MODEL-MODEL FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIK
1. Model
Kelembagaan (Institusional)
Pada model ini secara sederhana bermakna bahwa “tugas membuat kebijakan publik adalah tugas
pemerintah”. Jadi semua yang dibuat oleh pemerintah dengan cara apa pun
merupakan kebijakan publik. Model ini pada dasarnya lebih mengutamakan
fungsi-fungsi setiap kelembagaan dari pemerintah, di setiap sektor dan tingkat
dalam memformulasikan kebijakan. Menurut Thomas R. Dye, ada tiga hal yang
membenarkan tentang pendekatan teori ini, yaitu ; pemerintah memang sah dalam membuat kebijakan publik,
formulasi kebijakan publik yang dibuat oleh pemeritah bersifat universal (umum), pemerintah memonopoli/menguasai
fungsi pemaksaan (koersi) dalam
kehidupan bersama.
Model ini sebenarnya merupakan derivasi/turunan dari ilmu politik tradisional dimana dalam
ilmu tersebut lebih menekankan pada strukturnya daripada proses atau perilaku
politik. Proses yang dilakukan dalam model ini menunjukan tugas lembaga-lembaga
pemerintah dalam melakukan formulasi kebijakan tetapi dalam memformulasi
kebijakan tersebut dilakukan secara otonom tanpa berinteraksi/berkomunikasi
dengan lingkungan sekitar. Hal tersebut menjadi salah satu kelemahan dari model
ini yaitu terabaikannya masalah-masalah lingkungan di mana kebijakan itu
diterapkan. (Wibawa, 1994 : 6).
2. Model Proses (Process)
Pada model ini politik diasumsikan sebagai sebuah aktivitas sehingga mempunyai proses. Oleh karena itu, kebijakan publik
juga merupakan suatu proses politik yang menyertakan rangkaian kegiatan:
Identifikasi Permasalahan
|
Mengemukakan tuntutan agar pemerintah mengambil
tindakan.
|
Menata Agenda Formulasi Kebijakan
|
Memutuskan isu apa yang dipilih dan permasalahan apa
yang hendak dikemukakan.
|
Perumusan Proposal Kebijakan
|
Mengembangkan proposal kebijakan untuk menangani
masalah tersebut.
|
Legitimasi Kebijakan
|
Memimilih satu buah proposal yang dinilai terbaik untuk
kemudian mencari dukungan politik agar dapat diterima sebagai sebuah hukum.
|
Implementasi Kebijakan
|
Mengorganisasikan birokrasi, menyediakan pelayanan dan
pembayaran dan pengumpulan pajak.
|
Evaluasi Kebijakan
|
Melakukan studi program, melaporkan outpputnya, mengevaluasi pengaruh (impact) kelompok sasaran dan non-sasaran,
dan memberikan rekomendasi penyempurnaan kebijakan.
|
Model ini menunjukan tentang bagaimana kebijakan dibuat atau seharusnya
dibuat, akan tetapi kurang memberikan tekanan pada substansi seperti apa yang
harus ada dalam kebijakan tersebut. Jadi lebih mengutamakan step by step pembuatan kebijakan tetapi
kurang fokus terhadap isi/hal-hal
penting yang harus ada dalam kebijakan itu.
3. Model Teori
Kelompok (Group)
Dalam pengambilan kebijakan penganut teori ini
mengandaikan kebijakan sebagai titik
keseimbangan (equilibrium).
Intinya adalah interaksi yang terjadi di dalam kelompok akan menghasilkan
keseimbangan dan keseimbangan tersebut adalah yang terbaik. Individu di dalam
kelompok kepentingan berinteraksi secara formal maupun informal, secara
langsung atau melalui media massa menyampaikan tuntutan/gagasan kepada
pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan publik yang diperlukan. Sistem politik
pada model ini berperan untuk memanage
konflik yang muncul akibat adanya perbedaan tuntutan, melalui :
a. Merumuskan aturan
main antarkelompok kepentingan.
b. Menata kompromi dan menyeimbangkan kepentingan.
c. Memungkinkan terbentuknya kompromi di dalam kebijakan
publik (yang akan dibuat).
d. Memperkuat kompromi-kompromi tersebut.
Menurut model ini dalam melakukan formulasi kebijakan,
beberapa kelompok kepentingan berusaha mempengaruhi isi dan bentuk kebijakan
secara interaktif. (Wibawa, 1994 : 9).
4. Model Teori
Elit (Elite)
Model teori ini mengasumsikan bahwa dalam setiap
masyarakat terdapat 2 kelompok, yaitu pemegang kekusaan (elit) dan yang tidak berkuasa (massa).
Di dalam formulasi kebijakan, sedemokratis apa pun selalu ada bias karena pada
akhirnya kebijakan tersebut merupakan preferensi politik dari para
elit-politik. Sisi negatifnya adalah
dalam sistem politik, para elit-politiklah yang akan menyelengarakan kekuasaan
sesuai kehendaknya. Sisi positifnya
adalah seorang elit-politik yang berhasil memenangkan gagasan membawa
negara-bangsa ke kondisi yang lebih baik dibanding dengan pesaingnya. Secara top down, elit-politiklah yang membuat
kebijakan, sedang implementasi kepada rakyat dilakukan oleh administrator publik. Jadi model elit
merupakan abstraksi dari proses formulasi kebijakan dimana kebijakan publik
merupakan perspeksi elit-politik. Prinsip dasarnya kebijakan yang dibuat bersifat
konservatif karena para elit-politik ingin mempertahankan status quo. Kelemahannya yaitu kebijakan
yang dibuat elit-politik tidak selalu mementingkan kesejahteraan rakyat.
5. Model Teori
Rasionalisme (Rational)
“Kebijakan publik sebagai maximum social gain”, maksudnya pemerintah sebagai pembuat
kebijakan harus memilih kebijakan yang memberikan manfaat optimum bagi
masyarakat, dalam formulasinya harus berdasar keputusan yang sudah
diperhitungkan rasionalitasnya yaitu perbandingan antara pengorbanan dan hasil
yang akan dicapai sehingga model ini lebih menekankan pada aspek efisiensi atau ekonomis. Cara-cara formulasi kebijakan disusun dalam urutan : (1)
Mengetahui preferensi publik dan kecenderungannya, (2) Menemukan
pilihan-pilihan, (3) Menilai konsekuensi masing-masing pilihan, (4) Menilai
rasio nilai sosial yang dikorbankan, (5) Memilih alternatif kebijakan yang
paling efisien. (Wibawa, 1994 : 10, Winarno, 2002 : 75, Wahab, 2002 : 19).
Model ini termasuk yang ideal dalam formulasi kebijakan dalam arti untuk
mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas kebijakan. Beberapa kelemahan
pokonya antara lain konsep maximum social
gain berbeda di antara kelompok kepentingan sehingga dikhawatikan
menimbulkan perbedaan/perselisihan, kebijakan maximum social gain sulit dicapai mengingat birokrasi yang
cenderung melayani diri sendiri daripada melayani publik. Namun idealisme dari
model ini perlu ditingkatkan dan diperkuat karena di setiap negara pasti ada
birokrat-birokrat yang cakap, cerdas dan handal demi memajukan bangsa dan
negaranya. Untuk itu model ini perlu menjadi kajian dalam proses formulasi
kebijakan.
6. Model
Inkrementalis (Incremental)
Pada dasarnya merupakan kritik terhadap model rasional,
diamana para pembuat kebijakan tidak pernah melakukan proses seperti yang
diisyaratkan oleh pendekatan rasional karena mereka tidak memiliki cukup waktu,
intelektual, maupun biaya, ada kekhawatiran muncul dampak yang tidak diinginkan
akibat kebijakan yang belum pernah dibuat sebelumnya, adanya hasil-hasil dari
kebijakan sebelumnya yang harus dipertahankan dan menghindari konflik. (Wibawa,
1994 : 11, Winarno, 2002 : 77-78, Wahab, 2002 : 21). Jadi kebijakan publik
merupakan variasi/kelanjutan dari kebijakan di masa lalu. Karena pengambilan
kebijakan dihadapkan kepada ketidakpastian yang muncul di sekelilingnya maka
pilihannya adalah melanjutkan kebijakan di masa lalu dengan melakukan
modifikasi seperlunya, pemerintah dengan kebijakan inkrementalis berusaha
mempertahankan komitmen kebijakan di masa lalu untuk mempertahankan kinerja
yang telah dicapai.
7. Model Teori
Permainan (Game Theory)
Model ini di-cap
sebagai model konspiratif, dimana
mulai muncul sejak berbagai pendekatan yang sangat rasional tidak mampu menyelesaikan pertanyaan yang muncul yang
sulit diterangkan dengan fakta-fakta yang tersedia. Gagasan pokok dari teori
ini : (1) formulasi kebijakan berada pada situasi kompetisi yang intensif, (2)
para aktor berada dalam situasi pilihan yang tidak independent ke dependent melainkan situasi pilihan yang sama-sama bebas/independent. Konsep kunci teori
ini adalah strategi, dimana kuncinya
bukanlah yang paling aman tetapi yang paling aman dari serangan lawan.
Jadi teori ini memiliki tingkat konservativitas
yang tinggi karena pada intinya merupakan strategi defensif, tetapi bisa juga dikembangkan menjadi strategi ofensif asal yang bersangkutan memiliki
posisi superior dan dukungan sumber daya yang memadai.
8. Model Pilihan
Publik (Public Choice)
Dalam model ini kebijakan sebagai proses formulasi
keputusan kolektif dari setiap individu yang berkepentingan atas keputusan
tersebut. Akar dari kebijakan ini adalah dari teori ekonomi pilihan publik (economic of public choice) yang
mengatakan bahwa manusia itu homo
economicus yang memiliki kepentingan yang harus dipuaskan dan pada
prinsipnya adalah buyer meet seller;
supply meet demand. Intinya setiap kebijakan yang dibuat pemerintah harus
merupakan pilihan dari publik yang menjadi pengguna (beneficiaries/customer). Dalam menyusun kebijakan, pemerintah
melibatkan publik melalui kelompok-kelompok kepentingan dan ini secara umum
merupakan konsep formulasi kebijakan yang paling demokratis karena memberi
ruang yang luas kepada publik untuk mengkontribusikan pilihan-pilihannya kepada
pemerintah sebelum diambil keputusan. Meskipun ideal dalam konteks demokrasi
dan kontrak sosial, namun memiliki kelemahan pokok dalam realitas interaksi itu
sendiri karena interaksi akan terbatas pada publik
yang mempunyai akses dan di sisi lain terdapat kecenderungan dari pemerintah
untuk memuaskan pemilihnya daripada masyarakat luas.
9. Model Sistem (System)
Menurut David Easton pendekatan dalam model ini terdiri
dari 3 komponen : input, proses dan output. Salah satu kelemahan dari pendekatan
ini adalah terpusatnya perhatian pada tindakan-tindakan yang dilakukan
pemerintah dan pada akhirnya kita kehilangan perhatian pada apa yang tidak
pernah dilakukan pemerintah. (Wibawa, 1994 : 7, Winarno, 2002 : 70). Jadi
formulasi kebijakan dengan model sistem mengibaratkan bahwa kebijakan merupakan
hasil (output) dari sistem politik.
Seperti dalam ilmu politik, maka sistem politik terdiri dari input, throughput dan output. Sehingga
dapat dipahami, proses formulasi kebijakan publik dalam sistem politik
mengandalkan masukan (input) yang
terdiri dari tuntutan dan dukungan.
10. Model Pengamatan Terpadu (Mixed-Scaning)
Model ini berupaya menggabungkan antara model rasional
dengan model inkremental. Tokohnya adalah Amitai Etzioni, pada 1967 yang
memperkenalkan model ini sebagai suatu pendekatan terhadap formulasi
keputusan-keputusan pokok dan inkremental, menetapkan proses-proses formulasi
kebijakan pokok dan urusan tinggi yang menentukan petunjuk-petunjuk dasar,
proses-proses yang mempersiapkan keputusan-keputusan pokok dan menjalankannya
setelah keputusan itu terapai. Jika diibaratkan seperti dua kamera; kamera wide angle untuk melihat keseluruhan,
kamera dengan zoom untuk melihat
detailnya. (Winarno, 2002 : 78, Wahab, 2002 : 23-24).
11. Model Demokratis
“Pengambilan
keputusan harus sebanyak mungkin mengelaborasi suara dari stakeholders”. Pernyataan tersebut dapat dikatakan sebagai “Model
Demokrasi” karena menghendaki agar setiap “pemilik hak demokrasi” diikut
sertakan sebanyak-banyaknya. Model ini
implementasinya pada good governance
bagi pemerintahan yang mengamanatkan agar dalam membuat kebijakan, para
konstituten, dan pemanfaat (beneficiaries)
diakomodasi keberadaan. Model ini sebenarnya sudah baik akan tetapi kurang
efektif dalam mengatasi masalah-masalah yang bersifat kritis, darurat dan dalam
kelangkaan sumber daya. Namun apabila model ini mampu dijalankan maka sangat
efektif karena setiap pihak mempunyai kewajiban untuk ikut serta mencapai
keberhasilan kebijakan karena masing-masing pihak bertanggung jawab atas
kebijakan yang dirumuskan.
12. Model Strategis
Inti
dari teori ini adalah bahwa pendekatan menggunakan rumusan runtutan perumusan
strategi sebagai basis perumusan kebijakan. Tokohnya adalah John D. Bryson.
Perencanaan strategis yaitu upaya yang didisiplinkan untuk membuat keputusan
dan tindakan penting yang membentuk dan memandu bagaimana menjadi organisasi
(atau etnis lainnya), apa yang dikerjakan organisasi (atau etnis lainnya), dan
mengapa organisasi (atau etnis lainnya) mengerjakan hal seperti itu (Bryson,
2002 : 4-5). Perencanaan strstegis mensyaratkan pengumpulan informasi secara
luas, eksploratif alternatif dan menekankan implikasi masa depan dengan
keputusan sekarang (Bryson, 2002 : 5). Fokusnya lebih kepada pengidentifikasian
dan pemecahan isu-isu, lebih menekankan kepada penilaian terhadap lingkungan di
luar dan di dalam organisasi dan berorientasi kepada tindakan (Bryson, 2002 :
7-8). Perencanaan strategis dapat membantu organisasi untuk; berpikir secara
strategis dan mengembangkan strategi-strategi yang efektif, memperjelas arah
masa depan, menciptakan prioritas, membuat keputusan sekarang dengan
memperhatikan konsekuensi masa depan, kontrol organisasi, memecahkan masalah
utama organisasi, menangani keadaan yang berubah dengan cepat secara efektif. Proses
perumusannya adalah; mengusulkan dan menyepakati perencanaan strategi (memahami
manfaat perencanaan strategi dan mengembangkannya), merumuskan panduan proses,
memperjelas wewenang dan misi organisasi, melakukan analisa SWOT ( menilai
kekuatan dan kelemahan, peluang dan ancaman). Mengidentifikasi isu strategi
yang dihadapi, merumuskan strategi untuk mengelola isu. Jadi dapat
disimpulkan bahwa model ini fokusnya lebih kepada rincian-rincian langkah
manajemen strategis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar