Kiranya mulai detik ini, pembangunan Bangsa dengan intrik tidak sehat harus segera diakhiri.
Tahun-tahun mendatang akan penting ditasbihkan menjadi tahun
ketulusan cinta.
momentum pengelolaan Negara menuju "Babak baru Indonesia".
Suatu babak yang babak yang di tandai dengan CINTA.
.....Siapa lagi yang mencintai Bangsa sendiri kalau bukan kita sendiri.....
Cinta Bangsa tidak diskriminatif.
Maling kita cintai, penghianat kita cintai.
Semuanya, yang jelek, yang baik kita cintai. Namun,
Begitu Hukum harus berjalan.
Beberapa penggalan kata di atas dapat mendeskripsikan bahwa dengan demikian, Pemimpin menjalankan kekuasaan dengan tetap dilandasi rasa cinta, bahkan menghukum pun falsafahnya do'a, "Semoga orang ingin menjadi baik."
(Soemitro dan Peristiwa 15 Januari '74, Heru Cahyono: 1998)
Pengalaman-pengalaman mengenai sistem pembangunan Indonesia terdahulu, memberikan ilustrasi mengenaiketiadaan ketulusan cinta. Kalaupun ada ketulusan cinta yang dimaksud, hanyalah muncul dari rongga suara, belum pernah manifest dalam realitas. Istilah yang familiar terdengar, ketulusan cinta dalam membangun Bangsa hanyalah seonggok---memakai tesis Kantian---niat baik (good will) yang belum pernah terealisir dengan dukungan nalasr praktis murni (pure practical reason) secara praktis empiris.
Dalam bahasa Hegelian, belum pernah menjadi kesadaran subjektif yang menyejarah, atau dengan asumsi Habermasian, belum pernah praksis de-liberative di ruang publik (public sphere).
Beberapa implikasi negatif faktual telah sering kita rasakan sebagai Bangsa. Sebagai rakyat kecil terutama kita sering alami dinodai dan diperkosa tanpa perasaan,dihadapi dengan repsesi, ditindas, dilecehkan, dikorbankan, serta dimarginalkan baik secara sosial, budaya, ekonomi, politik dan hukum.
Perasaan kita hinga hari ini mengatakan, implikasi negatif di atas merupakan indikator kegagalan pembangunan. Apakah itu pembangun secara mental (pembangunan kemanusiaan) atau pembangun secara fisik (pembangunan Bangsa). Hal itu ditandai oleh ketimpangan sistem dan disfungsi birokrasi. Dengan akibat lebih lanjut, kerusuhan sosial dengan varian perbedaan Agama, Ras, dan ketimpangan Ekonomi, yang konon timbul disebabkan oleh pengelolaan Negara yang diselewengkan (abused), seperti tampak dalam fenomena Agama (dan juga varian yang serupa: Ras dan Suku-Bangsa) yang dipolitisasi, dan ekonomi dinikmati segelintir golongan tertentu saja.
Kiranya mulai detik ini pembangunan Bangsa dengn intrik tidak sehat harus segera diakhiri. Tahun-tahun mendatang penting ditasbihkan menjadi tahun 'Babak baru Indonesia'. Suatu babak yang ditandai 'Pembangunan dengan Cinta'.
Pembangunan dengan cinta menandaskan sikap bebas memanifestasikan kebaikan dan kebenaran kemanusiaan, tanpa dilandasi rasa takut karena pertanggujawaban, tanpa pakewuh karena menyangkut (kesalahan) pimpinan, tanpa enggan dianggap menyalahi kebijakan organisasi karena membela kepentingan kesejahteraan rakyat, dan seterusnya.
Ilustrasi sangat bagus tentang pembangunan dengan cinta berlandaskan sikap bebas diberikan oleh Amartya Sen, peraih nobel dalam bidang Ekonomi tahun 1999, dalam buku berjudul Development as Freedom (1999).
Buku tersebut berikrat tentang sumpah setia sekaligus keharusan manifestasi tema di atas di ruang publik. "Pembangunan itu akan berhasil, jika berorientasi kepada pemenuhan hajak kebebasan manusia sebagai rakyat dan Bangsa. Pembangunan yang selama ini hanya berkecenderungan materialistis (dilihat dari indikator pertumbuhan dan pendapatan), dus tanpa hirau pada kebebasan (freedom) yang penuh hasrat cinta, kata Amartya, akan menuai kegagalan demi kegagalan."
Menurut Amartya Sen, ada lima "Instrumental" persfektif pembangunan membebaskan yaitu :
1. Political Freedom
2. Economic Facilities
3. Social Opportunities
4. Transparency Guarantees
5. Protective Security
Lima "Instrumental" pembangunan tersebut menjadi pra syarat sekaligus indikator suatu pembangunan dengan cinta; development as freedom (pembangunan yang bercitra dan mendorong masyarakat untuk secara kreatif membangun diri dan ranah sosial). Ketika lima persfektif di atas telah manifest di kanca publik, dus terbangun kondisi membebaskan bagi publik, maka sesungguhnya telah tercipta suatu suasana dan kesempatan bagi publik untuk mengembangkan masing-masing personal yang menjadi anggota publik tersebut. Jadi, kata kuncinya adalah kesempatan dan fasilitas untuk meraih hakikat diri secara personal dan publik sebagai warga Negara.
Akhirul Kalam, distingsi antara pembangunan yang membebaskan (Penuh Hasrat Cinta) dan yang sebaliknya terletak dalam orientasi pembangunan itu sendiri. Apa sisi pragmatis pembangunan tersebut bagi publik scara individu dan sosial. Oleh karena itu, tidak bisa disebut membebaskan, jika suatu pembangunan Bangsa masih menyisakan kemiskinan sebagai tirani, menyuburkan deprivasi sosial yang sistenmatis terhadap kesempatan ekonomi yang dimiliki miskin papa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar