Pendahuluan
Pendidikan
barat yang diperkenalkan kepada penduduk pribumi sejak paruh kedua abad XIX
sebagai upaya penguasa kolonial untuk mendapatkan tenaga kerja, misalnya,
sampai akhir abad XIX pada satu sisi mampu menimbulkan restratifikasi
masyarakat melalui mobilitas sosial kelompok intelektual, priyayi, dan
profesional. Pada sisi lain, hal ini menimbulkan sikap antipati terhadap
pendidikan Barat itu sendiri, yang diidentifikasi sebagai produk kolonial
sekaligus produk orang kafir.
Sememara
itu, adanya pengenalan agama Kristen dan perluasan kristenisasi yang terjadi
bersamaan dengan perluasan kekuasaan kolonial ke dalam masyarakat pribumi yang
telah terlebih dahulu terpengaruh oleh agama Islam, mengaburkan identitas
politik yang melekat pada penguasa kolonial dan identitas sosial -keagamaan
pada usaha kristenisasi di mata masyarakat umum.
Bagi
sebagian besar penduduk pribumi, tekanan politis, ekonomis, sosial, maupun
kultural yang dialami oleh masyarakat secara umum sebagai sesuatu yang identik
dengan kemunculan orang Islam dan kekuasaan kolonial yang menjadi penyebab
kondisi tersebut tidak dapat dipisahkan dari agama Kristen itu sendiri. Hal ini
semakin diperburuk oleh struktur yuridis formal masyarakat kolonial, yang
secara tegas membedakan kelompok masyarakat berdasarkan suku bangsa. Dalam
stratifikasi masyarakat kolonial; penduduk pribumi menempati posisi yang paling
rendah, sedangkan lapisan atas diduduki orang Eropa, kemudian orang Timur
Asing, seperti: orang Cina, Jepang, Arab, dan India.
Tidak
mengherankan jika kebijakan pemerintah kolonial ini tetap dianggap sebagai
upaya untuk menempatkan orang Islam pada posisi sosial yang paling rendah
walaupun dalam lapisan sosial yang lebih tinggi terdapat juga orang Arab yang
beragama Islam. Di samping itu, akhir abad XIX juga ditandai oleh terjadinya
proses peng-urbanan yang cepat sebagai akibat dari perkemhangan ekonomi,
politik, dan sosial.
Kota-kota
baru yang memiliki ciri masing-masing sesuai dengan faktor pendukungnya muncul
di banyak wilayah. Perluasan komunikasi dan ransportasi mempermudah mobilitas
penduduk. Sementara itu pembukaan suatu wilayah sebagai pusat pemerintahan,
pendidikan, industri, dan perdagangan telah menarik banyak orang untuk datang
ke tempat tersebut. Sementara itu pula, tekanan ekonomi, politik, maupun sosial
yang terjadi di daerah pedesaan telah mendorong mereka datang ke kota-kota
tersebut.
Memasuki
awal abad XX sebagian besar kondisi yang telah terbentuk sepanjang abad XIX
terus berlangsung. Dalam konteks ekonomi, perluasan aktivitas ekonomi sebagai
dampak perluasan penanaman modal swasta asing maupun perluasan pertanian rakyat
belum mampu menimbulkan perubahan ekonomi secara struktural sehingga kondisi
hidup sebagian besar penduduk masih tetap rendah. Di beberapa tempat penduduk
pribumi memang berhasil mengembangkan pertanian tanaman ekspor dlan mendapat
keuntungan yang besar, akan tetapi ekonomi mereka masih sangat labil terhadap
perubahan pasar.
Sementara
itu perluasan aktivitas ekonomi menimbulkan persaingan yang semakin besar sehingga
para pengusaha industri pribumi harus bersaing dengan produk impor yang lebih
berkualitas dan lebih murah di pasar lokal, sedangkan para peclagang pribumi
juga harus bersaing ketat dengan pedagang asing yang terus mendominasi
perdagangan lokal, regional, maupun internasional. Dalam perkembangan
selanjutnya persaingan ini di beberapa tempat tidak lagi hanya terbatas pada
masalah ekonomi, melainkan juga telah berkembang menjadi persoalan sosial,
kultural, ataupun politik. Walaupun dalam bidang politik terjadi pergeseran
dari kekuasan administratif yang tersentralisasi ke arah desentralisasi pada
tingka t lokal, kontrol yang ketat pejabat Belanda terhadap pejabat pribumi
masih tetap berlangsung.
Sementara
itu, kebijakan Politik Balas Budi atau Politik Etis yang difokuskan pada bidang
edukasi, irigasi, dan kolonisasi yang dilaksanakan sejak dekade pertama abad
XX, telah memberikan kesempatan yang lebih luas kepada penduduk pribumi
mengikuti pendidikan Barat dibandingkan dengan masa sebelumnya melalui pembentukan
beberapa lembaga pendidikan khusus bagi penduduk pribumi sampai tingkat desa.
Akan tetapi, kesempatan ini tetap saja masih sangat terbatas jika dibandingkan
dengan jumlah penduduk pribumi secara keseluruhan.
Kesempatan
itu masih tetap diprioritaskan bagi kelompok elit penduduk pribumi, atau
kesempatan yang ada hanya terbuka untuk pendidikan rendah, sedangkan kesempatan
untuk mengikuti pendidikan menengah dan tinggi masih sangat terbatas. Seperti
pada masa sebelumnya, kondisi seperti ini terbentuk selain disebabkan oleh
kebijakan pemerintah kolonial, juga dilatarbelakangi sikap antipati dari
kelompok Islam, yang menjadi pendukung utama masyarakat pribumi terhadap
pendidikan Barat itu sendiri.
Secara
umum mereka lebih suka mengirimkan anak-anak mereka ke pesantren, atau hanya
sekedar ke lembaga pendidikan informal lain yang mengajarkan pengetahuan dasar
agama Islam. Akan tetapi, sebenarnya ada dualisme cara memandang pendidikan
Barat ini. Di samping dianggap sebagai perwujudan dari pengaruh Barat atau
Kristen terhadap lingkungan sosial dan budaya lokal maupun Islam, pendidikan
Barat juga dilihat secara objektif sebagai faktor penting untuk mendinamisasi
masyarakat pribumi yang mayoritas beragama Islam.
Pendidikan
Barat yang telah diperkenalkan kepada penduduk pribumi secara terbatas ini
ternyata telah menciptakan kelompok intelektual dan profesional yang mampu
melakukan perubahan-perubahan maupun memunculkan ide-ide baru di dalam
masyarakat maupun sikap terhadap kekuasaan kolonial. Perubahan dan pencetusan
ide-ide baru itu pada masa awal hanya terbatas pada bidang sosial, kultural,
dan ekonomi, akan tetapi kemudian mencakup juga permasalahan politik. Walaupun
feodalisme dalam sikap maupun struktur yang lebih makro di dalam masyarakat,
khususnya di Jawa masih tetap berlangsung, pembentukan "organisasi
modern" merupakan salah satu realisasi yang penting dari upaya perubahan
dengan ide-ide baru tersebut.
Pada
tahun 1908 organisasi Budi Utomo didirikan oleh para mahasiswa sekolah
kedokteran di Jakarta. Walaupun dasar, tujuan, dan aktivitas Budi Utomo sebagai
suatu organisasi masih terikat pada unsur-unsur primordial dan terbatas,
keberadaan Budi Utomo secara langsung maupun tidak berpengaruh terhadap bentuk
baru dari perjuangan kebangsaan melawan kondisi yang diciptakan oleh
kolonialisme Belanda. Berbagai organisasi baru kemudian didirikan, dan
perjuangan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial yang dulu terkosentrasi di
kawasan pedesaan mulai beralih terpusat di daerah perkotaan.
Dunia
Islam dan Masyarakat Muslim Indonesia Secara makro perkembangan dunia Islam
pada akhir abad XIX dan awal abad XX ditandai oleh usaha untuk melawan dominasi
Barat setelah sebagian besar negara yang penduduknya beragama Islam secara
politik, sosial, ekonomi, maupun budaya telah kehilangan kemerdekaan dan berada
di bawah kekuasaan kolonialisme dan imprialisme Barat sejak beberapa abad
sebelumnya. Dalam masyarakat Muslim sendiri muncul usaha untuk mengatasi krisis
internal dalam proses sosialisasi ajaran Islam, akidah, maupun pemikiran pada
sebagian besar masyarakat, baik yang disebabkan oleh dominasi kolonialisme dan
imperialisme Barat, maupun sebab-sebab lain yang ada dalam masyarakat Muslim
itu sendiri.
Dalam
kehidupan beragama ini terjadi kemerosotan ruhul Ishmi, jika dilihat dari
ajaran Islam yang bersumber pada Quran dan Sunnah Rasulullah. Pengamalan ajaran
Islam bercampur dengan bid'ah, khurafat, dan syi'ah. Di samping itu, pemikiran
umat Islam juga terbelenggu oleh otoritas mazhab dan taqlid kepada para ulama
sehingga ijtihad tidak dilakukan lagi. Dalam pengajaran agama Islam, secara
umum Qur'an yang menjadi sumber ajaran hanya
diajarkan
pada tingkat bacaan, sedangkan terjamahan dan tafsir hanya boleh dipelajari
oleh orang-orang tertentu saja. Sementara itu, pertentangan yang bersumber pada
masalah khilafiyah dan firu'iyah sering muncul dalam masyarakat Muslim,
akibatnya muncul berbagai firqah dan pertentangan yang bersifat laten.
Di
tengah-tengah kemerosotan itu, sejak pertengahan abad XIX muncul ide-ide
pemurnian ajaran dan kesadaran politik di kalangan umat Islam melalui pemikiran
dan aktivitas tokoh-tokoh seperti: Jamaludin Al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid
Ridha, dan para pendukung Muhammad bin Abdul Wahab. Jamaludin Al-Afgani banyak
bergerak dalam bidang politik, yang diarahkan pada ide persaudaraan umat Islam
sedunia dan gerakan perjuangan pembebasan tanah air umat Islam dari
kolonialisme Barat.
Sementara
itu, Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha, berusaha memerangi kestatisan,
syirik, bid'ah, khurafat, taqlid, dan membuka pintu ijtihad di kalangan umat
Islam. Restrukturisasi lembaga pendidikan Islam dan mewujudkan ide-ide ke dalam
berbagai penerbitan merupakan wujud usaha pemurnian dan pembaharuan yang
dilakukan oleh dua orang ulama dari Mesir ini. Rasyid Ridha, misalnya,
menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir, yang kemudian disebarkan dan dikenal
secara luas di seluruh dunia Islam. Sementara itu, ide-ide pembaharuan yang
dikembangkan oleh pendukung Muhammad bin Abdlul Wahab dalam gerakan Al
Muwahhidin telah mendapat dukungan politis dari penguasa Arab Saudi sehingga
gerakan yang dikenal oleh para orientalis sebagai Wahabiyah itu berkembang
menjadi besar dan kuat.
Seperti
yang terjadi di dalam dunia Islam secara umum, Islam di Indonesia pada abad XIX
juga mengalami krisis kemurnian ajaran, kestatisan pemikiran maupun aktivitas,
dan pertentangan internal. Perjalanan historis penyebaran agama Islam di
Indonesia sejak masa awal melalui proses akulturasi dan sinkretisme, pada satu
sisi telah berhasil meningkatkan kuantitas umat Islam. Akan tetapi secara
kualitas muncul kristalisasi ajaran Islam yang menyimpang dari ajaran Islam
yang murni.
Ahmad
Dahlan juga mulai menyampaikan ide-ide baru yang lebih mendasar, seperti
persoalan arah kiblat salat yang sebenarnya. Akan tetapi, ide baru ini tidak
begitu saja bisa dilaksanakan seperti yang diajarkan di serambi masjid besar
karena mempersoalkan arah kiblat salat merupakan suatu hal yang sangat peka
pada waktu itu. Ahmad Dahlan memerlukan waktu hampir satu tahun untuk menyampaikan
masalah ini. Itu pun hanya terbatas pada para ulama yang sudah dikenal dan
dianggap sepaham di sekitar Kampung Kauman. Pada satu malam pada tahun 1898,
Ahmad Dahlan mengundang 17 orang ulama yang ada di sekitar kota Yogyakarta
untuk melakukan musyawarah tentang arah kiblat di surau milik keluarganya di
Kauman.
Diskusi
antara para ulama yang telah mempersiapkan diri dengan berbagai kitab acuan ini
berlangsung sampai waktu subuh, tanpa menghasilkan kesepakatan. Akan tetapi,
dua orang yang secara diam-diam mendengar pembicaraan itu beberapa hari
kemudian membuat tiga garis putih setebal 5 cm di depan pengimaman masjid besar
Kauman untuk mengubah arah kiblat sehingga mengejutkan para jemaah salat dzuhur
waktu itu. Akibatnya, Kanjeng Kyai
Penghulu
H.M. Kholil Kamaludiningrat memerintahkan untuk menghapus tanda tersebut dan
mencari orang yang melakukan itu.
Sebagai
realisasi dari ide pembenahan arah kiblat tersebut, Ahmad Dahlan yang
merenovasi surau milik keluarganya pada tahun 1899 mengarahkan surau tersebut
ke arah kiblat yang sebenarnya, yang tentu saja secara arsitektural berbeda
dengan arah masjid besar Kauman. Setelah dipergunakan beberapa hari untuk
kegiatan Ramadhan, Ahmad Dahlan mendapat perintah dari Kanjeng Penghulu untuk
membongkar surau tersebut, yang tentu saja ditolak. Akhirnya, surau tersebut
dibongkar secara paksa pada malam hari itu juga. Walaupun diliputi perasaan
kecewa, Ahmad Dahlan membangun kembali surau tersebut sesuai dengan arah masjid
besar Kauman setelah berhasil dibujuk oleh saudaranya, sementara arah kiblat
yang sebenarnya ditandai dengan membuat garis petunjuk di bagian dalam masjid.
Setelah
pulang dari menunaikan ibadah haji kedua, aktivitas sosial-keagamaan Ahmad
Dahlan di dalam masyarakat di samping sebagai Khatib Amin semakin berkembang.
Ia membangun pondok untuk menampung para murid yang ingin belajar ilmu agama
Islam secara umum maupun ilmu lain seperti: ilmu falaq, tauhid, dan tafsir.
Para murid itu tidak hanya berasal dari wilayah Residensi Yogyakarta, melainkan
juga dari daerah lain di Jawa Tengah. Walaupun begitu, pengajaran agama
Islam melalui pengajian kelompok bagi anak- anak, remaja, dan orang tua yang
telah lama berlangsung masih terus dilaksanakan. Di samping itu, di rumahnya
Ahmad Dahlan mengadakan pengajian rutin satu minggu atau satu bulan sekali bagi
kelompok-kelompok tertentu, seperti pengajian untuk para guru dan pamong praja
yang berlangsung setiap malam Jum`at.
Pembentukan
ide-ide dan aktivitas baru pada diri Ahmad Dahlan tidak dapat dipisahkan dari
proses sosialisasi dirinya sebagai pedagang dan ulama serta dengan alur
pergerakan sosial- keagamaan, kultural, dan kebangsaan yang sedang berlangsung
di Indonesia pada awal abad XX. Sebagai seorang pedagang sekaligus ulama, Ahmad
Dahlan sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Residensi Yogyakarta
maupun daerah lain seperti: Periangan, Jakarta, Jombang, Banyuwangi, Pasuruan,
Surabaya, Gresik, Rembang, Semarang, Kudus, Pekalongan, Purwokerto, dan
Surakarta. Di tempat-tempat itu ia bertemu dengan para ulama, pemimpin lokal,
maupun kaum cerdik cendekia lain, yang sama-sama menjadi pedagang atau bukan.
Dalam
pertemuan-pertemuan itu mereka berbicara tentang masalah agama Islam maupun
masalah umum yang terjadi dalam masyarakat, terutama yang secara langsung
berhubungan dengan kemunculan, kestatisan, atau keterbelakangan penduduk Muslim
pribumi di tengah- tengah masyarakat kolonial. Dalam konteks pergerakan sosial
keagamaan, budaya, dan kebangsaan, hal ini dapat diungkapkan dengan adanya
interaksi personal maupun formal antara Ahmad Dahlan dengan organisasi seperti
: Budi Utomo, Sarikat Islam, dan Jamiat Khair, maupun hubungan formal antara
organisasi yang ia cirikan kemudian, terutama dengan Budi Utomo.
Secara
personal Ahmad Dahlan mengenal organisasi Budi Utomo melalui pembicaraan atau
diskusi dengan Joyosumarto, seorang anggota Budi Utomo di Yogyakarta yang
mempunyai hubungan dekat dengan dr. Wahidin Sudirohusodo, salah seorang
pimpinan Budi Utomo yang tinggal di Ketandan Yogyakarta. Melalui Joyosumarto
ini kemudian Ahmad Dahlan berkenalan dengan dr. Wahidin Sudirohusodo secara
pribadi dan sering menghadiri rapat anggota maupun pengurus yang
diselenggarakan oleh Budi Utomo di Yogyakarta walaupun secara resmi ia belum
menjadi anggota organisasi ini. Setelah banyak mendengar tentang aktivitas dan
tujuan organisasi Budi Utomo melalui pembicaraan pribadi dan kehadirannya dalam
pertemuan -pertemuan resmi, Ahmad Dahlan kemudian secara resmi menjadi anggota
Budi Utomo pada tahun 1909.
Dalam
perkembangan selanjutnya, Ahmad Dahlan tidak hanya menjadi anggota biasa,
melainkan ia menjadi pengurus kring Kauman dan salah seorang komisaris dalam
kepengurusan Budi Utomo Cabang Yogyakarta. Sementara itu, pada sekitar tahun
1910 Ahmad Dahlan juga menjadi anggota Jamiat Khair, organisasi Islam yang
banyak bergerak dalam bidang pendidikan dan mayoritas anggotanya adalah
orang-orang Arab. Keterlibatan secara langsung di dalam Budi Utomo memberi
pengetahuan yang banyak kepada Ahmad Dahlan tentang cara berorganisasi dan
mengatur organisasi secara modern.
Sementara
itu, walaupun Ahmad Dahlan tidak terlibat secara aktif di dalam Jamiat Khair,
selain belajar berorganisasi secara modern di kalangan orang Islam, ia juga
mendapat pengetahuan tentang kegiatan sosial, terutama yang berhubungan dengan
pendirian dan pengelolaan lembaga pendidikan model sekolah. Semua ini tentu
saja merupakan suatu hal yang baru dan sangat berpengaruh bagi langkah-langkah
yang dilakukan Ahmad Dahlan pada masa selanjutnya, seperti pendirian sekolah
model Barat maupun pembentukan satu
organisasi.
Sebagai
pengurus Budi Utomo, aktivitas Ahmad Dahlan tidak hanya terbatas pada hal-hal
yang berhubungan langsung dengan masalah organisasi. Ia sering memanfaatkan
forum pertemuan pengurus maupun anggota Budi Utomo sebagai tempat untuk
menyampaikan informasi tentang agama Islam, bidang yang sangat ia kuasai.
Kegiatan ini biasanya dilakukan setelah acara resmi selesai. Kepiawaian Ahmad
Dahlan dalam menyampaikan informasi tentang agama Islam dalam berbagai
pertemuan informal itu telah menarik perhatian para pengurus maupun anggota
Budi Utomo yang sebagian besar terdiri dari pegawai pemerintah dan guru
sehingga sering terjadi diskusi yang menarik di antara mereka tentang agama
Islam.
Di
antara pengurus dan anggota Budi Utomo yang tertarik pada masalah agama Islam
adalah R. Budiharjo dan R. Sosrosugondo, yang pada saat itu menjabat sebagai
guru di Kweekschool Jetis. Melalui jalur dua orang guru ini Ahmad Dahlan
mendapat kesempatan mengajar agama Islam kepada para siswa Kweekschool Jetis,
setelah kepala sekolah setuju dan memberikan izin. Pelajaran agama Islam
di sekolah guru milik pemerintah itu diberikan di luar jam pelajaran resmi,
yang biasanya dilakukan pada setiap hari Sabtu sore.
Dalarn
mengajarkan pengetahuan agama Islam secara umum maupun membaca Quran, Ahmad
Dahlan menerapkan metode pengajaran yang disesuaikan dengan kemampuan siswa
sehingga mampu menarik perhatian para siswa untuk menekuninya. Tentu saja
sebagian siswa merasa bahwa waktu pelajaran agama Is1am pada hari Sabtu sore
itu belum cukup. Oleh sebab itu, beberapa orang siswa, termasuk mereka yang
belum beragama Islam sering datang ke rumah Ahmad Dahlan di Kauman pada hari
Ahad untuk bertanya maupun melakukan diskusi lebih lanjut tentang berbagai
persoalan yang berhubungan dengan agama Islam.
Dalam
perkembangan selanjutnya, pengalaman berorganisasi di Budi Utomo dan Jamiat
Khair memberikan pelajaran kepada siswa Kweekschool dan didukung oleh
perkembangan pendapat masyarakat umum pada waktu itu yang mulai menyadari bahwa
pendidikan merupakan salah satu sarana yang penting bagi kemajuan penduduk
pribumi. Oleh karena itu, Ahmad Dahlan secara pribadi mulai merintis
pembentukan sebuah sekolah yang memadukan pengajaran ilmu agama Islam dan ilmu
umum. Dalam berbagai kesempatan Ahmad Dahlan menyampaikan ide pendirian sekolah
yang mengacu pada metode pengajaran seperti yang berlaku pada sekolah milik
pemerintah kepada berbagai pihak, termasuk kepada para santri yang belajar di
Kauman maupun penduduk Kauman secara umum. Sebagian besar dari mereka bersikap
acuh tak acuh, bahkan ada yang secara tegas menolak ide pendidikan sistem
sekolah tersebut karena dianggap bertentangan dengan tradisi dalam agama Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar