Sosial Politik

Rabu, 18 Maret 2015

TEORI STRATIFAKASI SOSIAL




  1. Teori-Teori Stratifikasi Sosial Beserta Tokohnya
            Abrahamson berpendapat, bahwa teori stratifikasi sosial dari Weber, sebenarnya merupakan suatu tanggapan terhadap ajaran-ajaran Marx mengenai masalah tersebut. Salah satu pokok permasalahannya adalah mengenai dimensi stratifikasi sosial, yakni dimensi ekonomis, soial dan politis. Weber berpendapat bahwa di dalam setiap tertib, warga-warga masyarakat terbagi dalam kelas-kelas (ekonomis), kelompok status (sosial), dan partai-partai (politis).
Hubungan antara ketiganya bersifat timbal balik ; Marx menganggap, bahwa dimensi ekonomis menentukan dimensi-dimensi lainnya. Uraian di bawah ini, akan mempersalahkan hal-hal tersebut.
Sebagaimana dijelaskan, Weber menyatakan bahwa suatu kelas mencakup orang-orang yang mempunyai peluang-peluang kehidupan yang sama, dipandang dari sudut ekonomis. Dengan peluang-peluang kehidupan dimaksudkan sebagai kondisi hidup, pengalaman hidup dan kesempatan mendapatkan benda dan jasa.
            Menurut Weber pengertian kelas adalah untuk mengkaitkannya dengan pengertian pemilikan yang dipandangnya sebagai masalah situasi pasaran. Sebagaimana halnya dengan Marx, maka Weber melihat pasaran kapitalistik sebagai gejala yang mengeluarkan golongan yang tidak bermodal dari proses persaingan terhadap barang-barang bernilai tinggi.
Menurut pendapat Marx golongan borjuis memegang monopoli terhadap kesempatan-kesempatan atau peluang-peluang tertentu. Yang dikeluarkan dari proses persaingan adalah golongan proletar yang hanya dapat memberikan jasa-jasa. Akan tetapi, Weber mengadakan penjabaran lebih lanjut terhadap posisi-posisi di dalam kelas-kelas tersebut.
Menurut Weber, maka berbagai golongan borjuis, sesuai dengan varisai harta kekayaan yang dimilikinya. Hal yang sama juga merupakan gejala yang dapat dijumpai pada golongan yang tidak mempunyai harta kekayaan, yang hanya mampu memberikan atau menjual tenaganya.
            Marx beranggapan, bahwa golongan proletar tidak mengakui kepentingan sesungguhnya dari kelasnya ; dia berpendapat bahwa mereka harus mengakuinya dan akan berbuat demikian kelak dikemudian hari. Dengan cara lebih memberi tekanan pada konstruksi subyektif dari keadaan, Weber memintakan perhatian terhadapa halangan terjadinya aksi kelas.
Weber menganggap pertimbangan-pertimbangan terhadap kedudukan, sebagai halangan tambahan terhadap terjadinya aksi kolektif yang didasarkan pada posisi kelas. Di sini lah muncul perbedaan pendapat anatara Weber dengan Marx. Mengenai status atau kedudukan, Weber menganggapnya sebagai hal yang menyangkut gaya hidup, kehormatan dan hak-hak istimewa.
Hubungan antara kelas dengan status, merupakan masalah yang sangat penting bagi Weber. Di satu pihak Weber menyatakan, bahwa status dapat didarkan pada pemilikan (harta kekayaan), dan cenderung demikian pada masa mendatang.
Di samping itu, dia membedakan (secara tajam) antara status dengan ketamakan ekonomis semata-mata. Dia juga menyatakan bahwa kelompok bahwa kelompok status yang sama mencakup orang-orang dari situasi kelas yang berbeda-beda.
Weber juga mengetengahkan kondisi-kondisi di dalam mana suatu kelompok cenderung status cenderung menjadi kasta. Kondisi yang penting adalah, kalau status kehormatan status adalah identik dengan posisi kelas, serta berlangsung lama. Demikian juga halnya, apabila perbedaan status dikaitkan dengan perbedaan-perbedaan etnik atau rasial.
TERDAPAT BEBERAPA TEORI MENGENAI STRATIFIKASI SOSIAL :
1. Teori Stratifikasi Sosial Fungsional
Teori stratifikasi sosial merupakan teori sosial yang dikembangkan oleh Kingsley Davis dan Wilbert Moore (1945). Mereka memandang stratifikasi sosial sebagai sesuatu yang universal dan bagi mereka tidak ada masyarakat yang tidak terstratifikasi, karena masyarakat memerlukan sistem semacam itu dan terwujud dalam sistem stratifikasi. Stratifikasi sebagai struktur, dengan menegaskan bahwa stratifikasi tidak berarti individu dalam sistem stratifikasi namun sebagai sistem posisi.
Dalam hal ini Davis dan Moore tidak menekankan bagaimana mendapatkan posisi atau kedudukan itu dalam masyarakat, akan tetapi menekankan pada bagaimana cara posisi tertentu mempengaruhi tingkat prestise dalam masyarakat.
Persoalan dalam stratifikasi sosial-fungsional adalah bagaimana masyarakat memotivasi dan menempatkan individu pada posisi atau kedudukannya yang tepat di masyarakat, dan bagaimana masyarakat menanamkan motivasi kepada individu untuk memenuhi persyaratan dalam mengisi posisi tersebut. Penempatan sosial yang tepat dalam masyarakat seringkali menjadi masalah karena:
a.       Posisi tertentu lebih menyenangkan dari pada posisi yang lain.
b.      Posisi tertentu lebih penting untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat dari posisi yang lain.
c.       Posisi-posisi sosial yang berbeda memerlukan bakat dan kemampuan yang berbeda pula.
Dari ketiga hal di atas Davis dan Moore lebih memberikan perhatian pada posisi yang penting dalam masyarakat untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat. Ini merupakan posisi yang lebih tinggi tingkatannya dalam stratifikasi masyarakat yang memerlukan bakat dan kemampuan terbaik meski dianggap kurang menyenangkan. Oleh karena itu masyarakat harus memberikan penghargaan yang terbaik bagi individu yang menduduki posisi ini agar dapat bekerja dengan tekun. Sebaliknya posisi-posisi lainnya dianggap lebih rendah dalam stratifikasi masyarakat, kurang penting, dan tidak terlalu memerlukan bakat dan kemampuan terlalu besar namun menyenangkan. Selain itu masyarakat tidak terlalu menuntut individu yang menduduki posisi rendah ini untuk malaksanakan kewajiban mereka dengan tekun. Individu yang berada di puncak stratifikasi harus menerima hadiah/imbalan yang memadai dari fungsi yang dilaksanakannya itu dalam bentuk prestise yang tinggi, gaji besar, dan kesenangan yang cukup. Ini untuk meyakinkan bahwa individu mau menduduki posisi yang tinggi itu dalam masyarakat.
Namun teori stratifikasi sosial fungsional ini mendapatkan Banyak kritik, khususnya terkait dengan :
a.       Hak-hak istimewa yang diterima individu yang menduduki stratifikasi struktural yang tinggi dari masyarakat. Dan hal ini akan melanggengkan posisi istimewa orang-orang yang telah memiliki kekuasaan, prestise, dan uang. Karena orang-orang ini berhak mendapatkan hadiah/imbalan seperti itu dari masyarakat demi kebaikan masyarakat sendiri.
b.      Teori ini menyatakan bahwa struktur sosial yang terstratifikasi sudah ada sejak masa lalu, maka ia akan tetap ada di masa datang. Padahal ada kemungkinan bahwa masyarakat di masa depan akan ditata menurut cara lain tanpa stratifikasi.
c.       Ide tentang posisi fungsional yang berbeda-beda arti pentingnya bagi masyarakat sangatlah absurd. Pengumpul sampah meski dalam posisi rendah, tidak bergengsi dan berpenghasilan kecil namun mungkin lebih penting bagi kelangsungan hidup masyarakat di banding dengan seorang manajer periklanan yang berpenghasilan besar. Imbalan yang lebih besar tidak selalu berlaku untuk posisi yang lebih penting. Perawat mungkin lebih penting daripada seorang bintang film atau sinetron. Tetapi bintang film atau sinetron lebih besar kekuasaan atau pengaruhnya, prestisenya, dan penghasilannya dibandingkan dengan seorang perawat.
d.      Orang yang mampu menduduki posisi tinggi sebenarnya tidak terbatas. Hanya saja banyak orang yang terhalang secara struktural untuk mencapai kedudukan tinggi di masyarakat khususnya untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan untuk mencapai posisi bergengsi itu meski memiliki kemampuan. Dengan kata lain banyak orang yang memiliki kemampuan namun tidak pernah mendapatkan atau diberikan kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya. Mereka yang berada pada posisi tinggi mempunyai kepentingan tersembunyi untuk mempertahankan agar jumlah mereka tetap kecil, dan kekuasaan serta pendapatan mereka tetap tinggi.
e.       Kita tidak harus menawarkan kepada orang kekuasaan, prerstise dan uang untuk membuat mereka mau menduduki posisi tingkat tinggi. Orang dapat sama-sama termotivasi oleh kepuasan mengerjakan pekerjaan yang baik atau oleh peluang yang tersedia untuk malayani orang lain.

2. Teori Evolusioner Fungsionalis (Talcott Parsons)
Teori ini menjelaskan bahwa evolusi sosial secara umum terjadi karena sifat kecenderungan masyarakat untuk berkembang yang disebut sebagai kapasitas adaptif. Kapasitas adaptif adalah kemampuan masyarakat untuk merespon lingkungan dan mengatasi berbagai masalah yang selalu dihadapi manusia sebagai makhluk sosial. Timbulnya stratifikasi sebagai aspek penting dalam evolusi akibat meningkatnya kapasitas adaptif dalam kehidupan sosial.
Beberapa kelemahan teori Parsons :
a.       Konsep tentang kapasitas adaptif sanagt diragukan. Parsons berpendapat bahwa semakin kontemporer dan kompleks masyarakat, semakin unggul efektivitas etnosentrisme. Padahal semakin kontemporer masyarakat maka mekanisme adaptifnya berbeda dari masyarakat terdahulu.
b.      Parsons tidak melihat sisi negatif dari stratifikasi sosial yang mungkin berpengaruh.




3. Teori Surplus
Teori surplus dikemukakan oleh Gerhard Lenski. Teori ini berorientasi materialistis dan berdasarkan teori konflik. Teori konflik menegaskan dominasi beberapa kelompok sosial tertentu oleh kelompok sosial yang lain, melihat tatanan didasarkan atas manipulasi dan kontrol oleh kelompok dominan, dan melihat perubahan sosial terjadi secara cepat dan tidak teratur ketika kelompok subordinat menggeser kelompok dominan. Teori konflik yang bertentangan dengan teori Parsons, berasumsi bahwa manusia adalah makhluk yang mementingkan diri sendiri dan selalu berusaha untuk mensejahterakan dirinya.
Kesamaan dasar dapat terjadi dalam masyarakat dimana kerjasama menjadi hal yang esensial dalam mencapai kepentingan individu. Jika terjadi surplus, perebutan tidak dapat dihindari dan surplus akhirnya dikuasai oleh individu atau kelompok yang paling berkuasa. Besarnya surplus ditentukan oleh kemampuan teknologi.

4. Teori Kelangkaan
Teori kelangkaan yang merupakan devasi pemikiran Michael Hammer, Morton Fried dan Rac Lesser. Teori kelangkaan beranggapan bahwa penyebab timbulnya stratifikasi adalah tekanan jumlah penduduk. Tekanan penduduk yang semakin besar menyebabkan semakin kuatnya egoisme dalam pemilikan tanah, dan hubungan produksi (dalam pemikiran Marxisme) telah menghilangkan apa yang disebut sebagai pemilikan bersama. Perbedaan akses terhadap sumber daya muncul dan suatu kelompok memaksa kelompok lainnya bekerja keras untuk menghasilkan surplus ekonomi melebihi apa yang dibutuhkan. Dengan meningkatnya tekanan penduduk dan teknologi, perbedaan akses terhadap sumber daya makin nyata dan stratifikasi semakin intensif dengan dorongan politik yang semakin besar.


  1. Pengaruh Startifikasi Sosial dalam Masyarakat
Stratifikasi social adalah pembedaan masyarakat kedalam lapisan-lapisan social berdasatrkan demensi vertical akan memiliki pengaruh terhadap kehidupan bersama dalam masyarakat. Ikuti urain tentang dampak stratifikasi social dalam kehidupan masyarakat berikut ini.

1.      Eklusivitas
Stratifikasi social yang membentuk lapisan-lapisan social juga merupakan sub-culture, telah menjadikan mereka dalam lapisan-lapisan gtertentu menunjukan eklusivitasnya masing-masing. Eklusivitas dapat berupa gaya hidup, perilaku dan juga kebiasaan mereka yang sering berbeda antara satu lapisan dengan lapisan yang lain.
Gaya hidup dari lapisan atas akan berbeda dengan gaya hidup lapisan menengah dan bawah. Demikian juga halnya dengan perilaku masing-masing anggotanya dapat dibedakan; sehingga kita mengetahui dari kalangan kelas social mana seseorang berasal.
Eklusivitas yang ada sering membatasi pergaulan diantara kelas social tertentu, mereka enggan bergaul dengan kelas social dibawahnya atau membatasi diri hanya bergaul dengan kelas yang sanma dengan kelas mereka.
2.      Etnosentrisme
Etnosentrisme dipahami sebagai mengagungkan kelompok sendiri dapat terjadi dalam stratifikasi social yang ada dalam masyarakat. Mereka yang berada dalam stratifikasi social atas akan menganggap dirinya adalah kelompok yang paling baik dan menganggap rendah dan kurang bermartabat kepada mereka yang berada pada stratifikasi social rendah.
3.       Konflik Sosial
Pola perilaku kelas social atas dianggap lebih berbudaya dibandingkan dengan kelas social di bawahnya. Sebaliknya kelas social bawah akan memandang mereka sebagai orang boros dan konsumtif dan menganggap apa yang mereka lakukan kurang manusiawi dan tidak memiliki kesadaran dan solidaritas terhadap mereka yang menderita. Pemujaan terhadap kelas sosialnya masing-masing adalah wujud dari etnosentrisme.
Perbedaan yang ada diantara kelas social dapt menyebabkan terjadinya kecemburuan social maupun iri hati. Jika kesenjangan karena perbedaan tersebut tajam tidak menutup kemungkinan terjadinya konflik social antara kelas social satu dengan kelas social yang lain.
Misalnya demonstrasi buruh menuntut kenaikan upah atau peningkatan kesejahteraan dari perusahaan dimana mereka bekerja adalah salah satu konflik yang terjadi karena stratifikasi social yang ada dalam masyarakat.

Sejarah Berdirinya Muhammadiyah



Pendahuluan
Pendidikan barat yang diperkenalkan kepada penduduk pribumi sejak paruh kedua abad XIX sebagai upaya penguasa kolonial untuk mendapatkan tenaga kerja, misalnya, sampai akhir abad XIX pada satu sisi mampu menimbulkan restratifikasi masyarakat melalui mobilitas sosial kelompok intelektual, priyayi, dan profesional. Pada sisi lain, hal ini menimbulkan sikap antipati terhadap pendidikan Barat itu sendiri, yang diidentifikasi sebagai produk kolonial sekaligus produk orang kafir.

Sememara itu, adanya pengenalan agama Kristen dan perluasan kristenisasi yang terjadi bersamaan dengan perluasan kekuasaan kolonial ke dalam masyarakat pribumi yang telah terlebih dahulu terpengaruh oleh agama Islam, mengaburkan identitas politik yang melekat pada penguasa kolonial dan identitas sosial -keagamaan pada usaha kristenisasi di mata masyarakat umum.

Bagi sebagian besar penduduk pribumi, tekanan politis, ekonomis, sosial, maupun kultural yang dialami oleh masyarakat secara umum sebagai sesuatu yang identik dengan kemunculan orang Islam dan kekuasaan kolonial yang menjadi penyebab kondisi tersebut tidak dapat dipisahkan dari agama Kristen itu sendiri. Hal ini semakin diperburuk oleh struktur yuridis formal masyarakat kolonial, yang secara tegas membedakan kelompok masyarakat berdasarkan suku bangsa. Dalam stratifikasi masyarakat kolonial; penduduk pribumi menempati posisi yang paling rendah, sedangkan lapisan atas diduduki orang Eropa, kemudian orang Timur Asing, seperti: orang Cina, Jepang, Arab, dan India.

Tidak mengherankan jika kebijakan pemerintah kolonial ini tetap dianggap sebagai upaya untuk menempatkan orang Islam pada posisi sosial yang paling rendah walaupun dalam lapisan sosial yang lebih tinggi terdapat juga orang Arab yang beragama Islam. Di samping itu, akhir abad XIX juga ditandai oleh terjadinya proses peng-urbanan yang cepat sebagai akibat dari perkemhangan ekonomi, politik, dan sosial.

Kota-kota baru yang memiliki ciri masing-masing sesuai dengan faktor pendukungnya muncul di banyak wilayah. Perluasan komunikasi dan ransportasi mempermudah mobilitas penduduk. Sementara itu pembukaan suatu wilayah sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, industri, dan perdagangan telah menarik banyak orang untuk datang ke tempat tersebut. Sementara itu pula, tekanan ekonomi, politik, maupun sosial yang terjadi di daerah pedesaan telah mendorong mereka datang ke kota-kota tersebut.

Memasuki awal abad XX sebagian besar kondisi yang telah terbentuk sepanjang abad XIX terus berlangsung. Dalam konteks ekonomi, perluasan aktivitas ekonomi sebagai dampak perluasan penanaman modal swasta asing maupun perluasan pertanian rakyat belum mampu menimbulkan perubahan ekonomi secara struktural sehingga kondisi hidup sebagian besar penduduk masih tetap rendah. Di beberapa tempat penduduk pribumi memang berhasil mengembangkan pertanian tanaman ekspor dlan mendapat keuntungan yang besar, akan tetapi ekonomi mereka masih sangat labil terhadap perubahan pasar.

Sementara itu perluasan aktivitas ekonomi menimbulkan persaingan yang semakin besar sehingga para pengusaha industri pribumi harus bersaing dengan produk impor yang lebih berkualitas dan lebih murah di pasar lokal, sedangkan para peclagang pribumi juga harus bersaing ketat dengan pedagang asing yang terus mendominasi perdagangan lokal, regional, maupun internasional. Dalam perkembangan selanjutnya persaingan ini di beberapa tempat tidak lagi hanya terbatas pada masalah ekonomi, melainkan juga telah berkembang menjadi persoalan sosial, kultural, ataupun politik. Walaupun dalam bidang politik terjadi pergeseran dari kekuasan administratif yang tersentralisasi ke arah desentralisasi pada tingka t lokal, kontrol yang ketat pejabat Belanda terhadap pejabat pribumi masih tetap berlangsung.

Sementara itu, kebijakan Politik Balas Budi atau Politik Etis yang difokuskan pada bidang edukasi, irigasi, dan kolonisasi yang dilaksanakan sejak dekade pertama abad XX, telah memberikan kesempatan yang lebih luas kepada penduduk pribumi mengikuti pendidikan Barat dibandingkan dengan masa sebelumnya melalui pembentukan beberapa lembaga pendidikan khusus bagi penduduk pribumi sampai tingkat desa. Akan tetapi, kesempatan ini tetap saja masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan jumlah penduduk pribumi secara keseluruhan.

Kesempatan itu masih tetap diprioritaskan bagi kelompok elit penduduk pribumi, atau kesempatan yang ada hanya terbuka untuk pendidikan rendah, sedangkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan menengah dan tinggi masih sangat terbatas. Seperti pada masa sebelumnya, kondisi seperti ini terbentuk selain disebabkan oleh kebijakan pemerintah kolonial, juga dilatarbelakangi sikap antipati dari kelompok Islam, yang menjadi pendukung utama masyarakat pribumi terhadap pendidikan Barat itu sendiri.

Secara umum mereka lebih suka mengirimkan anak-anak mereka ke pesantren, atau hanya sekedar ke lembaga pendidikan informal lain yang mengajarkan pengetahuan dasar agama Islam. Akan tetapi, sebenarnya ada dualisme cara memandang pendidikan Barat ini. Di samping dianggap sebagai perwujudan dari pengaruh Barat atau Kristen terhadap lingkungan sosial dan budaya lokal maupun Islam, pendidikan Barat juga dilihat secara objektif sebagai faktor penting untuk mendinamisasi masyarakat pribumi yang mayoritas beragama Islam.

Pendidikan Barat yang telah diperkenalkan kepada penduduk pribumi secara terbatas ini ternyata telah menciptakan kelompok intelektual dan profesional yang mampu melakukan perubahan-perubahan maupun memunculkan ide-ide baru di dalam masyarakat maupun sikap terhadap kekuasaan kolonial. Perubahan dan pencetusan ide-ide baru itu pada masa awal hanya terbatas pada bidang sosial, kultural, dan ekonomi, akan tetapi kemudian mencakup juga permasalahan politik. Walaupun feodalisme dalam sikap maupun struktur yang lebih makro di dalam masyarakat, khususnya di Jawa masih tetap berlangsung, pembentukan "organisasi modern" merupakan salah satu realisasi yang penting dari upaya perubahan dengan ide-ide baru tersebut.

Pada tahun 1908 organisasi Budi Utomo didirikan oleh para mahasiswa sekolah kedokteran di Jakarta. Walaupun dasar, tujuan, dan aktivitas Budi Utomo sebagai suatu organisasi masih terikat pada unsur-unsur primordial dan terbatas, keberadaan Budi Utomo secara langsung maupun tidak berpengaruh terhadap bentuk baru dari perjuangan kebangsaan melawan kondisi yang diciptakan oleh kolonialisme Belanda. Berbagai organisasi baru kemudian didirikan, dan perjuangan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial yang dulu terkosentrasi di kawasan pedesaan mulai beralih terpusat di daerah perkotaan.

Dunia Islam dan Masyarakat Muslim Indonesia Secara makro perkembangan dunia Islam pada akhir abad XIX dan awal abad XX ditandai oleh usaha untuk melawan dominasi Barat setelah sebagian besar negara yang penduduknya beragama Islam secara politik, sosial, ekonomi, maupun budaya telah kehilangan kemerdekaan dan berada di bawah kekuasaan kolonialisme dan imprialisme Barat sejak beberapa abad sebelumnya. Dalam masyarakat Muslim sendiri muncul usaha untuk mengatasi krisis internal dalam proses sosialisasi ajaran Islam, akidah, maupun pemikiran pada sebagian besar masyarakat, baik yang disebabkan oleh dominasi kolonialisme dan imperialisme Barat, maupun sebab-sebab lain yang ada dalam masyarakat Muslim itu sendiri.

Dalam kehidupan beragama ini terjadi kemerosotan ruhul Ishmi, jika dilihat dari ajaran Islam yang bersumber pada Quran dan Sunnah Rasulullah. Pengamalan ajaran Islam bercampur dengan bid'ah, khurafat, dan syi'ah. Di samping itu, pemikiran umat Islam juga terbelenggu oleh otoritas mazhab dan taqlid kepada para ulama sehingga ijtihad tidak dilakukan lagi. Dalam pengajaran agama Islam, secara umum Qur'an yang menjadi sumber ajaran hanya
diajarkan pada tingkat bacaan, sedangkan terjamahan dan tafsir hanya boleh dipelajari oleh orang-orang tertentu saja. Sementara itu, pertentangan yang bersumber pada masalah khilafiyah dan firu'iyah sering muncul dalam masyarakat Muslim, akibatnya muncul berbagai firqah dan pertentangan yang bersifat laten.

Di tengah-tengah kemerosotan itu, sejak pertengahan abad XIX muncul ide-ide pemurnian ajaran dan kesadaran politik di kalangan umat Islam melalui pemikiran dan aktivitas tokoh-tokoh seperti: Jamaludin Al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan para pendukung Muhammad bin Abdul Wahab. Jamaludin Al-Afgani banyak bergerak dalam bidang politik, yang diarahkan pada ide persaudaraan umat Islam sedunia dan gerakan perjuangan pembebasan tanah air umat Islam dari kolonialisme Barat.

Sementara itu, Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha, berusaha memerangi kestatisan, syirik, bid'ah, khurafat, taqlid, dan membuka pintu ijtihad di kalangan umat Islam. Restrukturisasi lembaga pendidikan Islam dan mewujudkan ide-ide ke dalam berbagai penerbitan merupakan wujud usaha pemurnian dan pembaharuan yang dilakukan oleh dua orang ulama dari Mesir ini. Rasyid Ridha, misalnya, menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir, yang kemudian disebarkan dan dikenal secara luas di seluruh dunia Islam. Sementara itu, ide-ide pembaharuan yang dikembangkan oleh pendukung Muhammad bin Abdlul Wahab dalam gerakan Al Muwahhidin telah mendapat dukungan politis dari penguasa Arab Saudi sehingga gerakan yang dikenal oleh para orientalis sebagai Wahabiyah itu berkembang menjadi besar dan kuat.

Seperti yang terjadi di dalam dunia Islam secara umum, Islam di Indonesia pada abad XIX juga mengalami krisis kemurnian ajaran, kestatisan pemikiran maupun aktivitas, dan pertentangan internal. Perjalanan historis penyebaran agama Islam di Indonesia sejak masa awal melalui proses akulturasi dan sinkretisme, pada satu sisi telah berhasil meningkatkan kuantitas umat Islam. Akan tetapi secara kualitas muncul kristalisasi ajaran Islam yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni.
Ahmad Dahlan juga mulai menyampaikan ide-ide baru yang lebih mendasar, seperti persoalan arah kiblat salat yang sebenarnya. Akan tetapi, ide baru ini tidak begitu saja bisa dilaksanakan seperti yang diajarkan di serambi masjid besar karena mempersoalkan arah kiblat salat merupakan suatu hal yang sangat peka pada waktu itu. Ahmad Dahlan memerlukan waktu hampir satu tahun untuk menyampaikan masalah ini. Itu pun hanya terbatas pada para ulama yang sudah dikenal dan dianggap sepaham di sekitar Kampung Kauman. Pada satu malam pada tahun 1898, Ahmad Dahlan mengundang 17 orang ulama yang ada di sekitar kota Yogyakarta untuk melakukan musyawarah tentang arah kiblat di surau milik keluarganya di Kauman.

Diskusi antara para ulama yang telah mempersiapkan diri dengan berbagai kitab acuan ini berlangsung sampai waktu subuh, tanpa menghasilkan kesepakatan. Akan tetapi, dua orang yang secara diam-diam mendengar pembicaraan itu beberapa hari kemudian membuat tiga garis putih setebal 5 cm di depan pengimaman masjid besar Kauman untuk mengubah arah kiblat sehingga mengejutkan para jemaah salat dzuhur waktu itu. Akibatnya, Kanjeng Kyai
Penghulu H.M. Kholil Kamaludiningrat memerintahkan untuk menghapus tanda tersebut dan mencari orang yang melakukan itu.

Sebagai realisasi dari ide pembenahan arah kiblat tersebut, Ahmad Dahlan yang merenovasi surau milik keluarganya pada tahun 1899 mengarahkan surau tersebut ke arah kiblat yang sebenarnya, yang tentu saja secara arsitektural berbeda dengan arah masjid besar Kauman. Setelah dipergunakan beberapa hari untuk kegiatan Ramadhan, Ahmad Dahlan mendapat perintah dari Kanjeng Penghulu untuk membongkar surau tersebut, yang tentu saja ditolak. Akhirnya, surau tersebut dibongkar secara paksa pada malam hari itu juga. Walaupun diliputi perasaan kecewa, Ahmad Dahlan membangun kembali surau tersebut sesuai dengan arah masjid besar Kauman setelah berhasil dibujuk oleh saudaranya, sementara arah kiblat yang sebenarnya ditandai dengan membuat garis petunjuk di bagian dalam masjid.

Setelah pulang dari menunaikan ibadah haji kedua, aktivitas sosial-keagamaan Ahmad Dahlan di dalam masyarakat di samping sebagai Khatib Amin semakin berkembang. Ia membangun pondok untuk menampung para murid yang ingin belajar ilmu agama Islam secara umum maupun ilmu lain seperti: ilmu falaq, tauhid, dan tafsir. Para murid itu tidak hanya berasal dari wilayah Residensi Yogyakarta, melainkan juga dari daerah lain di Jawa Tengah.  Walaupun begitu, pengajaran agama Islam melalui pengajian kelompok bagi anak- anak, remaja, dan orang tua yang telah lama berlangsung masih terus dilaksanakan. Di samping itu, di rumahnya Ahmad Dahlan mengadakan pengajian rutin satu minggu atau satu bulan sekali bagi kelompok-kelompok tertentu, seperti pengajian untuk para guru dan pamong praja yang berlangsung setiap malam Jum`at.

Pembentukan ide-ide dan aktivitas baru pada diri Ahmad Dahlan tidak dapat dipisahkan dari proses sosialisasi dirinya sebagai pedagang dan ulama serta dengan alur pergerakan sosial- keagamaan, kultural, dan kebangsaan yang sedang berlangsung di Indonesia pada awal abad XX. Sebagai seorang pedagang sekaligus ulama, Ahmad Dahlan sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Residensi Yogyakarta maupun daerah lain seperti: Periangan, Jakarta, Jombang, Banyuwangi, Pasuruan, Surabaya, Gresik, Rembang, Semarang, Kudus, Pekalongan, Purwokerto, dan Surakarta. Di tempat-tempat itu ia bertemu dengan para ulama, pemimpin lokal, maupun kaum cerdik cendekia lain, yang sama-sama menjadi pedagang atau bukan.

Dalam pertemuan-pertemuan itu mereka berbicara tentang masalah agama Islam maupun masalah umum yang terjadi dalam masyarakat, terutama yang secara langsung berhubungan dengan kemunculan, kestatisan, atau keterbelakangan penduduk Muslim pribumi di tengah- tengah masyarakat kolonial. Dalam konteks pergerakan sosial keagamaan, budaya, dan kebangsaan, hal ini dapat diungkapkan dengan adanya interaksi personal maupun formal antara Ahmad Dahlan dengan organisasi seperti : Budi Utomo, Sarikat Islam, dan Jamiat Khair, maupun hubungan formal antara organisasi yang ia cirikan kemudian, terutama dengan Budi Utomo.

Secara personal Ahmad Dahlan mengenal organisasi Budi Utomo melalui pembicaraan atau diskusi dengan Joyosumarto, seorang anggota Budi Utomo di Yogyakarta yang mempunyai hubungan dekat dengan dr. Wahidin Sudirohusodo, salah seorang pimpinan Budi Utomo yang tinggal di Ketandan Yogyakarta. Melalui Joyosumarto ini kemudian Ahmad Dahlan berkenalan dengan dr. Wahidin Sudirohusodo secara pribadi dan sering menghadiri rapat anggota maupun pengurus yang diselenggarakan oleh Budi Utomo di Yogyakarta walaupun secara resmi ia belum menjadi anggota organisasi ini. Setelah banyak mendengar tentang aktivitas dan tujuan organisasi Budi Utomo melalui pembicaraan pribadi dan kehadirannya dalam pertemuan -pertemuan resmi, Ahmad Dahlan kemudian secara resmi menjadi anggota Budi Utomo pada tahun 1909.

Dalam perkembangan selanjutnya, Ahmad Dahlan tidak hanya menjadi anggota biasa, melainkan ia menjadi pengurus kring Kauman dan salah seorang komisaris dalam kepengurusan Budi Utomo Cabang Yogyakarta. Sementara itu, pada sekitar tahun 1910 Ahmad Dahlan juga menjadi anggota Jamiat Khair, organisasi Islam yang banyak bergerak dalam bidang pendidikan dan mayoritas anggotanya adalah orang-orang Arab. Keterlibatan secara langsung di dalam Budi Utomo memberi pengetahuan yang banyak kepada Ahmad Dahlan tentang cara berorganisasi dan mengatur organisasi secara modern.

Sementara itu, walaupun Ahmad Dahlan tidak terlibat secara aktif di dalam Jamiat Khair, selain belajar berorganisasi secara modern di kalangan orang Islam, ia juga mendapat pengetahuan tentang kegiatan sosial, terutama yang berhubungan dengan pendirian dan pengelolaan lembaga pendidikan model sekolah. Semua ini tentu saja merupakan suatu hal yang baru dan sangat berpengaruh bagi langkah-langkah yang dilakukan Ahmad Dahlan pada masa selanjutnya, seperti pendirian sekolah model Barat maupun pembentukan satu
organisasi.

Sebagai pengurus Budi Utomo, aktivitas Ahmad Dahlan tidak hanya terbatas pada hal-hal yang berhubungan langsung dengan masalah organisasi. Ia sering memanfaatkan forum pertemuan pengurus maupun anggota Budi Utomo sebagai tempat untuk menyampaikan informasi tentang agama Islam, bidang yang sangat ia kuasai. Kegiatan ini biasanya dilakukan setelah acara resmi selesai. Kepiawaian Ahmad Dahlan dalam menyampaikan informasi tentang agama Islam dalam berbagai pertemuan informal itu telah menarik perhatian para pengurus maupun anggota Budi Utomo yang sebagian besar terdiri dari pegawai pemerintah dan guru sehingga sering terjadi diskusi yang menarik di antara mereka tentang agama Islam.

Di antara pengurus dan anggota Budi Utomo yang tertarik pada masalah agama Islam adalah R. Budiharjo dan R. Sosrosugondo, yang pada saat itu menjabat sebagai guru di Kweekschool Jetis. Melalui jalur dua orang guru ini Ahmad Dahlan mendapat kesempatan mengajar agama Islam kepada para siswa Kweekschool Jetis, setelah kepala sekolah setuju dan memberikan izin.  Pelajaran agama Islam di sekolah guru milik pemerintah itu diberikan di luar jam pelajaran resmi, yang biasanya dilakukan pada setiap hari Sabtu sore.

Dalarn mengajarkan pengetahuan agama Islam secara umum maupun membaca Quran, Ahmad Dahlan menerapkan metode pengajaran yang disesuaikan dengan kemampuan siswa sehingga mampu menarik perhatian para siswa untuk menekuninya. Tentu saja sebagian siswa merasa bahwa waktu pelajaran agama Is1am pada hari Sabtu sore itu belum cukup. Oleh sebab itu, beberapa orang siswa, termasuk mereka yang belum beragama Islam sering datang ke rumah Ahmad Dahlan di Kauman pada hari Ahad untuk bertanya maupun melakukan diskusi lebih lanjut tentang berbagai persoalan yang berhubungan dengan agama Islam.

Dalam perkembangan selanjutnya, pengalaman berorganisasi di Budi Utomo dan Jamiat Khair memberikan pelajaran kepada siswa Kweekschool dan didukung oleh perkembangan pendapat masyarakat umum pada waktu itu yang mulai menyadari bahwa pendidikan merupakan salah satu sarana yang penting bagi kemajuan penduduk pribumi. Oleh karena itu, Ahmad Dahlan secara pribadi mulai merintis pembentukan sebuah sekolah yang memadukan pengajaran ilmu agama Islam dan ilmu umum. Dalam berbagai kesempatan Ahmad Dahlan menyampaikan ide pendirian sekolah yang mengacu pada metode pengajaran seperti yang berlaku pada sekolah milik pemerintah kepada berbagai pihak, termasuk kepada para santri yang belajar di Kauman maupun penduduk Kauman secara umum. Sebagian besar dari mereka bersikap acuh tak acuh, bahkan ada yang secara tegas menolak ide pendidikan sistem sekolah tersebut karena dianggap bertentangan dengan tradisi dalam agama Islam.

Akibatnya, para santri yang selama ini belajar kepada Ahmad Dahlan satu per-satu berhenti. Walaupun belum mendapat dukungan dari masyarakat sekitarnya, Ahmad Dahlan tetap berkeinginan untuk mendirikan lembaga pendidikan yang menerapkan model sekolah yang mengajarkan ilmu agama Islam maupun ilmu pengetahuan umum. Sekolah tersebut dimulai dengan 8 orang siswa, yang belajar di ruang tamu rumah Ahmad Dahlan yang berukuran 2,5 m x 6 m dan ia bertindak sendiri sebagai guru. Keperluan belajar dipersiapkan sendiri oleh Ahmad Dahlan dengan memanfaatkan dua buah meja miliknya sendiri. Sementara itu, dua buah bangku tempat duduk para siswa dibuat sendiri oleh Ahmad Dahlan dari papan bekas kotak kain mori dan papan tulis dibuat dari kayu suren.