Sosial Politik

Rabu, 18 Mei 2016

MENGGUGAT CINTA



Cinta,,,,,,
Cinta adalah sebuah bentuk atau kerangka.
Cinta adalah subjek,
Cinta sebuah penggambaran wujud, karakter dan emosional.
Manifestasi dari segala bentuk perbuatan,
Itulah CINTA.

      Suatu hari di kalah senja mulai menghampiri upuk barat, seorang pemuda terlihat duduk termenung bersama sepucuk rokot di tangan nya. Di tepi pantai berpasir putih, diiringi desiran ombak menyapu daratan seolah menyapa dengan temaram cahaya yang mulai redup. Sang pemuda masih terduduk seolah enggan beranjak bersama keheningan yang mulai menghampiri. Dikala satu-persatu dari setiap hisapan yang semakin terasa, "Inikah indahnya hidup, ataukah ini merupakan suatu pelampiasan dari hirup pikuk dunia modern?" kata sang pemuda dalam hati...***

      Keesokan harinya,di sebuah taman kampus yang rindang nan asri Sang pemuda duduk di kursi taman tersebut, sambil memegang sebuah buku. Bolak-balik lembar demi lembar buku tersebut ia pelototi sambil membacanya. Sedang asyik-asyiknya membcara, dari arah belakang sebuah tepukan dipunggungnya, "hi,,,bro?", sambil kaget ia menoleh "ia,,,,???". Dengan kekagetan tadi, ia mulai ingat siapa sosok tersebut, tak lain adalah sahabat karibnya semasa SMA dlu...
A : Sang Pemuda
B : Sahabat nya (biasa ia panngil dengan kata AM)

B : woy,,,,,ngelamun aja loe??? tanya  BangJek
A : ????,,,,,Astaga, BangAM? beneran loe ni, apa kabar?
B : baik,,,,loe sendiri gimana kabarnya????
A : baiak Bang....
B : ea, bacaan buku apaan tuh loe baca?
A : ini nih Bang,,,,Buku, CINTA SEJATI.
AB : sambil bincang-bincang....***

      Beberapa hari kemudian, Sang pemuda bertemu lagi denga BangAM. BangAM ini adalah orang yang paling tau luar dalam kehidup Sang pemuda. Hari itu Sang pemuda bertemu dan meminta saran dan pandangan kepada sahabatnya tersebut (BangAM). Di hari itu Sang pemuda bercerita tentang kehidupan sebelumnya waktu masih sekolah dan kehidupannya saat ini yang telah malah melintang dalam dunia pergaulan anak jaman sekarang.

A : "Bang,,,,loe dah tau gue luar dalam dari dulu..." sambil masang muka bingung gitu.
B : "ia,,,trs masalahnya apa? kok loe kayak bingung gitu sih? sambil serius.
A : ""gini Bang,,,,dlu kan waktu SMA, gue gak pernah pacaran kayak anak jaman sekarang. trs,
     semenjak gue kuliah dan banyak bergaul, dan liat temen2 gue pacaran yang kayak gimana gitu.
B : "teruzz......" sambil serius dengerin,
A : "trz,,,,gue coba juga buat pacaran, tapi tiap pacaran ma seseorang gitu paling satu minggu doank
     dah minta putus.
B : "emang loe pacarannya kyk gimana???"
A : "yach,,,,kayak biasa aja Bang...telonan, sms-an, chat, jalan ma makan gitu doank...tapi saat gue
     mulai suka ma tuh cewek,,,ech, malah mnta ptuzzz dianya."
B : "mungkin loe ada salah kali, ato loe kurang romantis?" BangAM, mulai memberi pertanyaan.
A : "kurang apalagi coba Bang AM? perasaan dah semua gue lakuin kok..(sambil pasang muka kebi-
     ngungan)
B : "emang reaksi cwek loe kalo ktmu gimana?"
A : "biasa aja BangAM,,,tapi gue juga kadang bingung gitu Bang. Soalnya kalo ktmu ato jalan gtu, dia
     nya biasa rangkul gue, meluk gue,,,tapi loe tau kan gue kayak gimana Bang, gak tau & takut soal
     gtu-gtuan dari dlu.
B : "......(sambil ngangguk-ngangguk)***

Lanjut...
      Sang pemuda kembali bercerita bersama sahabatnya tersebut paska kejadian sebelumnya di atas. Setelah kejadian tersebut dia banyak belajar, baca buku dan sebagainya, bahkan bertanya dan belajar sama teman-teman nya. Hal yang dia harapkan malah membuatnya bertambah pusing, solusi yang menjadi pertanyaan dan harapan terbesarnya tak ia dapatkan. Bukan solusi yang dia dapat dari satu pertanyaannya, bahkan dia kembali bersama beberapa pertanyaan besar yang lebih sulit.

     Hari sabtu sore, Sang pemuda tersebut putuskan untuk kembali bertemu sahabatnya dengan harapan dapat memberikan suatu solusi. Di tempat yang memang menjadi favorit mereka buat bercengkrama dengan sahabatnya tersebut. Dan mulailah Sang pemuda membuka pembicaraan.
A : "Bang,,,kyk nya gue tambag pusing deh". Sambil pegang kepala.
B : "Pusing napa lagi loe?
A : "Gini BangAM,,,waktu itu kan gue prna curhat tuh mah abang? setelah itu, gue banyak insfeksi diri,
     baca buku, bertanya dari temen lah, smuanya lah..."
B : "Trs mslah nya apalgi coba?" sambil memotong,,,
A : "Nah itu die BangAM...biasa kalo gue liat di sosmed, majalah, kok mereka2 romantis banget gtu trs
     kyk dah terbiasa.
A : lanjut "Trs kalo gue baca buku, lain lagi Bang,,,distu dikatakan "Cinta adalah ungkapan atas segala
     sesuatu yang kita senangi, kita inginkan atau kita harapkan. Cinta adalah pengorbanan dan Cinta
     adalah penyerahan", nah itu tuh yang buat gue tambah pusing Bang."
B : "ada lagi?"
A : "beda lagi ma temen gue Bang,,,kata mereka, pacaran itu happy, saling memiliki, bebas, dan punya
     dunia sndiri."
A : "nah,,,itu smua tuh yang buat gue pusing BangAM. distu sisi gue jg pengen kayak temen gue, tapi
     disisi lain gue jg pengen ngerasai makna dan arti cinta yg sbenarnya.
     Apakak gue mesti ngikutin tmn2 gue, yang serba bebas, punya dunia sndri, dan sbgainya?
     Ataukah gue mesti ngikutin kata buku tentang cinta itu,,,,tapi jadul dan membosankan?
*****
     Dari penggalan beberapa kata di atas, ada satu makna tersirat yang coba ingin di gambarkan oleh penulis terkain judul "MENGGUGAT CINTA" di atas. Dialog di atas tidak di gambarkan secara utuh, tapi disini penulis mencoba membawa para pembaca atau penikmat tulisan untuk berada di dalamnya yang seolah-oleh kitalah aktor tersebut. Agar pemaknaan atas tulisan tersebut dapat terserap dan dipahami oleh nalar dan logika para pembaca.

      Dalam hal ini, kemudian ada beberapa pertanyaan menarik untuk diajukan sebagai panduan dan

Sabtu, 14 Mei 2016

KEMANDIRIAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT SEBAGAI EKSPRESI DEMOKRASI

Gerakan sosial bukanlah gerakan eksklusif
Oleh orang yang seringkali meng-klaim diri mereka sebagai kelompok radikal.
Tetapi gerakan sosial hanyalah gerakan sistematis untuk perubahan.
Oleh karena itu, gerakan sosial akan menjadi network 
dengan kekauatan strategis manapun
yang mau bergabung dalam proses
penciptaan dan pergumulan
dengan keadilan sosial.

    Kemandirian dan partisipasi masyarakat dalam kehidupan bernegara adalah ekspresi kewarganegaraan yang mengindikasikan suatu negara sedang mempraktikkan demokrasi, baik secara ekonomi, politik maupun sosial. Sejauhmana demokrasi tersebut dimanifestasikan bisa dilihat dari bagaimana tradisi perpolitikan, perekonomian, dan sosial bergerak secara revolusioner, bahkan terkadang diarahkan menjadi diskontiunitas sejarah.
      Dalam tradisi kita, terutama di era transisi ini, proses kemandirian dan partisipasi masyarakat merupakan gerakan strategis yang perlu didorong secara terus-menerus untuk menggawangiterbentuknya masyarakat madani atau civil society. Hal itu diperlukan karena berdemokrasi di Indonesia---dalam hal ini bangunan hubungan antara negara dan masyarakat belum menunjukkan pelibatan masyarakat. Justru, yang muncul adalah manifestasi terlalu menguatnya Negara. Pertanyaan sederhana dalam konteks ini yang menarik diajukan adalah apakah realisasi gerak kemandirian dan partisipasi masyarakat itu membutuhkan Negara yang tidak terlalu kuat bahkan yang lemah?.

      Sebagaimana kita ketahui, kehidupan bernegara merupakan ruang singgung antara kepentingan penyelenggara Negara dan himpunan masyarakat untuk mentasbihkan ruang dan gerak demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, hubungan antara negara dan masyarakat merupakan mekanisme dan ruang gerak sistemik yang perlu digawangi melalui paradigma perubahan revolusioner demokrasi---bahkan terkadang merefleksikan diskontinuitas sejarah---dengan cara mendorong gerakan redistribusi sosial, pembatasan yang kuat, perlindungan yang lemah serta jaminan sistem yang terkontrol oleh ruang terbuka bernama ruang publik. Kemandirian dan partisipasi masyarakat dengan demikian adalah cara strategis sekaligus ruang dinamis masyarakat untuk melakukan konsolidasi kekuatan revolusioner demokrasi bagi terciptanya good governance dan cleen governant.

      Dalam hal ini, governance memuat tiga komponen dasar, yaitu: state, society dan private sector. Demokrasi politik, ekonomi dan sosial yang diharapkan muncul sebagai gerakan revolusioner demokrasi bagi terealisasinya kemandirian dan partisipasi masyarakat ini tentu saja merupakan manifestasi penciptaan goog governance yakni, negara yang memihak kepada kepentingan masyarakat, private sector yang terkelolah dengan baik, dan masyarakat yang mandiri serta partisifatif. Lalu apa sebenarnya kemandirian dan partisipasi masyarakat itu dalam makna yang kita cita-citakan? apa urgensi pencapaiannya?
Kemandirian Masyarakat

      Kemandirian merupakan sikap strategis untuk memilih gerakan perubahan. Kemandirian adalah sikap inti yang diambil tanpa pengaruh unsur-unsur yang menjadi pola parsial suatu gerakan perubahan. Kendati demikian, bukan berarti kemandirian bermakna ketegasan sikap tanpa mau atau enggan membangun network dengan kekuatan lain. Kemandirian juga bukan berarti lepas sama sekali dari kekuatan lain. Apalagi jika kemandirian itu dimaksudkan sebagai gerakan agar bisa membangun kekuatan eksklusif untuk tujuan penguasaan dan bahkan penindasan. Kemandirian lebih bermakna sebagai sikap strategis untuk tujuan manifestasi gerakan revolusioner demokrasi bagi manifestasi keadilan sosial.
      Apa yang dilakukan oleh Rasulullah Muhammad SAW. bersama komunitas muslimin ketika membangun dan menggerakkan nurani keadilan sosial masyarakat Quraisy adalah salah satu contoh bentuk kemandirian sosial. Komunitas muslimin di bawah pimpinan Rasulullah tetap bersikap mandiri tanpa terkontaminasi dan tergoda oleh rayuan apapun, sekalipun berada ditengah-tengah tantangan realitas tribalisme Arab dan kecurangan transaksi sosial yang dilakukan kaum kuat terhadap kaum lemah, yang dialakukan kaum pedagang terhadap pembeli, yang dilakukan tuan Arab Quraisy terhadap suku lain. Rasulullah bersama kaum yang berbeda terhadap keputusan yang diambil oleh para penentu kesepakatan dalam komunitas mereka juga merupakan partisipasi masyarakat.


Jumat, 13 Mei 2016

KEARIFAN DEMOKRASI (Perpaduan Berkuasa dan Siap Dikritik)

Dalam konteks Indonesia,
pertarngan opini antara oposisi dan penguasa
belum lagi ditangkap publik secara luas
sebagai sesuatu yang penting untuk kontrol.
Dalam situasi seperti ini penguasa terlibat secara massif
menggunakan opini publik
sebagai justifikasi untuk melakukan counter balik
terhadap kritikan oposisi.

      Pengalaman proses transisi politik di Indonesia sampai pada situasi sekarang mendorong kita berfikir skeptis. Mungkinkah transisi demokrasi Indonesia berakhir dengan suatu kemenangan realitas demokratik, bahwa demokrasi (politik, terutama ekonomi dan hukum) betul-betul bisa diwujudkan. Sebab, Variabel, pendukung ke arah demokratisasi, nampaknya masih jauh api dari panggang. Aktor di panggung kekuasaan belum sepenuhnya serius menggawangi dan meretas demokrasi itu sendiri.

      Seperti biasa terjadi di Indonesia, faktor penghambat proses transisi demokrasi berasal dari dalam Negara sendiri. Secara sepintas, yang bisa dilihat adalah berakar pada aktor dan keterkaitan dengan masa lalu. Dengan kata lain, aktor yang sekarang memegang posisi sebagai pejabat Negara belum menyadari dirinya merupakan faktor signifikan pendorong demokratisasi. Kondisi ini ditambah lagi oleh adanya imitasi---untuk tidak mengatakan keterkaitan dengan---kekuatan politik masa lalu, sehingga yang terjadi selalu kompromi "di belakang layar" bukan---meminjam istilah Norberto Bobbio (1989)---Kompromi institusional yang dijamin oleh konstitusi demokrasi.

      Dalam kaitan ini, pertarungan politik yang melibatkan oposisi dengan pemerintah tidak bisa dihindarkan. Pada awalnya, oposisi hanya melakukan kritik keras terhadap kebijakan pemrintah (misalnya, tentang inpres Release & Discharge). Tampaknya pemerintah tidak bergeming terutama menyangkut hal imitasi terhadap masa laludan komprominya dengan para konglomerat dan birokrasi korup. Sehingga realitasnya, oposisi meningkatkan intensitas gerakan untuk mengkritik semakin keras pemerintah. Saya melihat dalam konteks persoalan di atas, ada diskursus menarik yang perlu disampaikan sebagai refleksi, terutama bagi pemerintah, yaitu mengenai makna demokrasi serta sikap demokrasi.

      Ketika melihat Negara-Negara yang sedang mengalami transisi demokrasi Juan K. Linz dan Alfred Stepan (1996) mengemukakan suatu tesis penting, yaitu proses kali yang ketiga pengertian suatu pemrintahan merupakan faktor peling menentukan: benar-benar terjadi konsolidasi demokrasi ataukah sebaliknya. Jika pemerintah pengganti menjelma menjadi aktor demokrasi, maka proses selanjutnya---dengan pengalaman yang telah dimiliki selama dalam kondisi belum normal---akan memanifestasikan  sistem dan pengelolaan Negara yang demokratis pula. Tetapi jika sebaliknya, maka Negara akan semakin otoriter (nondemocratic).

      Situasi tersebut ditengarai mengemuka karena beberapa hal, di antaranya:
1. Terjadinya kebosanan dan kelelahan publik terhadap proses pergantian rezim secara terus-menerus dibarengi oleh direkrutnya sedikit kekuatan oposisi dengan kompromi minimal. Kebosanan publik terhadap pergantian rezim berubah menjadi apatisme politik, karena harapan yang senantiasa didengungkan ketika pergantian rezim tidak bisa diwujudkan. Pada satu sisi, kebosanan ini bagi oposisi berikutnya yang mengkritik kebijakan-kebijakan penguasa terasa mendahului kehendak masyarakat. Sehingga, alih-alih mendapatkan dukungan dari nurani dan suara kuantitatif masyarakat, malahan ditiduh sebagai biang kerok ketidakberesan, atau justru malahan tidak mendapatkan respons sama sekali dari masyarakat. Pada sisi lain, bagi pemerintah kebosanan publik justru digunakan sebagai legitimasi bahwa apatisme politik publik merupakan bukti kebijakan mereka telah mengapresiasi aspirasi masyarakat luas.

    Direkrutnya sedikit kekuatan oposisi dalam proses kompromi minimalis, yang dipilih oleh pemerintah justru adalah mereka yg tidak memiliki basis massa. Hal ini membawah dampak serius, yakni demoralitas kekuatan oposisi lainnya. Dengan kata lain, ada semacam stigmatisasi terhadap oposisi yang senantiasa melakukan kritik bahwa mereka mengkritik karena tidak mendaparkan jatah kekuasaan. Sehingga, kalau mereka telah mendapatkan kekuasan akan sama saja dengan oposisi yang sudah direkrut.

2. Polarisasi kekuatan oposisi.
    Hal ini merupakan implikasi dari yang pertama. Dimana oposisi mengalami situasi saling menyalahkan. Yang terjadi akhirnya bukan konsolidasi demokrasi oleh posisi, melainkan kompromi---tepatnya "pelacuran" politik antara sebagian oposisi dengan penguasa.

3. Kesigapan pemerintah pengganti menangkap kesempatan kekuasaan sebagai legitimasi bahwa dirinya adalah penguasa sah dalam situasi normal. Padahal, dalam dalam kondisidemikian penguasa mestinya memosisikan diri sebagai penguasa interim (transisi). Situasi ini mengarahkan situasi politik dan sistem politik pada ruang konsolidasi Negara, bukan konsolidasi demokrasi. Sehingga yang dilahirkan rezim bukanlah kebijakan-kebujakan baru yang bisa dijadikan instrumen pendorong demokrasi, melainkan mobilisasi aparatur Negara menjadi penyangga kepentingan kekuasaan.

     Jika mengikuti keterangan di atas, maka transisi dan konsolidasi demokrasi di Indonesia secara signifikan bisa disebut analogis mengalami langkah mundur atau belum sempurna. Paling tidak, indikator, 1, 2 & 3 di atas merupakan kenyataan faktual kegagalan proses transisi dan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Apalagi, bagi Linz dan Stepen, defenisi transisi demokrasi agak sulit direalisasikan.

      Transisi demokrasi menurut defenisi tersebut sempurna bila kesepakatan yang cukup mengenai prosedur politik untukmembentuk pemerintahan telah dicapai; bila pemerintahan dibentuk berdasarkan hasil langsung yang bebas dan popular vote; bila pemerintahan secara defacto memiliki otoritas penuh untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru; serta bila kekuatan eksekutif, legislatif dan yudikatif dihasilkan oleh demokrasi baru yang tidak harus melakukan pembagian kekuasaan dengan institusi lain di luar dirinya secara de jure.

      konteks Indonesia, pertarungan opini antara oposisi dan penguasa belum lagi ditangkap publik secara luas sebagai sesuatu yang penting untuk kontrol. Dalam situasi seperti ini penguasa terlihat secara massif menggunakan opini publik sebagai justifikasi untuk melakukan counter balik terhadap kritikan oposisi. Penguasa dalam beberapa kali pidato presiden misalnya, mengemukakan bahwa kinerja pemerintahan telah mengakomodir kepentingan masyarakat luas, sedangkan pada saat yang sama belum disertai perubahan kebijakan yang dituntuk oposisi (misalnya tentang penegakan hukum bagi para koruptor dan konglomerat hita). Penguasa melalui pidato Presiden dihadapan para pendukungnya justru mengklaim bahawa para pengkeritik Pemerintahsekarang ini tidak memiliki sense of nation, hanya penguasa dan para pendukungnya saja yang memiliki hal tersebut.

     Penguasa sepertinya khawatir otoritasnya dengan kritikan tersebut semakin pudar, bukan menjadikan kritikan tersebut sebagai sebuah masukan bagi Pemerintah yang patut di hargai, malah di anggap sebagai sebuah ancaman bagi kelangsungan Otoritas Pemerintahannya. Dalam posisi ini yang bisa dinilai dari penguasa adalah belum menyadari otoritasnya sebagai pemegang pemerintahan transisi. Pemerintah terlihat berusaha sekuat tenaga untuk melakukan konsolidasi Negara bukan konsolodasi demokrasi. Yang paling aktual sebagai upaya konsolidasi Negara untuk berhadapan dengan society adalah penggunaan aparat neegara sebagai alat kekuasaan. Pemerintah mengambil suatu perilaku politik yang represif terhadap siapapun yang mencoba mengkritiknya secara keras.

      Dengan dfenisi demokrasi seperti diungkapkan Norberto Bobbie (1989) yaitu, demokrasi minimum meliputi kesetaraan, jaminan hak-hak minoritas, penegakan aturan hukum, dan jaminan hukum bagi kebebsan berserikat dan menyamoaikan pendapat serta metode mencegah siapapun yang berkuasa agar tidak secara permanen menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, maka pemerintah Indonesia sebagaimana kebijakan-kebijakan kompromistik yang dikeluarkan---bukan yang lahir sebagai kebijakan yang sama sekali baru dengan model demokrasi baru---bisa dikatakan telah masuk dalam jurang otoriterianisme.

Otoriterianisme Negara, menurut Anders Uhlin (1997) biasanya ditandai oleh beberapa hal yaitu :
1. Sistem politik sebagai manifestasi dominasi negara atas masyarakat
2. Struktur ide-ide yang menjadi basis legitimasi otoriterianisme, serta
3. Keberadaan aktor-aktor otoriterianisme.
Realitas politik di Indonesia mutakhir, nampaknya tidak bisa dielakkan dari kesimpulan bahwa penguasa memang berperilaku otoriter. Inilah justru yang membuat sulit manifestasi defenisi transisi dan konsolidasi demokrasi sebagaimana diungkapkan Linz dan Stepan.

Maka dari itu, otoriterianisme Negara berjalan karena penguasa belum memiliki kearifan demokrasi. Kearifan demokrasi merupakan sikap perpaduan antara kekuasaan dan kesiapan dikritik. Menurut ungkapan Prof. Djaman Al-Kindi (Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta, UMS) pada suatu kesempatan, demokrasi itu memiliki 3 tabiat dan sikap dasar, yaitu : Kebebasan, Pembatasan dan Kearifan. Tiga hal di atas harus jalin-berkelindan, agar penguasa tidak masuk ke lubang otoriterianisme atau bahkan fasisme. Demokrasi berbasis kebebasan seharusnya selalu disertai kearifan agar tidak menibulkan chaotic. Demikian juga, demokrasi berbasis pembatasan semestinya ditemani kearifan supaya tidak terjebak ke dalam otoriterianisme.

Akhir kata, bagaimanapun Pemerintah sebagai producer kebijakan-kebijakan semestinya memiliki keberanian tegas untuk tidak berkompromi dengan kekuatan manapun yang mencoba menghambat konsolidasi demokrasi. Sehingga tetap memegang teguh prinsip membangun konsolidasi demokrasi, bukan konsolidasi Negara. Sebab jika penguasa tdak segera mengubah langkah dan orientasi politiknya, maka hal itu berarti kegagalan penguasa meretas konsolidasi demokrasi. Dengan demikian tidak bisa disalahkan apabila oposisi memintanya mundur atau bahkan melengserkannya dari tampuk kekuasaan. Sebagaimana lumrah terjadi dalam setiap proses perubahan politik, sistem yang dikelola sangat bergantung kepada aktor politiknya. Oleh karena itu, jika aktornya memang gagal dan tidak mampu lagi mengelola Negara dalam kerangka konsolidasi demokrasi memang sebaiknya diminta mengundurkan diri saja secara terhormat atau kalau tidak berkenan, perlu segera dipikirkan untuk dilengserkan.

Senin, 02 Mei 2016

GELIAT SEJARAH AKTOR DEMOKRASI

Membangun demokrasi merupakan anti tesis terhadap
praktik otoriterianisme dan totaliterisme
dalam segala bidang kehidupan,
baik politik, ekonomi, hukum, maupun menyangkut hubungan publik-Negera.
Dalam sejarah lembaga-lembaga dan individu-individu
ketika menancapkan geliat demokrasi
seringkali disandarkan pada kenyataan kebuthuan mereka untuk hidup
berbangsa dan bernegara,
agar tidak dimanipulasi oleh kekuatan eksternal (militer refresif,
kekuatan modal, dan sebagainya).

      Wacana tentang demokrasi selalu menantang untuk dikaji. Dalam sejarah Negara di Barat, perdebatan tentang wacana demokrasi marak dipenuhi oleh parah kampiun pemikir, praktisi politik, hingga ideolog. Geneologi sejarah pemikiran politik Barat menguak bahwa pada jaman klasik sebenarnya Negara demokrasi tidaklah begitu diidamkan. Ada banyak alasan, diantaranya adalah pengalaman empiris Negara Athena yang Sistem demokrasi akhirnya dinilai sebagai model paling lemah dari sistem Negara. Demikian kira-kira beberapa wacana yang sempat mengharu-biru dunia perpolitikan Barat sebagaimana diasumsikan oleh Plato, Aristoteles hingga Thomas Aquinas (intuk kajian pengantar lihat, Ahmad Suhelmi: 1999).
      Sejarah demokrasi terus bergulir. Publik (para pemikir, intelektual organik, dan juga creative minority groups) politik Barat telah sampai pada kebutuhan egaliterianisme, kemerdekaa berfikir, penentangan terhadap terhadap sistem oligarkis dan ortodok. Mereka mulai melirik sistem yang bisa menjamin aktualisasi konsepsi di atas. Kebutuhan terhadap sistem organisatoris termasuk di dalamnya Negera yang memberikan peluang keterlibatan diri untuk memikirkan nasib sendiri adalah keniscayaan.

      Sistem Negara demokrasi kemudian didapkan dengan sistem Negara otoriter, totaliter. Pengalaman Barat selama ini yang dikuasai kaum aristokrat, borjuis dan pemerintahan otoriter-totaliter-fasis dirasakan tidak memberikan ruang keterlibatan publik secara luas, misalnya; pengalaman pahit mereka ketika berada dalam kungkungan raja-raja, Hitler, Lenin, Stalin, Mussolini dan semacamnya adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dibantah turut mengontribusikan akar sistem Negara demokrasi.

Jika ditarik lebih ke depan, seperti ditulis Samuel P. hungtingtion (1991), perjuangan menuju Negara demokrasi itu berdarah-darah; memakan korban publik yang tidak sedikit. Amerika Latin, sebagai contoh yang ungkap Hungtington adalah gambaran umum betapa  mewujudkan demokrasi merupaka cita-cita yang aralnya begitu dahsyat. Demokrasi sebagai suatu sifat dan sikap universum telah menandaskan rongga cita-cita setiap insan publik dalam suatu Negara. Sesuatu yang harus segera diperjuangkan dan direalisasikan.

      Membangun demokrasi merupakan anti tesis terhadap praktik otoriterianisme dalam segala bidang kehidupan, baik politik, ekonomi, hukum maupun menyangkut hubungan politik -Negeara. Dalam sejarah lembaga-lembaga dan individu-individu ketika menacapkan geliat demokrasi seringkali disandarkan pada kenyataan kebutuhan mereka untuk hidup nerbangsa dan bernegara agar tidak dimanipulasi oleh kekuatan eksternal (militer, refresif, kekuatan modal, dan sebagainya). Gambaran umum tentang bangunan berdemokrasi ini berkaitan erat dengan isu penguatan lemabaga berhadapan dengan  Negara totaliter, model perlawanan, dan sebagainya.

      Demokrasi sebagai sistem signifikan untuk membentuk struktur kesempatan politik (political apportunity structure) adalah cita-cita setiap aktifis demokrasi. Di dalam buku "aktor demokrasi",---hasil penelitian bersama yang diketahui oleh Arief Budiman dan Olle Tornquist---merupakan gambaran analitis yang cukup mendalam tentang sajian perjuangan para kator demokrasi dalam merealisasikan demokratisasi, termasuk kelemahan dan kelebihannya. Perwujudan demokrasi di Indonesia adalah sejarah panjang yang tak bisa terlupakan dan dilupakan. Arief Budiman dan Olle tornquist membidik geliat sejarah perjuangan demokrasi di era pemerintahan otoriter Orde Baru. Tesis yang coba-dikembangkan adalah siapa saja mereka, bagaimana karakteristis aktor tersebut, apa isu-isu yang dilontarkan, dan bagaimana metode perjuangan mereka?

      Ilustrasi geliat perjuangan demokrasi dalam buku tersebut cukup menarik. "dalam keadaan dimana masyarakat dibatasi kebebasannya, setiap usaha yang menentang pemerintah, apapun alasannya, dapat diaktana punya dampak bagi penegakan demokrasi.

      Sebab, gerakan ini memperlemah Negara otoriter yang ditentangnya. Kalau gerakan ini berhasil, dia memperluas ruang demokrasi yang sebelumnya dibatasi. Kalau tidak berhasil paling sedikit gerakan ini bisa memberikan inspirasi kepada orang atau kelompok yang ada di masyarakat bahwa pembatasan kebebasan yang dilakukan pemerintah harus dilawan".

      Menurut Arief Budiman dan Olle Tornquist, pengalaman membangun demokrasi di Indonesia mengalami pasang surut, dan yang paling penting dari masa ke masa, gerakan pro-demokrasi selalu kandas. Pasang surut perjuangan demokrasi disertai kekandasannya, disebabkan oleh faktor adanya hubungan erat antara demokrasi dan peran militer dalam politik kaum sipil.

     "Kalau kaum miliiter mencampuri kehidupan pilitik sipil, maka hasilnya biasanya adalah pemerintahan otoriter". Dalam setiap kasus dimana aktor demokrasi terlibat di dalamnya, militer yang refresif memang begitu menghambat arus gerakan demokrasi era Orde Baru, misalnya tampak dari ragam intimidasi, paksaan, penahanan,bahkan teror yang dialami aktor demokrasi.

      Analisis tersebut nampaknya tidak sendirian. William R. Liddle (1996)---dengan persfektif budaya politik dan kepemimpinan---menyebutkan, ketika Orde Baru berkuasa demokrasi sangat sulit dipraktiskan di Indonesia karena beberapa tesis
1. Adanya institusionalisasi Soeharto---seseorang yang berasal dari militer sendiri---sebabagi kekuatan penguasa totaliter.
2. Sokongan kekuatan militer refresif bersenjata yang senantiasa siap menghadang dan menghabisi kekuatan demokrasi.

      Analisis lainya dari Anders Uhlin (1998). Uhlin menandaskan beberapa faktor otoriterianisme, salah satunya adalah ABRI. Analisis tersebut diperkuat oleh pengalaman aktifis Lingkar Studi-aksi untuk demokrasi Indonesia (LS-ADI) Jakarta ketika menyelenggarakan "pelatihan advokasi buruh" (PAB). Dala kesimpulan LS-ADI, militer tidak mau disaingi---bahkan dalam kesan sekalipun---oleh kekuatan lain yang selama ini menjadi musuh bebuyutannya. Pelatihan Buruh kemudian dikonotasikan sebagai identik dengan gerakan komunisme (neo-PKI). Padahal, PAB itu hanyalah sebagai respon terhadap penindasan buruh, dan pencarian alternatif bagaimana cara mengadvokasi buruh. PAB itu dibubarkan paksa. stigmatisasi selalu menjadi senjata penguasa Orde Baru untuk menangkal gerakan demokrasi, termasik stigmatisasi fundamentalisme Islam misalnya (proceeding PAB, LS-ADI, 1997, unpublished).

      Studi Arief Budiman dan Olle Tronquist mempertegas kenyataan pentingnya aktor demokrasi dalam turut menyumbangkan persfektif sistem politik yang membuka ruang sepenuhnya bagi partisipasi masyarakat. Untuk menunjukkannya, Arief Budiman dan Olle Tornquist membuktikan telaanya dengan beberapa pokok bahasan;
1. Mempelajari sifat-sifat dari gerakan pro-demokrasi, motivasi gerakan ini dan dampak yang diakibatkannya, serta kelanggengannya.
2. Mempelajari isu-isu dan kepentingan-kepentingan dari gerakan-gerakan ini, serta metode gerakan yang dipakainya.
3. Mempelajari jaringan gerakan-gerakan ini, apakah terbatas sampai pada taraf lokal saja, atau berkembang menjadi gerakan nasional bahkan iternasional.
4. Mempelajari keterkaitan antara gerakan yang satu dan gerakan lainnya samapai gerakan ini mecapai puncaknya pada gerakan mahasiswa tahun 1998.
Hal ini untuk menunjukkan bahwa keberhasilan sebuah gerakan pro-demokrasi merupakan kerja bersama yang panjang dari baebagai kelompok dan perorangan secara estafet. Gerakan pro-demokrasi pad era Orde Baru beragam, yaitu; gerakan koreksi dan konfrontasi (dilihat dari metode), gerakan regional dan internasional (ditinjau dari keluasan daerah gerakan), serta gerakan pers dan gerakan partai (dilihat dari aktornya).

Arief Budiman dan Olle Tornquist memilih beberapa kasus geliat pro-demokrasi dengan berbagai tipologinya. Ada kasus Kedung Ombo, Nipah, Buruh Medan, Pembredelan Tempo, Perjuangan Suku Amungme, Sabtu Kelabu 27 Juli 1996, Persekutuan Mega-Bintang.

Ditambah lagi dengan gambaran umum tentang bagaimana proses geliat pro-demokrasi dalam melakukan perlawanan, misalnya; bagaimana cara mereka menyusun prioritas isu,; bagaimana mereka menggalang sistem orientasi dan mobilitas masyarakat; bagaimana pandangan mereka terhadap militer; bagaimana mereka membangun jaringan di tingkat lokal, nasional, internasional; dan sebagainya.

Akhirul kalam, telaah aktor demokrasi, sebagaimana ditunjukkan pada tulisan di atas itu sangat bermanfaan sebagai refrensi bagi aktifis pro-demokrasi yang akan melanjutkan perjuangan demokrasi. Oleh karena itu, pembacaan terhadap persfektif mereka menjadi sangat penting bagi aktifis pro-demokrasi, bahkan siapapun yang menginginkan perubahan menuju kesejahteraan publik dan penguatan civil society. Bagi kelompok politik yang biasa berkonspirasi dengan kekuatan korup dan meliteristik, serta hanya menginginkan otoriterianisme terjadi di Negeri ini, juga perlu melirik dan menghayati telaah mereka. Sebab, siapa tahu bisa menjadi jalan mendapatkan hidayah Tuhan untuk turut terlibat bersama aktifis pro-demokrasi dalam menggeliatkan demokrasi.

Sabtu, 30 April 2016

MORALITAS PEMBANGUN

Dalam persfektif agama, manusia adalah hasil ciptaan Tuhan.
Manusia merupakan makhluk Tuhan.
Term sebagai makhluk Tuhan bermakna,
bahwa manusia harus tunduk kepada keagungan dan kebesaran Tuhan,
serta selau patuh terhadap semua aturan-Nya.

       Ekses pembangunan dan model pembangunan akhir-akhir ini menjadi fenomena menarik di Indonesia. Model pembangun memang menentukan ragam eksesnya. Jika ekses pembangun disinyalir menimbulkan kesenjangan sosial, maka diperlukan perbaikan dalam pilihan pembangunan yang ada, atau agar pembangunan membawa ekses positif-afirmatif sewajarnya memiliki dibutuhkan kode etik. Kode etik pembangun adalah moralitas pembangunan.

      Pembangunan sebagai sebuah upaya Negara dalam menyejahterahkan rakyat memiliki dukungan dari infrastruktur dan suprastruktur. Infrastruktur adalah lembaga dengan orang-orangnya yang berfungsi sebagai sarana pembangunan. Sedangkan suprastruktur merupakan sistem yang membawahi roda pembangunan tersebut. Jadi dengan begitu, maka sasaran moralitas pembangunan adalah suprastruktur dan infrastruktur. Lalu pertanyaannya adalah:
Moralitas apakah yang ideal bagi seluruh pembangunan, apakah dari Tuhan ataukah dari kontraktual (kontrak sosial) masyarakat.

     Garis pemisah antara konsep dan praktik mengandaikan perbedaan yang selalu ada dalam semua sentralitas pemikiran. Dalam diskursus moral--sebagai pengetahuan atau ilmu pengetahuan---titik fokus bahasannya akan tetap mengacu kepada pengandaikan tersebut di atas. Di mana akan ada pelaku konsep moral dan konsep moral itu sendiri.

      Antara pelaku dan konsep moral dijembatani oleh objek moral. Diandaikan ada tiga hal yang mendasari keyakinanasal-muasal ajaran moral, yaitu: dari Tuhan, dari kesepakatan, kontrak sosial, dan gabungan dari keduanya.

      Keyakinan pertama berlandaskan kepada basis normatir realitas moral berasal dari ajaran Tuhan. Dasar pijakan moral---secara praktis---hanya untuk Tuhan. Keyakinan kedua memandang moral sebagai proyeksi kesepakatan masyarakat. Realitas moral tidak ada yang bersifat spekulatif; tidak mempunya pengaruh for the next. Moral hanya untuk integritas masyarakat, Yang menjadi tujuan adalah fakta sosial masyarakat.

     Sedangkan keyakinan ketika mengasumsikan bahwa moral memang berasal dari Tuhan, tapi bentuk teknisnya dari masyarakat. Artinya, Tuhan dalam memberikan konsep moral hanya yang bersifat global, umum, dan mendasar saja. Sementara, interpretasinya untuk diaktualisasikan dalam ruang sosial merupakan kesepakatan masyarakat. Realitas moral dengan demikian adalah hukum Tuhan serta paksaan yang berlaku dalam masyarakat dan lingkungan.

      Hadits Nabi Saw. menyatakan "sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak (moral) yang mulia." Secara Bahasa Arab, kata buitsu adalah dalam bentuk kata kerja pasif, "aku diutus". Siapa yang mengutus, memanifestasikan konsep tentang sumber ajaran moral dan subjeknya. Kata Liutammima berbentuk kata kerja aktif, "menyempurnakan". Berarti terdapat pengertian adanya subjek moral.

      Kata "Aku" memperjelas posisi manusia dalam hubungannya dengan moralitas, apakah berasal dari masyarakat dan/ atau Tuhan merupakan subjek  dan objek moral. Suatu hal yang memperkuat tesis mengenai titik sasaran moralitas pembangunan., yakni suprastruktur dan infrastruktur; manusia dan kehidupan.

       Mekanisme dan teknis pembangunan dilaksanakan oleh pemerintah (yang berwenang) sebagai lembaga eksekutif. Pemerintah dipilih oleh rakyat setiap lima tahun untuk mengemban amanat pembangunan. Asasnya adalah keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan dalam makna di atas merupakan pembangunan seutuhnya; dari segi material dan spiritual.

      Premis subjek dan objek moral bersifat sekaligus; jalin-berkeadilan. Oleh karena itu, yang menafikan keseimbangannya berarti meniadakan arti kemanusiaan. Sementara itu, dalam praktik, sangat bisa dipastikan pembangunan memiliki ekses terhadap kehidupan kemanusiaan. Moralitas pembangunan dengan demikian berarti membangun dalam artisesungguhnya; memenuhi harkat dan martabat manusia secara utuh.

      Dalam pada itu, mekanisme dan teknis pembangunan itu eksesnya sangat dipengaruhi oleh metodenya; asas teoritis praktisnya yang berkesinambungan. Karenanya yang mendambakan ekstrimitas matearilistik, akan menghasilkan pemenuhan material secara maksimal. Tapi bahayanya manusia hanya menjadi subjek material saja dalam pembangunan.

      Dengan metode ini persaingan yang mengerikan (hukum rimba) akan dilegalkan. Yang mengharapkan hedonisme dalam pembangunan hanya akan mendapatkan kenikmatan pembangunan. Sedang manusia hanya menjadi alat yang dieksploitir untuk memperoleh hasil pembangunan tersebut.

      Tampak jelas, ekstremitas materialistik metodologis dalam pembangunan akan mereduksikan harkat dan martabat manusia. Menurut hemat saya, yang ideal untuk sekarang ini adalah "balance" (keseimbangan) antara pemenuhan manusia sebagai subjek dan objek pembangunan. Lalu apakah yang membuktikan tesis ini?

      Dalam persfektif agama, manusia adalah hasil ciptaan Tuhan. Manusia merupakan makhluk Tuhan. Term sebagai makhluk Tuhan bermakna, bahwa manusia harus tunduk kepada keagungan dan kebesaran Tuhan, serta selalu patuh terhadap semua aturan-Nya.

      Sementara itu, dalam persfektif sosiologis, manusia adalah individu yang merupakan realitas personal yang membentuk masyarakat dan sekaligus struktur sosial yang melingkupinya. Tesis diatas mengejawantahkan justifikasi mengenai keberadaan moral (akhlak) yang berasal dari Tuhan dan kontrak sosial.

      Kecenderungan dari tesis tersebut relevan dengan eksistensi kemanusiaan. Artinya, manusia itu secara natural adalah mikrokosmos (termasuk di dalamnya masyarakat). Di samping itu, masih secara natural, ia adalah pribadi unik yang berdimensi material dan spiritual. Oleh karena itu, ketika ia dituntut bergerak dalam ruang balance merupakan sesuatu yang wajar.

Jumat, 29 April 2016

ETOS PROFESIONALISME IDEAL

Profesionalisme ideal adalah profesionalisme yang melihat dunia
dalam persfektif material
untuk diarahkan kepada usaha merealisasikan pemenuhan
tujuan-tujuan logis dan kehidupan yang penuh makna,
baik bagi diri pribadinya maupun orang di sekelilingnya.
  
       Hijrah Rasulullah dan Kaum Muslimin dari Mekkah ke Madinah merupakan suatu fenomena bersejarah dalam dunia Islam. Secara historis, hijrah memiliki banyak arti penting bagi tonggak eksistensi dunia Islam. Hijrah merupakan etos alternatif yang hendak diupayakan Islam, yakni mengejawantahkan visi doktrinalnya Al-Amanah dan  At-Ta'dil (kesejahteraan dan keadilan sosial).

       Makna hijrah secara etimologi mempunyai arti pindah. Kata ini adalah bentuk masdar (sandaran bentuk kata benda) dari akar kata Hijara. Sedang berdasarkan terminologi hijrah berarti pindah untuk menghindari perbuatan, aktivitas, dan kegiatan yang merugikan nilai kemanusiaan menuju alternatif perbuatan, aktivitas dan kegiatan bermanfaat bagi etos humanitas.

      Dengan kata lain, hijrah berarti mengorientasikan berbagai macam alternatif untuk meninggikan rasa kemanusiaan. Alternatif ini merupakan indefferensia (pilihan) seseorang---dengan kesadaran dan segenap pengetahuannya---untuk menentukan arah dan langkah-langkah dalam hidupnya. Jadi hijrah itu bukan berarti menyerah kepada keadaan, tapi lebih merupakan usaha mencari wawasan demi problem solving dan arahan menuju suksesnya target-target program hidup seseorang.

      Rasulullah beserta Kaum Muslimin berhijrah bertujuan untuk menjaga stabilitas iman. Sebuah pilihan alternatif yang bermakna pengejawantahan pertahanan lebih daripada penyerahan. Hijrah merupakan langkah menyusun strategi untuk kemenangan yang tertunda.

       Sebagai strategi terlihat terutama di saat hijrah ke Madinah. Afiliasi dengan masyarakat setempat---yang mengeluh-eluhkan beliau Saw.---dipergunakan dengan baik oleh Rasulullah. Kesuksesan penyusunan strategi ini terlihat ketika Rasulullah berhasil mendirikan lembaga Negara di Madinah.

      Dengan kekuatan ini beliau beserta kaum Muslimin mengadakan Fath al-Makkah (perebutan kembali kota kelahiran Mekkah). Itu berarti hijrah bukan penyerahan diri kepada keadaan, melainkan exi stategy untuk arah kehidupan yang lebih baik.

      Permasalahnnya adalah bagaimana memaknai kembali makna hijrah untuk masalah kekinian? Implikasi dari pertanyaan tersebut adalah nilai makna hijrah---yang sedemikian rupa itu---mesti mengimajinasikan etos profesionalisme ideal.

ETOS PROFESIONALISME

      Profesi (dalam bahasa Inggris Prifession) memiliki makna pekerjaan dengan keahlian khusus sebagai mata pencaharian tetap. Kata profesional adalah bentuk subjek dari kata profesi. Profesionalisme adalah paham yang menganjurkan untuk mempunyai skill khusus dalam bidang masing-masing, demi menghasilkan etos kerja yang baik dan matang secara interdisipliner.

      Kata prifesonalisme---dalam arti tertentu---sangan dipengaruhi oleh kata yang melekat padanya. Kata "petinju profesional" dan "intelek profesonal" misalnya, memiliki makna yang berbeda. Kata pertama berarti seseorang ahli tinju, dan karena keahlianya ia menjadikan tinju sebagai mata pencaharian tetap. Sedangkan yang kedua mempunyai arti orang yang memiliki keahlian khusus dalam bidang keinteltualan yang dijadikan mata pencaharian tetap. Hal ini bisa kita analogikan pada istilah lain, misalnya pencopet profesional, perampok profesional, ulama profesional, dan seterusnya. Berdasarkan problema kata ini mesti dipertanyakan, yaitu apakah paham profesionalisme dengan pemaknaan terbatas sebagai akumulasi skill khusus bersifat bebas nilai?

      Paham (isme) adalah kegiatan memahami objek untuk diasumsikan menjadi suatu aliran paham. Suatu paham terejawantahkan ke dalam subjek yang sedangn melakukan tindakan memahami. Istilah paham dikaitkan dengan istilah ideologi ketika kita akan diorientasikan kepada tataran praksis. Berpijak kepada pengertian istilah paham dan ideologi ini maka bisa diasumsikan, bahwa pertanyaan di atas dijawab dengan negatif. Dengan kata lain, profesionalisme tidak terbatas pada pemaknaan skill khusus yang bebas nilai. Akan tetapi lebih dari itu, bisa juga berorientasi pada akhlak (etika).

     Dalam konsep Islam, profesionalisme sangat ditekankan. Merujuk QS. 53:39, diterangkan, bahwa seluruh kredibilitas manusia itu tergantung kepada yang diusahakannya. Usaha yang tidak maksimal (baca: tidak berorientasi kepada ilmu pengetahuan) akan sepadan pula hasilnya. Nilai profesionalitas menjadi ukuran bagi tingkat intensitas usaha yang telah dikerjakan oleh seseorang. Lalu, apakah nilai profesionalisme ideal itu?

       Profesionalisme tidak terbatas  pada skill khusus yang bebas nilai. Dengan begitu idealnya bisa dibawah kepada akulturasi nilainya yang material dan non-material. Alasannya, profesionalisme ketika melekat pada identitas seseorang menghasilkan hubungan-hubungan intens antarmerekal. Sementara hubungan itu bisa dikategorisasikan kepada hubungan material dan non-material.

       Hubungan material memiliki ciri khas. Yakni, bila dikaitkan dengan tindakan profesionalisme, hubungan yang berorientasi kepada kepentinganmaterial semata tersebut akan menghasilkan tingkah laku material. Hubungan tersebut lebih jadi menghalalkan segala cara.

      Contoh kongkret, barangkali bisa disebutkan kasus Edi Tansil, ketika membobol bank. Boleh jadi---keputusannya untuk malarikan diri didasarkan pada hubungan material ini. Dia yang demi bisnis---sampai menghalalkan segala cara (korupsi)p---akan tidak sabar, kalau hidupnya hanya berdiam diri dipenjara. Baginya hidup di dalam penjara jelas tidak akan bermanfaat secara material.

       Atas paham profesionalisme semacam ini, maka melarikan diri adalah jalan terbaik baginya, meskipun perbuatannya itu merugikan pihak-pihak lain (misalnya, pihak kehakiman). Tampak disni profesionalisme "material" mengesploitasi orang lain, termasuk juga orang yang memberi bantuan jalan keluar baginya untuk melarikan diri. Kalau seandainya diketahui, maka---paling tidak---dia akan didakwa pula secara hukum.

       Sementara itu, hubungan non-material adalah interaksi yang bermuara kepada tercapainya tujuan-tujuan logis dan tidak saling merugikan. Hubungan non-material itu juga mempunyai ciri khas. Yaitu, hubungan tersebut berprinsip kepada kesadaran akan hakikat diri untuk tidak melakukan hubungan yang merugikan.

      Peristiwa Abu Ishaq as-Sirozi (faqih besar di zaman Daulah Abbasiyah) dan Al-Ghozali barangkali bisa dijadikan ilustrasi untuk makna hubungan ini. Konon masyarakat waktu itu mengisukan pengangkatan Abu Ishaq untuk jadi mahaguru di Universitas an-Nhidomiyah. Abu Ishaq yang punya skill khusus dibidang fikih itu---semakin gencar diisukan. Ini pun menjadi makna bagi kita, bahwa fiqih memang sangat populer dan dibutuhkan masyarakat yang komplekas dan metropolis waktu ini.

      Tetapi ketika hari pengangkatan itu tiba, kenyataan menjadi lain. Abu Ishaq melarikan diri, menghindari jabatan. Masyarakat bertanya-tanta, gerangan apakah yang terjadi pada Abu Ishaq? Tatkala ditanya di tempat persembunyiannya, beliau menjawab : "saya takut untuk digaji dari jabatan saya. Gaji itu mengganggu saya dalam pekerjaan saya. Jabatan itu memporak-porandakan keikhlasan saya."

      Tampak keteguhan hati Abu Ishaq tidak mengubah tawaran yang diberikan kepadanya. Yang menarik adalah Abu Ishaq tidak gentar menghadapi khalifah. Padahal waktu itu jika terdapat seorang ulama yang tidak mengindahkan khalifah, maka dianggap membangkan kepada khalifa dan Negara. Selanjutnya dapat dipastikan dia akan menerima hukuman (mihnah). Bagi kami perbuatan Abu Ishaq ini terlepas dari keadaan yang melatar belakanginya---tidak menyelesaikan masalah. Dia hanya demi keselamatan pribadinya untuk mengabdi kepada Allah, marelakan keselamatan masyarakat untuk tidak diurusnya. Oleh karena itu, keputusannya untuk menolak jabatan sebagai mahaguru di bidang fikih tersebut tidak masuk dalam kategori profesionalisme ideal.

      Kemudian Al Ghazali ditunjuk sebagai pengganti Abu Ishaq. Penerimaan sikap Al-Ghazali, sekalipun pernah mengalami pergolakan pemikiran dalam dirinya---dari seorang filsuf ke seorang sufi sampai meninggalkan jabatan tersebut kemudian kembali lagi ke an-Nhidhomiyah---sesungguhnya menunjukkan, bahwa perbuatan Al-Ghazali termasuk kategori profesionalisme ideal.

      Dengan persfektif tasawuf, menilai "keputusan" Al-Ghozali di atas adalah sangat urgen. Tasawuf melihat dan menilai realitas dengan segala kesadaran, penuh muatan rohani dan riyadhah menuju kepada pengejawantahan tujuan-tujuan  logis dan kemanfaatan hidup yang penuh makna, baik bagi diri pribadinya ataupun orang lain.

     Dalam konteks keputusan Al-Ghozali tersebut persfektif tasawuf menyatakan bahwa profesionalisme ideal adalah profesionalisme yang melihat dunia dalam persfektif material untuk diarahkan kepada usaha merealisasikan pemenuhan tujuan-tujuan logis dan kehidupan yang penuh makna, baik bagi diri pribadinya maupun orang di sekelilingnya.

 SPIRITUALITAS:arapan Peradaban

      Gambaran umum orang tentang dunia akan sangat dipengaruhi oleh paradigmanya mengenai realitas duniawi. Seseorang yang materialistis akan melihat dunianya dengan mengejawantahkan langkah-langkah praktis menuju pemenuhan kebutuhan-kebutuhan materialnya. Penganut paham idealisme mengorientasikan dunianya kepada semangat ide-ide. Baginya ide-ide yang melahirkan intelektualisme an sich yang akan dapat menguasai dunia.

      Pemihak agnotisisme memandang dunianya sebagai persfektif kesadaran "tanpa aktifitas". Dunia baginya adalah sebuah gradualisasi kesadaran. Tingkat kesadaran ini---meskipun tanpa aktifitas---merupakan gejala umum bagi seseorang untuk menghalangi laju dunia. Dunia mesti tidak memengaruhinya. Nilai material tidak ada artinya sama sekali bagi mereka.

      Bila dianalogikan dengan tema yang kita bahas dalam pembuka tulisan ini, yakni tentang hijrah, maka bisa diandaikan bahwa kalau kaum Anshor dalam profesionalismenya hanya berpandangan material, maka mereka akan sangat dikuasasi oleh kepentingan material. Mereka akan senantiasa perhitungan terhadap materi yang telah dikeluarkannya. Mereka akan merasa dirugikan oleh kedatangan kaum Mihajirin. Mereka seolah-olah akan berkata : "mengapa kami mesti membantu mereka, sedangkan mereka selalu dalam kesusahan, lalu kapan mereka akan membayar utang mereka?"

     Tetapi tidaklah demikian pandangan kaum Anshor. Mereka tetap meyakini, Tuhan akan menolong mereka. Kesadaran inilah yang membawa mereka kepada profesionalisme ideal. Profesionalisme yang berbasiskan spiritualitas. Yakni, penyerahan diri secara total dalam kesadaran meyakini Tuhan sebagai Al-Shamad (tempat bergantung sejati). Spiritualitas inilah yang mengarahkan mereka kepada akulturasi antara profesionalisme non-material dan profesionalisme material.

Meskipun begitu, bukan berarti profesionalisme dalam hubungan material harus dimusnahkan dan dihancurkan. Pemusnahan dan penghancuran terhadap kondisi-kondisi akumulasi material akan menyatakan makna pelarian diri dari kenyataan manusia yang material pula. Oleh karena itu, profesionalisme mesti diarahkan kepada kesadaran akan nilai hubungan yang sebenarnya. Pandangan material tentang profesionalisme mesti diingatkan kepada nilainya yang juga non-material.

Etos profesionalisme bukan berarti meninggalkan segi-segi material dan bukan terlalu mengagungkannya. Tetapi, etos profesionalisme yang sebenarnya adalah nilai materialis yang diarahkan kepada spiritualitas yang dilingkupi oleh kesadaram akan dasar-dasar eskatologis. Yakni keyakinan akan kehidupan nanti setelah kehidupan pertama di dunia ini.

Dengan kata lain, profesionalisme yang sebenarnya adalah profesionalisme yang diarahkan demi pengabdian kepada Tuhan (baik material dan non-material). Kehidupan yang dimuarakan untuk beribadah kepada Tuhan Yang Mahakuasa.

Kamis, 28 April 2016

MEMBANGUN BANGSA DENGAN CINTA

Kiranya mulai detik ini, pembangunan Bangsa dengan intrik tidak sehat harus segera diakhiri.
Tahun-tahun mendatang akan penting ditasbihkan menjadi tahun
ketulusan cinta.
momentum pengelolaan Negara menuju "Babak baru Indonesia".
Suatu babak yang babak yang di tandai dengan CINTA.

.....Siapa lagi yang mencintai Bangsa sendiri kalau bukan kita sendiri.....
Cinta Bangsa tidak diskriminatif.
Maling kita cintai, penghianat kita cintai.
Semuanya, yang jelek, yang baik kita cintai. Namun,
Begitu Hukum harus berjalan.

     Beberapa penggalan kata di atas dapat mendeskripsikan bahwa dengan demikian, Pemimpin menjalankan kekuasaan dengan tetap dilandasi rasa cinta, bahkan menghukum pun falsafahnya do'a, "Semoga orang ingin menjadi baik."
(Soemitro dan Peristiwa 15 Januari '74, Heru Cahyono: 1998)

      Pengalaman-pengalaman mengenai sistem pembangunan Indonesia terdahulu, memberikan ilustrasi mengenaiketiadaan ketulusan cinta. Kalaupun ada ketulusan cinta yang dimaksud, hanyalah muncul dari rongga suara, belum pernah manifest dalam realitas. Istilah yang familiar terdengar, ketulusan cinta dalam membangun Bangsa hanyalah seonggok---memakai tesis Kantian---niat baik (good will)  yang belum pernah terealisir dengan dukungan nalasr praktis murni (pure practical reason) secara praktis empiris.
Dalam bahasa Hegelian, belum pernah menjadi kesadaran subjektif yang menyejarah, atau dengan asumsi  Habermasian, belum pernah praksis de-liberative di ruang publik (public sphere).

      Beberapa implikasi negatif faktual telah sering kita rasakan sebagai Bangsa. Sebagai rakyat kecil terutama kita sering alami dinodai dan diperkosa tanpa perasaan,dihadapi dengan repsesi, ditindas, dilecehkan, dikorbankan, serta dimarginalkan baik secara sosial, budaya, ekonomi, politik dan hukum.
      Perasaan kita hinga hari ini mengatakan, implikasi negatif di atas merupakan indikator kegagalan pembangunan. Apakah itu pembangun secara mental (pembangunan kemanusiaan) atau pembangun secara fisik (pembangunan Bangsa). Hal itu ditandai oleh ketimpangan sistem dan disfungsi birokrasi. Dengan akibat lebih lanjut, kerusuhan sosial dengan varian perbedaan Agama, Ras, dan ketimpangan Ekonomi, yang konon timbul disebabkan oleh pengelolaan Negara yang diselewengkan (abused), seperti tampak dalam  fenomena Agama (dan juga varian yang serupa: Ras dan Suku-Bangsa) yang dipolitisasi, dan ekonomi dinikmati segelintir golongan tertentu saja.

        Kiranya mulai detik ini pembangunan Bangsa dengn intrik tidak sehat harus segera diakhiri. Tahun-tahun mendatang penting ditasbihkan menjadi tahun 'Babak baru Indonesia'. Suatu babak yang ditandai 'Pembangunan dengan Cinta'.

      Pembangunan dengan cinta menandaskan sikap bebas memanifestasikan kebaikan dan kebenaran kemanusiaan, tanpa dilandasi rasa takut karena pertanggujawaban, tanpa pakewuh karena menyangkut (kesalahan) pimpinan, tanpa enggan dianggap menyalahi kebijakan organisasi karena membela kepentingan kesejahteraan rakyat, dan seterusnya.
Ilustrasi sangat bagus tentang pembangunan dengan cinta berlandaskan sikap bebas diberikan oleh Amartya Sen, peraih nobel dalam bidang Ekonomi tahun 1999, dalam buku berjudul Development as Freedom (1999).

      Buku tersebut berikrat tentang sumpah setia sekaligus keharusan manifestasi tema di atas di ruang publik. "Pembangunan itu akan berhasil, jika berorientasi kepada pemenuhan hajak kebebasan manusia sebagai rakyat dan Bangsa. Pembangunan yang selama ini hanya berkecenderungan materialistis (dilihat dari indikator pertumbuhan dan pendapatan), dus tanpa hirau pada kebebasan (freedom) yang penuh hasrat cinta, kata Amartya, akan menuai kegagalan demi kegagalan."

Menurut Amartya Sen, ada lima "Instrumental" persfektif pembangunan membebaskan yaitu :
1. Political Freedom
2. Economic Facilities
3. Social Opportunities
4. Transparency Guarantees
5. Protective Security

       Lima "Instrumental" pembangunan tersebut menjadi pra syarat sekaligus indikator suatu pembangunan dengan cinta; development as freedom (pembangunan yang bercitra dan mendorong masyarakat untuk secara kreatif membangun diri dan ranah sosial). Ketika lima persfektif di atas telah manifest di kanca publik, dus terbangun kondisi membebaskan bagi publik, maka sesungguhnya telah tercipta suatu suasana dan kesempatan bagi publik untuk mengembangkan masing-masing personal yang menjadi anggota publik tersebut. Jadi, kata kuncinya adalah kesempatan dan fasilitas untuk meraih hakikat diri secara personal dan publik sebagai warga Negara.
Akhirul Kalam, distingsi antara pembangunan yang membebaskan (Penuh Hasrat Cinta) dan yang sebaliknya terletak dalam orientasi pembangunan itu sendiri. Apa sisi pragmatis pembangunan tersebut bagi publik scara individu dan sosial. Oleh karena itu, tidak bisa disebut membebaskan, jika suatu pembangunan Bangsa masih menyisakan kemiskinan sebagai tirani, menyuburkan deprivasi sosial yang sistenmatis terhadap kesempatan ekonomi yang dimiliki miskin papa.