Sosial Politik

Senin, 25 April 2016

MENEMUKAN KEMBALI LANDASAN MORAL MASYARAKAT MAJEMUK

MENEMUKAN KEMBALI LANDASAN MORAL MASYARAKAT MAJEMUK
Adhymuliadi (Jhon M. Prior, SVD)

1. Mission Imposible
   Kehidupan masyarakat kita sedang bergolak. Soeharto sudah lama tumbang, namun rezimnya-dengan penyesuaian sana-sini-berjalan terus. Banyak orang sudah kurang percaya pada cita-cita bernegara dan bermasyarakat seperti yang pernah menggerakkan roda nation building di Indonesia pada tahun 1950-an. Sikap skeptis semakin meluas terhadap reformasi politik yang dipentaskan di Jakarta oleh pelakon-pelakon elite negara. Rezim Orde Baru yang represif berhasil melemahkan-kalau tidak sama sekali menghancurkan-perangkat-perangkat sipil. Ternyata, keamanan dibawah kaki militer diganti dengan kekacauan dan kerusuhan yang disuluh oleh isu etis dan agama. Malahan, di Timor Barat dan tanah Papua perbatasan dengan negara-negara tetangga terjadi kekacauan, dan kita belum menyinggung hasrat manusia Papua untuk diakui sebagai manusia, dihargai sebagai citra dan gambaran Allah sementara tanah serta sumber alamnya berangsur-angsur menjadi tempat pijak sejuta pendatang. Di tengah pergolakan yang melanda seluruh wilayah Indonesia, tampaknya sedikit orang yang memperhatikan apalagi memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan umum. Orang sibuk merebut apa yang bisa direbut untuk kelompoknya sendiri.
     Kita menghadapi suatu pilihan yang sungguh menentukan:
melanjutkan situasi khaos seperti adanya sampai ke jurang kehancuran atau, berupaya menghasilkan kesepakatan (kontrak sosial) bersama-kecuali kita pasrah dan rela kembali ke rezim militer. Rezim militer sperti Orde Baru berdasarkan kekerasan sedangkan kontrak sosial berbasil moral.
    Dalam situasi yang serba kacau ini, Gereja tidak selalu menampilkan diri sebagai jalan keluar yang meyakinkan karena masalah-masalah kemasyarakatan sering tercermin di dalam persekutuan Gereja sendiri.
II. Masyarakat Majemuk
    Tulisan ini beranjak dari pengalaman atau realitas yang terjadi di kepulauan Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Walaupun paham "Indonesia Timur" bersifat artifisial, pembatasan manapun pasti bersifat agak artifisial juga. Yang jelas adalah bahwa Indonesia Timur-termasuk tanah Papua- merupakan wilayah yang sangat majemuk.
A. Kebudayaan Majemuk
     Kebudayaan-kebudayaan manusia Indonesia Timur termasuk golongan Austronesia, sedangkan manusia Papua hidup dalam ruang budaya Melanesia- Dua lingkup budaya yang sangat berbeda. Masing-masing lingkungan terdiri dari ratusan bahasa dan kelompok etnis. Sejarah mencatat bahwa pada umumnya kebudayaan-kebudayaan kita terlalu beragam untuk mendapat perhatian besar dari agama-agama mondial seperti Islam dan Kristen. Sama seperti kaum saudagar, kita kurang memakai bahasa rakyat setempat dan memilih untuk memakai bahasa administrasi, persekolahan dan perdagangan antarpulau, yaitu bahasa Indonesia.
     Hampir semua kebudayaan daerah di kawasan ini dapat disebut tribal  dalam arti terdiri dari lingkup budaya kecil-kecilan serta berdasarkan kekerabatan dan ikatan pada tanah/hutan/tempat. Walaupun para peramu dan petani pernah tinggal relatif terpencil satu dari yang lain, sebagian besar dari pulau-pulau di kawasan ini sejak dulu dilintasi kaum pelaut dan kaum saudagar yang berasal dari Indonesia, Mindanao, Cina selatan, India serta negara-negara Arab dan eropa. Dari sejarah saja sudah jelas bahwa paham seperti "ras", "suku" dan "kelompok etnis" bersifat politis. Sulit ditemukan lingkup budaya Indonesia Timur yang bersifat "murni". Umpamanya, ada sejumlah kampung di pulau Lembata (Flores timur) yang penduduknya berasal dari Ambon. Rupanya orang Kei Kecil datang dari Bali sedangkan darah Arab mengalir dalam sebagian orang sikka (flores tengah) dan semua ini terjadi ratusan tahun yang lalu.
B. Sejarah majemuk
    Sejarah masing-masing pulau di kawasan budaya Papua dan Indonesia Timur berbeda satu sama lain. Ketika kesultanan Ternate, Kesultanan Makassar dan Kesultanan Bima memegang kekuasaan, "daerah pengaruhnya"menjadi cukup luas. Penjajah Portugis turut menciptakan sejarah Nusa Tenggara Timur, Timor Lorosa'e, dan Maluku, sedangkan penjajah Belanda berangsur-angsur menaklukkan seluruh wilayah Indonesia Timur dan Papua Barat-paling kurang di atas kertas.
    Alur sejarah tidak pernah bersifat linear, mala kita tidak selalu dapat menemukan benang merahnya. Kisah sejarah sungguh berliku-liku. Kita perlu menyusun sejarah dari sisi manusia tersisih daripada menerima sejarah dari orang pusat; merumuskan sejarah dari sudut pandang mereka yang kalah dan bukan dari pihak kaum pemenang; mengakui sejarah seperti dikenang oleh kaum perempuan dan bukan melulu melanjutkan kisah kebanggaan kaum laki-laki; mendengar sejarah dari mereka yang mendiami wilayah ini daripada menelan begitu saja sejarah dari sudut mereka yang pernah mendudukinya; memandang sejarah yang bertolak dari ratusan kisah lisan daerah dan bukan sejarah yang takluk pada kerangka kisah tunggal-politik orang luar; mengakui seluruh keberagaman sejarah, Islam dan Kristen, Katolik dan Protestan. Dalam kemajemukan budaya, kita perlu merumuskan kembali jati diri kita secara utuh-terbuka.
C. Agama majemuk
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar