Dalam lontara’ tersebut diketahui bahwa setelah habisnya
turunan Puatta Menre’E ri Galigo, keadaan negeri-negeri diwarnai dengan
kekacauan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya arung (raja) sebagai pemimpin
yang mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat. Terjadilah perang
kelompok-kelompok anang (perkauman) yang berkepanjangan (Bugis = Sianre bale).
Kelompok-kelompok masyarakat saling
bermusuhan dan berebut kekuasaan. Kelompok yang kuat menguasai kelompok yang
lemah dan memperlakukan sesuai kehendaknya. Keadaan yang demikian itu, dalam
Bahasa Bugis disebut SIANRE BALE (saling memakan bagaikan ikan). Tidak ada lagi
adat istiadat, apalagi norma-norma hukum yang dapat melindungi yang lemah.
Kehidupan manusia saat itu tak ubahnya binatang di hutan belantara, saling
memangsa satu sama lain.
Menurut catatan lontara’, keadaan
yang demikian itu berlangsung kurang lebih tujuh pariyama lamanya. Menurut
hitungan lama, satu pariyama mungkin sama dengan 100 tahun. Jadi kalau mengacu
pada perhitungan ini maka dapat dipastikan bahwa turunan Puatta MenreE ri
Galigo telah hilang 700 tahun yang lalu. Bone dan negeri-negeri sekitarnya
mengalami kekacauan yang sangat luar biasa. Wallahu a’lam bissawab.
Adapun awal datangnya seorang arung
(raja) di Bone yang dikenal dengan nama ManurungE ri Matajang Mata SilompoE,
ditandai dengan gejala alam yang menakutkan dan mengerikan. Terjadi gempa bumi
yang sangat dahsyat, kilat dan guntur sambar menyambar, hujan dan angin puting
beliung yang sangat keras.
Setelah keadaan itu reda dan sangat
tak terduga, tiba-tiba di tengah lapangan yang luas kelihatan ada orang berdiri
dengan pakaian serba putih. Karena tidak diketahui dari mana asal usulnya, maka
orang menyangkanya To Manurung yaitu manusia yang turun dari langit. Orang banyak
pun pada datang untuk mengunjunginya.
Adapun kesepakatan orang yang
menganggapnya sebagai To Manurung adalah untuk mengangkatnya menjadi arung
(raja) agar ada yang bisa memimpin mereka. Orang banyak berkata ; ”Kami semua
datang ke sini untuk meminta agar engkau jangan lagi mallajang (menghilang).
Tinggallah menetap di tanahmu agar engkau kami angkat menjadi arung (raja).
Kehendakmu adalah kehendak kami juga, perintahmu kami turuti. Walaupun anak
isteri kami engkau cela, kami pun mencelanya, asalkan engkau mau tinggal”.
Orang yang disangka To Manurung
menjawab ; ”Bagus sekali maksudmu itu, namun perlu saya jelaskan bahwa saya
tidak bisa engkau angkat menjadi arung sebab sesungguhnya saya adalah hamba
sama seperti engkau. Tetapi kalau engkau benar-benar mau mengangkat arung, saya
bisa tunjukkan orangnya. Dialah arung yang saya ikuti”.
Orang banyak berkata ; ” Bagaimana
caranya kami mengangkat seorang arung yang kami belum melihatnya?”.
Orang yang disangka To Manurung
menjawab ; ”Kalau benar engkau mau mengangkat seorang arung , saya akan
tunjukkan tempat – matajang (terang), disanalah arung itu berada”.
Orang banyak berkata ; ”Kami
benar-benar mau mengangkat seorang arung, kami semua berharap agar engkau dapat
menunjukkan jalan menuju ke tempatnya”.
Orang yang disangka To Manurung
(konon bernama Pua’ Cilaong dari Bukaka), mengantar orang banyak tersebut
menuju kesuatu tempat yang terang dinamakan Matajang (berada dalam kota
Watampone sekarang).
Gejala alam yang mengerikan tadi
kembali terjadi. Guntur dan kilat sambar menyambar, angin puting beliung dan
hujan deras disusul dengan gempa bumi yang sangat dahsyat. Setelah keadaan
reda, nampaklah To Manurung yang sesungguhnya duduk di atas sebuah batu besar
dengan pakaian serba kuning. To Manurung tersebut ditemani tiga orang yaitu ;
satu orang yang memayungi payung kuning, satu orang yang menjaganya dan satu
orang lagi yang membawa salenrang.
To Manurung berkata ; ”Engkau datang
Matowa?”
MatowaE menjawab ; ”Iyo, Puang”.
Barulah orang banyak tahu bahwa yang
disangkanya To Manurung itu adalah seorang Matowa. Matowa itu mengantar orang
banyak mendekati To Manurung yang berpakaian serba kuning.
Berkatalah orang banyak kepada To
Manurung ; ”Kami semua datang ke sini untuk memohon agar engkau menetap.
Janganlah lagi engkau mallajang (menghilang). Duduklah dengan tenang agar kami
mengangkatmu menjadi arung. Kehendakmu kami ikuti, perintahmu kami laksanakan.
Walaupun anak isteri kami engkau cela, kami pun mencelanya. Asalkan engkau
berkenan memimpin kami”.
To Manurung menjawab ; ”Apakah engkau tidak membagi hati dan
tidak berbohong?”
Setelah terjadi kontrak sosial
antara To Manurung dengan orang banyak, dipindahkanlah To Manurung ke Bone
untuk dibuatkan salassa (rumah). To Manurung tersebut tidak diketahui namanya
sehingga orang banyak menyebutnya ManurungE ri Matajang. Kalau datang di suatu
tempat dan melihat banyak orang berkumpul dia langsung mengetahui jumlahnya, sehingga
digelar Mata SilompoE.
ManurungE ri Matajang inilah yang
menjadi Mangkau’ (raja) pertama di Bone. ManurungE ri Matajang kemudian kawin
dengan ManurungE ri Toro yang bernama We Tenri Wale. Dari perkawinan itu
lahirlah La Ummasa dan We Pattanra Wanuwa, lima bersaudara.
Adapun yang dilakukan oleh ManurungE
ri Matajang setelah diangkat menjadi Mangkau’ di Bone adalah – mappolo leteng
(menetapkan hak-hak kepemilikan orang banyak), meredakan pula segala bentuk
kekerasan dan telah lahir yang namanya bicara (adat). ManurungE ri Matajang
pula yang membuat bendera kerajaan yang bernama WoromporongE.
Setelah genap empat pariyama
memimpin orang Bone, dikumpulkanlah seluruh orang Bone dan menyampaikan ;
”Duduklah semua dan janganlah menolak anakku La Ummasa untuk menggantikan
kedudukanku. Dia pulalah nanti yang melanjutkan perjanjian antara kita”.
Hanya beberapa saat setelah
mengucapkan kalimat itu, kilat dan guntur sambar menyambar. Tiba-tiba ManurungE
ri Matajang dan ManurungE ri Toro menghilang dari tempat duduknya. Salenrang
dan payung kuning turut pula menghilang membuat seluruh orang Bone pada heran.
Oleh karena itu diangkatlah anaknya yang bernama La Ummasa menggantikannya
sebagai arung (Mangkau’) di Bone.
Dialah yang menggantikan La Ubbi
ManurungE ri Matajang sebagai Mangkau’ di Bone. Setelah La Ummasa meninggal
maka digelarlah To Mulaiye Panreng (orang yang mula-mula dikuburkan). Mangkau’
ini hanya dinaungi dengan kaliyao (tameng) kalau dia bepergian untuk melindungi
dari teriknya matahari. Hal ini dilakukan karena tidak ada lagi payung di Bone.
La Ummasa digelar pula Petta Panre
BessiE (pandai besi) karena dialah yang mula-mula menciptakan alat-alat dari
besi di Bone. Di samping itu La Ummasa sangat dicintai oleh rakyatnya karena
memiliki berbagai kelebihan seperti ; daya ingatnya tajam, penuh perhatian,
jujur, adil dan bijaksana.
Saudara perempuannya yang bernama We
Pattanra Wanuwa kawin dengan Arung Palakka yang bernama La Pattikkeng. Konon La
Ummasa pernah bermusuhan dengan iparnya selama tiga bulan dan tidak ada yang
kalah. Akhirnya berdamai kembali dan keduanya menyadari bahwa permusuhan tidak
akan membawa keuntungan. Untuk memperluas wilayah pemerintahannya, La Ummasa
menaklukkan wilayah-wilayah sekitarnya, seperti ; Anro Biring, Majang, Biru,
Maloi dan Cellu.
La Ummasa tidak memiliki putra
mahkota yang kelak bisa menggantikan kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone. Dia
hanya memiliki anak perempuan,To Suwalle dan To Sulewakka dari isterinya yang
berasal dari orang biasa atau bukan turunan bangsawan. Oleh karena itu, setelah
dia tahu bahwa We Pattanra Wanuwa akan melahirkan, La Ummasa menyuruh anaknya
pergi ke Palakka ke rumah saudaranya We Pattanra Wanuwa yang diperisterikan
oleh Arung Palakka yang bernama La Pattikkeng.
Kepada anaknya To Suwalle dan To
Sulewakka, La Ummasa berpesan ; ”Kalau Puammu telah melahirkan, maka ambil anak
itu dan bawa secepatnya kemari. Nanti di sini baru dipotong ari-arinya dan
ditanam tembuninya”.
Tidak berapa lama setelah To Suwalle
dan To Sulewakka tiba di istana We Pattanra Wanuwa, lahirlah anak laki-laki
yang sehat dan memiliki rambut yang tegak ke atas (Bugis : karang) sehingga
dinamakan Karampeluwa. Ketika anaknya dibawa ke Bone, Arung Palakka tidak ada
di tempat dan tindakan itu menyakitkan hatinya.
Sesampainya di istana Arumpone, bayi
tersebut barulah dipotong ari-arinya dan dicuci darahnya. Bayi itu dipelihara
oleh saudara perempuan Arumpone yang bernama We Samateppa.
Arumpone La Ummasa mengundang
seluruh rakyatnya untuk datang berkumpul dan membawa senjata perang. Keesokan
harinya berkumpullah seluruh rakyat lengkap dengan senjata perangnya.
Dikibarkanlah bendera WoromporongE dan turunlah Arumpone di Baruga menyampaikan
; ”Saya undang kalian untuk mendengarkan bahwa saya telah mempunyai anak
laki-laki yang bernama La Saliyu Karampeluwa. Mulai hari ini saya menyerahkan
kedudukan saya sebagai Arumpone. Dan kepadanya pula saya serahkan untuk
melanjutkan perjanjian yang pernah disepakati antara Puatta ManurungE ri
Matajang dengan orang Bone”. Seluruh orang Bone mengiyakan kemudian mangngaru
(mengucapkan sumpah setia).
Dilantiklah La Saliyu Karampeluwa
oleh pamannya La Ummasa menjadi Arumpone. Acara pelantikan itu berlangsung
selama tujuh hari tujuh malam. Dalam acara itu pula nariule sulolona (selamatan
atas lahirnya) dan ditanam tembuninya. Setelah itu dinaikkanlah La Saliyu
Karampeluwa ke LangkanaE (istana).
Sejak dilantiknya La Saliyu
Karampeluwa menjadi Arumpone, maka setiap La Ummasa akan bepergian selalu
menyampaikan kepada pengasuhnya dalam hal ini saudaranya sendiri yang bernama
We Samateppa.
Suatu saat La Ummasa sakit keras
yang menyebabkan ia meninggal dunia, maka digelarlah ; La Ummasa Mulaiye
Panreng (orang mula-mula dikuburkan).
Raja Bone III "La Saliyu Karampeluwa"
Dialah
yang menggantikan pamannya menjadi Arumpone. Kedudukannya ini diterima dari
pamannya sejak berusia satu malam (masih bayi). Kalau ada sesuatu yang akan
diputuskan maka To Suwalle yang memangkunya menjadi juru bicaranya. Kemudian
yang bertindak selaku Makkedang Tana adalah To Sulewakka.
Ketika
memasuki usia dewasa, barulah La Saliyu Karampeluwa mengunjungi orang tuanya di
Palakka. Sesampainya di Palakka, kedua orang tuanya sangat gembira dan
diberikanlah pusakanya yang menjadi miliknya, juga Pasar Palakka. Sejak itu
orang tidak lagi berpasar di Palakka tapi pindah ke Bone.
La
Saliyu Karampeluwa dikawinkan oleh orang tuanya dengan sepupunya yang bernama
We Tenri Roppo anak pattola (putri mahkota) Arung Paccing. Dari perkawinan itu
lahirlah We Banrigau atau Daeng Marowa, We Pattana Daeng Mabela yang digelar
MakkaleppiE kemudian menjadi Arung Majang. Sementara bagi orang Bukaka,
sebahagian dibawa ke Majang. Mereka itulah yang menjadi rakyat MakkaleppiE yang
mendirikannya Sao LampeE di Bone, yang diberi nama Lawelareng. Oleh karena itu,
maka digelarlah MakkaleppiE – Massao LampeE Lawelareng. Bagi orang banyak menyebutnya
; Puatta Lawelareng.
Pada
masa pemerintahannya, La Saliyu Karampeluwa sangat dicintai oleh rakyatnya
karena memiliki sifat-sifat ; rajin, jujur, cerdas, adil dan bijaksana. Ia juga
dikenal pemberani dan tidak pernah gentar menghadapi musuh. Konon sejak masih
bayi tidak pernah terkejut bila mendengarkan suara-suara aneh atau suara-suara
besar.
La
Saliyu Karampeluwa pulalah yang memulai mengucapkan ada passokkang (mosong /
angngaru) terhadap musuh, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh arung-arung
terdahulu seperti yang tercatat dalam Galigo. Ia pula yang membuat bate
(bendera) yang bernama ; CellaE ri abeo dan CellaE ri atau (Merah di sebelah
kiri dan Merah di sebelah kanan WoromporongE).
Pada
saat itu orang Bone terbagi atas tiga bahagian dan masing-masing bahagian
bernaung di bawah bendera tersebut. Yang bernaung di bawah bendera WoromporongE
adalah Arumpone sendiri dan orang Majang sebagai pembawanya. Yang bernaung di
bawah bendera CellaE ri atau adalah orang Paccing, Tanete, Lemolemo, Melle,
Macege, Belawa pembawanya adalah Kajao Paccing. Sedangkan yang bernaung di
bawah bendera CellaE ri abeo adalah orang Araseng, Ujung, Ta’, Katumpi,
Padaccengnga, Madello, pembawanya adalah Kajao Araseng.
Untuk
memperluas wilayah kerajaannya, La Saliyu Karampeluwa menaklukkan negeri-negeri
sekitarnya seperti ; Pallengoreng, Sinri, Anro Biring, Melle, Sancereng,
Cirowali, Bakke, Apala, Tanete, Attang Salo, Soga, Lampoko, Lemoape, Bulu
Riattang Salo, Parigi, Lompu. Pada masa pemerintahannya dia mempersatukan orang
Bone dengan orang Palakka yang membuat Palakka sebagai wilayah bawahan dari
Bone.
Beberapa
negeri berikutnya menyatakan diri bernaung di bawah pemerintahannya, seperti ;
LimampanuwaE ri Alau Ale’ (Lanca, Otting, Tajong, Ulo dan Palongki). Datang
pula Arung Baba UwaE yang bernama La Tenri Waru menemui menantunya menyatakan
bernaung di bawah Kerajaan Bone. Begitu pula Arung Barebbo dan Arung Pattiro
yang bernama La Paonro menemui iparnya menyatakan bernaung di bawah Kerajaan
Bone, juga Arung Cina, Ureng dan Pasempe.
Arung
Kaju yang bernama La Tenri Bali di samping datang untuk menyatakan diri
bergabung dengan Bone, sekaligus melamar anak Arumpone yang bernama We Banrigau
dan dutanya diterima.
Selanjutnya
Arung Ponre, LimaE Bate ri Attangale’, AseraE Bate ri Awangale’ datang
bergabung dengan Bone. Boleh dikata pada saat pemerintahannya, seluruh wilayah
disekitarnya menyatakan diri bergabung dengan Bone.
La
Saliyu Karampeluwa dikenal sangat mencintai dan menghormati kedua orang tuanya.
Hamba sendirinya dikeluarkan dari Saoraja dan ditempatkan di Panyula. Sementara
hamba yang didapatkan setelah menjadi Arumpone di tempatkan di Limpenno. Orang
Panyula dan orang Limpennolah yang mempersembahkan ikan. Dia pula yang menjadi
pendayung perahunya dan pengusungnya jika Arumpone bepergian jauh.
Setelah
genap 72 tahun menjadi Mangkau’ di Bone, dikumpulkanlah seluruh orang Bone dan
menyampaikan bahwa ;
”Saya
mengumpulkan kalian untuk memberitahukan bahwa mengingat usia saya sudah tua
dan kekuatan saya sudah semakin melemah, maka saya bermaksud untuk memindahkan kekuasaan
saya sebagai Mangkau’ di Bone. Pengganti saya adalah anak saya yang bernama We
Banrigau Daeng Marowa yang digelar MakkaleppiE”.
Mendengar
itu, semua orang Bone menyatakan setuju. Maka dikibarkanlah bendera
WoromporongE. Setelah itu berkata lagi Arumpone ; ”Di samping saya menyerahkan
kekuasaan, juga saya serahkan perjanjian yang telah disepakati oleh orang Bone
dengan Puatta Mulaiye Panreng untuk dilanjutkan oleh anak saya”.Setelah orang
Bone kembali, hanya satu malam saja Arumpone meninggal dunia.
Anak
La Saliyu Karampeluwa dengan isterinya We Tenri Roppo Arung Paccing, adalah ;
We Banrigau Daeng Marowa MakkaleppiE kawin dengan sepupunya yang bernama La
Tenri Bali Arung Kaju. Dari perkawinan itu lahirlah La Tenri Sukki, La Panaungi
To Pawawoi Arung Palenna, La Pateddungi To Pasampoi, La Tenri Gora Arung Cina
juga Arung di Majang, La Tenri Gera’ To Tenri Saga, La Tadampare (meninggal
dimasa kecil), We Tenri Sumange’ Da Tenri Wewang, We Tenri Talunru Da Tenri
Palesse.
Adapun
anak La Saliyu Karampeluwa dari isterinya yang bernama We Tenro Arung Amali
yaitu La Mappasessu kawin dengan We Tenri Lekke’.
La
Saliyu Karampeluwa tiga bersaudara. Saudara perempuannya yang bernama We Tenri
Pappa kawin dengan La Tenri Lampa Arung Kaju melahirkan La Tenri Bali (suami We
Banrigau), sedangkan saudara perempuannya yang bernama We Tenri Roro kawin
dengan La Paonro Arung Pattiro, lahirlah La Settia Arung Pattiro yang selanjutnya
kawin dengan We Tenri Bali.
We Banrigau Daeng Marowa MakkaleppiE
menggantikan ayahnya La Saliyu Karampeluwa sebagai Mangkau’ di Bone. We
Banrigau digelar pula Bissu Lalempili dan Arung Majang. Ketika menjadi Mangkau’
di Bone, We Banrigau menyuruh Arung Katumpi yang bernama La Datti untuk membeli
Bulu’ Cina (gunung Cina) senilai 90 ekor kerbau jantan. Akhirnya gunung yang
terletak di sebelah barat Kampung Laliddong itu benar-benar dibelinya. Kemudian
disuruhlah Arung Katumpi untuk menempati gunung tersebut dan sekaligus
menjaganya. Karena jennang (penjaga) gunung Arumpone dibunuh oleh orang
Katumpi, maka digempurlah Katumpi oleh orang Bone sehingga dirampaslah sawahnya
yang ada di sebelah timur dan barat Kampung Laliddong. Saudaranya yang bernama
La Tenri Gora itulah yang diserahkan Majang dan Cina, maka La Tenri Gora
disebut sebagai Arung Majang dan Arung Cina. Sedangkan anak pertamanya yang
bernama La Tenri Sukki dipersiapkan untuk menjadi Mangkau’ di Bone.
Setelah kurang lebih 18 tahun
lamanya dipersiapkan untuk memangku Kerajaan di Bone, maka dilantiklah La Tenri
Sukki menjadi Mangkau’ di Bone dan menempati Saoraja Bone. MakkaleppiE bersama
anak bungsunya yang bernama La Tenri Gora memilih untuk bertempat tinggal di
Cina.
Suatu saat ketika berada di Cina,
MakkaleppiE naik ke atas loteng rumahnya. Tiba-tiba ada api yang menyala di
atas loteng (menurut keyakinan orang disebut = api dewata). Setelah api itu
padam, maka MakkaleppiE tidak nampak lagi di tempat duduknya. Oleh karena itu,
We Banrigau Daeng Marowa dinamakan MallajangE ri Cina.
La Tenri Sukki yang menggantikan
ibunya sebagai Arumpone kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenri
Songke, anak dari La Mappasessu dengan We Tenri Lekke. Dari perkawinan ini
lahirlah La Uliyo Bote’E. La Panaongi To Pawawoi yang kemudian menjadi Arung
Palenna. La Panaongi kawin dengan We Tenri Esa’ Arung Kaju saudara perempuan We
Tenri Songke. Dari perkawinan ini lahirlah La Pattawe Daeng Sore MatinroE ri
Bettung.
Anak La Tenri Sukki yang lain adalah
; La Pateddungi To Pasampoi kawin dengan We Malu Arung Toro melahirkan anak
perempuan yang bernama We Tenri Rubbang Arung Pattiro. La Tenri Gera’ To Tenri
Saga MacellaE Weluwa’na menjadi Arung di Timpa. Inilah yang kemudian kawin
dengan We Tenri Sumpala Arung Mampu, anak dari La Potto To Sawedi Arung Mampu
Riaja dengan isterinya We Cikodo Datu Bunne. Dari perkawinan ini lahirlah We
Mappewali I Damalaka. Inilah yang kawin dengan anak sepupunya yang bernama La
Gome To Saliwu Riwawo, lahirlah La Saliwu Arung Palakka dan juga Maddanreng di
Mampu. La Saliwu kemudian kawin dengan MassalassaE ri Palakka yang bernama We
Lempe, lahirlah La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng.
Selanjutnya La Tenri Sukki
melahirkan La Tadampare (meninggal dimasa kecil). Berikutnya We Tenri Sumange I
Da Tenri Wewang kawin dengan La Tenri Giling Arung Pattiro MaggadingE anak dari
La Settia Arung Pattiro dengan isterinya We Tenri Bali. Lahirlah We Tenri
Wewang DenraE yang kemudian kawin dengan sepupunya La Uliyo Bote’E.
Anak berikutnya adalah We Tenri
Talunru I Da Tenri Palesse. Kemudian We Tenri Gella kawin dengan La Malesse Opu
Daleng Arung Kung. Lahirlah We Tenri Gau yang kemudian kawin dengan La Uliyo
Bote’E, lahirlah We Temmarowe Arung Kung. Inilah yang kawin dengan La Polo Kallong
anak La Pattanempunga, turunan ManurungE ri Batulappa
------------------------------------------------------------------ Sumber Teluk Bone
------------------------------------------------------------------ Sumber Teluk Bone
Inilah Mangkau’ di Bone yang diserang oleh Datu Luwu yang
bernama Dewa Raja yang digelar Batara Lattu. Mula-mula orang Luwu mendarat di
Cellu dan disitulah membuat pertahanan. Sementara orang Bone berkedudukan di
Biru-biru.
Adapun taktik yang dilakukan oleh
orang Bone adalah memancing orang Luwu dengan beberapa perempuan. Pancingan ini
berhasil mengelabui orang Luwu sehingga pada saat perang berlangsung orang Luwu
yang pada mulanya menyangka tidak ada laki-laki, bersemangat menghadapi perempuan-perempuan
tersebut. Namun dari belakang muncul laki-laki dengan jumlah yang amat banyak,
sehingga orang Luwu berlarian ke pantai untuk naik ke perahunya. Dalam perang
itu orang Bone berhasil merampas bendera orang Luwu.
Setelah perang selesai, Arumpone dan
Datu Luwu mengadakan pertemuan. Arumpone mengembalikan payung warna merah itu
kepada Datu Luwu, tetapi Datu Luwu mengatakan ; ”Ambillah itu payung sebab
memang engkaulah yang dikehendaki oleh DewataE (Tuhan) untuk bernaung di
bawahnya. Walaupun bukan karena perang engkau ambil, saya akan tetap berikan.
Apalagi saya memang memiliki dua payung”. Mulai dari peristiwa itu , La Tenri
Sukki digelar MappajungE (memakai payung).
Selanjutnya La Tenri Sukki
mengadakan lagi pertemuan dengan Datu Luwu To Serangeng Dewa Raja dan lahirlah
suatu perjanjian yang bernama ; Polo MalelaE ri Unynyi (gencatan senjata di
Unynyi).
Dalam perjanjian ini Arumpone La
Tenri Sukki berkata kepada Datu Luwu ; ”Alangkah baiknya kalau kita saling
menghubungkan Tanah Bone dengan Tanah Luwu”. Dijawab oleh Datu Luwu ; ”Baik sekali
pendapatmu itu, Arumpone”.
Merasa ajakannya disambut
baik,Arumpone berkata ; ”Kalau ada yang keliru, mari kita saling mengingatkan –
kalau ada yang rebah mari kita saling menopang – dua hamba satu Arung –
tindakan Luwu adalah tindakan Bone – tindakan Bone adalah tindakan Luwu – baik
dan buruk kita bersama – tidak saling membunuh – saling mencari kebaikan –
tidak saling mencurigai – tidak saling mencari kesalahan – walaupun baru satu
malam orang Luwu berada di Bone, maka menjadilah orang Bone – walaupun baru
satu malam orang Bone berada di Luwu, maka menjadilah orang Luwu – bicaranya
Luwu, bicaranya Bone – bicaranya Bone, bicaranya Luwu – adatnya Luwu, adatnya
juga Bone, begitu pula sebaliknya – kita tidak saling menginginkan emas murni
dan harta benda – barang siapa yang tidak mengingat perjanjiannya, maka dialah
yang dikutuk oleh Dewata SeuwaE sampai kepada anak cucunya – dialah yang hancur
bagaikan telur yang jatuh ke batu –”
Kalimat ini diiyakan oleh Datu Luwu
To Serangeng Dewa Raja. Perjanjian ini bernama ”Polo MalelaE ri Unynyi” karena
terjadi di Kampung Unynyi. Kemudian keduanya kembali ke negerinya.
Dimasa pemerintahan La Tenri Sukki,
pernah pula terjadi permusuhan antara orang Bone dengan orang Mampu.
Pertempuran terjadi di sebelah selatan Itterung, diburu sampai di kampungnya.
Arung Mampu yang bernama La Pariwusi kalah dan menyerahkan persembahan kepada
Arumpone. Arung Mampu berkata ; ”Saya serahkan sepenuhnya kepada Arumpone,
asalkan tidak menurunkan saya dari pemerintahanku”.
Arumpone menjawab ; ”Saya akan
mengembalikan persembahanmu dan saya akan mendudukkanmu sebagai Palili (wilayah
bawahan) di Bone. Akan tetapi engkau harus berjanji untuk tidak berpikir jelek
dan jujur sebagai pewaris harta benda”. Sesudah itu, dilantiklah Arung Mampu
memimpin kampungnya dan kembalilah Arumpone ke Bone.
La Tenri Sukki menjadi Mangkau’ di
Bone selama 20 tahun, akhirnya menderita sakit. Dikumpulkanlah seluruh orang
Bone dan menyampaikan ; ”Saya sekarang dalam keadaan sakit, apabila saya wafat
maka yang menggantikan saya adalah anakku yang bernama ; La Uliyo”. Setelah
pesan itu disampaikan, ia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Anak La Tenri Sukki dari isterinya
We Tenri Songke, adalah ; La Uliyo Bote’E kawin dengan sepupunya yang bernama
We Tenri Wewang DenraE, anak saudara kandung La Tenri Sukki yang bernama We
Tenri Sumange’ dengan suaminya yang bernama La Tenri Giling Arung Pattiro
MaggadingE. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri Rawe BongkangE, La Inca, We
Lempe, We Tenri Pakkuwa.
Selain La Uliyo, ialah ; We Denra
Datu, We Sida (tidak disebutkan dalam lontara’ yang digulung).
We Sida Manasa kawin dengan La
Burungeng Daeng Patompo, anak dari La Panaongi To Pawawoi Arung Palenna dari
isterinya yang bernama We Mappasunggu. Dari perkawinan ini lahirlah anak
laki-laki yang bernama La Paunru Daeng Kelli.
La Uliyo Bote’E menggantikan ayahnya
La Tenri Sukki sebagai Mangkau’ di Bone. Digelar Bote’E karena dia memiliki
postur tubuh yang subur (gempal). Konon sewaktu masih kanak-kanak ia sudah
kelihatan besar dan kalau diusung, pengusung lebih dari tujuh orang.
La Uliyo dikenal suka menyabung
ayam, kawin dengan We Tenri Wewang DenraE anak Arung Pattiro MaggadingE dengan
isterinya We Tenri Sumange’.
Arumpone inilah yang pertama
didampingi oleh Kajao Laliddong. Dia pulalah yang mengadakan perjanjian dengan
KaraengE ri Gowa yang bernama Daeng Matanre. Dalam perjanjian tersebut
dijelaskan Sitettongenna SudengngE – Lateya Riduni di Tamalate ;
”Kalau ada kesulitan Bone, maka laut
akan berdaun untuk dilalui oleh orang Mangkasar. Kalau ada kesulitan orang
Gowa, maka gundullah gunung untuk dilalui orang Bone. Tidak saling mencurigai,
tidak saling bermusuhan Bone dengan Gowa, saling menerima dan saling memberi,
siapa yang memimpin Gowa, dialah yang melanjutkan perjanjian ini, siapa yang
memimpin Bone dialah yang melanjutkan perjanjian ini sampai kepada anak
cucunya. Barang siapa yang mengingkari perjanjian ini, pecahlah periuk nasinya
– seperti pecahnya telur yang jatuh ke batu”.
Arumpone inilah yang mengalahkan
Datu Luwu yang tinggal di Cenrana. Pada masa pemerintahannya pulalah Bone mulai
dikuasai oleh Gowa. Dalam lontara’ dijelaskan bahwa KaraengE ri Gowa duduk
bersama Arumpone di sebelah selatan Laccokkong.
Pada saat itu antara orang Bone
dengan orang Gowa saling membunuh. Kalau orang Gowa yang membunuh, maka
Arumpone yang mengurus jenazahnya. Begitu pula kalau orang Bone yang membunuh,
maka KaraengE ri Gowa yang mengurus jenazahnya. Arumpone ini pula yang menemani
KaraengE ri Gowa pergi meminta persembahan orang Wajo di Topaceddo.
Setelah genap 25 tahun menjadi
Mangkau’ di Bone, dikumpulkanlah seluruh orang Bone. Setelah semuanya
berkumpul, disampaikanlah bahwa ; ”Saya akan menyerahkan Akkarungeng ini kepada
anakku yang bernama La Tenri Rawe”. Mendengar pernyataan Arumpone tersebut,
seluruh orang Bone setuju. Maka dilantiklah anaknya menjadi Arumpone. Acara
pelantikan itu berlangsung meriah selama tujuh hari tujuh malam.
Karena kedudukannya sebagai Arumpone
telah diserahkan kepada anaknya, maka La Uliyo Bote’E hanya bolak balik antara
isterinya di Bone dengan isterinya di Mampu.
La Uliyo Bote’E pernah memarahi
kemenakannya yang bernama La Paunru dengan sepupunya yang menjadi Arung Paccing
yang bernama La Mulia. Keduanya pergi meminta bantuan kepada Kajao Laliddong
agar diminta maafkan. Tetapi sebelum rencana itu terlaksana, La Uliyo Bote’E
pergi ke Mampu untuk menyabung ayam. Tiba-tiba ia melihat kemenakannya dan
sepupunya membuat hatinya semakin dongkol. Ia pun segera kembali ke Bone.
La Paunru dan La Mulia berpendapat
lebih baik kita menyerahkan diri kepada Kajao Laliddong di Bone untuk
selanjutnya diminta maafkan kepada Bote’E. Makanya setelah Bote’E meninggalkan
Mampu, keduanya mengikut dari belakang.
Setelah sampai di Itterung, La Uliyo
Bote’E menoleh ke belakang, dilihatnya La Paunru bersama La Mulia berjalan
mengikutinya. Karena disangkanya La Paunru dan La Mulia berniat jahat
terhadapnya, maka ia pun berbalik menyerangnya. La Paunru dan La Mulia walaupun
tidak bermaksud melawan, namun karena terdesak oleh serangan La Uliyo akhirnya
keduanya terpaksa melawan. Dalam perkelahian tersebut, baik La Paunru maupun La
Uliyo tewas di tempat, sedangkan La Mulia dibunuh oleh orang yang datang
membantu La Uliyo.Sejak itu, digelarlah La Uliyo Bote’E MatinroE ri Itterung.
Adapun anak La Uliyo Bote’E dari
isterinya yang bernama We Tenri Wewang DenraE, adalah La Tenri Rawe BongkangE.
Inilah yang menggantikannya sebagai Mangkau’ di Bone. La Tenri Rawe kawin
dengan We Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE.
Anak berikutnya adalah La Inca,
dialah yang menggantikan saudaranya menjadi Mangkau’ di Bone. La Inca kawin
dengan janda saudaranya, We Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE.
Anaknya yang berikut, We Lempe yang
kawin dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Saliwu Arung Palakka, anak dari
We Mangampewali I Damalaka dengan suaminya La Gome. Dari perkawinan ini
lahirlah La Tenri Ruwa Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng.
Selanjutnya We Tenri Pakkuwa, kawin
dengan La Makkarodda To Tenri Bali Datu Mario. Sesudah We Tenri Pakkuwa adalah
We Danra MatinroE ri Bincoro. Tidak disebutkan turunannya dalam lontara’
Adapun anak La Uliyo Bote’E dari
isterinya yang bernama We Tenri Gau Arung Mampu adalah We Balole I Dapalippu.
Inilah yang kawin dengan paman sepupu ayahnya yang bernama La Pattawe Arung
Kaju MatinroE ri Bettung, anak dari saudara La Tenri Sukki MappajungE yang
bernama La Panaongi To Pawawoi Arung Palenna dengan isterinya We Tenri Esa’
Arung Kaju.
Sesudah We Balole adalah Sangkuru’
Dajeng Petta BattowaE Massao LampeE ri Majang. Dia digelar pula sebagai Arung
Kung, tidak disebutkan keturunannya dalam lontara’.
La Tenri Rawe BongkangE menggantikan
ayahnya La Uliyo Bote’E menjadi Arumpone. La Tenri Rawe kawin dengan We Tenri
Pakiu Arung Timurung MaccimpoE anak dari La Maddussila dengan isterinya We
Tenri Lekke.
La Tenri Rawe dengan isterinya Arung
Timurung melahirkan anak yang bernama ; La Maggalatung, inilah yang
dipersiapkan untuk menjadi putra mahkota menggantikan ayahnya sebagai Arumpone,
dia meninggal dunia semasa kecil. Yang kedua bernama ; La Tenri Sompa
dipersiapkan untuk menjadi Arung Timurung, tetapi juga meninggal karena dibunuh
oleh orang yang bernama Dangkali.
Ketika menjadi Mangkau’ di Bone, La
Tenri Rawe sangat dicintai oleh orang banyak karena memiliki sifat-sifat
seperti ; berbudi pekerti yang baik, jujur, dermawan, adil dan sangat
bijaksana. Dia tidak membedakan antara keluarganya yang memiliki turunan
bangsawan dengan keluarganya dari orang biasa.
Sebagai Arumpone, La Tenri Rawe yang
pertamalah membagi tugas-tugas (makkajennangeng) seperti: yang bertugas
mengurus jowa (pengawal), yang bertugas mengurus anak bangsawan dan yang
mengurus wanuwa.
Pada masa pemerintahannya pernah
dikunjungi oleh KaraengE ri Gowa masuk ke Bone untuk menyabung ayam. Dalam
pertarungan itu, ayam KaraengE ri Gowa terbunuh oleh ayam Arumpone dengan
taruhan seratus kati. Pada masa pemerintahannya pula seluruh orang Ajangale’
datang menggabungkan diri di Bone. Ditaklukkanlah Awo Teko, Attassalo dan
lain-lain.
TellumpoccoE juga datang
menggabungkan Babanna Gowa di Bone dan diterima kemudian didudukkanlah sebagai
daerah bawahan dari Bone. Hal ini membuat KaraengE ri Gowa marah dan menyusul
masuk ke Bone. Bertemulah orang Gowa dengan orang Bone di sebelah selatan Mare
dan berperang selama tujuh hari tujuh malam, baru berdamai. Jelaslah kekuasaan
orang Bone pada bahagian selatan Sungai Tangka ke atas.
Datu Soppeng Rilau yang diturunkan dari tahtanya datang ke Bone untuk minta perlindungan. Karena Datu Soppeng Rilau yang bernama La Makkarodda To Tenri Bali MabbeluwaE merasa terdesak. Tidak lama setelah berada di Bone, ia pun kawin dengan saudara Arumpone yang bernama We Tenri Pakkuwa. Dari perkawinannya itu lahir anak perempuan , We Dangke atau We Basi LebaE ri Mario Riwawo.
Datu Soppeng Rilau yang diturunkan dari tahtanya datang ke Bone untuk minta perlindungan. Karena Datu Soppeng Rilau yang bernama La Makkarodda To Tenri Bali MabbeluwaE merasa terdesak. Tidak lama setelah berada di Bone, ia pun kawin dengan saudara Arumpone yang bernama We Tenri Pakkuwa. Dari perkawinannya itu lahir anak perempuan , We Dangke atau We Basi LebaE ri Mario Riwawo.
Saudara Arumpone yang bernama We
Lempe kawin dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Saliwu Arung Palakka.
Dari perkawinannya itu melahirkan anak ; La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng
kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Dangke. La Tenri Ruwa adalah
nenek MatinroE ri Bontoala.
Suatu saat, Bone didatangi oleh Gowa
dan terjadilah perang di Cellu. Perang berlangsung selama lima hari lima malam
dan orang Gowa mundur. Dua tahun kemudian datang KaraengE ri Gowa untuk
menyerang lagi. Kali ini perang berlangsung selama tujuh hari tujuh malam.
Orang Gowa mengambil tempat pertahanan di Walenna, tetapi KaraengE ri Gowa tiba-tiba
terserang penyakit, maka ia harus kembali ke kampungnya. Konon, ketika sampai di
Gowa ia pun meninggal dunia.
Hanya kurang lebih dua bulan
kemudian, datang lagi KaraengE ri Gowa yang bernama Daeng Parukka yang
menggantikan ayahnya untuk kembali menyerang Bone. Mendengar bahwa Gowa
kembali, maka seluruh orang Ajangale’ dan orang Timurung datang membantu Bone.
Adapun Limampanuwa Rilau Ale’ berkedudukan di Cinennung.
Sementara orang Awampone
berkedudukan di Pappolo berdekatan dengan benteng pertahanan KaraengE ri Gowa.
Terjadilah perang yang sangat dahsyat. Orang Gowa menyerbu ke arah selatan,
membakar Kampung Bukaka dan Takke Ujung. Akhirnya Karaeng Gowa tewas terbunuh.
Daeng Padulung salah seorang
pembesar Gowa yang menjadi pemimpin perang nampaknya sudah kewalahan menghadapi
serangan orang Bone. Oleh karena itu Karaeng Tallo memerintahkan utusannya
untuk menemui Arumpone. Adapun yang disampaikan oleh utusan Karaeng Tallo
adalah ; ”Kami telah kehilangan dua Karaeng (pemimpin) yaitu satu tewas di
tempat tidur dan satu lagi tewas di lapangan. Tetapi sekarang kami menghendaki
kebaikan”.
Berkata Kajao Laliddong ; ”Kalau begitu pendapatmu, besok pagi saya akan menemui KaraengE”. Keesokan harinya keluarlah Kajao Laliddong selaku penasehat Arumpone untuk menemui KaraengE ri Tallo. Dalam pertemuannya itu, terjadilah kesepakatan mengangkat Daeng Patobo menjadi Karaeng ri Gowa.
Berkata Kajao Laliddong ; ”Kalau begitu pendapatmu, besok pagi saya akan menemui KaraengE”. Keesokan harinya keluarlah Kajao Laliddong selaku penasehat Arumpone untuk menemui KaraengE ri Tallo. Dalam pertemuannya itu, terjadilah kesepakatan mengangkat Daeng Patobo menjadi Karaeng ri Gowa.
Ketika menjadi Arumpone La Tenri
Rawe BongkangE pernah bertentangan dengan Datu Luwu yang bernama Sagariya
karena orang Luwu naik lagi ke Cenrana. Maka wanuwa Cenrana telah dua kali
direbut dengan kekuatan senjata (riala bessi) oleh orang Bone.
Untuk memperkuat kedudukan Bone
sebagai suatu kerajaan yang tangguh, La Tenri Rawe menjalin hubungan kerja sama
dengan Arung Matowa Wajo yang bernama To Uddamang. Begitu juga dengan Datu
Soppeng yang bernama PollipuE. Maka diadakanlah pertemuan di Cenrana untuk
memperkuat hubungan antara Bone, Soppeng dan Wajo.
Adapun kesepakatan yang diambil di
Cenrana adalah ketiganya akan mengadakan pertemuan lanjutan di Timurung.
Setelah sampai pada waktu yang telah ditentukan, maka berkumpullah orang Bone,
orang Soppeng dan orang Wajo di suatu tempat yang bernama Bunne. Ketiganya
mengucapkan ikrar ; ”Tessiabiccukeng – Tessiacinnai ulaweng tasa – Pattola
malampe waramparang maega” (tidak saling memandang rendah – tidak saling iri
hati – saling mengakui kepemilikan). Setelah itu barulah ketiganya mallamumpatu
(meneggelamkan batu) sebagai tanda kuatnya perjanjian tersebut, sehingga
disebutlah – LamumpatuE ri Timurung.
Inilah catatan yang menjelaskan TellumpoccoE (Bone – Soppeng – Wajo) yang terkandung dalam perjanjian yang diadakan oleh La Tenri Rawe BongkangE (Bone), To Uddamang (Wajo) dan La Mata Esso (Soppeng).
Inilah catatan yang menjelaskan TellumpoccoE (Bone – Soppeng – Wajo) yang terkandung dalam perjanjian yang diadakan oleh La Tenri Rawe BongkangE (Bone), To Uddamang (Wajo) dan La Mata Esso (Soppeng).
Ketika sampai pada hari yang telah
disepakati, bertemulah di Timurung. Datanglah Arumpone, diikuti oleh seluruh
Palili Bone. Datang juga Arung Matowa Wajo yang bernama La Mungkace To Uddamang
MatinroE ri Kanana. Selanjutnya datang juga Datu Soppeng yang bernama La
Mappaleppe PatolaE Arung Belo MatinroE ri Tanana. Diikuti pula oleh seluruh
Palili Soppeng dan Wajo.
Pertemuan tiga kerajaan yang lebih
dikenal dengan nama Pertemuan TellumpoccoE tersebut diadakan di Timurung di
suatu kampung kecil yang bernama Bunne. Dalam pertemuan tersebut Arung Matowa
Wajo bertanya kepada Arumpone ; ”Bagaimana mungkin Arumpone, untuk kita
hubungkan tanah kita bertiga, sementara Wajo adalah kekuasaan Gowa. Kemudian
kita tahu bahwa antara Bone dengan Gowa juga memiliki hubungan yang kuat”.
Arumpone menjawab ; ”Itu pertanyaan
yang bagus Arung Matowa. Tetapi yang menjalin hubungan disini adalah Bone,
Soppeng dan Wajo. Selanjutnya Bone menjalin hubungan dengan Gowa. Kalau Gowa
masih mau menguasai Wajo, maka kita bertiga melawannya”. Pernyataan Arumpone
tersebut diiyakan oleh Arung Matowa Wajo.
Berkata pula PollipuE ri Soppeng ;
”Bagus sekali pendapatmu Arumpone, tanah kita bertiga bersaudara. Tetapi saya
minta agar tanah Soppeng adalah pusaka tanah Bone dan Wajo. Sebab yang namanya
bersaudara, berarti sejajar”. Arumpone menjawab ; ”Bagaimana pendapatmu Arung
Matowa, sebab menurutku apa yang dikatakan oleh PollipuE adalah benar”. Arung
Matowa Wajo menjawab ; ”Saya kira tanah kita bertiga akan rusak apabila ada
yang namanya – sipoana’ (ada yang menganggap dirinya tua dan ada yang muda).
Berkata lagi Arumpone ; ”Saya setuju dengan itu, tetapi tidak apalah saya
berikan kepada Soppeng Gowagowa dan sekitarnya untuk penambah daki, agar tanah
kita bertiga tetap bersaudara”.
Berkata pula Arung Matowa Wajo ;
”Bagus pendapatmu Arumpone, saya juga akan memberikan Soppeng penambah daki
yaitu Baringeng, Lompulle dan sekitarnya”. Datu Soppeng dan Tau TongengE
berkata ; ”Terima kasih atas maksud baikmu itu, karena tanah kita bertiga telah
bersaudara, tidak saling menjerumuskan kepada hal yang tidak dikehendaki, kita
bekerja sama dalam hal yang kita sama kehendaki”.
Berkata Arumpone dan Arung Matowa
Wajo ; ”Kita bertiga telah sepakat, maka baiklah kita bertiga meneggelamkan
batu, disaksikan oleh Dewata SeuwaE, siapa yang mengingkari perjanjiannya
dialah yang ditindis oleh batu itu”.
Berkatalah Arung MatowaE ri Wajo
kepada Kajao Laliddong sebagai orang pintarnya Bone ; ”Janganlah dulu menanam
itu batu, Kajao! Sebab saya masih ada yang akan kukatakan bahwa persaudaraan
TellumpoccoE tidak akan saling menjatuhkan, tidak saling berupaya kepada
hal-hal yang buruk, janganlah kita mengingkari perjanjian, siapa yang tidak mau
diingatkan, dialah yang kita serang bersama (diduai), dia yang kita tundukkan”.
Pernyataan Arung MatowaE tersebut
disetujui oleh Arumpone dan Datu Soppeng. Setelah itu ketiganya berikrar untuk
; ”Malilu sipakainge – rebba sipatokkong – sipedapiri ri peri’ nyameng – tellu
tessibaicukkeng – tessi acinnai ulaweng tasa – pattola malampe waramparang
maega – iya teya ripakainge iya riadduai” (yang khilaf diingatkan – yang rebah
ditopang – saling menyampaikan kesulitan dan kesenangan – tiga tidak ada yang
dikecilkan – tidak saling merebut kekayaan – saling mengakui hak kepemilikan).
Inilah isi perjanjian TellumpoccoE
yang ditindis batu di Timurung, disaksikan oleh Dewata SeuwaE. Ikrar kesetiaan
ini dipegang erat-erat oleh ketiganya.
Dua tahun setelah perjanjian
TellumpoccoE, La Tenri Rawe BongkangE memanggil saudaranya yang bernama La
Inca. Kepada La Inca, La Tenri Rawe menyampaikan bahwa setelah sampai ajalnya,
maka saudaranyalah La Inca yang diserahkan kedudukan sebagai Mangkau’ di Bone
karena dirinya tidak memiliki anak pattola (putra mahkota).
Karena pada saat meninggal,
jenazahnya dibakar dan abunya dimasukkan ke dalam guci, maka digelarlah La
Tenri Rawe BongkangE MatinroE ri Gucinna.
Menggantikan saudaranya La Tenri
Rawe sebagai Arumpone. Kedudukan ini memang telah diserahkan ketika La Tenri
Rawe masih hidup. Bahkan La Tenri Rawe berpesan kepadanya agar nanti kalau
sampai ajalnya, La Inca dapat mengawini iparnya (isteri La tenri Rawe) yaitu We
Tenri Pakiu Arung Timurung.
Setelah menjadi Mangkau’, KaraengE
ri Gowa datang untuk menyerang Bone. Ternyata La Inca tidak mewarisi
kepemimpinan yang telah dilakukan oleh saudaranya. Banyak langkah-langkahnya
yang sangat merugikan orang banyak. Para Arung Lili dimarahi dan dihukumnya.
Salah seorang Arung Lili yang bernama La Patiwongi To Pawawoi diasingkan ke
Sidenreng. Karena sudah terlalu lama berada di Sidenreng, maka ia pun kembali
ke Bone untuk minta maaf.
Namun apa yang dialami setelah
kembali ke Bone, dia malah diusir dan dibunuh. Arung Paccing dan cucunya yang
bernama La Saliwu, Maddanreng Palakka yang bernama To Saliwu Riwawo serta masih
banyak lagi bangsawan Bone yang dibunuhnya.
Pada suatu hari dia melakukan
tindakan yang sangat memalukan yaitu mengganggu isteri orang. Karena didapati
oleh suaminya, ia lantas mengancam orang tersebut akan dibunuhnya, sehingga
orang tersebut melarikan diri. Untuk menutupi kesalahannya, isteri orang
tersebut yang dibunuh. Ia pun membakar sebahagian Bone sampai di Matajang dan
Macege. Orang Bone pun mengungsi sampai ke Majang.
Melihat orang Bone pada datang,
Arung Majang bertanya ; ”Ada apa gerangan di Bone?” Dengan ketakutan orang Bone
berkata ; ”Kami tidak bisa mengatakan apa-apa, Puang. Silahkan Puang melihat
sendiri bagaimana Bone sekarang”.
Mendengar laporan orang Bone, Arung
Majang keluar melihat ke arah Bone. Disaksikannyalah api yang melalap
rumah-rumah penduduk yang dilakukan oleh La Inca. Arung Majang lalu menyuruh
beberapa orang untuk pergi ke Palakka memanggil I Damalaka. Tidak lama kemudian
I Damalaka tiba di Majang. Sesampainya di rumah Arung Majang ia pun disuruh untuk
ke Bone menghadapi La Inca.
I Damalaka menyuruh salah seorang
untuk pergi menemui Arumpone dan menyampaikan agar tindakannya itu dihentikan.
Akan tetapi setelah orang itu tiba di depan La Inca, ia pun dibunuh. Setelah
itu , La Inca lalu membakar semua rumah yang ada di Lalebbata. Maka habislah
rumah di Bone.
Mendengar itu, Arung Majang pergi ke
Bone disusul oleh I Damalaka untuk menghadapi La Inca yang tidak lain adalah
cucunya sendiri. “Mari kita menghadapi La Inca, dia bukan lagi sebagai Arumpone
karena telah melakukan pengrusakan”. Berangkatlah semua orang mengikuti Arung
Majang termasuk I Damalaka.
Didapatinya La Inca sendirian di
depan rumahnya. Setelah melihat orang banyak datang, La Inca lalu menyerbu dan
menyerang membabi buta. Banyak orang yang dibunuhnya pada saat itu dan kurang
yang mampu bertahan, akhirnya La Inca kehabisan tenaga. Karena merasa sangat
payah, ia pun melangkah menuju tangga rumahnya. Ia bersandar dengan nafas yang
terputus-putus.
Melihat cucunya sekarat, Arung
Majang berlari mendekati dan memangku kepalanya. La Inca pun menghembuskan
nafasnya yang terakhir. Oleh karena itu disebutlah MatinroE ri Addenenna (meninggal
di tangga rumahnya).
Adapun anak La Inca MatinroE ri
Addenenna dari isterinya We Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE adalah ; La
Tenri Pale To Akkeppeang kawin dengan kemenakannya yang bernama We Palettei
KanuwangE anak dari We Tenri Patuppu dengan suaminya To Addussila. Kemudian La
Tenri Pale kawin lagi dengan We Cuku anak Datu Ulaweng. Dari perkawinan ini
lahirlah We Pakkawe kemudian melahirkan We Panynyiwi Arung Mare.
We Panynyiwi kawin dengan pamannya
sepupu dari ibunya MatinroE ri Bukaka. Dari perkawinan ini lahirlah We Daompo
yang kawin dengan La Uncu Arung Paijo. Lahirlah La Tenri Lejja. Inilah yang
melahirkan La Sibengngareng yang kemudian menjadi Maddanreng di Bone.
Anak La Inca berikutnya adalah We
Tenri Sello MakkalaruE kawin dengan kemenakannya yang bernama La Pancai To
Patakka Lampe Pabbekkeng, anak dari We Tenri Pala dengan suaminya To Alaungeng
Arung Sumaling. Lahirlah La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka, kemudian lahir
pula La Tenri Aji MatinroE ri Siang. Selanjutnya lahir We Tenri Ampa Arung
Cellu yang kawin dengan To MannippiE Arung Salangketo yang kemudian melahirkan
We Tenri Talunru.
Menggantikan sepupunya La Inca sebagai Mangkau’ di Bone.
Dikumpulkanlah seluruh orang Bone oleh Arung Majang. Kepada orang banyak, Arung
Majang berkata ; “Inilah cucuku yang bernama La Pattawe yang kita sepakati
menggantikan sepupunya”.
La Pattawe adalah anak La Panaongi
To Pawawoi Arung Palenna saudara kandung La Tenri Sukki MappajungE dari
isterinya We Tenri Esa’ arung Kaju. La Pattawe adalah anak Arung Palakka
turunan MakkaleppiE. Orang Bone sepakat untuk mengangkat La Pattawe menjadi
Mangkau’ di Bone.
La Pattawe Daeng Soreang kawin
dengan We Balole I Dapalippu Arung Mampu MassalassaE ri Kaju anak dari MatinroE
ri Itterung dari isterinya We Tenri Gau Arung Mampu yang selanjutnya melahirkan
We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng. We Tenri Patuppu melahirkan We Tenri
Pateya I Dajai yang kawin dengan La Pangerang Arung Maroanging.
Selanjutnya La Pattawe kawin dengan
We Samakella Datu Ulaweng saudara We Tenri Pakiu Arung Timurung, lahirlah We
Parappu Datu Ulaweng. Inilah yang kawin dengan La Papesa Datu Sailong anak dari
La Tenri Adeng Datu Sailong saudara laki-laki We Tenri Pakiu Arung Timurung.
La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng
kawin dengan sepupunya yang bernama We Baji yang biasa juga dinamakan We Dangke
LebaE ri Mario Riwawo. Dari perkawinan ini lahirlah We Tenri Sui Datu Mario Riwawo.
Inilah yang melahirkan La Tenri Tatta Petta To RisompaE dan nenek MatinroE ri
Nagauleng.
La Pattawe, tidak terlalu banyak
disebut langkah-langkahnya dalam pemerintahannya. Hanya dikatakan bahwa setelah
tujuh tahun menjadi Mangkau’ di Bone, ia pergi ke Bulukumba dan di situlah dia
sakit. Dia meninggal di Bettung sehingga disebut MatinroE ri Bettung.
We Tenri Patuppu menggantikan
ayahnya menjadi Arumpone. Inilah Mangkau’ yang mula-mula mengangkat Arung Pitu
(tujuh pemegang adat) di Bone. Ketujuh Matowa (Kepala Wanuwa) yang ditunjuk,
adalah ; Matowa Tibojong (Arung Tibojong), Matowa Ta’ (Arung Ta’), Matowa
Tanete (Arung Tanete), Tanete dipecah menjadi Tanete Riattang dan Tanete
Riawang, Matowa Macege (Arung Macege), Matowa Ujung (Arung Ujung) dan Matowa
Ponceng (Arung Ponceng).
We Tenri Patuppu berkata kepada
Arung PituE ; ”Saya mengangkat kalian sebagai Arung Pitu untuk membantu saya
dalam menyelenggarakan pemerintahan di Bone. Hal ini saya lakukan karena saya
adalah seorang perempuan yang tentunya memerlukan bantuan. Namun perlu kalian
tahu bahwa saya mengangkatmu menjadi pemegang adat, tetapi kalian tetap ; tidak
bisa melangkahi adat Bone, tidak bisa menyatakan perang, tidak bisa mewariskan
kepada anak cucu, kalau saya tidak mengetahuinya. Kacuali apabila duduk semua
turunan MappajungE kemudian direstui oleh Mangkau’ Bone.
Pada masa pemerintahan We Tenri
Patuppu di Bone, KaraengE ri Gowa datang ke Ajattappareng membawa agama Islam.
Sepakatlah TellumpoccoE (Bone, Soppeng dan Wajo) untuk menghalangi, sehingga
KaraengE ri Gowa kembali ke kampungnya.
Satu tahun kemudian datang lagi
KaraengE ri Gowa ke Padangpadang, dihalangi lagi oleh TellumpoccoE. Bertemulah
di sebelah timur Bulu’ Sitoppo dan terjadilah perang yang berakhir dengan
kekalahan TellumpoccoE.
Satu tahun kemudian datang lagi
KaraengE ri gowa ke Soppeng. Tetapi tidak ada lagi bantuan dari Bone dan Wajo,
sehingga Soppeng dikalahkan dan masuklah agama Islam di Soppeng. Datu Soppeng
yang menerima Islam bernama BeowE.
Setelah Soppeng menerima Islam,
datang KaraengE ri Gowa ke Wajo dan kalahlah orang Wajo. Arung Matowa Wajo yang
bernama La Sangkuru yang menerima Islam di Wajo. Sejak itu seluruh orang Wajo
memeluk Islam.
Tahun berikutnya setelah orang Wajo
masuk Islam, Arumpone We Tenri Patuppu pergi ke Sidenreng untuk menanyakan
tentang Islam. Ternyata begitu sampai di Sidenreng langsung masuk Islam. Di
Sidenrenglah beliau sakit yang menyebabkan meninggal dunia. Oleh karena itu
dinamakanlah We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng.
Semasa hidupnya We Tenri Patuppu
kawin dengan La Paddippung Arung Barebbo, kemudian melahirkan anak bernama La
Pasoro. Inilah yang kawin dengan We Tasi, lahirlah La Toge MatinroE ri
KabuttuE. La Toge kawin dengan We Passao Ribulu, lahirlah We Kalepu yang kawin
dengan Daeng Manessa Arung Kading.
Kemudian We Tenri Patuppu bercerai
dengan Arung Barebbo, maka kawin lagi dengan To LewoE Arung Sijelling, anak
Arung Mampu Riawa. Dari perkawinan ini lahirlah anaknya yang bernama La
Maddussila, We Tenri Tana, We Palettei, La Palowe. La Maddussila Arung Mampu
yang juga digelar MammesampatuE (memakai nisan batu). Pergi ke Soppeng dan
kawin dengan We Tenri Gella, saudara Datu Soppeng yang bernama BeowE. Dari
perkawinan ini lahirlah La Tenri Bali yang kawin di Bone dengan sepupu satu
kalinya yang bernama We Bubungeng I Dasajo.
We Bubungeng dan La Tenri Bali
melahirkan anak ; La Tenri Senge’ Toasa, inilah yang kemudian menjadi Datu
Soppeng. Yang kedua bernama We Yadda MatinroE ri Madello, kemudian menjadi Datu
juga di Soppeng.
We Tenri Tana Arung Mampu Riawa
kawin dengan LebbiE ri Kaju. Inilah yang melahirkan We Tenri Sengngeng yang
kawin dengan La Poledatu Rijeppo saudara Datu Soppeng anak La Maddussila Arung
Mampu MammesampatuE dengan isterinya We Tenri Gella. Inilah yang melahirkan La
PatotongE, La PasalappoE, La Pariusi Daeng Mangatta. La Pariusi Daeng Mangatta
inilah yang menggantikan Petta I Tenro menjadi Arung Mampu Riawa yang juga pernah
menjadi Arung Matowa Wajo.
La PallempaE atau La Pasompereng
Petta I Teko kawin dengan KaraengE ri Gowa. Dari perkawinannya lahirlah We Yama
dan We Alima. We Alima kawin dengan KaraengE ri Gowa Tumenanga ri Pasi.
Lahirlah I Baba Karaeng Tallo. La Pasompereng diasingkan oleh Kompeni sebab
perselingkuhan isterinya dengan Sule DatuE di Soppeng yang bernama Daeng
Mabbani. Dia membunuh Sule datuE di Soppeng maka diasingkanlah ke Selong.
Anak terakhir dari We Tenri Patuppu
MatinroE ri Sidenreng adalah ; We Palettei KanuwangE, kawin dengan pamannya La
Tenri Pale To Akkeppeang MatinroE ri Tallo. Tidak ada keturunannya, sehingga
MatinroE ri Tallo kawin lagi dengan anak Datu Ulaweng.
La Tenri Ruwa Arung Palakka juga
sebagai Arung Pattiro adalah sepupu We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng.
Ketika Arumpone meninggal dunia, orang Bone sepakat untuk mengangkat La Tenri Ruwa
menjadi Mangkau’ di Bone.
Belum cukup tiga bulan setelah
menjadi Mangkau’, datanglah KaraengE ri Gowa membawa agama Islam ke Bone. Orang
Gowa membuat benteng di Cellu dan Palette. Berkatalah Arumpone kepada orang
Bone ; ”Kalian telah mengangkat saya menjadi Mangkau’ untuk membawa Bone kepada
jalan yang baik. KaraengE ri Gowa datang membawa agama Islam yang menurutnya
adalah kebaikan. Sesuai dengan perjanjian kita yang lalu, siapa yang
mendapatkan kebaikan, dialah yang menunjukkan jalan. Oleh karena itu saya
mengajak kalian untuk menerima Islam”.
KaraengE ri Gowa berkata ;
”Menurutku Islam adalah kebaikan dan dapat mendatangkan cahaya terang bagi
kita. Oleh karena itu saya berpegang pada agama Nabi. Kalau engkau menerima
pendapatku, maka Bone dan Gowa akan menjadi besar untuk bersembah kepada Dewata
SeuwaE (Allah SWT).
Berkata lagi Arumpone kepada orang
banyak ; ’Kalau kalian tidak menerima baik maksud KaraengE padahal dia benar,
dia pasti masih memerangi kita dan kalau kita kalah berarti kita menjadi hamba
namanya. Tetapi kalau kalian menerima dengan baik, kita dijanji untuk berdamai.
Kalau kita melawan, itu adalah wajar. Jangan kalian menyangka bahwa saya tidak
mampu untuk melawannya”.
Ketika itu semua orang Bone menolak
Islam. Arumpone La Tenri Ruwa hanya diam, karena dia sudah tahu bahwa orang
Bone berpendapat lain. Pergilah Arumpone ke Pattiro dan hanya diikuti oleh
keluarga dekatnya. Sesampainya di Pattiro, ia mengajak lagi orang Pattiro untuk
menerima agama Islam. Ternyata orang Pattiro juga menolak.
Akhirnya Arumpone naik ke SalassaE
(istana) bersama keluarga dan hambanya. Ketika Arumpone ke Pattiro, orang Bone
sepakat untuk menjatuhkan La Tenri Ruwa sebagai Arumpone. Diutuslah La
Mallalengeng To Alaungeng ke Pattiro untuk menemui Arumpone. Kepada Arumpone La
Mallalengeng menyampaikan ; ”Saya disuruh oleh orang Bone untuk menyampaikan
bahwa bukan lagi orang Bone yang menolak engkau sebagai Mangkau’, tetapi engkau
sendiri yang menolak kami semua, karena pada saat Bone menghadapi musuh besar,
engkau lalu meninggalkannya”.
Arumpone menjawab ; Saya menyangkal
bahwa saya meninggalkan orang Bone, saya hanya menunjukkan jalan kebaikan dan
cahaya yang terang. Tetapi kalian tidak mau mengikutinya dan lebih suka memilih
jalan kegelapan. Makanya saya pergi meilih jalan kebaikan dan cahaya yang
terang itu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi-Nya”.
Ketika To Alaungeng kembali ke Bone,
Arumpone La Tenri Ruwa menyuruh salah seorang keluarganya ke Pallette untuk
bertemu dengan KaraengE ri Gowa yang sementara berkedudukan di Pallette. Begitu
pula KaraengE menyuruh Karaeng Pettu ke Pattiro menemui Arumpone. Sesampainya
Karaeng Pettu di Pattiro dan bertemu Arumpone, tiba-tiba tempatnya bertemu itu
dikepung oleh orang Pattiro bersama orang SibuluE. Arumpone sekeluarga bersama
Karaeng Pettu meninggalkan tempat menuju ke puncak gunung Maroanging.
Setelah itu, pergilah Arumpone
menemui KaraengE ri Gowa, sementara Karaeng Pettu tinggal menjaga Pattiro. Di
Pallette Arumpone La Tenri Ruwa ditanya oleh KaraengE ri Gowa ; ”Sampai dimana
batas kekuasaanmu. Sebab saya tahu bahwa Bone adalah milikmu, sementara menurut
berita bahwa akkarungeng telah berpindah di Bone”. Arumpone menjawab ; ”Yang
menjadi milikku adalah Palakka dan Pattiro begitu juga Awampone. Kalau Mario Riwawo
adalah milik isteriku”.
Berkata lagi KaraengE ; ”Sekarang
ucapkanlah syahadat, biar Palakka, Pattiro dan Awampone saja yang menerima
Islam. Untuk Bone biarkan saja tidak bertuan, Gowa tidak akan memperhambamu”.
Arumpone menjawab ; ”Karena saya akan mengucapkan syahadat, sehingga saya
kemari”.
Selanjutnya KaraengE ri Gowa berkata
; ”Saya juga tahu bahwa Pallette ini adalah milikmu, tetapi kebetulan tempat
berdirinya bentengku. Oleh karena itu saya menganggapnya sebagai milikku, namun
saya berikan kembali kepadamu”.
Kemudian KaraengE ri Gowa, Karaeng
Tallo dan Arumpone berikrar ; Pertama diucapkan oleh KaraengE ri Gowa dan
Karaeng Tallo ; ” Inilah yang akan dipersaksikan kepada Dewata SeuwaE bahwa
bukanlah turunan KaraengE ri Gowa dan Karaeng Tallo yang kelak akan mengganggu
hak-hakmu. Kalau ada kesulitan yang engkau hadapi, bukalah pintumu untuk kami
masuk pada kesulitan itu”. Lalu Arumpone menjawab ; ”Wahai Karaeng, ikat padiku
tidak akan terbuka, tidak sempurna pula kehidupanku dan apa yang ada dalam
pikiranku. Kalau ada kesulitan yang menimpa Tanah Gowa, biar sebatang bambu
yang dibentangkan, kami akan melaluinya untuk datang membantumu sampai kepada
anak cucumu dan anak cucuku, asalkan tidak melupakan perjanjian ini”.
Setelah ketiganya mengucapkan ikrar,
kembalilah Arumpone La Tenri Ruwa ke Pattiro. Lima hari setelah perjanjian itu diucapkan
bersama, dibakarlah Bone oleh orang Gowa. Menyerahlah orang-orang Bone dan
mengucapkan syahadat. Kemudian KaraengE ri Gowa dan Karaeng Tallo kembali ke
negerinya.
Sejak La Tenri Ruwa meninggalkan
Bone dan berada di Pattiro, sejak itu pula orang Bone menganggapnya bahwa dia
bukan lagi Mangkau’ di Bone. Kesepakatan orang Bone adalah mengangkat anak dari
MatinroE ri Sapananna (addenenna) yang pada saat itu menjadi Arung Timurung
yang bernama La Tenri Pale To Akkeppeang. Adapun La Tenri Ruwa setelah KaraengE
ri Gowa dan Karaeng Tallo kembali ke negerinya, diusir oleh orang Bone agar
meninggalkan Bone. Arumpone inilah yang dianggap mula-mula menerima agama Islam
dari KaraengE ri Gowa dan Karaeng Tallo.
La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng
berangkat ke Su’ (Mangkasar) dan tinggal pada Dato’ ri Bandang. Ia pun diberi
nama Arab yaitu Sultan Adam. Disuruhlah memilih tempat oleh Dato’ dan KaraengE
ri Gowa. Tempat yang dipilihnya adalah Bantaeng dan di Bantaenglah ia
meninggal, oleh karena itu dinamakan MatinroE ri Bantaeng.
La Tenri Ruwa kawin dengan sepupunya
yang bernama We Baji atau We Dangke LebaE ri Mario Riwawo yang kemudian disebut
juga Datu’ Mario Riwawo. Dari perkawinan ini lahirlah We Tenri Sui. We Tenri
Sui pernah juga kawin dengan To Lempe Arung Patojo saudara kandung Datu Soppeng
yang mula-mula memeluk Islam yang bernama BeowE. Dari perkawinannya lahirlah We
Bubungeng yang berarti bersaudara kandung dengan We Tenri Sui.
We Tenri Sui kawin dengan La
Pottobune Arung Tanatengnga Datu Lompulle, anak dari We Cammare Datu Lompengeng
MattendumpulawengE dari suaminya yang bernama To Wawo. Dari perkawinan ini
lahirlah La Tenri Tatta To Unru Datu Mario Riwawo. Ada juga yang bernama We
Tenri Abang. Selain itu, We Dairi (meninggal diwaktu kecil), We Tenri Wempeng
Daunru (meninggal diwaktu kecil), La Tenri Garangi (meninggal diwaktu kecil),
selanjutnya We Kacimpureng Daoppo Datu Marimari, tidak ada keturunannya.
We Bubungeng I Dasajo Arung Pattojo
diangkat menjadi datu di Watu, kawin dengan La Tenri Bali Datu Soppeng MatinroE
ri Datunna. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri Senge’ To Wesang dan We Yada
MatinroE ri Madello.
Arung Tanatengnga kemudian kawin
lagi dengan We Tenri Pada Datu Watu anak dari We Puampe dengan suaminya La Page
Datu Mario Riwawo.
Adapun La Tenri Tatta To Unru
diwariskan oleh ibunya untuk menjadi datu ri Mario Riwawo, sehingga digelar
sebagai Datu Mario Riwawo. La Tenri Tatta kawin dengan sepupunya yang bernama
We Dadda atau We Yadda anak dari We Bubungeng I Dasajo dari suaminya MatinroE
ri Datunna. Dari perkawinannya ini tidak melahirkan seorang anak, akhirnya
bercerai.
Isteri La Tenri Tatta yang paling
dicintainya adalah I Mangkawani Daeng Talele, tetapi juga tidak ada
keturunannya. Oleh karena itu La Tenri Tatta To Unru sampai akhir hayatnya
tidak memiliki keturunan.
Saudara kandung La Tenri Tatta yang
bernama We Tenri Wale Da Umpu Mappolo BombangE itulah yang menjadi Maddanreng
ri Palakka. Karena setelah La Tenri Tatta kembali dari Mangkasar, orang Bone
menobatkannya menjadi Arung Palakka. Mappolo BombangE kawin dengan La PakokoE
Arung Timurung yang juga Ranreng di Tuwa dan sebagai Arung di Ugi. Dari
perkawinan itu lahirlah seorang anak laki-laki La Patau Matanna Tikka WalinonoE
To Tenri Bali MalaE Sanrang MatinroE ri Nagauleng.
Sedangkan saudara kandung La Tenri
Tatta yang lain yang bernama We Tenri Abang Da Eba, itulah yang mengikutinya
sewaktu La Tenri Tatta To Unru pergi ke Jakarta. Oleh karena itu, La Tenri
Tatta menyerahkan kepada adiknya itu untuk menjadi Datu ri Mario Riwawo. We Tenri
Abang kawin dengan La Sule atau La Mappajanci Daeng Mattajang Karaeng Tanete,
turunan Karaeng Tallo. Dari perkawinannya itu lahir dua orang anak perempuan
yang bernama We Pattekke Tana Daeng Tanisanga dan We Tenri Lekke’.
We Pattekke Tana kawin dengan PajungE
ri Luwu MatinroE ri Langkanana yang bernama La Onro To Palaguna. Dari
perkawinannya itu lahirlah We Batara Tungke dan We Fatimah MatinroE ri Pattiro.
We Fatimah MatinroE ri Pattiro kawin dengan sepupunya yang bernama La Rumpang
Megga To Sappaile. Dari perkawinan itu lahirlah We Tenri Leleang Datu Luwu dan
La Oddang Riwu Daeng Mattinring atau La Tenri Oddang. Inilah yang menjadi Arung
Pattiro dan Datu Tanete. Selanjutnya melahirkan La Tenri Angke’ Datu Marimari.
Adapun anak Batara Tungke yang
bernama We Tenri Lekke saudara kandung We Pattekke Tana, kawin dengan La Pasau
Arung Menge yang juga sebagai Ranreng di Talotenre Wajo.
We Dangke LebaE ri Mario Riwawo
dengan suaminya To Lempe Arung Pattojo melahirkan We Bubungeng I Dasajo. We
Bubungeng I Dasajo inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La
Tenri Bali MatinroE ri Datunna, anak dari La Maddussila Arung Mampu
MammesampatuE. Dari perkawinan itu lahirlah La Tenri Senge’ To Wesang dan We
Yadda MatinroE ri Madello.
La Tenri Senge’ To Wesang kawin
dengan We Pada Daeng Masennang di Pammana, anak dari La Tenri Sessu To TimoE.
Dari perkawinannya lahirlah La Makkateru (meninggal dunia sewaktu kecil).
Selanjutnya lahir pula La Karidu yang kemudian menjadi Arung Sekkaili. La
Karidu kawin di Pammana dengan anak WatampanuwaE ri Pammana. Dari perkawinan
itu lahirlah La Mappassili Arung yang kemudian menjadi Arung Pattojo. La
Mappassili kawin di Tanete dengan Arung Lalolang yang kemudian melahirkan anak
laki-laki yang bernama La Barahima.
Selanjutnya La Mappassili kawin lagi
dengan We Tenri Leleang PajungE ri Luwu MatinroE ri Soreang, anak We Fatimah
Batara Tungke MatinroE ri Pattiro denganh suaminya La Rumpang Megga To Sappaile
MatinroE ri Suppa. Inilah yang melahirkan La Mappajanci Daeng Massuro PollipuE
ri Soppeng MatinroE ri Laburaung.
Anak berikutnya adalah We Tenri
Abang Datu Watu Arung Pattojo dan berikutnya bernama Janggo’ Panincong. Inilah
yang tewas dipenggal kepalanya oleh kemanakannya sendiri yang bernama Baso
Tancung pada Perang Batubatu. Dalam peristiwa itu, La Mappassili tewas terbunuh
oleh iparnya sendiri yang bernama La Oddang Riwu Daeng Mattinring Karaeng
Tanete.
Kembali kita bicarakan La Pottobune’
dengan isterinya We Tenri Pasa Datu Watu. Melahirkan anak yang bernama La Page
yang kemudian diwariskan untuk menjadi Datu di Lompulle. La Page bersaudara
dengan La Tenri Tatta Daeng Serang To Unru dari ayahnya. La Page Datu Lompulle
kawin dengan We Buka Datu Botto. Dari perkawinan itu lahirlah La Malleleang To
Panamangi Datu Lompulle dan juga Datu Mario Riwawo. Selanjutnya La Panamangi
kawin dengan We Mekko Datu Bakke, lahirlah We Tenri Datu Botto.
We Tenri Datu Botto kawin dengan
sepupu dua kalinya yang bernama La Temmu Page anak We Pattekke Tana Daeng
Tanisanga dengan suaminya yang terakhir yang bernama To Baicceng. We Tenri
dengan La Temmu Page melahirkan anak laki-laki yang bernama La Mallarangeng To
Samallangi, inilah yang kemudian menjadi Datu Lompulle dan Datu Mario Riwawo.
La Mallarangeng To Samallangi kawin dengan We Tenri Leleang janda dari La
Mappassili. Dari perkawinannya itu lahirlah La Maddussila Karaeng Tanete. La
maddussila inilah yang kawin dengan We Seno Datu Citta, anak dari La
Temmassonge MatinroE ri Malimongeng dengan isterinya yang bernama Sitti Habiba.
Selanjutnya We Tenri Leleang janda
dari La Mappassili yang kawin dengan La Mallarangeng To Samallangi melahirkan
We Panangareng Daeng Risanga Arung Cinennong Datu Mario Riwawo MatinroE ri
Ujungtana. We Panangareng Daeng Risanga kawin dengan La Sunra Datu Lamuru
MatinroE ri Lamangile, anak dari La Tenri Sanga Petta Janggo’E Datu Lamuru.
Kemudian We Tenri Leleang dengan La
Mallarangeng To Samallangi melahirkan La Tenri Sessu Arung Pancana, inilah yang
kawin dengan We Paddi Petta Punna BolaE anak dari Maddanreng Bone yang bernama
La Sibengngareng. Selanjutnya La Tenri Sessu kawin lagi dengan We Tenri Lawa
Besse Peyampo di Wajo, saudara kandung dari Arung Belle La Sengngeng MatinroE
ri Salawa’na.
We Tenri Leleang dengan La
Mallarangeng melahirkan lagi We Pada Daeng Malele, Fatimah Ratu Daeng Tacowa
MatinroE ri Sigeri, La Maggalatung To Kali Datu Lompulle yang juga sebagai Datu
Botto dan Batari Toja We Akka Daeng Matana Opu Datu ri Bakke. Inilah yang kawin
dengan PajungE ri Luwu yang bernama La Pattiware MatinroE ri Sabbamparu.
Ketika La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng diusir oleh orang
Bone, maka yang menggantikannya adalah sepupu satu kalinya yang bernama La
Tenri Pale To Akkeppeang Arung Timurung. Dia adalah anak dari La Inca MatinroE
ri Addenenna.
Inilah Mangkau’ di Bone yang membangkitkan
kembali semangat orang Bone untuk menolak masuknya agama Islam di Bone. Oleh
karena itu KaraengE kembali memerangi Bone, sehingga orang Bone kalah dan
menyerah. Diundanglah seluruh Palili (daerah bawahan) untuk disuruh mengucapkan
syahadat sebagai tanda bahwa seluruh orang Bone telah menerima agama Islam.
Setelah itu KaraengE ri Gowa kembali ke kampungnya.
La Tenri Pale To Akkeppeang dua
bersaudara yaitu We Tenri Jello MakkalaruE, kawin dengan Arung Sumaling yang
bernama La Pancai To Patakka. Dia juga digelar Lampe Pabbekkeng, anak dari La
Mallalengeng To Alaungeng Arung Sumaling, dari isterinya yang bernama We Tenri
Parola. Lahirlah La Maddaremmeng, diangkatlah MakkalaruE menjadi Arung Pattiro.
Satu lagi adik La Maddaremmeng
bernama We Tenri Ampareng, dia menjadi Arung Cellu. Sedangkan La Tenri Aji To
Senrima dia menjadi Arung di Awampone dan digelar MatinroE ri Siang.
We Tenri Sui kawin dengan La
Pottobune’ TobaE Arung Tanatengnga, lahirlah La Tenri Tatta To Unru, tidak ada
keturunannya. Anaknya yang kedua yaitu I Daunru. Inilah yang kawin dengan Datu
Citta yang bernama Todani yang menjadi Arung EppaE Ajattappareng yaitu ;
Addatuang Sidenreng, Datu Suppa, Addattuang Sawitto dan Arung Alitta. Bahkan dia
juga Karaeng di Galingkang.
Katika Todani memperisterikan
saudara La Tenri Tatta, dia mempersatukan Citta dengan Bone. Nanti setelah La
Temmassonge’ To Appaweling MatinroE ri Malimongeng menjadi Mangkau’ di Bone,
barulah Citta dikembalikan ke Soppeng. Namun akhirnya Todani disuruh bunuh oleh
La Tenri Tatta To Unru karena dianggap menyalahi kasiwiang (persembahan) di
Bone.
Sedangkan Saudara La Tenri Tatta To
Unru yang bernama We Tenri Abang Daeba, dialah yang dinamakan We Tenri Wale
MatinroE ri Bola Sadana. Digelar juga Mappolo BombangE dialah Maddanreng di
Palakka.
Satu tahun setelah orang Bone
menerima Islam, pergilah Arumpone ke Mangkasar menemui Dato’ ri Bandang.
Diberilah nama Arab yaitu Sultan Abdullah. Itulah nama Arumpone yang dibaca
pada khutbah Jumat.
Ketika menjadi Mangkau’ di Bone, La Tenri
Pale dikenal sangat ramah dan merakyat. Dia sangat memperhatikan masalah
pertanian. Arumpone inilah yang kawin dengan anak MatinroE ri Sidenreng dari
suaminya yang bernama To Addussila bernama We Palettei KanuwangE Massao BessiE
ri Mampu Riawa. Dari perkawinan ini lahirlah anak perempuan yang bernama We
Daba.
Selama menjadi Arumpone, La Tenri
Pale selalu bolak balik ke Gowa untuk menemui KaraengE ri Gowa. Ia meninggal di
Tallo sehingga digelar La Tenri Pale To Akkeppeang MatinroE ri Tallo.
Raja Bone XIII (La Maddaremmeng)
Raja Bone XIII (La Maddaremmeng)
Makam
La Maddaremmeng di Kalokkoe Bukaka Watampone Kab. Bone
|
La Maddaremmeng menggantikan
pamannya La Tenri Pale To Akkeppeang MatinroE ri Tallo menjadi Arumpone. Ketika
akan diangkat menjadi Mangkau’ di Bone, La Tenri Pale dengan orang Bone
berjanji bahwa ;
- La Tenri Pale ; ”Siapa yang mengingkari janji, dialah yang
menanggung resiko buruknya”
- Orang Bone ; ”Siapa yang berbuat kebaikan, dialah yang menerima
imbalan kebaikan itu”
Setelah saling mengiyakan
kesepakatan itu, maka diangkatlah La Tenri Pale To Akkeppeang Arung Timurung
menjadi Mangkau’ di Bone. Setelah beberapa waktu menjadi Arumpone, diadakanlah
penggalian bendungan di sebelah selatan Leppangeng. Selama tiga tahun digali,
ternyata airnya tak bakal naik. Dibawa lagi ke Sampano untuk membuat tiang
rumah, tiba-tiba La Tenri Pale kena penyakit. Kembalilah La Tenri Pale ke Bone.
Sesampainya di Bone, diundanglah seluruh
orang Mampu dan menyampaikan bahwa ; Berangkatlah ke Sidenreng untuk memanggil
keluargaku untuk datang memiliki kembali miliknya. Kemudian La Tenri Pale
berangkat ke Su (Mangkasar). Di Mangkasar (Tallo) ia meninggal dunia sehingga
dinamakan MatinroE ri Tallo.
Ketika orang yang disuruh ke
Sidenreng kembali, La Tenri Pale sudah tidak ada di Bone. Maka diangkatlah La
Maddaremmeng sebagai Arumpone, sebab dialah yang dipesan oleh pamannya untuk
menggantikannya bila sampai ajalnya. Arumpone inilah yang pertama membuat
payung putih untuk dipakai bila bepergian.
La Maddaremmeng kawin di Wajo dengan
perempuan yang bernama Hadijah I Dasenrima anak dari Arung Matowa Wajo yang
bernama La Pakallongi To Ali dengan isterinya We Jai Ranreng Towa Wajo yang
juga sebagai Arung Ugi. Dari perkawinan La Maddaremmeng dengan We Jai,
melahirkan seorang anak laki-laki bernama La PakokoE Toangkone yang digelar
TadampaliE. La PakokoE Toangkone kemudian diangkat menjadi Arung Timurung.
La PakokoE Toangkone kawin dengan
saudara perempuan La Tenri Tatta To Unru yang bernama We Tenri Wale Mappolo
BombangE Maddanreng Palakka. Anak dari We Tenri Sui Datu Mario Riwawo dengan
suaminya yang bernama La Pottobune Arung Tanatengnga. Dari perkawinannya itu
lahirlah La Patau Matanna Tikka MatinroE ri Nagauleng.
Selanjutnya La Maddaremmeng kawin
lagi dengan Arung Manajeng. Dari perkawinannya yang kedua itu lahirlah anak
laki-laki yang bernama Toancalo Arung Jaling. Inilah yang kawin dengan We Bunga
Bau Arung Macege, anak dari Karaeng Massepe dengan isterinya yang bernama We
Impu Arung Maccero. Toancalo Arung Jaling dengan We Bunga Bau Arung Macege yang
melahirkan Tobala Arung Tanete Riawang yang digelar Petta PakkanynyarangE.
Setelah menjadi Mangkau’ di Bone selama kurang lebih 15 tahun, Gowa kembali melakukan serangan terhadap Bone yang akhirnya menaklukkannya. La Maddaremmeng meninggal dunia di Bukaka, sehingga dia dinamakan MatinroE ri Bukaka.
Isteri La Maddaremmeng yang lain
bernama We Mappanyiwi Arung Mare, anak We Cakka Datu Ulaweng. Melahirkan
seorang anak perempuan yang bernama We Daompo. Inilah yang kawin dengan La Uncu
Arung Paijo. La Uncu Arung Paijo dengan We Daompo melahirkan La Tenri Lejja
RiwettaE ri Pangkajenne. Inilah yang melahirkan To Sibengngareng Maddanreng
Bone. Sumber Teluk Bone.Setelah menjadi Mangkau’ di Bone selama kurang lebih 15 tahun, Gowa kembali melakukan serangan terhadap Bone yang akhirnya menaklukkannya. La Maddaremmeng meninggal dunia di Bukaka, sehingga dia dinamakan MatinroE ri Bukaka.
La Tenri Aji To Senrima menggantikan
saudaranya La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka menjadi Mangkau’ di Bone. Dialah
yang melanjutkan perlawanan Bone terhadap Gowa, namun kenyataannya Bone kembali
mengalami kekalahan. Karena pada perang ini, Gowa ternyata dibantu oleh Luwu
dan Wajo. Pertahanan terakhir Arumpone La Tenri Aji To Senrima adalah Pasempe,
sehingga dikatakan Beta Pasempe (Kekalahan di Pasempe).
Sejak kekalahan di Pasempe, Bone
menjadi milik Gowa, Luwu dan Wajo. Wilayahnya dibagi tiga, sebahagian diambil
oleh Gowa, sebahagian diambil Luwu dan sebahagian diambil oleh Wajo. Ditawanlah
semua anak bangsawan Bone, termasuk La Pottobune’ bersama isteri dan
anak-anaknya. Selebihnya diberikan kepada Luwu dan Wajo. Adapun yang menjadi
milik Wajo tetap berada di Bone, sebab Wajo masih ingat perjanjian yang telah
disepakati oleh Arung terdahulu, yaitu ”Yang rebah akan ditopang, yang hanyut
akan diraih” sebagaimana isi LamumpatuE ri Timurung yang telah dilakukan oleh
TellumpoccoE (Bone, Soppeng dan Wajo).
Arung Matowa Wajo yang bernama La
Makkaraka mengatakan ; ”Bahagian Wajo yang pergi ke Gowa, adalah milik Gowa,
bahagian Luwu yang pergi ke Wajo, tetap milik Luwu. Kemudian bahagian Wajo yang
masih tinggal di Bone, tetap milik Bone. Kecuali dia sendiri yang datang ke
Wajo, barulah milik Wajo”. Permintaan ini akhirnya disetujui oleh KaraengE ri
Gowa dan Datu Luwu.
Ketika La Tenri Aji To Senrima
ditangkap dan dibawa ke Gowa, diikutkanlah semua anak bangsawan Bone lainnya.
Setelah itu Bone dibakar oleh orang Gowa, menjadilah Bone sebagai wilayah
jajahan Gowa dan seluruh rakyatnya dijadikan hamba. Sementara La Tenri Aji To
Senrima di tempatkan di Siang, sedangkan anak bangsawan lainnya dibagi-bagi
kepada anggota Hadat Gowa (Bate SalapangE) untuk dijadikan hamba dan sebagainya.
Diantara anak bangsawan yang ditawan
oleh Gowa, terdapat juga La Pottobune’ Arung Tanatengnga bersama isteri dan
anak-anaknya. Sebab yang tidak tertawan oleh Gowa hanyalah anak kecil, orang
tua lanjut umur, kecuali atas permintaan orang tuanya.
La Pottobune’ Arung Tanatengnga, isteri dan anak-anaknya tinggal di rumah KaraengE. Ketika itu La Tenri Tatta baru berusia 11 tahun. Karena dia seorang anak yang cerdas, sehingga banyak yang menyukainya. Oleh karena itu, semua anggota Bate SalapangE pernah ditempatinya.
La Pottobune’ Arung Tanatengnga, isteri dan anak-anaknya tinggal di rumah KaraengE. Ketika itu La Tenri Tatta baru berusia 11 tahun. Karena dia seorang anak yang cerdas, sehingga banyak yang menyukainya. Oleh karena itu, semua anggota Bate SalapangE pernah ditempatinya.
Karena La Tenri Aji To Senrima
diasingkan ke Siang, maka KaraengE ri Gowa menyuruh kepada orang Bone untuk
mencari Arung (Mangkau’). Tetapi orang Bone tidak berani lagi menunjuk seorang
Mangkau’, sehingga orang Bone menyerahkan sepenuhnya kepada KaraengE ri Gowa.
Oleh karena itu, KaraengE ri Gowa menunjuk Karaeng Summana untuk melaksanakan
pemerintahan di Bone.
Tetapi karena Karaeng Summana tidak
bisa menghadapi orang Bone yang kelihatannya tetap berusaha menghalang-halangi
segala langkahnya, maka kembalilah Karaeng Summana ke Gowa. Kepada KaraengE ri
Gowa, Karaeng Summana melaporkan ketidak mampuannya menghadapi orang Bone. Oleh
karena itu terjadilah kevakuman pemerintahan di Bone saat itu.
La Tenri Aji To Senrima meninggal
dunia di Siang, sehingga dinamakan MatinroE ri Siang. Menurut catatan lontara’
dia hanya mempunyai seorang anak yang bernama La Pabbele MatinroE ri Batubatu.
Inilah yang melahirkan Daeng Manessa Arung Kading.
Selama beberapa waktu tidak ada
pengganti La Tenri Aji To Senrima MatinroE ri Siang sebagai Arumpone. Orang
Bone dan segenap anggota Hadatpun sudah tidak mau menunjuk seorang Mangkau’.
Sementara KaraengE ri Gowa juga ragu untuk mengangkat seorang Arung kalau bukan
yang diinginkan oleh orang Bone.
Oleh karena itu, KaraengE ri Gowa
hanya menunjuk seorang jennang (pelaksana) yang memiliki wewenang sebagai
pengganti Mangkau’ di Bone.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar