari-hari ini bangsa kita kembali mengenang tragedi Mei, tetapi dalam realitas yang pahit, sangat pahit. Sangat pahit dan sangat getir yaitu, reformasi sesungguhnya sudah mati muda. Pengorbanan mahasiswa telah menjadi kesia-siaan sejarah karena elite kekuasaan baru yang dihasilkan mereka gagal mengemban tugas reformasi". Secara tak langsung terjadi penghianatan terhadap nilai-nilai dasar yang dicita-citakan olehg para arsitek negara kita.  Tanpa melupakan kemajuan pembangunan fisik, negara kita memang menderita akibat penghianatan atas nilai-nilai dasar dalam pancasila
     Kini masyarakat mendambakan kelahiran Indonesia reformatif yang sungguh konsisten dengan konsensus awal pendirian negara kita. Indonesia non-reformasi tampil sebagai juara dunia dalam bidang korupsi, salah satu negara penggar HAM yang terampil, negara yang menyuburkan benih kebencian antar golongan dengan membakar dan merusak rumah ibadaht, membangkitkan kembali politik kolonial. SARA menjadi konsumsi kekuasaan. "Domba" yang diadu biasanya rakyat jelata, sederhana, penganggur, buta huruf, tak berpendidikan dan saling membutuhkan duit. Indonesia ini hanya menganggap diri sebagai "pengemis" yang menyeleweng dana-dana pinjaman luar negeri. Nama harum Indonesia diperjualbelikan. Kocek jumlah pejabat dan kroninya makin tebal, sementara itu rakyat jelata harus mengadu untung dari hari kehari, tanpa masa depan yang menjanjikan.
    "Indonesia non-reformasi" memiliki suasana sosial yang terkadang lebih memprihatinkan kalau dibandingkan dengan zaman penjajahan. Hingga kini menjadi teka-teki tentang jumlah korban keganasan dan kekejian para perebut kauasa dalam era transisi dari Orla ke Orba. Hanya sang Khalik yang mengetahui semua rahasia yang masih disembunyikan anak-anak manusia. Namun, saksi hidup kekejaman penguasa waktu itu masih bisa dihubungi. Tak heran, negra kita termasuk salah satu unggulan dalam bidang pelanggaran HAM, khususnya dalam rezim-rezim terdahulu.
     Mengapa kita perlukan Indonesia reformatif? reformasi dan transpormasi sosial merupakan tuntutan kodrati setiap manusia hidup, tinggal, dan bekerja di Indonesia. Tanpa reformasi, masa depan dan penderitaan bangsa kita akan bertambah parah. berikut ini dipaparkan beberapa ciri "Indonesia reformatif".
1. Kembali ke cita-cita dasar perjuangan para pendiri Republik seperti yang tertuang dalam pada pembukaan UUD 1945, Pancasila, dan UUD 1945 yang telah diamandemen sesuai aspirasi rakyat Indonesia. Tatanan sosial masyarakat yang serba majemuk perlu mendapat perhatian dalam konteks penerapan cita-cita dasar UUD 1945. Indonesia sama sekali bukan negara liar yang dapat diatur sesuka hati oleh mereka yang kebetulan berkuasa untuk periode waktu tertentu.
2. Supremasi hukum positif adalah ciri khas "Indonesia reformatif" yang beridentitassebagai negara hukum (bukan negara undang-undang). Hukum tidak ;lagi dipermainkan atau diperjualbelikan. Komersialisasi hukum hanya merendahkan kedudukan hukum dan penegak hukum. Mmempermainkan hukum berarti menghianati sumpah jabatan sebagai aparat penegak hukum. Tanpa pandang bulu, yang salah harus ditindak dan yang tidak bersalah jangan dikambinghitamkan.
3. Wujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam semua bidang kehidupan, seperti hukum positif, agama, ekonomi, sosial, budaya dan politik. Bangsa kita sedang menantikan keadilan yang sesungguhnya dan bukan keadilan semu yang sangat membingungkan masyarakat. Contoh kasus: seorang petani yang mencuru seekor ayam dijatuhi hukuman penjara selama tiga bulan, sementara itu seorang pencuru uang negara hingga bermiliaran dan bertriliuanan rupiah luput dari hukuman penjara. Di mana letak keadilan dalam suatu negara yang mengaku diri sebagai negara hukum?
4. "Indonesia reformatif" tidak meneruskan (apalagi menyuburkan!) mentalitas feodal. Hak-hak asasi manusia diinjak demi kepentingan kelompok penguasa. Mereka yang miskin dan tertindas tidak pernah hidup dengan lebih baik  dan terlepas dari belenggu kolonial semu.
"Indonesia reformatif" adalah Indonesia sunggu meninggalkan semangat dan prinsip penjajahan dan penginjakan hak asasi orang-orang lain dalam bentuk apa pun.
     Bagaimanakah bisa terjadi perubahan dan perbaikan dalam hidup sosial sehingga "Indonesia reformatif" yang masih diimpikan dapat menjadi suatu kenyataan? Sebuah reformasi dan transpormasi diri manusia Indonesia sangat diperlukan. Manusia Indonesia yang baru memiliki kepekaan akan tanggung jawab atas nusa dang bangsa. Uang negara yang sudah dikorupsi seharusnya dikembalikan ke kas negara atau disampaikan kepada yang sebenarnya berhak menerima dan menggunakan uang itu. Didambakan bahwa manusia reformatif memiliki kepekaan dan akan tanggung jawab sebagaimana semestinya. Harta benda hasil KKN diserahkan kepada nusa dan bangsa. Yang mengalami dan menganggap diri sebagai manusia Indonesia seharusnya menjadi orang Indonesia yang sungguh pea akan kebobrokan sosial yang sedang merongrong kehidupan masyarakat. Manusia Indonesia yang sejati biasanya tidak menganggap diri lebih nasionalis daripada yang lain, tetapi sungguh berusaha bersama-sama untuk, antara lain memperbaiki keadaan hidup masyarakat dalam berbagai bidang hidup manusia.
     Ketahanan dan kekuatan kesatuan negara kita akan lestari kalau cita-cita dasar dan autentik Republik ini diwujudkan secara adil, tanpa diskriminasi, dan benar menurut pandngan semua pihak. Kalau tidak, ketahanan dan kekuatan "kesatuan" negara kita tetap menjadi sebuah teka-teki hari ini, esok dan seterusnya. "kesatuan" dalam Republik ini, dari satu sisi, dapat mendatangkan hikmah bagi seluruh bangsa kalau dilaksanakan dalam bingkai solidaritas nasional yang berdasarkan keadilan yang dapat diterima oleh semua pihak. "kesatuan" dalam Republik ini dari sisi lain, dapat memicu perpecahan bangsa kalau pemegang roda pemerintahan dan pihak legislatif bersikap diskriminatif, tidak mendahulukan asas keadilan, dan tidak sungguh menghargai suara rakyat dari bawah melainkan hanya suara yang seakan-akan "representatif" yang keluar dari ruang DPR.