Sosial Politik

Kamis, 03 Desember 2015

ETOS DAN MORALITAS POLITIK Bag. II

I. POLITIK SEBAGAI PERJUANGAN
a. Aspek Positif
       Aspek positif ini perlu dikedepankan karena citra politik dicemari oleh mereka yang mentalitas, sikap, dan perilakunya tak terpuji, sehingga citra politik yang hidup dalam masyarakat ialah:
Politik itu kotor, atau mengejar posisi tertentu dengan harapan memperkaya diri atau mendapat keuntungan lain dengan membawa atas nama rakyat.
1. Politik Harus Ada
       ada hal-hal yang harus ada, entah dalam kenyataannya baik atau buruk, entah kita puas atau tidak, misalnya Negara dengan para politisinya. Kodrat sosial manusia mentut manusia bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. kalau Negara dan Politik sudah merupakan tuntutan kodrat, tidak ada jalan lain selain memenuhinya. Tetapi, tetap harus ada usaha untuk memperbaiki negara dan politinya yang selama ini kurang sesuai dengan tujuannya. Agar usaha itu jangan hanya membabi buta, maka juga perenungan soal etika politik. Dalam ajaran sosial Gereja, negara termasuk lembaga kodrati yang harus ada, apa pun dan bagaimana pun teori untuk menerangkannya.
       Ada negara yang menurut pandangan dewasa ini kurang baik, bukanlah argumen melawan tesis perlunya negara. Negara yang menurut pandangan dewasa ini dinilai kurang baik, telah berfungsi pada zamannya. dimaksudkan, adanya perkembangan. Mungkin saja masih ada masyarakat tranpa bentuk negaranya seperti yang kita kenal sekarang, tetapi sekurang-kurangnya yang menurut adanya instansi yang mengatur hidup bersama sedikit banyak dipenuhi, sekurang-kurangnya dalam bentuk rudimenter.
2. Politik Demi Kepentingan Umum atau Kepentingan Bersama
      kita lahir sudah d:alam konteks bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. dalam hal ini kita dapat mengajukan pertanyaan: untuk apa ?
Jawaban yang sering kita dengan dari ajaran sosial Gereja ialah : Bonum Commune (istilah ini sulit diterjemahkan dalam bahasa Indonesia) yang artinya kurang lebih : kepentingan umum, kesejahteraan bersama, sebagai ringkasan dan lambang segala sesuatu yang kita butuhkan untuk hidup layak amnusiawi, termasuk peluang untuk berkembang, dan sulit-untuk tidak mengatakan mustahil-diusahakan sendiri-sendiri saja.
      Untuk mewujudkan kesejahteraan bersama sebagaimana uang dimaksud sebelumnya, diperlukan mentalitas yang sesuai, yakni keprihatinan efektif untuk kesejahteraan bersama, semangat gotong royong, prinsip solidaritas yang membuat manusia, terutama pimpinan yang menentukan, tahu, mau, mampu dan sanggup mengutakan kepentingan umum diatas kepentingan diri sendiri atau golongan. Pimpinan seperti itu bukanya takut akan sanksi, melainkan karena keyakinan dan kesadaran akan tugasnya menyelenggarakan kesejahteraan bersama. tetapi kebersamaan bersama saja tidak cukup, harus ada kerjasama yang terbagi untuk saling bekerja sama satu sama lain dengan dari beberapa subjek yang bertanggung jawan dan berwenang dengan pembagian tugas yang baik : prinsip subsidiaritas, kalo tidak bisa terjadi bahwasanya suatu tugas menjadi rebutan aneka pihak, sedangkan tugas lain diaabaikan sama sekali. maka dari itu, ketiga prinsip sosial gereja merupakan kesatuan. namun hal tersebut tetap ada perbedaan pandangan diantara mereka, ada yang menggap negara juga sebagai alat untuk memenuhi aspirasi agama atau pandangan hidup tertentu, terutama bila merasa diri kuat untuk mendesakkan pendapatnya dan menempuh segala cara untuk mewujudkannya. Dapat dibayangkan bagaimana segalanya dalam negara menurut aspirasi itu diarahkan untuk mewujudkan nilai-nilai pandangan hidup dianutnya. Kecenderungan demikian ini memang mudah untuk diwujudkan dalam masyarakat yang homogen dan tertutup dewasa ini dalam era global makin berkurang. Cita-cita negara juga sebagai sarana mewujudkan nilai-nilai pandangan hidup yang sama makin lama makin sulit di wujudkan, karena juga dalam hal pandangan hidup masyarakat menjadi makin majemuk.
b. Aspek Negatif
      Harus diakui bahwa baik dalam sejarah dahulu maupun dewasa ini citra politik tidak lepas dari aspek negatif. Hal ini tidaklah mengherankan, karena kekuasaan tidak hanya menjadi godaan, tetapi dalam kenyataan sering menjadi godaan : "Corruptio optimi pessima" (makin tinggi kedudukan seseorang, makin parah kejahatannya). Namun aspek negatif ini tidak lantas harus membuat kita putus asa, karena masih ada secerca harapan dan setitik kebaikan di luar sana yang mampu membuat perubahan, tergantung dari abagaimana kita atau negara memandangnya akan hal tersebut.
1. Sejarah dan Kinerja
     a. Sejarah
    Terlepas dari faktor perkembangan umat manusia (misalnya perkembangan kesadaran akan hak-hak asasi manusia), dari sejarah dapat kita liat atau ajukan beberapa contoh bahwa tujuan negara tidak hanyak untuk diarahkan hanya atau terutama untuk kepentingan umum, tetapi juga untuk kepentingan pribadi atau golongan, misalnya Raja-raja dan sanak saudaranya, baik itu di kawasan Barat maupun di kawasan Timur. Namun, secara berangsur-angsur gagasan beberapa orang-juga berkat makin tersebarnya aneka pemikiran para pakar dan peran media massa - menjadi kesadaran bersama dari banyak orang dan masyarakat yang tidak dapat menerima paham oligarkis tentang negara.Itulah proses lahirnya demokrasi, namun dalam pelaksanaannya tidak mudah sebagaimana pada negara-negara yang memang menyebut diri mereka demokratis (misalnya negara-negara komunis), tapi pada kenyataannya tetap otoriter. bukan hanya dalam sejarah monarki absolut, tetapi juga zaman modern ini ada penguasa-penguasa yang main kuasa yang sering berarti KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme),tidak hanya dalam zaman otoriter, melainkan juga dalam era reformasi.
     b. Kinerja
    Tak jarang politik dianggap "Kotor" bukan hanya karena rakyat dipermainkan, tetapi jg karena perjuangan untuk kepentingan pribadi itu dilaksanakan dengan cara-cara kriminal dan tanpa pemulihan keadilan ("impunity" atau "impunidad" yang dinikmati jederal-jenderal di Amerika Latin), meskipun secara verbal dipertegas dengan konsep negara sebagai negara hukum dan berlakunya undang-undang tanpa pandang bulu.Tetapi undang-undang yang baik tidak hanya diterapkan secara selektif tetapi juga diskriminatif.
     Namun dibalik itu semua (undang-undang maupun penegakannya), dapat ditemukan kinerja manusia yang amat menentukan: "The man behind the gun". undang-undang adalah produk DPR (dan Pemerintah). Penegakan hukum juga terletak ditangan para aparat penegak hukum itu sendiri, baik itu dibelakang meja hijau maupun di lapangan yang sering ditarget atasannya. Penaran kinerja manusia untuk penghayatan  dan pengamalan etika politik amat besar. dalam pemilihan umum yang paling demokratis pun tidak menjadi jaminan, karena juga tergantung pada kinerja orang terpilih. mingkin kinerjanya masih baik pada permulaannya, tetapi pelaksanaannya juga tergantung pada kinerja manusia bagitupun sebaliknya. Dan kinerja pada gilirannya juga tergantung pada mentalitas dan sikap (kepribadian, watak, dan tabiat) orang yang bersangkutan dan lingkungan yang mempengaruhinya.
2. Penyalagunaan Kekuasaan
a. Kekuasaan tak terbatas
    Sejarah juga dapat memberi contoh kekuasaan yang tak terbatas seperti yang terungkap dalam "1'Etat c'estmoi", negara adalah SAYA. sehingga saya (Raja) dapat berbuat apa saja sesukanya. Bandingkan juga istilah etatisme yang membesar-besarkan peran negara dan menyempitkan ruang publik serta ruang privat.
     Meskipun zaman monarki absolut telah berakhir dan meskipun HAM sudah diakui kebanyakan negara, meskipun sudah ada undang-undang yang sehsrusnya berfungsi sebagai dasar hukum untuk tindakan, secara lebih halus kecenderungan ini masih nampak dalam apa yang lazim disebut "etatisme" itu, yaitu kecenderungan negara (lewat pemerintah, bahkan menurut huruf undang-undang) mengatur (hampir) segalanya, terutama di mana ruang "publik" menjadi amat sempit. Namun etatisme sulit berkembang di dalam masyarakat yang sadar akan hak-kaknya (hak asasi manusia, hak sipil), dan terutama bila DPR sungguh menyuarakan sikap rakyat dan tidak terlalu sibuk dengan urusan lain (urusan pribadi/kelompok).
b. Godaan kekuasaan
     Politik juga berarti kekuasaan. tak jarang kekuasaan yang dimaksudkan untuk memperjuangkan kepentingan umum itu disalahgunakan untu kepentingan lain. Godaan kekuasaan ini sudah diketahui dan menjadi rahasia umum, maka ada trias Politika yang membatasi dengan membagi-bagi kekuasaan agar jangan segalanya di satu tangan yang dapat berbuat semaunya dan perlunya status "independen". Dan juga Godaan kekuasaan sulit menjadi kenyatadengaan jika apabila fungsi DPR dijalankan dengan jeli dan baik, dan terutama dalam wawasan jangka panjang, dengan tetap memperhatikan pelaksanaannya bertahap lewat perencanaan jangka menengah dan pendek, dan tak hanya atau terutama memikirkan pemilihan umum berikutnya.
c. Negara dan Agama
1. Sumber kekuasaan
a. Kecenderungan memutlakkan diri
    baik penguasa negara maupun penguasa agama cenderung memutlakkan diri. dalam sejarah ada banyak contoh hubungan persaingan antara kebudayaan, dan bila dua ekor gajah bertengkar, rakyatlah, terutama rakyat kecil tanpa peluang untuk meloloskan diri, yang terjerit dan paling menderita.
b. Yang Ilahi sebagai sumber kekuasaan
     agama cenderung memutlakkan diri karena menganggap diri sebagai sumber pda wahyu ilahi yang dianggap mutlak atau menganggap dirinya sebagai yang paling benar. Misalnya kaisar yang dianggap sebagai keturunan dewa-dewa. Alasan atau tetapi motivasi sepanjang zaman bisa berbeda-beda, tetapi akibatnya sama-sama menindas demokrasi atau lebih jelas: menindas hak-hal asasi manusia yang dengan demikian tidak dihargai sesuai dengan nartabatnya. maka, perlu kebijaksanaan seperti yang ditunjukkan para pendiri Republik Indonesia tahun 1945. mereka menetapkan negara Pancasila, dan kesepakatan tersebut dipegang teguh para pewarisnya: bagaimana hubungan antara negara dan agama jangan terus-menerus menjadi sumber keresahan, misalnya dalam membuat rancangan undang-undang menjadi undang-undang menjadi undang-undang yang merupakan landasan hidup bersama dalam keadilan dan perdamaian.
2. Kesatuan atau Pemisahan?
a. Kesatuan
    Dalam sejarah pun dapat kita liat atau dapat kita temukan kesatuan antara negara dan agama, sedemikian rupa sehingga raja sekaligus kepala Gereja (bdk. Ratu Inggris dan Gereja Anglikan), dan uskup pada Abad Pertengahan sekaligus sebagai kepala Negara. ada kesatuan tahta dan altar. Teokrasi! Kiranya sudah menjadi rahasia umum bahwa kesatuan ini lebih merugikan daripada menguntungkan. Secara sederhana dapat di jelaskan: Negara dan Agama berbeda dan mempunyai tugas dan bidang berbeda pula, meskipun bisa menyangkut bidang yang sama (misalnya perkawinan) dan manusia yang sama yang sekaligus adalah warga negara dan warga agama tertentu. Diperlukan suatu tingkat independensi untuk dapat melakukan tugas itu sebaik-baiknya tanpa mencampuradukkannya, apalagi kalau batas-batasnya kurang tajam.
b. Pemisahan
    Tingkat pemisahan bisa berbeda-beda: 
Negara dan Agama jalan sendiri-sendiri, tak saling mencampuri urusan yang lain, dan mungkin juga saling tak tahu dan tak mau tahu. Misalnya:
Warga negara, menikah menurut hukum perkawinan sipil; dan sebagai warga Gereja, menikah menurut hukum Gereja. Pola pemisahan ini tak jarang menjadi momok "sekuler", yang ditolak dengan menunjuk sifat bangsa yang religius. Kiranya perlu disadari perbedaan antara "sekulerisasi" yang masih sehat dalam arti mengindahkan otonomi wajar tata dunia, dan "sekulerisme" yang tidak sesuai dengan Negara Pancasila yang mencanangkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
c. Kerja sama
    Negara dan Agama memang mempunyai tugas sendiri-sendiri. Namun, dalam kesadaran akan manusia yang sama yang sekaligus warga negara dan warga agama, negara dan agama tidak memberi beban lebih daripada perlu. Maka, negara dan agama bekerja sama. Warga pun memperoleh kebebasan:
Pernikahan menurut hukum agama diakui oleh negara, dan sebaliknya. bagaimana bentuk kerja sama itu juga tergantung pada aneka faktor, antara lain sejarah dan budaya, maka diperlukan seni kontekstualisasi.
d. Negara pancasila
    Berulang kali ditegaskan bahwa Indonesia bukan negara agama, juga bukan negara sekuler. Indonesia adalah negara Pancasila yang dikehendaki para Bapak Pendiri Republik Indonesia yang majemuk. Tetapi, kalau ditanyakan lebih lanjut dan lebih mendalam, apa negara Pancasila itu tetapnya, sulit diperoleh jawaban yang tuntas dan memuaskan. Bila teorinya saja sulit dirumuskan, tidaklah mengherankan bila prakteknya tak jarang membingungkan. Kiranya tak cukup pembatasan yang terutama negatif:
Bukan ini dan bukan itu. Diperlukan pengisian yang lebih positif, agar juga perwujudannya konsisten.

ETOS DAN MORALITAS POLITIK

ETOS DAN MORALITAS POLITIK

Jika politik dipahami sebagai sebuah perjuangan, dapat di ajukan pertanyaan utama apa yang di perjuangkan dan bagaimana memperjuangkannya ?
"Apa" : tujuan semua Negara memperjuangkan masyarakatyang adil dan makmur "Bagaimana "?
      Cara memperjuangkan tujuan itu dapat amat berbeda. terutama dalam politik, sering kali soalnya tidak terletak hanya pada tujuan, tetapi juga pada cara mencapai tujuan tersebut. Negara Demokratis dan Negara Diktator bertuan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur (masyarakat mana yang tidak menghendakinya?), tetapi jalan yang ditempuh untuk mewujudkannya dapat berbeda. dapat diandaikan untuk memakai cara berfikir dengan prinsip skolastik bahwa apa pun yang dikejar, mempunyai sesuatu yang dianggap baik (ratio boni) atau lebih baik, betapa pun subjektif penilaian apa yang baik atau lebih baik itu. orang yang bunuh diri pun  dalam keadaan putus asa mengharapkan sesuatu yang lebih baik daripada terus hidup dalam keadaan seperti itu.
      Dalam hal ini diangkat sesuatu yang dianggap baik yaitu HAM. Pemahaman HAM dan cara memperjuangkannya, terutama bila dianggap bersaing dengan hal lain yang diperjuangkan, dapat amat berbeda, apabila orang secara pragmatis terdorong menempuh jalan pintas untuk mencapai suatu tujuan. dapat kita liat kenyataan di lapangan :
Bukankah sering kali banyak pejabat (baik dari kalangan eksekutif, yudikatif, dan bahkan legislatif) bukannya terutama meperjuangkan HAM, namun melainkan KORUPSI mengusahakan kepentingannya sendiri (pribadi atau golongan). bila jabatan makin dian anggap sebagai peluang untuk memperjuangkan kepentingan golongan atau agenda politik tersembunyi, dan/atau memperkaya diri dan diperjualbelikan, maka meskipun diawali dengan sumpah jabatan, meski termasuk Orde Reformasi, konsekuensi logisnya ialah keadaan dewasa ini yang amat menyedihkan :
Politik tanpa etika dan khususnya tanpa hati nurani. maka dari itu, kiranya baik dalam keadaan seperti ini merenungkan kaitan antara HAM dan politik, apalagi dalam rangka membicarakan etika politik.