.
PERKEMBANAGAN PIKIRAN MANUSIA
a.
Sifat Unik Manusia
Dibanding dengan mahluk
lain, jasmani manusia adalah lemah, sedangkan rohaninya atau akal budi dan
kemauannya sangant kuat. Maka untuk membelah diri terhadap serangan dari mahluk
lain dan untuk melindungi diri terhadap pengaruh lingkungan yang merugikan
manusia harus memanfaatkan akal budinya dengan cemerlang. Kemauannya yang keras
menyebabkan manusia dapat mengendalikan jasmaninya. Hal ini dapt menimbulkan efek yang negatif, misalnya
manusia dapat mogok makan, dapat minum-minuman keras sampai mabuk, dan bahkan
dapat bunuh diri dari lingkungan yang merugikan itu. Hal semacam ini jarang
kita jumpai pada hewan. Jadi sifat unik
manusia itu ialah akal budi dan kemauannya menaklukkan jasmaninya.
b.
Rasa Ingin Tahu
Dengan pertolongan akal
budinya manusia menemukan berbagai cara untuk melindungi diri terhadap pengaruh
lingkungan yang merugikan. Tetapi adanya akal budu itu juga menimbulkan rasa
ingin tahu yang selalu berkembang. Rasa ingin tahu itu tidak pernah dapat ingin
dipuaskan. Kalau salah satu soal dapat dipecahkan, maka timbul soal lain yang
menunggu penyelesaian. Manusia tidak pernah puas dengan pengetahuan yang telah
dimilikinya. Selalu timbul keingin untuk menambah pengetahuan itu. Rasa ingin
tahu mendorong manusia untuk melakukan berbagai kegiatan yang bertujuan untuk
mencari jawaban atas berbagai persoalan yang muncul dalam pikirannya. Tetapi
kegagalan biasanya tidak menimbulkan rasa putus asa, bahkan seringkali justru
membangkitkan semangat yang lebih menyala-nyala untuk memecahkan persoalan.
Kegiatan untuk mencari pemecahan dapat berupa :
a)
Penyelidikan langsung.
b)
Penggalian hasil-hasil penyelidikan yang sudah pernah diperoleh orang lain,
ataupun
c)
Kerjasama dengan penyelidik-penyelidik lain yang juga sedang memcahkan soal
yang sama atau yang sejenis.
Sebenarnya setiap orang
mempunyai rasa ingin tahu, meskipun kekuatan atau intensitasnya tidak sama,
sedangkan bidang minatnyapun berbeda-beda pula.
Jadi rasa ingin tahu
tiap manusia pada tiap saat belum tentu sama kuat, demikian pula pada kelompok
fenomena yang menimbulkan rasa ingin tahu biasanya berbeda-beda dan dapat
berubah-ubah menurut keadaan.
Rasa ingin tahu yang
terus berkembang dan seolah-olah tanpa batas untuk menimbulkan perbendaharaan
pengetahuan pada manusia. Dengan selalu berlansungnya perkembangan pengetahuan
itu lebih nyata bahwa manusia berbeda dari pada hewan. Manusia merupakan mahluk
hidup yang berakal serta mempunyai derajat yang tinggi bilah dibandingkan degan
hewan atau mahluk lainnnya.
c.
Rasa ingin tahu menyebabkan alam pikiran manusia berkembang
Ada dua macam
pekembangan akan kita tinjau yaitu:
1)
Perkembangan alam pikiran manusia sejak zaman purab hingga dewasa ini.
2)
Perkembangan alam pikiran manusia sejak lahirkan sampai akhir hayatnya.
Pada zaman puraba
manusia sudah menghadapi berbagai teka teki, terbit dan terbenamnya matahari,
perubahan bentuk bulan, pertumbuhan dan pembikan mahluk hidup, adanya angin,
petir, hujan dan pelangi. Terdorong oleh rasa ingin tahu yang sangat kuat,
manusia purba mulai menyelidiki apa penyebabnya terjadinya fenomena-fenomana
itu dan apa akibatnya. Penyelidikan ini menghasilkan jawaban atas banyak persoalan, tetapi
kemudian timbul persoalan-persoalan baru. Dengan demikian alam pikiran manusia
mulai berkembang. Perkembangan itu berlangsung terus sampai sekarang dan akan
berlanjut di masa mendatang. Meskipun semua orang memiliki rasa ingin tahu,
tidak semua orang dan mampu mengadakan penyelidikan sendiri. Banyak yang sudah
merasa puas dengan memilih jalan pintas yaitu bertanya kepada orang lain yang
telah mengadakan penyelidikan atau bertanya.
Alam pikiran seorang
bayi yang baru lahir mengalami perkembangan yang hampir serupa. Ketika anak
kecil mengamati lingkungan, muncul bermacam-macam pertanyaan itu, anak kecil
mengadakan penyelidikan sendiri atau bertanya kepada ibu, ayah, kakak atau
orang lain yang mengasuhnya. Dengan demikian alam pikiran anak berkembang
dengan pesat . rasa ingin tahu anak akan melemah, apabila orang-orang
disekelilingnya terlalu sibuk, terlalu malas atau terlalu bodoh untuk memuaskan
rasa ingin tahu anak itu. Dengan dwmikian alam pikiran anak itu akan terhambat.
Perkembangan alam dapat
juga disebabkan oleh rangangan dari luar, tanpa dorongan dari dalam yang berupa
rasa ingin tahu. Misalnya: orang yang tinggal dekat hutan menyaksikan kebakaran
hutan, orang yang sebenarnya tidak
berminat dipaksah untuk mendengarkan ceramah. Sebab eksteren semacam itu memang
dapat menimbulkan perkemangan alam pikiran manusia, tapi hasil itu biasanya
tidak mendalam dan tidak tahan lama.
2.
MITOS, PENALARAN DAN PENGETAHUAN PANGKAL KELAHIRAN IPA
a.
Mitos
Menurut A. Comte bahwa
dalam sejarah perkembangan manusia ada tiga tahap, yaitu:
1.
Tahap teologi atau tahap metafisika
2.
Tahap filsafat
3.
Tahap positif atau tahap ilmu.
Dalam tahap teologi
atau tahap metafisika, manusia menyusun mitos atau dongeng mengenal realita
atau kenyataan, yaitu pengetahuan yang tidak obyektif, melainkan subyektif.
Mitos ini diciptakan untuk memuaskan rasa ingin tahu manusia. Dalam alam
pikiran mitos, rasio atau penalaran belum terbentuk, yang berkerja hanya daya
khayal, intuisi, atau imajinasi.
Menurut C. A. Van
Peursen, mitos adal suatu ceriteria yang memberikan pedoman atau arah tertentu
kepada sekelompok orang. Lewat mitos, manusia dapat turut serta mengambil
bagian dalam kejadian-kejadian alam sekitarnya, dapat menanggapi daya kekuatan
alam. Contoh :
a)
Gunung api meletus hebat, menimbulkan gempa bumi, mengeluarkan gempa bumi,
mengeluarkan lahar panas dan awan panas, sehingga menimbulkan banyak koban
manusia, juga merusak daerah temat tinggal dan daerah persawahan penduduk. Manusia
pada tahap teologi (menurut A. Comte) atau pada tahap mitos (C. A van peursen)
belum dapat melihat realita ini dengan inderanya, manusia belum dapat
mengetahui dan menangkap peristiwa dalam (obyek) dengan alam pikiranya, maka
manusia beranggabpan bahwa yang dianggap sakti sedang murka.
b)
Gempa bumi diduga terjadi kerana Atlas (reksasa yang memikul bumi pada
bahunya) memindahkan bumi dari bahu yang satu ke bahu yang lain.
c)
Gerhana bulan disangka terjadi karena bulan dimakan raksasa, menurut
mitosnya raksa itu takut pada bunyi-bunyian, maka pada waktu gerhana bulan,
manusia memukul benda apa saja yang dapat menimbulkan bunyi, supaya raksasa itu
takut, dan memuntahkan kembali bulan purnama.
d) Bunyi guntur dikira ditimbulkan oleh roda kereta yang dikendari dewa
melintas langit.
Dalam menghadapi
pristiwa yang menakjubkan seperti terjadinya gerhana, halilintar, topan,
banjir, gempa, gunung meletus, manusia prmitif selalu menghubungkannya dengan
kekuasaan atau perbuatan dewa, hantu, setan atau mahluk ghaib lainnya. Dahulu
mitos sangat berpengaruh, bahkan saat inipun kepercayaan mitos masih belum
sepenuhnya hilang. Mencari jawab atas masalah seperti itu, dengan
menghubungkanya dengan mahluk-mahluk ghaib, disebut berpikir secara irasional.
Tentu saja pengetahuan yang diperoleh secara irasional belum dapat
dipertanggung jawabkan kebenarannya. Manusia terhadap mitos menanggapi realita
dengan mengadakan selamatan, tari-tarian, aatau lagu-lagu tersebut terkandung
dengan cerita tentang riwayat para dewa yang sedang mengatur
peristiwa-peristiwa alam. Demikianlah manusia pada tahap mitos/teologi menjawab
keingintahuannya dengan menciptakan dongeng-dongeng atau mitos, karena alam
pikirannya masih terbatas pada imajinasi atau intuisi.
b.
Penalaran deduktif (Rasionalisme).
Dengan bertambah
majunya alam pikiran manusia dan makin berkembangnya cara-cara penyelidikan,
manusia dapat menjawab. Menurut A. Comte, dalam perkembangan manusia, sesudah
tahap mitos, manusia berkembang dalam tahap filsafat. Pada tahap filsafat,
rasio sudah terbentuk, tetapi belum ditemukan metode berfikir secara objektif.
Perkembangan alam pikir manusia merupakan proses, maka manusia tidak puas
dengan pemikiran ini, sehingga berkembang kedalam tahap positif atau tahap ilmu.
Dalam tahap positif atau tahap ilmu ini, rasio sudah dioperasikan secara
obyektif. Manusia menghadapi obyek dengan rasio.
C. A. Van Peursen dalam
bukunya mengatakan bahwa didalam mitos manusia terikat, manusia menerima
keadaan sebagai takdir yang harus diterima. Lama kelamaan manusia tidak mau
terikat, maka manusia berusaha mencari penyelesaian dengan rasio, dalam
pemikiran ini. Dalam menghadapi peristiwa-peristiwa alam, misalnya gunung api
meletus yang menimbulkan banyak korban dan kerusakan, manusia tidak lagi
mengadakan selamatan dengan tari-tarian dan nyanyian, tetapi akan mengamati
peristiwa itu, mempelajari mengapa gunung api tidak meletus, kemudian berusaha
mencari penyelesaian dengan tindakan-tindakan yang sesuai dengan hasil
pengamatannya.
Berkat pengamatan yang
sitematis dan kritis, serta makin bertambahnya pengalaman yang diperoleh,
lambat laun manusia berusaha mencari jawab secara rasional dengan meninggalkan
cara yang irisional. Pemecahan secara rasional berarti mengandalkan rasio dalam
usaha memperoleh pengetahuan yang benar. Kaum rasionalis mengembangkan paham
yang disebut rasionalisme. Dalam menyusun pengetahuan, kaum rasionalis
menggunakan penalaran deduktif. Penalaran deduktif adalah cara berfikir yang
bertolak dari pernyataan yang bersifat umum untuk menarik kesimpulan yang
bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif ini menggunakan pola
berpikir yang disebut silogisme. Silogisme itu terdiri atas dua buah pertanyaan
dan sebuah kesimpulan. Kedua pernyataan itu disebut premis mayor dan premis
minor.
Dengan demikian jelas
bahwa penalaran deduktif ini pertama-tama harus mulai dengan pernyataan yang
sudah pasti kebenarannya. Penalaran deduktif
dapat diperoleh bermacam-macam pengetahuan mengenai sesuatu, obyek tertentu
tanpa ada kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak. Disamping itu juga
terdapat kesulitan untuk menerapkan konsep rasional kepada kehidupan praktis.
c.
Penalaran Indukatif ( Empirisme)
Pengetahuan yang
diperoleh berdasarkan penalaran deduktif ternyata mempunyai kelemahan, maka
muncullah pandangan lain yang berdasarkan pengalaman kongkret. Mereka yang
mengembangkan pengetahuan berdasarkan pengalamanan kongkret disebut penganut
empirisme. Paham empirisme menganggap bahwa pengetahuan yang benar ialah pengetahuan
yang diperoleh langsung dari pengalaman kongkret. Menurut paham empirisme ini,
gejala alam itu bersifat kongkret dan dapat ditangkap dengan panca indera
manusia.
Penalaran haruslah
dimulai dari yang sederhana menuju ke yang lebih kompleks. Didalam penalaran
itu, fakta yang didasarkan atas pengamatan tidak boleh dicampur adukan dengan
adukan atau pendapat orang yang melakukan penalaran. Mengemukakan sering kali
juga berfaedah, tetapi haruslah ada garis pemisah yang tegas antara dugaan dan
fakta. Yang terutama kita perhatikan di sini ialah gejala alam. Ada gejala alam
yang dapat ditirukan oleh manusia, ada juga yang tidak dapat. Penyelidikan
gejala alam yang dapat diturunkan didalam laboratorium (kadang-kadang ukuran
kecil) biasanya lebih cepat membawa hasil dibandingkan gejala yang tidak dapat
diulangi didalam laboratorium.
Dari pengamatan secara
sistematis dan kritis atas gejala-gejala alam akan diperoleh pengetahuan
tentang gejala itu. Penganut emperisme menyusun pengetahuan dengan menggunakan
penalaran indukatif. Penalaran indukatif ialah cara berfikir dengan menarik
kesimpulan umum dari pengamatan atas gejala-gejala yang bersifat khusus. Contoh
lagi : kucing sedang bernafas, kambing bernafas, sapi, kuda dan harimau juga
bernafas. Dapat disimpulkan bahwa semua hewan dapat bernafas.
Dengan penalaran
indukatif ini makin lama dapat disusun pernyataan yang lebih umum lagi dan
bersifat fundamental. Dengan cara ini dapat diperoleh prinsip-prinsip yang
bersifat umum sehingga memudahkan dalam memahami gejala yang beraneka ragam.
Namun demikian ternyata bahwa pengetahuan yang dikumpulkan berdasarkan
penalaran induktif ini masih belum dapat diandalkan kebenarannya. Misalnya dari
hasil pengamatan terhadap anak-anak yang berprestasi tinggi dibeberapa sekolah
menunjukkan bahwa semuanya berhidung mancung.
d.
Pendekatan Ilmiah, kelahiran IPA
Agar supaya himpunan
pengetahuan itu dapat disebut ilmu pengetahuan, harus digunakan perpaduan
antara rasionalisme dan empirisme, yang dikenal sebagai metode keilmuan atau pendekatan
ilmiah. Pengetahuan yang disusun dengan
cara pendekatan ilmiah atau menggunakan metode keilmuan, diperoleh melalui
kegiatan penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah ini dilaksanakan secara
sistematik dan terkontrol berdasarkan atas data-data empiris. Kesimpulan dari
penelitian ini dapat menghasilkan suatu teori. Metode keilmuan itu bersifat
obyektif, bebas dari keyakinan, perasaan dan prasangka pribadi serta bersifat
terbuka. Artinya dapat diuji ulang oleh siapa pun.
Dengan demikian
kesimpulan yang diperoleh lebih dapat diandalkan dan hasilnya lebih mendekati
kebenaran. Jadi suatu himpunan pengetahuan dapat digolongkan sebagai ilmu
pengetahuan bilamana cara memperolehnya menggunakan metode keilmuan, yaitu gabungan
antara rasionalisme dan empirisme.
3.
METODE ILMIAH SEBAGAI CIRI IPA
a.
Metode Ilmiah
Berfikir secara
rasional dan berfikir secara empiris membentuk dua kutub yang saling
bertentangan. Kedua belah pihak, masing- masing mempunyai kelebihan dan
kekurangannya. Gabungan antara dua pendekatan rasional dan pendekatan empiris
dinamakan metode ilmiah. Rasionalisme memberi kerangka pemikiran yang konoheren
dan logis, sedang empirisme dalam memastikan kebenarannya memberikan kerangka
pengujiannya.dengan demikian maka pengetahuan yang dihasilkan ialah pengetahuan
yang konsiten dan sistematis serta dapat diandalkan, karena telah diuji secara
empiris.
Metode ilmiah merupakan
cara dalam memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Dapat juga dikatakan bahwa
metode ilmiah merupakan gabungan antara rasionalisme dan empirisme. Cara-cara
berfikir rasional dan empiris tersebut tercermin dalam langkah-langkah yang
terdapat dalam proses kegiatan ilmiah tersebut. Kerangka dasar prosedurnya
dapat diuraikan atas langkah-langkah berikutnya:
1.
Penemuan atau penentuan masalah
Dalam kehidupan
sehari-hari kita menghadapi berbagai masalah. Dengan adanya masalah ini maka
otak kita mulai berfikir. Masalah tersebut harus dirumuskan sedemikian rupa
hingga memungkinkan untuk dianalisis secara logis dan kemudian mudah untuk
dipecahkan.
2.
Perumusan kerangka masalah
Langkah ini merupakan
usaha untuk mendeskripsikan permasalahannya secara lebih jelas. Unsur-unsur
yang membentuk kerangka ini dapat diturunkan secara empiris. Jadi dalam langkah
perumusan kerangka permasalahan ini, kita sudah mulai berfikir secara empiris
dan secara rasional.
3.
Pengajuan Hipotesis
Hipotesis adalah
kerangka pemikiran sementara yang menjelaskan hubungan antara unsur-unsur yang
membentuk suatu kerangka permasalahan. Kerangka
pemikiran sementara diajukan tersebut disusun secara deduktif berdasarkan premis-premis atau pengetahuan
yang telah diketahui kebenarannya.
4.
Deduksi Hipotesis
Kadang-kadang, dalam
menjembatani permasalahan secara rasional dengan pembuktian secara empiris
membutuhkan langkah perantara.
5.
Pengujian Hipotesis
Langkah ini merupakan usaha untuk mengumpulkan fakta-fakta yang relevan
dengan deduksi hipotesis. Jika fakta-fakta tersebut sesuai dengan konsekuensi
hipotesis, berarti bahwa hipotesis yang diajukan terbukti/benar, karena
didukung oleh fakta-fakta yang nyata. Jadi kriteria untuk menetukan apakah
suatu hipotesis itu benar atau tidak ialah kenyataan empiris, apakah hipotesis
tersebut didukung oleh fakta atau tidak. Langkah-langkah dalam kegiatan ilmiah
tersebut diatas tersusun dalam urutan yang teratur, langkah yang satu merupakan
persiapan bagi langkah berikutnya.
6.
Keterbatasan dan keunggulan metode ilmiah
Keterbatasan :
Data berasal dari pengamatan yang dilakukan oleh panca indera. Kita
mengetahui bahwa panca indera mempunyai keterbatasan untuk menangkap sesutu
fakta.
Keterbatasan lain dari metode ilmiah adalah tidak dapat menjangkau untuk
membuat kesimpulan yang bersangkutan dengan baik dan buruk atau sistem nilai,
tentang seni dan keindahan, dan juga tidak dapat menjangkau untuk menguji
adanya Tuhan.
Keunggulan :
Ilmu atau Ilmu
pengetahuan (termasuk IPA) mempunyai ciri khas yaitu obyektif, metodik,
sistematik dan berlaku umum. Dengan sikap tersebut maka orang berkecimpung atau
selalu berhubungan dengan ilmu pengetahuan akan terbimbing sedemikian hingga
padanya terkembangkan suatu sikap yang disebut ilmiah. Yang dimaksud dengan
sikap ilmiah tersenut adalah sikap:
a)
Mencintai yang kebenaran obyektif, dan bersikap adil.
b)
Menyadari bahwa kebenaran ilmu tidak absolut.
c)
Tidak percaya pada takhayul, astrologi maupun untung-untungan.
d)
Ingin tahu lebih banyak.
e)
Tidak berpikir secara perasangka.
f)
Tidak percaya begitu saja pada suatu kesimpulan tanpa adanya bukti-bukti
yang nyata.
g)
Optimis, teliti dan berani menyatakan kesimpulan yang menurut keyakinan
yang ilmiahnya adalah benar[1][8].
b.
Pengertian IPA
IPA merupakan ilmu yang
sistematis dan dirumuskan, yangberhubungan dengan gejalah-gejalah kebendaan dan
didasarkan terutama atas pengamatan dan induksi (H.W. Fowler et-al, 1951).
Sedangkan Nokes didalam bukunya “Science in Education” menyatakan bahwa IPA adalah
pengetahuan teoritis yang diperoleh dengan metoda khusu.
Kedu perdata diatas
sebenarnya tidak bebeda, memang benar bahwa IPA merupakan suatu ilmu teoritis,
tetapi teori tersebut didasarkan pengamatan, percobaan-percobaan terhadap
gejalah-gejalah alam.
Jadi dapatlah disetujui
bahwa IPA adalah suatu pengetahuan teoritis yang diperoleh/disusun dengan cara
yang khas/khusu, yaitu melakukan observasi eksperimentasi, penyimpul, penyusun
teori, eksperimentasi, observasi dan dimikian seterusnya kait-mengkait antara
cara yang satu dan yang lain. Cara untuk memperoleh ilmu secara demikian ini
terkenal dengan nama metode ilmiah. Metode ilmiah pada dasarnya merupakan cara
yang logis untuk memecahkan suatu masalah tertentu.
Pemecahan masalah itu
dilakukan tahap demi tahap demi tahap dengan urut langka-langka yang logis,
dikumpulkannya fakta-fakta yang berkaitan masalah tersebut, mengujinya
berulang-ulang melalui eksperimen-eksperimen, barulah diambil kesimpulan
berdasarkan hasil-hasil eksperimen tersebut yang diyakini kebenarannya.
Pendekatan induktif
ialah mengambil suatu kesimpulan umum berdasarkan dari sekumpulan pengetahuan,
sedangkan yang bersifat deduktif ialah berdasarkan hal-hal yang sudah dianggap
benar diambil suatu kesimpulan dengan menggunakan hal-hal yang sudah dianggap
benar[2][9].
c.
Relativitas IPA
Fakta sebenarnya
mendiskripsikan/memberikan fenomena-fenomena (gejalah). Namaun kadang-kadang
fonomena yang sama dapat diberikan dengan cara-cara yang berbeda, tergantung
dari sudut pandangan siperumus fakta itu. Sebagai contoh fenomena terbit dari
terbenamnya matahari dapat diberikan.
1.
Matahari terbit dari terbenam matahari disebelah timur, lalu tenggelam
disebelah barat.
2.
Bumi berputar kearah timur, maka matahari seolah-olah bergerak
kebarat.
Relativitas ini timbul
terutama apabila sipengamat sedikit banyak terlibat dalam fenomena itu atau
kalau sipengamat hanya dapat mengamati sebagian saja dari fenomena itu. Contoh
lain : Pengamat yang berada didalam kereta atau bis yang sedang berjalan
(cepat) akan melihat tiang-tiang listrik ataupun pohon-pohon seolah-olah
bergerak kearah yang berlawanan[3][10].
d.
IPA Bersifat Dinamis
IPA berawal dari
pengamatan dan pencatat baik terhadap gejalah-gejalah alam pada umumnya maupun
dalam percobaan-percobaan yang dilakukan dalam laboratorium. Dari hasil
pengamatan atau observasi ini manusia berusaha untuk merumuskan konsef-konsef,
perinsif, hukum dan teori.
Dari teori yang telah
ada dibuka kemungkinan untuk melakukan eksperimen yang baru. Kemudian dari data
yang baru yang diperoleh mungkin masih mendukung berlakunya teori yang lama,
tetapi juga ada kemungkinan tidak lagi cocok sehingga perlu disusun teori yang
baru.
Demikianlha proses IPA
berlangsung terus sehingga selalu terdapat mekanisme kontrol, besifat terbuka
untuk selalu diuji kembali dan bersifat komulatif. Jadi proses IPA yang dinamis
ini karena menggunakan metode keilmuan, dimana pran teori dan eksperimen saling
komplemeter dan saling memperkuat. Sebagai contoh : dengan menggunakan teori
optik memungkinkan dibuatnya alat-alat optik yang presisi yang tinggi dan
kemampuan yang lebih besar. Selanjutnya dengan alat-alat yang berkemampuan
besar ini memungkinkan diperbaharuinya teori yang telah ada.
4.
IPA dan Perkembangan Daya Abstraksi Manusia
a.
Peranan Matematika dan Daya Abstraksi Manusia
Pada zaman dahulu kala
sebenarnya manusia dengan tidak sadar telah menggunakan Matematika. Berarti
bahwa Matematika tersebut telah dikenal orang sejak zaman dahulu. Tentu saja
Matematika yang mereka gunakan adalah Matematika Klasik atau Matematika yang
sangat sederhana. Misalnya saja mereka telah menggunaka jari-jari tangannya
bahkan sampai menggunaka jari-jari kakinya untuk alat hitung-menghitung.
Sesuai dengan
perkembangan otak manusia, maka didunia ini lahirlah masalah-masalah baru
khusunya yang berhubungan dengan masalah kehidupan mereka, misalnya masalah
ekonomi, masalah kependudukan, petani, keteknikan, transportasi, komunikasi,
cuaca, pendidikan dan bahkan sampai pada ilmu pengetahuan yang semuanya itu
membutuhkan adanya penghitungan-penghitungan secar sitematis guna menyelesaikan
persoalan-persoalan dengan mudah, cepat dan efisien[4][11].
Adapun peranan
Matematika bagi IPA adalah :
Karena kompleksnya
masalah-masalah yang dihadapi dan juga perkembangan ilmu pengetahuan, maka pada
waktunya yang silam matematika klasik kurang mampu untuk memecahkan secara
tuntas, sistematis, dan efisien. Misalnya kalu zaman dahulu orang menghitung
hanya dengan jari-jari tangan yang hanya mampu untuk menghitung masalah-masalah
yang sederhana, tetapi sekarang cara demikian sudah banyak ditinggalkan orang,
karena dengan cara tersebut memang kurang praktis untuk disunakan. Sehingga
bangkitlah dunia ilmu pengetahuan khusunya Matematika dengan memberikan simbol
pada unsur-unsur matematika seperti simbol bilangan yang dinyatakan dengan
angka-angka yaitu :
Bilangan satu simbolkan
dengan angka 1
Bilangan dua simbolkan
dengan angka 2
Bilangan tiga simbolkan
dengan angka 3
Dan seterusnya
Sehingga kalu orang
hendak menjumlahkan bilangan-bilangan :
Satu ditambah dua
sambah dengan tig
Lima ditambah tiga sama
dengan delapan
Maka orang akan lebih
suka memakan simbol :
1 + 2 = 3
5 + 3 = 8
Dalam bahasa Matematika
wakil-wakil semacam itu disebut dengan perubahan atau variabel yang biasa
disimbolkan dengan huruf-huruf : x, y, z
………….. sehingga kalau orang mengtakan bahwa :
2x + 4x = 6x
Dengan x wakil dari
pensil maka maksud dari kalimat itu adalah :
2 Pensil + 4 Pensil = 6
Pensil
b.
Peranan Matematika Terhadap IPA
Menurut dengan sejarah,
kemampuan manusia menulis sama tuanya dengan kemapuan manusia untuk dapat
berhitung, yaitu kurang lebih 10.000 tahun sebelum Masehi. Tulisan itu pada
hakikatnya simbol dari apa yang ia tulis.
Berhitung, pada awal
mulanya berbentuk korespondensi persatuan dari objek yang dihitung. Misalnya
seorang ingin menghitung beberapa jumlah ternaknya, maka ternak itu dimasukkan
kedalam kandang satu persatu. Taip ekor diwakili satu batu kecil, maka jumlah
ternaknya adalah jumlah batu kecil itu. Dengan sekantung batu-batu itu ia dapat
mengontrol apakah ada ternak yang belum kembali atau hilang atau malah sudah
bertambah karena beranak.
Jadi, sejak awal
kehidupan manusia matematika itu merupakan alat bantu untuk mengatasi sebagian
permasalahan menghadapi lingkunga hidupnnya. Sumbangan matematika terhadap
perkembangan IPA sudah jelas, bahkan boleh dikatakan bahwa tanpa matematika IPA
tidak akan berkembang[5][12].
c.
IPA Kualitatif dan Kuantitatif
Telah kita ketahui
bahwa penemuan-penemuan yang didapat oleh Copernicus sampai Galileo pada awal
ke-17 merupakan perintis ilmu pengetahuan. Artinya ialah bahwa
penemuan-penemuan itu berdasarkan empiri dengan metode induksi yang obyektif
dan bukan atas dasar deduksi filosofik seperti pada zaman Yunani yang
berdasakan mitos seperti pada zaman Babylonia[6][13].
Penemuan-penemuan
semacam ini kita sebut sebagai ilmu pengetahuan alam yang sifatnya kualitatif.
Ilmu pengetahuan Alam yang kualitatif ini tidak dapat menjawab pertanyaan yang
bersifatnya kausal atau hubungan sebab akibat, ilmu pengetahuan alam kualitatif
itu hanya mampu menjawab pertanyaan tentang hal-hal yang sifatnya faktual.
Untuk memperoleh
jawaban dari pertanyaan tentang hal-hal yang sifatnya kausal, diperlukan
perhitungkan secara kuantitatif.
Contoh: Misalnya,
seseorang memelihara itik dengan makanan tradisional biasa, itik betelur 15
butir dalam sebulan. Kemudian orang itu menambahkankan keong racun sebagai makanan
tambahan bagi itiknya bertelur lebih banyak, yaitu 20 butir sebulan. Dari
kenyataan ini belum dapat ditarik kesimpulan adanya keong racun menambah telur
itiknya, karena masih besifat kasus, artinya mungkin saja itu suatu kebetulan
terjadi pada seekor itik (kasus).
Jadi ilmu pengetahuan alam
kuantitatif adalah Ilmu Pengetahuan Alam yang dihasilkan oleh metode ilmiah
yang didukung oleh kuantitatif dengan menggunakan statistik. Ilmu Pengetahuan
Alam kuantitatif ini dapat disebut juga sebagai Ilmu Pengetahuan Alam Modern[7]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar