Profesionalisme ideal adalah profesionalisme yang melihat dunia
dalam persfektif material
untuk diarahkan kepada usaha merealisasikan pemenuhan
tujuan-tujuan logis dan kehidupan yang penuh makna,
baik bagi diri pribadinya maupun orang di sekelilingnya.
Hijrah Rasulullah dan Kaum Muslimin dari Mekkah ke Madinah merupakan suatu fenomena bersejarah dalam dunia Islam. Secara historis, hijrah memiliki banyak arti penting bagi tonggak eksistensi dunia Islam. Hijrah merupakan etos alternatif yang hendak diupayakan Islam, yakni mengejawantahkan visi doktrinalnya Al-Amanah dan At-Ta'dil (kesejahteraan dan keadilan sosial).
Makna hijrah secara etimologi mempunyai arti pindah. Kata ini adalah bentuk masdar (sandaran bentuk kata benda) dari akar kata Hijara. Sedang berdasarkan terminologi hijrah berarti pindah untuk menghindari perbuatan, aktivitas, dan kegiatan yang merugikan nilai kemanusiaan menuju alternatif perbuatan, aktivitas dan kegiatan bermanfaat bagi etos humanitas.
Dengan kata lain, hijrah berarti mengorientasikan berbagai macam alternatif untuk meninggikan rasa kemanusiaan. Alternatif ini merupakan indefferensia (pilihan) seseorang---dengan kesadaran dan segenap pengetahuannya---untuk menentukan arah dan langkah-langkah dalam hidupnya. Jadi hijrah itu bukan berarti menyerah kepada keadaan, tapi lebih merupakan usaha mencari wawasan demi problem solving dan arahan menuju suksesnya target-target program hidup seseorang.
Rasulullah beserta Kaum Muslimin berhijrah bertujuan untuk menjaga stabilitas iman. Sebuah pilihan alternatif yang bermakna pengejawantahan pertahanan lebih daripada penyerahan. Hijrah merupakan langkah menyusun strategi untuk kemenangan yang tertunda.
Sebagai strategi terlihat terutama di saat hijrah ke Madinah. Afiliasi dengan masyarakat setempat---yang mengeluh-eluhkan beliau Saw.---dipergunakan dengan baik oleh Rasulullah. Kesuksesan penyusunan strategi ini terlihat ketika Rasulullah berhasil mendirikan lembaga Negara di Madinah.
Dengan kekuatan ini beliau beserta kaum Muslimin mengadakan Fath al-Makkah (perebutan kembali kota kelahiran Mekkah). Itu berarti hijrah bukan penyerahan diri kepada keadaan, melainkan exi stategy untuk arah kehidupan yang lebih baik.
Permasalahnnya adalah bagaimana memaknai kembali makna hijrah untuk masalah kekinian? Implikasi dari pertanyaan tersebut adalah nilai makna hijrah---yang sedemikian rupa itu---mesti mengimajinasikan etos profesionalisme ideal.
ETOS PROFESIONALISME
Profesi (dalam bahasa Inggris Prifession) memiliki makna pekerjaan dengan keahlian khusus sebagai mata pencaharian tetap. Kata profesional adalah bentuk subjek dari kata profesi. Profesionalisme adalah paham yang menganjurkan untuk mempunyai skill khusus dalam bidang masing-masing, demi menghasilkan etos kerja yang baik dan matang secara interdisipliner.
Kata prifesonalisme---dalam arti tertentu---sangan dipengaruhi oleh kata yang melekat padanya. Kata "petinju profesional" dan "intelek profesonal" misalnya, memiliki makna yang berbeda. Kata pertama berarti seseorang ahli tinju, dan karena keahlianya ia menjadikan tinju sebagai mata pencaharian tetap. Sedangkan yang kedua mempunyai arti orang yang memiliki keahlian khusus dalam bidang keinteltualan yang dijadikan mata pencaharian tetap. Hal ini bisa kita analogikan pada istilah lain, misalnya pencopet profesional, perampok profesional, ulama profesional, dan seterusnya. Berdasarkan problema kata ini mesti dipertanyakan, yaitu apakah paham profesionalisme dengan pemaknaan terbatas sebagai akumulasi skill khusus bersifat bebas nilai?
Paham (isme) adalah kegiatan memahami objek untuk diasumsikan menjadi suatu aliran paham. Suatu paham terejawantahkan ke dalam subjek yang sedangn melakukan tindakan memahami. Istilah paham dikaitkan dengan istilah ideologi ketika kita akan diorientasikan kepada tataran praksis. Berpijak kepada pengertian istilah paham dan ideologi ini maka bisa diasumsikan, bahwa pertanyaan di atas dijawab dengan negatif. Dengan kata lain, profesionalisme tidak terbatas pada pemaknaan skill khusus yang bebas nilai. Akan tetapi lebih dari itu, bisa juga berorientasi pada akhlak (etika).
Dalam konsep Islam, profesionalisme sangat ditekankan. Merujuk QS. 53:39, diterangkan, bahwa seluruh kredibilitas manusia itu tergantung kepada yang diusahakannya. Usaha yang tidak maksimal (baca: tidak berorientasi kepada ilmu pengetahuan) akan sepadan pula hasilnya. Nilai profesionalitas menjadi ukuran bagi tingkat intensitas usaha yang telah dikerjakan oleh seseorang. Lalu, apakah nilai profesionalisme ideal itu?
Profesionalisme tidak terbatas pada skill khusus yang bebas nilai. Dengan begitu idealnya bisa dibawah kepada akulturasi nilainya yang material dan non-material. Alasannya, profesionalisme ketika melekat pada identitas seseorang menghasilkan hubungan-hubungan intens antarmerekal. Sementara hubungan itu bisa dikategorisasikan kepada hubungan material dan non-material.
Hubungan material memiliki ciri khas. Yakni, bila dikaitkan dengan tindakan profesionalisme, hubungan yang berorientasi kepada kepentinganmaterial semata tersebut akan menghasilkan tingkah laku material. Hubungan tersebut lebih jadi menghalalkan segala cara.
Contoh kongkret, barangkali bisa disebutkan kasus Edi Tansil, ketika membobol bank. Boleh jadi---keputusannya untuk malarikan diri didasarkan pada hubungan material ini. Dia yang demi bisnis---sampai menghalalkan segala cara (korupsi)p---akan tidak sabar, kalau hidupnya hanya berdiam diri dipenjara. Baginya hidup di dalam penjara jelas tidak akan bermanfaat secara material.
Atas paham profesionalisme semacam ini, maka melarikan diri adalah jalan terbaik baginya, meskipun perbuatannya itu merugikan pihak-pihak lain (misalnya, pihak kehakiman). Tampak disni profesionalisme "material" mengesploitasi orang lain, termasuk juga orang yang memberi bantuan jalan keluar baginya untuk melarikan diri. Kalau seandainya diketahui, maka---paling tidak---dia akan didakwa pula secara hukum.
Sementara itu, hubungan non-material adalah interaksi yang bermuara kepada tercapainya tujuan-tujuan logis dan tidak saling merugikan. Hubungan non-material itu juga mempunyai ciri khas. Yaitu, hubungan tersebut berprinsip kepada kesadaran akan hakikat diri untuk tidak melakukan hubungan yang merugikan.
Peristiwa Abu Ishaq as-Sirozi (faqih besar di zaman Daulah Abbasiyah) dan Al-Ghozali barangkali bisa dijadikan ilustrasi untuk makna hubungan ini. Konon masyarakat waktu itu mengisukan pengangkatan Abu Ishaq untuk jadi mahaguru di Universitas an-Nhidomiyah. Abu Ishaq yang punya skill khusus dibidang fikih itu---semakin gencar diisukan. Ini pun menjadi makna bagi kita, bahwa fiqih memang sangat populer dan dibutuhkan masyarakat yang komplekas dan metropolis waktu ini.
Tetapi ketika hari pengangkatan itu tiba, kenyataan menjadi lain. Abu Ishaq melarikan diri, menghindari jabatan. Masyarakat bertanya-tanta, gerangan apakah yang terjadi pada Abu Ishaq? Tatkala ditanya di tempat persembunyiannya, beliau menjawab : "saya takut untuk digaji dari jabatan saya. Gaji itu mengganggu saya dalam pekerjaan saya. Jabatan itu memporak-porandakan keikhlasan saya."
Tampak keteguhan hati Abu Ishaq tidak mengubah tawaran yang diberikan kepadanya. Yang menarik adalah Abu Ishaq tidak gentar menghadapi khalifah. Padahal waktu itu jika terdapat seorang ulama yang tidak mengindahkan khalifah, maka dianggap membangkan kepada khalifa dan Negara. Selanjutnya dapat dipastikan dia akan menerima hukuman (mihnah). Bagi kami perbuatan Abu Ishaq ini terlepas dari keadaan yang melatar belakanginya---tidak menyelesaikan masalah. Dia hanya demi keselamatan pribadinya untuk mengabdi kepada Allah, marelakan keselamatan masyarakat untuk tidak diurusnya. Oleh karena itu, keputusannya untuk menolak jabatan sebagai mahaguru di bidang fikih tersebut tidak masuk dalam kategori profesionalisme ideal.
Kemudian Al Ghazali ditunjuk sebagai pengganti Abu Ishaq. Penerimaan sikap Al-Ghazali, sekalipun pernah mengalami pergolakan pemikiran dalam dirinya---dari seorang filsuf ke seorang sufi sampai meninggalkan jabatan tersebut kemudian kembali lagi ke an-Nhidhomiyah---sesungguhnya menunjukkan, bahwa perbuatan Al-Ghazali termasuk kategori profesionalisme ideal.
Dengan persfektif tasawuf, menilai "keputusan" Al-Ghozali di atas adalah sangat urgen. Tasawuf melihat dan menilai realitas dengan segala kesadaran, penuh muatan rohani dan riyadhah menuju kepada pengejawantahan tujuan-tujuan logis dan kemanfaatan hidup yang penuh makna, baik bagi diri pribadinya ataupun orang lain.
Dalam konteks keputusan Al-Ghozali tersebut persfektif tasawuf menyatakan bahwa profesionalisme ideal adalah profesionalisme yang melihat dunia dalam persfektif material untuk diarahkan kepada usaha merealisasikan pemenuhan tujuan-tujuan logis dan kehidupan yang penuh makna, baik bagi diri pribadinya maupun orang di sekelilingnya.
SPIRITUALITAS:arapan Peradaban
Gambaran umum orang tentang dunia akan sangat dipengaruhi oleh paradigmanya mengenai realitas duniawi. Seseorang yang materialistis akan melihat dunianya dengan mengejawantahkan langkah-langkah praktis menuju pemenuhan kebutuhan-kebutuhan materialnya. Penganut paham idealisme mengorientasikan dunianya kepada semangat ide-ide. Baginya ide-ide yang melahirkan intelektualisme an sich yang akan dapat menguasai dunia.
Pemihak agnotisisme memandang dunianya sebagai persfektif kesadaran "tanpa aktifitas". Dunia baginya adalah sebuah gradualisasi kesadaran. Tingkat kesadaran ini---meskipun tanpa aktifitas---merupakan gejala umum bagi seseorang untuk menghalangi laju dunia. Dunia mesti tidak memengaruhinya. Nilai material tidak ada artinya sama sekali bagi mereka.
Bila dianalogikan dengan tema yang kita bahas dalam pembuka tulisan ini, yakni tentang hijrah, maka bisa diandaikan bahwa kalau kaum Anshor dalam profesionalismenya hanya berpandangan material, maka mereka akan sangat dikuasasi oleh kepentingan material. Mereka akan senantiasa perhitungan terhadap materi yang telah dikeluarkannya. Mereka akan merasa dirugikan oleh kedatangan kaum Mihajirin. Mereka seolah-olah akan berkata : "mengapa kami mesti membantu mereka, sedangkan mereka selalu dalam kesusahan, lalu kapan mereka akan membayar utang mereka?"
Tetapi tidaklah demikian pandangan kaum Anshor. Mereka tetap meyakini, Tuhan akan menolong mereka. Kesadaran inilah yang membawa mereka kepada profesionalisme ideal. Profesionalisme yang berbasiskan spiritualitas. Yakni, penyerahan diri secara total dalam kesadaran meyakini Tuhan sebagai Al-Shamad (tempat bergantung sejati). Spiritualitas inilah yang mengarahkan mereka kepada akulturasi antara profesionalisme non-material dan profesionalisme material.
Meskipun begitu, bukan berarti profesionalisme dalam hubungan material harus dimusnahkan dan dihancurkan. Pemusnahan dan penghancuran terhadap kondisi-kondisi akumulasi material akan menyatakan makna pelarian diri dari kenyataan manusia yang material pula. Oleh karena itu, profesionalisme mesti diarahkan kepada kesadaran akan nilai hubungan yang sebenarnya. Pandangan material tentang profesionalisme mesti diingatkan kepada nilainya yang juga non-material.
Etos profesionalisme bukan berarti meninggalkan segi-segi material dan bukan terlalu mengagungkannya. Tetapi, etos profesionalisme yang sebenarnya adalah nilai materialis yang diarahkan kepada spiritualitas yang dilingkupi oleh kesadaram akan dasar-dasar eskatologis. Yakni keyakinan akan kehidupan nanti setelah kehidupan pertama di dunia ini.
Dengan kata lain, profesionalisme yang sebenarnya adalah profesionalisme yang diarahkan demi pengabdian kepada Tuhan (baik material dan non-material). Kehidupan yang dimuarakan untuk beribadah kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar