BAB II,
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Modernisasi
- Astrid S
Susanto: (1977)
modernisasi adalah proses pembangunan kesempatan yang diberikan oleh perubahan
demi kemajuan.
- Widjojo
Nitisastro: modernisasi
mencangkup suatu transformasi total dari kehidupan bersama yang tradisional
atau pra modern dalam arti teknologi serta organisasi sosial ke arah pola-pola
ekonomis dan politis
- Soerjono
Soekanto: modernisasi
adalah suatu bentuk perubahan sosial, yan bisanya perubahan sosial yang terarah
(directed change) yang didasarkan pada suatu perencanaan yang biasanya
dinamakan Sosial Planing .
Syarat-syarat Modernisasi.
- Cara berfikir ilmiah ( Scientific thinking) yang institutionalized dalam the ruling class maupun masyarakat.
- Sistem administrasi negera yang baik, yang benar-benar mewujudkan bureaucracy (birokrasi).
- Adanya system pengumpula data yang baik dan teratur yang terpusat pada suatu lembaga atau badan tertentu.
- Penciptaan iklim yang favoureble dan masyarakat terhadap modernisasi dengan cara pengunaan alat-alat komunikasi masa.
- Tingkat organisasi yang tinggi, yang disatu pihak berarti disiplin, sedangkan dilain pihak berarti pengurangan kemerdekaan.
- Sentrasi wewenang dalam social planning.
2.2 Warisan
pemikiran
Sejak awal
perumusan, aliran pemikiran modernisasi secara sadar mencari suatu bentuk
teori. Dalam usahanya menjelaskan persoalan pembangunan negara-negara Dunia
Ketiga, perpektif ini banyak menerima warisan pemikiran dari teori evolusi dan
teori fungsionalisme. Ini terjadi kerena pengaruh teori evolusi telah terbukti
mampu membantu menjelaskan proses masa peralihan dari masayarakat tradisional
ke masyarakat modern negara-negara Eropa Barat, selain juga mampu menjelaskan
arah yang perlu ditempuh negara Dunia Ketiga dalam proses modernisasinya.
Pewarisan
pemikiran struktural-fungsionalisme ke dalam teori modernisasi terjadi lebih
disebabkan oleh kenyataan, bahwa sebagian besar pendukung utama teori
modernisasi seperti: Daniel Larner, Marion Levy, Neil Smelser, Samuel
Eisenstadt, dan Gabriel Almond, lebih banyak terdidik dalam aliran pemikiran
struktural-fungsionalisme, sewaktu mereka tengah berada dalam bangku kuliah
dahulu. Oleh karena itu, kan bermanfaat apabila sebelum menyampaikan secara
detail konsep-konsep pokok teori modernisasi, disampaikan terlebih dahulu
secara singkat pola pikir teori evolusi dan teori fungsionalisme.
Teori Evolusi
Teori evolusi
lahir pada awal abad ke-19 sesaat sesudah Revolusi Indistri dan Revolusi
Perancis yang merupakan dua revolusi yang tidak sekedar menghancurkan tatanan
lama, tetapi juga membentuk acuan dasar baru. Revolusi Industri menciptkan
dasar-dasar ekspansi ekonomi, sedangkan Revolusi Perancis meletakkan
kaidah-kaidah pembangunan politik yang berdasarkan keadilan, kebebasan, dan
demokrasi.
Teori Evolusi
menggambarkan perkembangan masyarakat, pertama, yaitu teori evolusi mengganggap
bahwa perubahan sosial merupakan gerakan searah seperti garis lurus. Masyarakatnya berkembang dari masyarakat primitif menuju
masyarakat maju. Kedua, teori evolusi membaurkan antara pandangan subjektif
tentang nilai dan tujuan akhir perubahan sosial. Perubahan menuju bentuk
masyarakat modern, merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Oleh kerena
itu masyarakt modern merupakan bentuk masyarakat yang dicita-citakan.
Teori Stuktural
Fungsionalisme
Pemikiran
Talcott Parsons memandang masyarakat manusia tak ubahnya seperti organ tubuh
manusia, dan oleh kerena itu masyrakat manusia dapat juga dipelajari seperti
mempelajari tubuh manusia.
Pertama, seperti
struktur tubuh manusia yang memiliki berbagai bagian yang saling berhubungan
satu sama lain. Oleh kerena itu, masyarakat menurut Parson juga mempunyai
berbagai kelambagaan yang saling terkait dan keterhantungan satu sama lain.
Kedua, karena
setiap bagian tubuh manusia memiliki fungsi yang jelas dan spesifik, maka
dengan demikian pula setiap bentuk kelambagaan dalam masyarakat. Parson
merumuskan istilah ”fungsi pokok” (fungtional imperative) untuk menggambarkan
empat macam tugas utama yang harus di lakukan agar masyaraklat tidak ”mati”,
yang terkenal dengan sebutan AGIL (adaptation to the envorontment, goal
attaintment, integration dan latency).
Analogi dengan
tubuh manusia mengakibatkan Parson merumuskan konsep ”keseimbangan
dinamis-stasioner” (homeostatic equilibrium). Jika satu bagian tubuh manusia berubah, maka bagian lain
akan mengikutinya. Ini dimaksudkan untuk menguragi ketegangan intern dan
mancapai keseimbangan baru. Demikian juga yang terjadi pada masyarakat.
Masayarakat selalu mengalami perubahan, tetapi teratur. Perubahan sosial yang
terjadi pada satu lembaga lain untuk mencapai keseimbangan baru.
Namun demikian,
teori fungsionalisme sering disebut sebagai konservatif, karena menganggap
bahwa masyarakat akan selalu berada pada situasi harmoni, stabil, seimbang, dan
mapan. Bias ini terjadi karena analogi dari masyarakat dan tubuh manusia yang
dilakukan oleh Parson bisa diilustrasikan, bahwa tidak mungkin terjadi konflik
antara tangan kanan dengan tangan kiri dengan tangan kanan, demikian pula tidak
mungkin terjadi ada satu tubuh manusia yang membunuh dirinya sendiri dengan
sengaja. Demikian pula karakter yang terdapat dalam masyarakat. Lembaga
masyarakat akan selalu terkait secara harmonis, berusaha menghindari konflik,
dan tidak mungkin akan menghancurkan keberadaannya sendiri.
Parson
merumuskan konsep ”faktor kebakuan dan pengukur (pattern variables), dalam
rangka menjelaskan perbedaan masyarakat tradisional dengan masyarakat modern.
Faktor kebakuan dan pengkur (FKP) ini menjadi alat utama untuk memahami
hubungan sosial yang langgeng, berulang dan mewujud dalam sistem kebudayan,
yang bagi Parson merupakan sistem yang tertinggi dan terpenting.
Selanjutnya,
dalam kaitannya dengan hal tersebut, ada sesuatu yang disebut dengan hubungan
”kecintaan dan kenetralan” (affective dan effective-neutral). Masyarakat
tradisional cenderung memiliki hubungan ”kecintaan”, yakni hubungan yang
mempribadi dan emosional. Masayarakt modern memiliki hubungan kenetralan, yakni
hubungan kerja yang tidak langsung, tidak mempribadi dan berjarak. Parson juga merumuskan hubungan ”kekhususan dan
universalitas” (particularistic dan universalistic). Masyarakat tradisional
cenderung untuk berhubungan dengan anggota masyarakat dari satu kelompok
tertentu, sehingga ada rasa untuk memilkul beban tanggung jawab bersama,
sementara anggota masyarakat modern berhubungan satu sama lain dengan
batas-batas norma universal, lebih tidak terkait dengan tanggung jawab kelompok
dan kekhususan. Masyarakat tradisional biasanya memiliki kewajiban-kewajiban
kekeluargaan, komunitas dan kesukuan (orientasi kolektif), sementara masyarakat
modern lebih bersifat individualistik (orientasi diri-self orientation). Parson
juga mneyatakan, bahwa masyarakat tradisional memandang penting status warisan
dan bawaan (achievement). Selanjutnya Parson menyatakan bahwa masyarakat
tradional belum merumuskan fungsi-fungsi kelembagaannya secara jelas
(functionally diffused) dan karenanya akan terjadi pelaksanaan tugas yang tidak
efisien, sebaliknya masyarakat modern tidak merumuskan secara jelas tugas
masing-masing kelembagaannya (functionally specific)
Smelser :
Differensiasi Struktural
Baginya
modernisasi akan selalu melibatkan diferensiasi struktural. Ini terjadi karena,
dengan proses modernisasi, ketidakteraturan masyarakat yang menjalankan
berbagai fungsi yang lebih khusus. Bangunan bari ini sebagai suatu kesatuan
yang terdiri dari berbagai substruktur yang terkait dalam menjalankan
keseluruhan fungsi yang dilakukan oleh bangunan struktur lama. Perbedaannya,
setelah adanya diferensiasi struktural, pelaksanaan fungsi akan dapat
dijalankan secara efisien.
Contoh klasik
diferensisasi struktural dapat dijumpai pada lembaga ”keluarga”. Pada masa
lalu, keluarga tradisional memilki struktur yang tidak teratur rumit. Didalam
suatu atap berdiam banyak keluarga, terdiri dari berbagai generasi, dan
biasanya berjumlah banyak. Keluarga hanya bertanggung jawab terhadap beban
penerusan keturunan dan penanggungan emosi bersama, melainkan juga bertanggung
jawab terhadap produktivitas kerja (ladang pertanian bersama), pendidikan
(proses sosialisasi), kesejahteraan (memberikan perawatan manusia usia lanjut)
dan pendidikan agama (pemujaan kepada arwah orang tua yang meninggal).
2.3 Implikasi
Kebijaksanaan pembangunan
Pertama, teori
modernisasi membantu memberikan secara implisit pembenaran hubungan kekuatan
yang bertolak-belakang antara masyarakat ”tradisional” dan ”modern”. Kerena
Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat disebut sebagai negara maju dan
negara Dunia Ketiga dikatakan sebagai tradisional dan terbelakang, maka negara
Dunia Ketiga perlu melihat dan menjadikan Amerika Serikat dan negara-negara
Eropa Barat sebagai model dan panutan.
Kedua, teori
modernisasi menilai idiologi komunisme sebagai ancaman pembangunan negara Dunia
Ketiga, jika negara Dunia Ketiga hendak melakukan modernisasi, mereka perlu
menempuh arah yang telah dijalani oleh Amerika Serikat dan negara-negara Eropa
Barat, dan oleh karena itu mereka hendaknya berdiri jauh dari pahan komunisme.
Untuk mencapai tujuan itu, teori modernisasi menyarankan agar negara Dunia
Ketiga melakukan pembangunan ekonomi, meninggalkan dan mengganti nilai-nilai
tradisional dan melembagakan demokrasi politik.
Ketiga, teori
modernisasi mampu memberikan legitimasi tentang perlunya bantuan asing,
khususnya dari Amerika Serikat. Jika dan kerena yang diperlukan negara Dunia
Ketiga adalah kebutuhan investasi produktif dan pengenalan nilai-nilai modern,
maka Amerika dan megara maju lainnya dapat membantu dengan mengirimkan tenaga
ahli, mendorong para pengusaha untuk melakukan investasi di luar negeri dan
memberikan bantuan untuk negara Dunia Ketiga.
2.4 Hasil
Kajian Teori Modernisasi Klasik
Inkeles:
Manusia Modern
Menurut
Inkeles, mausia modern akan memiliki berbagai karakteristik pokok berikut ini:
Terbuka
terhadap pengalaman baru. Ini berarti, bahwa manusia modern selalu berkeinginan
untuk mencari sesuatu yang baru.
Manusia modern
akan memilki sikap untuk semakin independen terhadap berbagai bentuk otoritas
tradisional, seperti orang tua, kepala suku dan raja.
Manusia modern
percaya terhadap ilmu pengetahuan, termasuk percaya akan kemampuannya untuk
menundukkan alam semesta
Manusia modern
memiliki orientasi mobilitas dan ambisi hidup yang tinggi. Mereka berkehendak
untuk meniti tangga jenjang pekerjaannya.
Manusia modern
memilki rencana jangka panjang. Mereka selalu merencanakan sesuatu jauh didepan
dan mengetahui apa yang kan mereka capai dalam waktu lima tahun kedepan.
Manusia modern
aktif terlibat dalam percaturan politik. Mereka bergabung dengan berbagai
organisasi kekeluargaan dan berpartisipasi aktif dalam urusan masyarakat lokal.
2.5 Kritik
Terhadap Teori Modernisasi
Pengkritik
meyatakan keberatannya pada asumsi teori fungsionalisme, tentang pertentangan
antara tradisi dengan modern. Pertama, menanyakan tentang apakah sesungguhnya
yang disebut dengan tradisi? Apakah benar bahwa Dunia Ketiga memiliki
seperangkat nilai tradisional yang hogen dan harmonis? Menurut mereka, negara
Dunia Ketiga memiliki sistem nilai yang heterogen. Di negara Dunia Ketiga ,
misalnya, dapat dijumpai nilai tradisional kebesaran yang dimilki oleh para
elite masyarakatnya, dan sekaligus juga nilai tradisional kebanykan yang
dimilki oleh massa rakyat banyak. Elite masyarakat memilki rasa dan apresiasi
yang tinggi terhadap puisi, lukisan, tarian, pemburuan, kenikmatan, dan
filsafat; sementara massa rakyat banyak memberikan rasa apresiasi yang tinggi pada
kerja keras, ketekunan, kehematan, dan ketidaktergantungan pada penghasilan.
Kedua,
menanykan tentang apakah sesungguhnya nilai tradisional dan nilai modern selalu
bertolak belakang? Disatu pihak, menut pengkritik, dalam masyarakat tradisional
juga terdapat nilai-nilai modern. Sebagai contoh, didalam masyarakat
tradisisonal Cina yang memberikan nilai penting pada status warisan dan bawaan,
disaat yang sama juga memberikan nilai penting pada sistem ujian yang tidak
mengenal hubungan pribadi dan juga menekankan pentingnya kebutuhan berprostasi.
Di pihak lain, nilai-nilai tradisional juga dijumpai dan hadir dengan tagar
ditengah-tengah masyarakjat modern. Nilai-nilai khusus, seperti usia, suku,
jenis kelamin, tidak mungkin dapat dihilangkan sama sekali dalam, misalnya,
proses penarikan dan promosi tenaga kerja pada birokrasi modern. Oleh karena
itu, menurut pengkritik ini, nilai tradisional dan nilai modern akan selalu
hidup berdampingan.
Ketiga,
menyatakan tentang apakah sesungguhnya nilai-nilai tradisional selalu
menghambat modernisasi? Apakah selalu diperkirakan untuk menghilanghkan
nilai-nilai tradisional jika hendak mencapai modernisasi?. Bagi pengritik,
terkadang nilai-nilai tradisional sangat membantu dalam upaya modernisasi.
Sekadar contoh, dalam proses modernsasi Jepang. Nilai-nilai tradisional seperti
”loyalitas tanpa batas pada kaisar” akan dengan mudah untuk diubah menjadi
”loyalitas pada perusahaan”, yang akan membantu meningkatkan produktivitas
tenaga kerja dan mengurangi perputaran dan perpindahan tenaga kerja
antarperusahaan.
Terakhir, pengritik meragukan tentang kemampuan proses
modernisasi untuk secara total menghapuskan niali tradisional. Untuk pengkritik
dengan jelas menyatakan, bahwa nilai tradisisonal memang masih akan selalu
hadir ditangah proses modernsasi. Ini seperti yang telah dijelaskan oleh teori
kelambatan budaya (cultural lag theory), bahwa nilai tradisional masih akan
tetap hidup untuk jangka waktu yang panjang, sekalipun faktor situasi awal yang
menumbuhkan nilai tradisional tersebut telah tiada.
2.6 Hasil
Kajian Baru Teori Modernisasi
Dengan adanya
berbagai pengritik tentang teori modernisasi klasik, maka teori ini menguji
kembali berbagai asumsi dasarnya. Jika demikian halnya, maka hasil kajian baru
ini, dalam batas-batas tertentu yang berarti, berbeda dengan teori modernisasi
klasik dalam beberapa landas pijak berikut ini.
Pertama, hasil
kajian baru teori modernsasi ini sengaja menghindar untuk memperlakukan
nilai-nilai tradisional dan modern sebagai dua pengkat sistem nilai yang secara
total bertolak belakang. Dalam hasil kajian baru ini, dua perangkat sistem
nilai tersebut bukan saja dapat saling mewujud saling berdampingan, tetapi
bahkan dapat saling mempengaruhi dan bercampur satu sama lain. Disamping itu,
hasil kajian batu ini tidak lagi melihat bahwa nilai tradisional merupakan
faktor penghambat pembangunan, bahkan sebaliknya, kajian baru ini secara
sungguh-sungguh hendak berusaha menunjukkan sumbangan positif yang dapat
diberikan oleh sistem nilai tradisional. Konsepsi ini telah banyak membukua
pintu dan merumuskan agenda penelitian baru, yang oleh karenanya, peneliti
teori modernisasi, kemudian lebih banyak memberikan perhatian kepada pengkajian
nilai-nilai tradisonal (seperti: familisme, agama rakyat, budaya lokal), dibanding
pada masa-masa sebelumnya.
Kedua, secara
metodologis, kajian baru ini juga berbeda. Hasil harya baru ini tidak lagi
berstandar teguh pada pada analisa yang abstrak dan tipologi, tatapi lebih
cenderung untuk menberikan perharian yang seksama pada kasus-kasus nyata. Hasil
kajian baru ini tidak lagi merupakan unsur keunikan sejarah. Sejarah sering
dibggap sebagai faktor yang signifikan untuk menjelaskan pole perkembangan dari
satu negara tertentu. Bahkan dalam kajian kasus-kasus yang mendalam sering di jumapi
dibantui dengan analisa dari perspektif studi bandingnya. Karya baru ini secar
jernih menanyakan berbagai kemungkinan dan sebab mengapa seperangkat pranarta
sosial yang sama memainkan pern yang berbeda di negara yang berbeda.
Ketiga, sebagai
akibat dari perhatiannya terhadap sejarah dan analisa anggapan tentang gerak
satu arah pembangunan yang menjadikan barat sebagi satu-satunya model. Sebagai
gantinya, karya-karya penelitian ini kemudian begitu saja menerima kenyataan
bahwa negara Dunia Ketiga dapat memilki kesermpatan untuk menempuh arah dan
menentukan model pembangunannya sendiri.
Terakhir, hasil
kajian baru teori moderinsasi ini lebih memberikan perhatian pada faktor
eksternal (lingkungan internasional) dibanding pada masa sebelumnya. Sekalipun perhatian
utamanya masih pada faktor internal, perana faktor internasional dalam
mempengaruhi proses pembangunan Negar Dunia Ketiga ini juga menaruh perhatian
pada faktor konflik. Bahkan dalam analisanya, karya baeru ini sering berhasil
mengintegrasikan dengan baik faktor konflik kelas, dominasi idiologi dan
peranan agama.
Tabel persamaan dan perbedaan antara teori modernisasi klasik dengan teori
modernisasi baru
Teori
Modernisasi Klasik
|
Teori
Modernisasi Baru
|
|
Persamaaan
|
||
Keprihatinan
|
Negara Dunia Ketiga
|
Sama
|
Tingkat
analisa
|
Nasional
|
Sama
|
Variable
pokok
|
Faktor
internal:
Nilai-nilai
budaya pranata sosial
|
Sama
|
Konsep pokok
|
Tradisional
dan modern
|
Sama
|
Implikasi
kebijaksanaan
|
Modernisasi
memberi muatan positif
|
Sama
|
Perbedaan
|
||
Tradisi
|
Sebagai
penghalang pembangunan
|
Faktor
positif pembangunan
|
Metode kajian
|
Abstrak dan
kontruksi tipologi
|
Studi kasus
dan analisa sejarah
|
Arah
pembangunan
|
Garis lurus
dan menggunakan USA dan negara-negara Eropa Barat sebagai model
|
Berarah dan
mermodel banyak
|
Faktor
ekstern dan konflik
|
Tidak
memperhatikan
|
Lebih
memperhatikan
|
2.7 Modernisasi
Di Indonesia
Negara Indonesia merupakan Negara yang sedang berkembang
yang sedang berupaya membangun masyarakatnya dari masyarakat tradisional ke
masyarakat modern. Hal itu dilakukan dengan adanya pembangunan masyarakat
secara keseluruhan dalam bidang modernisasi.
Tujuannya adalah meningkatkan kualitas hidup manusia dan
masyarakat Indonesia agar setara dengan masyarakat modern bangsa lain. Oleh
sebab itu modernisasi di Indonesia dapat dikatakan terbuka, artinya bahwa dalam
proses modernisasi tidak tertutup kemungkinan untuk menerima unsur-unsur dari
luar. Namun tentunya harus ada filterisasi (penyaringan) terhadap unsur-unsur
dari luar.
Gejala-gejala yang tampak dari proses modernisasi di
Indonesia meliputi segala bidang, baik teknologi, politik, sosial, ekonomi,
agama dan kepercayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar