Sosial Politik

Sabtu, 30 April 2016

MORALITAS PEMBANGUN

Dalam persfektif agama, manusia adalah hasil ciptaan Tuhan.
Manusia merupakan makhluk Tuhan.
Term sebagai makhluk Tuhan bermakna,
bahwa manusia harus tunduk kepada keagungan dan kebesaran Tuhan,
serta selau patuh terhadap semua aturan-Nya.

       Ekses pembangunan dan model pembangunan akhir-akhir ini menjadi fenomena menarik di Indonesia. Model pembangun memang menentukan ragam eksesnya. Jika ekses pembangun disinyalir menimbulkan kesenjangan sosial, maka diperlukan perbaikan dalam pilihan pembangunan yang ada, atau agar pembangunan membawa ekses positif-afirmatif sewajarnya memiliki dibutuhkan kode etik. Kode etik pembangun adalah moralitas pembangunan.

      Pembangunan sebagai sebuah upaya Negara dalam menyejahterahkan rakyat memiliki dukungan dari infrastruktur dan suprastruktur. Infrastruktur adalah lembaga dengan orang-orangnya yang berfungsi sebagai sarana pembangunan. Sedangkan suprastruktur merupakan sistem yang membawahi roda pembangunan tersebut. Jadi dengan begitu, maka sasaran moralitas pembangunan adalah suprastruktur dan infrastruktur. Lalu pertanyaannya adalah:
Moralitas apakah yang ideal bagi seluruh pembangunan, apakah dari Tuhan ataukah dari kontraktual (kontrak sosial) masyarakat.

     Garis pemisah antara konsep dan praktik mengandaikan perbedaan yang selalu ada dalam semua sentralitas pemikiran. Dalam diskursus moral--sebagai pengetahuan atau ilmu pengetahuan---titik fokus bahasannya akan tetap mengacu kepada pengandaikan tersebut di atas. Di mana akan ada pelaku konsep moral dan konsep moral itu sendiri.

      Antara pelaku dan konsep moral dijembatani oleh objek moral. Diandaikan ada tiga hal yang mendasari keyakinanasal-muasal ajaran moral, yaitu: dari Tuhan, dari kesepakatan, kontrak sosial, dan gabungan dari keduanya.

      Keyakinan pertama berlandaskan kepada basis normatir realitas moral berasal dari ajaran Tuhan. Dasar pijakan moral---secara praktis---hanya untuk Tuhan. Keyakinan kedua memandang moral sebagai proyeksi kesepakatan masyarakat. Realitas moral tidak ada yang bersifat spekulatif; tidak mempunya pengaruh for the next. Moral hanya untuk integritas masyarakat, Yang menjadi tujuan adalah fakta sosial masyarakat.

     Sedangkan keyakinan ketika mengasumsikan bahwa moral memang berasal dari Tuhan, tapi bentuk teknisnya dari masyarakat. Artinya, Tuhan dalam memberikan konsep moral hanya yang bersifat global, umum, dan mendasar saja. Sementara, interpretasinya untuk diaktualisasikan dalam ruang sosial merupakan kesepakatan masyarakat. Realitas moral dengan demikian adalah hukum Tuhan serta paksaan yang berlaku dalam masyarakat dan lingkungan.

      Hadits Nabi Saw. menyatakan "sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak (moral) yang mulia." Secara Bahasa Arab, kata buitsu adalah dalam bentuk kata kerja pasif, "aku diutus". Siapa yang mengutus, memanifestasikan konsep tentang sumber ajaran moral dan subjeknya. Kata Liutammima berbentuk kata kerja aktif, "menyempurnakan". Berarti terdapat pengertian adanya subjek moral.

      Kata "Aku" memperjelas posisi manusia dalam hubungannya dengan moralitas, apakah berasal dari masyarakat dan/ atau Tuhan merupakan subjek  dan objek moral. Suatu hal yang memperkuat tesis mengenai titik sasaran moralitas pembangunan., yakni suprastruktur dan infrastruktur; manusia dan kehidupan.

       Mekanisme dan teknis pembangunan dilaksanakan oleh pemerintah (yang berwenang) sebagai lembaga eksekutif. Pemerintah dipilih oleh rakyat setiap lima tahun untuk mengemban amanat pembangunan. Asasnya adalah keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan dalam makna di atas merupakan pembangunan seutuhnya; dari segi material dan spiritual.

      Premis subjek dan objek moral bersifat sekaligus; jalin-berkeadilan. Oleh karena itu, yang menafikan keseimbangannya berarti meniadakan arti kemanusiaan. Sementara itu, dalam praktik, sangat bisa dipastikan pembangunan memiliki ekses terhadap kehidupan kemanusiaan. Moralitas pembangunan dengan demikian berarti membangun dalam artisesungguhnya; memenuhi harkat dan martabat manusia secara utuh.

      Dalam pada itu, mekanisme dan teknis pembangunan itu eksesnya sangat dipengaruhi oleh metodenya; asas teoritis praktisnya yang berkesinambungan. Karenanya yang mendambakan ekstrimitas matearilistik, akan menghasilkan pemenuhan material secara maksimal. Tapi bahayanya manusia hanya menjadi subjek material saja dalam pembangunan.

      Dengan metode ini persaingan yang mengerikan (hukum rimba) akan dilegalkan. Yang mengharapkan hedonisme dalam pembangunan hanya akan mendapatkan kenikmatan pembangunan. Sedang manusia hanya menjadi alat yang dieksploitir untuk memperoleh hasil pembangunan tersebut.

      Tampak jelas, ekstremitas materialistik metodologis dalam pembangunan akan mereduksikan harkat dan martabat manusia. Menurut hemat saya, yang ideal untuk sekarang ini adalah "balance" (keseimbangan) antara pemenuhan manusia sebagai subjek dan objek pembangunan. Lalu apakah yang membuktikan tesis ini?

      Dalam persfektif agama, manusia adalah hasil ciptaan Tuhan. Manusia merupakan makhluk Tuhan. Term sebagai makhluk Tuhan bermakna, bahwa manusia harus tunduk kepada keagungan dan kebesaran Tuhan, serta selalu patuh terhadap semua aturan-Nya.

      Sementara itu, dalam persfektif sosiologis, manusia adalah individu yang merupakan realitas personal yang membentuk masyarakat dan sekaligus struktur sosial yang melingkupinya. Tesis diatas mengejawantahkan justifikasi mengenai keberadaan moral (akhlak) yang berasal dari Tuhan dan kontrak sosial.

      Kecenderungan dari tesis tersebut relevan dengan eksistensi kemanusiaan. Artinya, manusia itu secara natural adalah mikrokosmos (termasuk di dalamnya masyarakat). Di samping itu, masih secara natural, ia adalah pribadi unik yang berdimensi material dan spiritual. Oleh karena itu, ketika ia dituntut bergerak dalam ruang balance merupakan sesuatu yang wajar.