Membangun demokrasi merupakan anti tesis terhadap
praktik otoriterianisme dan totaliterisme
dalam segala bidang kehidupan,
baik politik, ekonomi, hukum, maupun menyangkut hubungan publik-Negera.
Dalam sejarah lembaga-lembaga dan individu-individu
ketika menancapkan geliat demokrasi
seringkali disandarkan pada kenyataan kebuthuan mereka untuk hidup
berbangsa dan bernegara,
agar tidak dimanipulasi oleh kekuatan eksternal (militer refresif,
kekuatan modal, dan sebagainya).
Wacana tentang demokrasi selalu menantang untuk dikaji. Dalam sejarah Negara di Barat, perdebatan tentang wacana demokrasi marak dipenuhi oleh parah kampiun pemikir, praktisi politik, hingga ideolog. Geneologi sejarah pemikiran politik Barat menguak bahwa pada jaman klasik sebenarnya Negara demokrasi tidaklah begitu diidamkan. Ada banyak alasan, diantaranya adalah pengalaman empiris Negara Athena yang Sistem demokrasi akhirnya dinilai sebagai model paling lemah dari sistem Negara. Demikian kira-kira beberapa wacana yang sempat mengharu-biru dunia perpolitikan Barat sebagaimana diasumsikan oleh Plato, Aristoteles hingga Thomas Aquinas (intuk kajian pengantar lihat, Ahmad Suhelmi: 1999).
Sejarah demokrasi terus bergulir. Publik (para pemikir, intelektual organik, dan juga creative minority groups) politik Barat telah sampai pada kebutuhan egaliterianisme, kemerdekaa berfikir, penentangan terhadap terhadap sistem oligarkis dan ortodok. Mereka mulai melirik sistem yang bisa menjamin aktualisasi konsepsi di atas. Kebutuhan terhadap sistem organisatoris termasuk di dalamnya Negera yang memberikan peluang keterlibatan diri untuk memikirkan nasib sendiri adalah keniscayaan.
Sistem Negara demokrasi kemudian didapkan dengan sistem Negara otoriter, totaliter. Pengalaman Barat selama ini yang dikuasai kaum aristokrat, borjuis dan pemerintahan otoriter-totaliter-fasis dirasakan tidak memberikan ruang keterlibatan publik secara luas, misalnya; pengalaman pahit mereka ketika berada dalam kungkungan raja-raja, Hitler, Lenin, Stalin, Mussolini dan semacamnya adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dibantah turut mengontribusikan akar sistem Negara demokrasi.
Jika ditarik lebih ke depan, seperti ditulis Samuel P. hungtingtion (1991), perjuangan menuju Negara demokrasi itu berdarah-darah; memakan korban publik yang tidak sedikit. Amerika Latin, sebagai contoh yang ungkap Hungtington adalah gambaran umum betapa mewujudkan demokrasi merupaka cita-cita yang aralnya begitu dahsyat. Demokrasi sebagai suatu sifat dan sikap universum telah menandaskan rongga cita-cita setiap insan publik dalam suatu Negara. Sesuatu yang harus segera diperjuangkan dan direalisasikan.
Membangun demokrasi merupakan anti tesis terhadap praktik otoriterianisme dalam segala bidang kehidupan, baik politik, ekonomi, hukum maupun menyangkut hubungan politik -Negeara. Dalam sejarah lembaga-lembaga dan individu-individu ketika menacapkan geliat demokrasi seringkali disandarkan pada kenyataan kebutuhan mereka untuk hidup nerbangsa dan bernegara agar tidak dimanipulasi oleh kekuatan eksternal (militer, refresif, kekuatan modal, dan sebagainya). Gambaran umum tentang bangunan berdemokrasi ini berkaitan erat dengan isu penguatan lemabaga berhadapan dengan Negara totaliter, model perlawanan, dan sebagainya.
Demokrasi sebagai sistem signifikan untuk membentuk struktur kesempatan politik (political apportunity structure) adalah cita-cita setiap aktifis demokrasi. Di dalam buku "aktor demokrasi",---hasil penelitian bersama yang diketahui oleh Arief Budiman dan Olle Tornquist---merupakan gambaran analitis yang cukup mendalam tentang sajian perjuangan para kator demokrasi dalam merealisasikan demokratisasi, termasuk kelemahan dan kelebihannya. Perwujudan demokrasi di Indonesia adalah sejarah panjang yang tak bisa terlupakan dan dilupakan. Arief Budiman dan Olle tornquist membidik geliat sejarah perjuangan demokrasi di era pemerintahan otoriter Orde Baru. Tesis yang coba-dikembangkan adalah siapa saja mereka, bagaimana karakteristis aktor tersebut, apa isu-isu yang dilontarkan, dan bagaimana metode perjuangan mereka?
Ilustrasi geliat perjuangan demokrasi dalam buku tersebut cukup menarik. "dalam keadaan dimana masyarakat dibatasi kebebasannya, setiap usaha yang menentang pemerintah, apapun alasannya, dapat diaktana punya dampak bagi penegakan demokrasi.
Sebab, gerakan ini memperlemah Negara otoriter yang ditentangnya. Kalau gerakan ini berhasil, dia memperluas ruang demokrasi yang sebelumnya dibatasi. Kalau tidak berhasil paling sedikit gerakan ini bisa memberikan inspirasi kepada orang atau kelompok yang ada di masyarakat bahwa pembatasan kebebasan yang dilakukan pemerintah harus dilawan".
Menurut Arief Budiman dan Olle Tornquist, pengalaman membangun demokrasi di Indonesia mengalami pasang surut, dan yang paling penting dari masa ke masa, gerakan pro-demokrasi selalu kandas. Pasang surut perjuangan demokrasi disertai kekandasannya, disebabkan oleh faktor adanya hubungan erat antara demokrasi dan peran militer dalam politik kaum sipil.
"Kalau kaum miliiter mencampuri kehidupan pilitik sipil, maka hasilnya biasanya adalah pemerintahan otoriter". Dalam setiap kasus dimana aktor demokrasi terlibat di dalamnya, militer yang refresif memang begitu menghambat arus gerakan demokrasi era Orde Baru, misalnya tampak dari ragam intimidasi, paksaan, penahanan,bahkan teror yang dialami aktor demokrasi.
Analisis tersebut nampaknya tidak sendirian. William R. Liddle (1996)---dengan persfektif budaya politik dan kepemimpinan---menyebutkan, ketika Orde Baru berkuasa demokrasi sangat sulit dipraktiskan di Indonesia karena beberapa tesis
1. Adanya institusionalisasi Soeharto---seseorang yang berasal dari militer sendiri---sebabagi kekuatan penguasa totaliter.
2. Sokongan kekuatan militer refresif bersenjata yang senantiasa siap menghadang dan menghabisi kekuatan demokrasi.
Analisis lainya dari Anders Uhlin (1998). Uhlin menandaskan beberapa faktor otoriterianisme, salah satunya adalah ABRI. Analisis tersebut diperkuat oleh pengalaman aktifis Lingkar Studi-aksi untuk demokrasi Indonesia (LS-ADI) Jakarta ketika menyelenggarakan "pelatihan advokasi buruh" (PAB). Dala kesimpulan LS-ADI, militer tidak mau disaingi---bahkan dalam kesan sekalipun---oleh kekuatan lain yang selama ini menjadi musuh bebuyutannya. Pelatihan Buruh kemudian dikonotasikan sebagai identik dengan gerakan komunisme (neo-PKI). Padahal, PAB itu hanyalah sebagai respon terhadap penindasan buruh, dan pencarian alternatif bagaimana cara mengadvokasi buruh. PAB itu dibubarkan paksa. stigmatisasi selalu menjadi senjata penguasa Orde Baru untuk menangkal gerakan demokrasi, termasik stigmatisasi fundamentalisme Islam misalnya (proceeding PAB, LS-ADI, 1997, unpublished).
Studi Arief Budiman dan Olle Tronquist mempertegas kenyataan pentingnya aktor demokrasi dalam turut menyumbangkan persfektif sistem politik yang membuka ruang sepenuhnya bagi partisipasi masyarakat. Untuk menunjukkannya, Arief Budiman dan Olle Tornquist membuktikan telaanya dengan beberapa pokok bahasan;
1. Mempelajari sifat-sifat dari gerakan pro-demokrasi, motivasi gerakan ini dan dampak yang diakibatkannya, serta kelanggengannya.
2. Mempelajari isu-isu dan kepentingan-kepentingan dari gerakan-gerakan ini, serta metode gerakan yang dipakainya.
3. Mempelajari jaringan gerakan-gerakan ini, apakah terbatas sampai pada taraf lokal saja, atau berkembang menjadi gerakan nasional bahkan iternasional.
4. Mempelajari keterkaitan antara gerakan yang satu dan gerakan lainnya samapai gerakan ini mecapai puncaknya pada gerakan mahasiswa tahun 1998.
Hal ini untuk menunjukkan bahwa keberhasilan sebuah gerakan pro-demokrasi merupakan kerja bersama yang panjang dari baebagai kelompok dan perorangan secara estafet. Gerakan pro-demokrasi pad era Orde Baru beragam, yaitu; gerakan koreksi dan konfrontasi (dilihat dari metode), gerakan regional dan internasional (ditinjau dari keluasan daerah gerakan), serta gerakan pers dan gerakan partai (dilihat dari aktornya).
Arief Budiman dan Olle Tornquist memilih beberapa kasus geliat pro-demokrasi dengan berbagai tipologinya. Ada kasus Kedung Ombo, Nipah, Buruh Medan, Pembredelan Tempo, Perjuangan Suku Amungme, Sabtu Kelabu 27 Juli 1996, Persekutuan Mega-Bintang.
Ditambah lagi dengan gambaran umum tentang bagaimana proses geliat pro-demokrasi dalam melakukan perlawanan, misalnya; bagaimana cara mereka menyusun prioritas isu,; bagaimana mereka menggalang sistem orientasi dan mobilitas masyarakat; bagaimana pandangan mereka terhadap militer; bagaimana mereka membangun jaringan di tingkat lokal, nasional, internasional; dan sebagainya.
Akhirul kalam, telaah aktor demokrasi, sebagaimana ditunjukkan pada tulisan di atas itu sangat bermanfaan sebagai refrensi bagi aktifis pro-demokrasi yang akan melanjutkan perjuangan demokrasi. Oleh karena itu, pembacaan terhadap persfektif mereka menjadi sangat penting bagi aktifis pro-demokrasi, bahkan siapapun yang menginginkan perubahan menuju kesejahteraan publik dan penguatan civil society. Bagi kelompok politik yang biasa berkonspirasi dengan kekuatan korup dan meliteristik, serta hanya menginginkan otoriterianisme terjadi di Negeri ini, juga perlu melirik dan menghayati telaah mereka. Sebab, siapa tahu bisa menjadi jalan mendapatkan hidayah Tuhan untuk turut terlibat bersama aktifis pro-demokrasi dalam menggeliatkan demokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar