Sosial Politik

Jumat, 04 Desember 2015

ETOS DAN MORALITAS POLITIK Bag. III

II. ETOS POLITI
A. Perlunya Perpaduan Antara Etika dan Politik
1. Politik tanpa etika
    Kinerja politisi de fakto jelek. Ungkapan ini didasari atas realita yang terjadi, karena dewasa ini bila mendengan istilah "politik", orang mengernyitkan alis dan dahinya seraya berkata, "Politik itu kotor". Politik menjadi kotor tidak hanya karena "money-polics", "mob-politics", "politik dagang sapi", tetapi juga karena beberapa - isme yang sebagai mentalitas mendasari sikap dan perilaku seperti itu. isme-isme yang akan kitas bahas merupakan sumber politik tanpa etika. imbauan apapun tidak ada gunanya, karena ketumpulan atau kebusukan politik sudah demikian jauh sehingga yang dimengerti bukan bahasa etis, melainkan bahasa hukum dalam arti sanksi tegas! Andaikata perkembangan etis para politisi diukur menurut skema lawrence kohlberg!
a. Materialisme praktis:
Verbal dan ritual, banyak orang memang religius dan mengakui peran Tuhan dalam hidup, jadi tidak menganut materialisme filosofis, tetapi dalam kenyataan sehari-hari tak jarang mereka hidup "etsi deus non daretur". seolah-olah tidak ada Allah, atau paling banyak hanya selektif menghayatinya. 
b. Pragmatisme:V
erbal, memang sering mengucapkan slogan-slogan yang menjanjikan dan merdu kedengarannya, tetapi dalam kenyataan menempuh jalan pintas tanpa mengindahkan prinsip-prinsip yang dijanjikan dalam sumpah jabatan dan berlawanan dengan semboyan-semboyan yang diucapkan, terutama janji-janji kosong menjelang pemilu.
c. Oportunisme:
Obral janji sebelum pelantikan, tetapi kemudian habis-habisan memanfaatkan posisi untuk memperkaya diri tanpa memperdulikan kepentingan umum, khususnya nasib rakyat kecil. Inilah logika mekanisme komersialisasi jabatan: bila jabatan diperjual belikan, maka pejabat cenderung merebut kembali dana yang telah dikeluarkannya untuk memperoleh jabatan itu, ditambah dengan keuntungan yang diharapkannya.
d. Formaisme:
Tampil memukau seperti (bukan: sebagai) tokaoh panutan, tetapi hanya secara munafik dan pura-pura tanpa hati nurani yang terusik. Demikianlah politikus tanpa hati nurani yang menjalankan polotik tanpa etika. yang penting bukan keyakinan pribadi, melainkan citra baik dalam masyarakat, entah citra itu mencerminkan kebenaran yang de fakto ada atau tidak. Kalau mengikuti skema perkembangan moral menurut lowrence kohlberg, tahap dan tingkatan perkembangan banyak orang yang termasuk elite bangsa kita amat rendah."
e. Positivisme hukum:
Bukan kebenaran dan Keadilan, melainkan kepentingan dan "dagang sapi" yang dijadikan tolak ukur. Bukan argumen, melainkan kekuasaan yang menentukan. Hal ini dikukuhkan dengan praktek "impunity" (yang tak selalu secara formalitas memanfaatkan celah-celah hukum, bahkan terang-terangan) dalm penafsiran dan penerapan hukum, sesuatu tanda kelemahan penegakan hukum.
2. Etika tanpa politik: etika melulu individual
    Tak disangkal lagi dan perlu ditegaskan bahwa bangsa kita yang notabenenya sebagai bangsa yang mempunyai etika dan berpegang teguh pada tradisi etis, tetapi ada kesan bahwasanya etika dan politik terpisah: politik tanpa etika dan etika tanpa politik. Sebagaimana Sokrates telah mengingatkan bahwa: "Pengetahuan saja bukanlah jaminan bahwa orang akan menghayati dan mengamalkannya". Ada kesan: Agama memang mempunyai kedudukan yang terhormat, tetapi lebih sebagai ritual belum menjadi inspirasi kehidupan nyata. Hal ini dipertajam oleh etika individual(istis) yang telah dikecam oleh Konsili Vatikan II. Dimana etika indivudualistis kurang berminat dan kurang peduli akan bidang sosial politik. Dalam kenyataan, dari ketidakpedulian ini lah yang kemudian membiarkan politik tanpa etika. Hal yang sama juga berlaku bagi orang beragama, dimana dalam penghayatannya agama lebih terarah pada lingkup batin dan pribadi yang sempit, bahkan lebih sebagai pelarian dari kesulitan hidup sehari-hari daripada sebagai inspirasi kehidupan.
B. Etika Dalam Masyarakat Majemuk
1. Masyarakat majemuk
    Etika dihayati dan diamalkan tidak hanya dalam ruang lingkup hampa, tetapi dalam keadaan konkret hidup dan karya kita sehari-hari yang majemuk. Oleh karena itu, faktor ini perlu diperhatikan.
a. Hidup bersama dalam kemajemukan
    Kita hidup dalam masyarakat yang berbeda keyakinan dan pendapat dalam banyak hal yang mendasar, tetapi harus hidup bersama dengan damai. Meskipun sering kali sifat-sifat pribadi seperti tabiat, watak, kepribadian lebih menentukan daripada keyakinan dan pandangan. Maka, generalisasi tidak tepat. Kemajemukan mempunyai banyak aspek atau sudup pandang, sehubungan dengan moral. Kemajemukan pandangan kiranya menyangkut kemajemukan agama atau keyakinan yang dipeluk. Selain itu, juga paham tentang moral sendiri (belum isinya) dapat berbeda, misalnya faktorkebebasan hati nurani.
b. Kemajemukan luas dalam masyarakat luas
    Indonesia memiliki kemajemukan dari aneka sudut, misalnya:
    - Kemajemukan sosio-religius
    - Kemajemukan sosio-kultural
    - Kemajemukan sosio-ekonomis
    - Kemajemukan sosio-politis
2. Kemajemukan, peluang atau ancaman?
    Kemajemukan merupakan fakta, maka dari itu semboyan negara kita "Bhinneka Tunggal Ika". ini berarti:
a. Kemajemukan sebagai peluang
    Ada kesadaran bahwa kita saling membutuhkan, saling melengkapi dan saling memperkaya untuk berkembang. Dari fakta, terutama juga kesadaran akan kemajuan itu, harus disimpulkan tanggung jawab etis untuk mendayagunakannya demi kesejahteraan bersama seluruh masyarakat (dan sebaiknya) dipahami sebagai peluang dan tanggung jawab untuk saling melengkapi dan saling memperkaya.
b. Kemajemukan sebagai ancaman
    Tetapi, perlu disadari juga bahwa kemajemukan bagi banyak orang tampil sebagai ancaman (SARA) meskipun bahaya ini realitas dan memang juga sudah sering terjadi, terutama selama beberapa tahun terakhir yang lalu pada akhir milenium kedua dan awal milenium ketiga. Ancaman itu menjadi kenyataan bila ada pihak-pihak berkepentingan untuk memanfaatkan kerawanan kemajemukan itu untuk kerusuhan tertentu atau dalam masyarakat bisa dikenal sebagai PROVOKATOR.
c. Kemajemukan sebagai tantangan
    Bagaimana mendayagunakan kemajemukan tersebut sebagai suatu peluang untuk saling melengkapi dan saling memperkaya itu? Disinilah para elite dapat berperan positif, sebagai satu kesatuan yang saling bersinergi sebagai suatu bangsa yang kaya akan kemajemukannya. Tetapi dalam kenyataannya tidak demikian.
C. Aspirasi kristiani etika kristiani
1. Aspirasi kristiani
    Kiranya pengertian "etika kristiani" sendiri tak selalu jelas. Ada beberapa kemungkinan menafsirkannya.
a. Sejauh bersumber pada Alkitab
    Tetapi, sejauh mana perntyataan etis Alkitab dari kontes yang berbeda ribuan tahun yang lalu juga berlaku untuk umat kristiani di sini, dalam kontes ini dan di zaman ini? Dalam kenyataan: tidak semua norma Alkitab dianggap berlaku!
b. Sejauh berkaitan dengan iman kristiani
    Tetapi sejauh mana pasal-pasal iman kristiani dapat disimpulkan bahwa norma-norma etika kristiani dalam kenyataan: dari pokok-pokok iman, misalnya kasih, memang ditarik norma (perintah) untuk mengasihi, tapi masih terlalu umum sifatnya.
c. Sejauh diajarkan gereja
    Tetapi dari mana gereja mengambilnya?
Dalam kenyataan: memang gereja dipandang berwenang menyatakan hal-hal yang menyangkut moral kristiani, sehingga sering menjadi tempat bertanya, meskipun hal ini bukan jaminan bahwa ajaran Gereja akan dianut, karena tidak sedikit yang bersikap selektif.
d. Sejauh berasal dari tradisi kristiani
    Tetapi sejauh mana tradisi itu masih berlaku untuk kita dewasa ini dalam dunia dengan keadaan yang tak hanya makin rumit, tetapi juga berbeda dan berkembang mekin pesat (akselerasi)? Dalam kenyataan, tak jarang juga masih ditanyakan: dulu bagaimana?
2. Apanya yang kristiani?
    Sebaiknya diperhatikan bahwa "kristiani" tidak hanya berkaitan dengan wahyu adikodrati dan tata penebusan, tetapi juga dengan wahyu kodrati dan tata penciptaan yang tak dilenyapkan, malahan justru diteguhkan dan diangkat. dengan kata lain, "kristiani" meliputi hal-hal yang bersumber pada wahyu adikodrati dan hal-hal yang pada dasarnya terbuka bagi penalaran akal sehatdan dengan demikian menyangkut apa yang juga dapat disebut nilai-nilai inklusif. Tetapi, juga sejauh menyangkut nilai-nilai "ekslusif", Gereja tetap menghargai keyakinan dan kebebasan hati nurani sesama, maka mampu hidup dalam kebhinnekaan. Karena itu, setiap kali harus diperiksa lebih teliti apa yang dimaksudkan kalau dipergunakan istilah "kristiani", tidak hanya menyangkut aspek-aspek inklusif dan ekslusif, melainkan juga soal apanya yang kristiani itu.
                                                          --- /Isinya?
                              Dapat ditanyakan< ataukah
                                                          --- \motivasinya?

                             /isinya
a. Bisa salah satu < atau
                             \motivasinya

    Bisa menyangkut hal yang isinya bersifat inklusif dalam arti "terbuka bagi penalaran akal budi", misalnya nilai kemanusiaan universal, sehingga dianut juga oleh kalangan non-kristiani, tetapi motivasinya termasuk nilai ekslusif, misalnya teladan kasi Yesus Kristus.

                                      /isinya
b. Bisa kedua-duanya < dan
                                      \motivasinya

    Bisa juga menyangkut ini yang dikaitkan dengan wahyu kristiani, jadi termasuk nilai ekslusif, misalnya perayaan Ekaristi atau hormat terhadap Sakramen Mahakudus, dan juga motivasinya bersumber pada wahyu kristiani itu, misalnya "lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku".
D. Peran penalaran akal sehat
1. Lebih inklusif daripada ekslusif
    Tak jarang apa yang dicap "lain" dianggap sama sekali berbeda, sedangkan ada banyak unsur kesamaan dan kebersamaan, sehingga mencari titik temu tak berarti mengingkari unsur-unsur ekslusif yang merupakan ciri khas suatu kalangan.
a. Inklusif               = lebih mengedepankan kesamaan dan kebersamaan
b. Ekslusif              = lebih mengedepankan hal-hal ciri khas yang tak dipunyai pihak lain.
2. Kesamaan dan kebersamaan semua
a. Kesamaan dan kebersamaan harus dikedepankan sebagai suatu pijakan bersama dalam hidup serta kerja sama di masyarakat majemuk.
b. Penalaran akal sehat = birpijak pada landasan kebersamaan dan mengutamakan titik temu semua pihak dalam hidup bersama dalam keadilan dan perdamaian.
3. Etika kristiani
    Istilah "kristiani" tak harus menakutkan karena mengandung banyak nilai inklusif.
a. Meskipun etika merupakan implikasi atau konsekuensi iman, namun etika etika bukan dogma atau misteri (bukan soal percaya atau tidak).
b. kesimpulan argumentasi etika berdasarkan penalaran akal sehat dalam cahaya iman, maka harus persuasif (meyakinkan).
c. Praktis semua norma etika kristiani termasuk hasil penalaran akal sehat, maka pada prinsipnya terbuka bagi semua.
4. Isinya bisa sama, motivasinya bisa beda
a. Sama isinya
    Menghayati norma kristiani tak harus berarti berprilaku berbeda, karena kesamaa dan kebersamaan jauh lebuh baik daripada perbedaan, khususnya bila menyangkut nilai-nilai kemanusiaan lintas-batas.
b. Beda motivasinya
    Agama dapat memberimotivasi khusus. Misalnya, perawat kristiani melaksanakan tugasnya penuh kasih, tetapi motivasinya (pendorong dan penjiwaan) bisa diambilnya dari mat 25:36 "ketika aku sakit, kamu mengunjungi aku", sedangkan perawat non-kristiani bisa menimba inspirasi lain dari agama yang dianutnya.
KESIMPULAN:
Perbedaan agama juga dalam masyarakat majemuk ini tak usah menjadi penghambat dalam mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan, bahkan sebaliknya sebagai suatu bangsa yang majemuk justru harus mendorong untuk mencari titik temu dalam usaha mensejahterahkan masyarakat.