Tobala Arung Tanete ditunjuk oleh KaraengE ri Gowa
sebagai pengganti Mangkau di Bone yang disebut jennang. Selama 17 tahun
Tobala menjadi Jennang di Bone, sekian pula lamanya Bone dijajah oleh
Gowa. Ketika Tobala yang juga dikenal dengan gelar Petta
PakkanynyarangE menjadi Jennang di Bone, tindakan
kesewenang-wenangan orang Gowa terhadap orang Bone semakin menjadi-jadi. Banyak
orang Bone yang memilih untuk pindah ke daerah lain, karena tidak mampu lagi
menahan penderitaan akibat tindakan orang Gowa yang sangat kejam. Dimasa
pemerintahan Tobala, KaraengE ri Gowa minta dikirimkan orang dari Bone sebanyak
10.000. Jumlah itu tidak bisa kurang dan harus sesuai dengan yang diminta.
Orang sebanyak itu akan disuruh menggali parit dan membuat benteng. Kepada
siapa yang telah ditentukan untuk berangkat ke Gowa tidak bisa diganti,
walaupun ada hambanya yang bisa menggantikannya. Tidak bisa juga membayar
sebagai tebusan agar bisa tidak berangkat.
Saat itu La Tenri Tatta sudah mulai
dewasa dan kawinlah dengan I Mangkawani Daeng Talele. Pada saat orang Bone yang
jumlahnya 10.000 itu tiba, La Tenri Tatta bersama seluruh keluarganya
meninggalkan rumah KaraengE ri Gowa. Ia pun turun bekerja bersama orang Bone,
merasakan bagaimana penderitaan dan penyiksaan yang dialami mereka. La Tenri
Tatta To Unru menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana orang Gowa
menyiksa orang Bone jika didapati tidak bekerja atau malas karena kelaparan.
Orang Bone diperlakukan tak ubahnya hewan, dicambuk dan ditendang. Bahkan tidak
sedikit yang mati terbunuh oleh orang Gowa yang mengawasi penggalian parit dan
pembuatan benteng tersebut.
Melihat tindakan orang Gowa terhadap
orang Bone yang semakin tidak berperikemanusiaan, hati La Tenri Tatta menjadi
tergugah dan berpikir untuk membuat suatu rencana pembebasan. Dengan bekerja
sama dengan beberapa keluarga dekatnya, seperti Arung Belo, Arung Ampana dan
lain-lain. Kesepakatan yang dibuatnya adalah pada suatu saat yang tepat dan
aman, semua orang Bone melarikan diri dari tempat penggalian parit dan
pembuatan benteng tersebut menuju ke Bone.
Sementara Tobala tidak mampu lagi
untuk menerima tindakan orang Gowa terhadap orang Bone yang semakin hari semakin
menjadi-jadi. Hal ini menambah kesungguhan La Tenri Tatta untuk menegakkan
kembali kebesaran Bone. Dihimpunlah seluruh kekuatan Bone yang pernah bercerai
berai, dia juga mengajak Soppeng agar dapat membantu Bone melawan Gowa.
Setelah cukup 17 tahun Tobala
menjadi Jennang di Bone, ia membangkitkan kembali semangat orang Bone untuk
melawan Gowa. Sementara La Tenri Tatta bersama segenap keluarga, jowa dan
segenap orang Bone yang menjadi penggali parit telah berada dalam perjalanan
menuju ke Bone. Hal ini tidak diketahui oleh KaraengE ri Gowa bersama seluruh
anggota Hadatnya.
Setelah sampai di Bone, ia langsung
menemui Tobala Jennang Bone. Selain itu ia juga menyampaikan kepada Datu
Soppeng pamannya yang bernama La Tenri Bali. Memang telah dipersatukan Bone
dengan Soppeng sesuai bunyi Pincara LopiE ri Attapang (Perjanjian ri Attapang).
Bersatulah kembali Tobala dengan La Tenri Tatta membangkitkan kembali semangat
perlawanan orang Bone terhadap Gowa.
Sebagai wujud kegembiraan orang Bone
atas kembalinya La Tenri Tatta ke Bone, maka orang Bone sepakat untuk
mengangkatnya menjadi arung di Palakka mewarisi neneknya. Sejak itu dinamakanlah
Arung Palakka.
Setelah mempersatukan pendapat
dengan Jennang Tobala untuk tidak mundur dalam melawan Gowa, pergilah Arung Palakka
ke Lamuru untuk menghadang orang Gowa yang mengikutinya. Terjadilah perang yang
sangat dahsyat dan menelan korban yang tidak sedikit dari kedua belah pihak.
Karena kekuatan Gowa ternyata lebih kuat, maka ia pun mengundurkan diri bersama
pengawalnya.
Dalam perjalanannya menghindari
serangan Gowa, La Tenri Tatta Arung Palakka singgah menemui Datu Soppeng minta
bekal untuk dimakan dalam perjalanan bersama pengawalnya. Karena dia akan pergi
mencari teman yang bisa diajak kerja sama melawan Gowa. Hal ini dimaksudkan
agar dapat menegakkan kembali kebesaran Bone.
Atas permintaannya itu, Datu Soppeng
memberinya emas pusaka dari orang tuanya. Emas itulah yang dijadikan bekal
bersama segenap pengawalnya pergi mencari teman yang bisa diajak kerja sama
menegakkan kembali kebesaran Bone. La Tenri Tatta Arung Palakka sebelum
berangkat berjanji tidak akan memotong rambutnya sebelum ia kembali ke Bone.
Berangkatlah La Tenri Tatta Arung
Palakka bersama segenap pengawalnya, sementara orang Gowa tetap mengikuti
jejaknya. Orang Bone pun kembali melawan di bawah pimpinan Tobala yang dibantu
oleh orang Soppeng. Akan tetapi karena kekuatan Gowa masih lebih kuat, sehingga
orang Bone kembali mengalami kekalahan. Bahkan Tobala tewas dalam peperangan
dan Datu Soppeng tertawan.
Karena kekalahan itu, sehingga orang
Bone kembali ditawan dan dijajah oleh Gowa. Begitu pula orang Soppeng karena
telah membantu Bone dalam melawan Gowa. Sementara La Tenri Tatta Arung Palakka
tetap diburu oleh orang Gowa dan tidak sedikit mengalami kepungan yang hampir
saja menjebak dirinya. Seakan-akan tidak ada lagi tempat yang dapat digunakan
untuk berlindung di Bone.
Oleh karena itu, ia memutuskan untuk
menyeberang ke Tanah Uliyo (Butung) untuk minta perlindungan. Hal ini dilakukan
agar dapat menemukan teman yang dapat membantunya untuk melawan dan menundukkan
Gowa. Disiapkanlah perahu untuk menyeberang ke Butung.
Sesampainya di Butung, naiklah La
Tenri Tatta menemui Raja Butung. Raja Butung menerimanya dan bersedia
membantunya. Tetapi ternyata Gowa tidak akan berhenti untuk mengikuti jejaknya.
Setelah KaraengE ri Gowa mengetahui bahwa La Tenri Tatta bersama sejumlah
pengawalnya telah menyeberang ke Butung, ia segera memerintahkan Arung
Gattareng untuk menyusulnya.
Akan tetapi Arung Gattareng tidak
sampai di Tanah Uliyo dan dia kembali tanpa membawa hasil. KaraengE ri Gowa
lantas mengirim pasukan tempur untuk mengikuti sampai di Butung. Sesampainya di
Butung pasukan Gowa tersebut mencari ke berbagai tempat, namun tidak berhasil
menemukan La Tenri Tatta dengan seluruh pengawalnya. Raja Butung berusaha
meyakinkan orang Gowa bahwa La Tenri Tatta tidak ada di atas Tanah Butung. Oleh
karena itu, orang Gowa kembali tanpa menemukan La Tenri Tatta dan pengawalnya.
Setelah orang Gowa kembali ke
kampungnya, Raja Butung berkata kepada La Tenri Tatta ; ”Saya sangat khawatir
kalau pada akhirnya engkau dan seluruh pengawalmu ditemukan oleh orang Gowa di
Tanah Butung ini. Saya sarankan agar engkau menunggu Kompeni Belanda karena
tidak lama lagi dia akan datang. Dia akan berangkat ke Ternate karena Raja
Ternate berselisih dengan saudaranya. Sekarang saudara Raja Ternate itu ada di
Gowa untuk minta bantuan kepada KaraengE ri Gowa. Karena itu, KaraengE ri Gowa
bermaksud berangkat ke Ternate, orang Bone diseberangkan ke Butung oleh La
Sekati.
Tindakan kesewenang-wenangan
KaraengE ri Gowa bukan saja ditujukan kepada orang Bone, tetapi juga kepada
orang-orang Gowa yang menentang perintahnya. Dengan demikian orang Gowa pun
banyak yang menyeberang ke Butung termasuk Karaeng Bonto Marannu dengan
rakyatnya.
Keadan ini membuat KaraengE ri Gowa
marah besar terhadap Raja Butung. Lalu KaraengE ri Gowa membuat rencana untuk
menyerang Butung di Tanah Uliyo. Karena disitulah berlindung semua orang yang
dicari oleh KaraengE ri Gowa. Disitu pula kapal-kapal Kompeni Belanda selalu
singgah apabila hendak menuju ke Ternate. KaraengE ri Gowa memanggil Datu Luwu
yang bernama La Setiaraja untuk bersama- Tidak berapa lama, Kompeni Belanda
datang dengan segala alat perangnya menuju ke Ternate. Sebelumnya singgah di
Tanah Uliyo. Turunlah La Tenri Tatta diantar oleh Raja Butung menemui Komandan
Belanda di atas kapalnya. La Tenri Tatta minta kepada Kompeni agar dapat
diikutkan ke Ternate bersama seluruh pengawalnya.
Atas permintaannya itu Kompeni mengatakan,
Atas permintaannya itu Kompeni mengatakan,
”Tidak usah ke Ternate, tetapi lebih baik ke Jakarta. Nanti
di Jakarta baru diberikan tanah untuk di tempati bersama pengawalnya. Kalau
sudah ada kesempatan, kita sama-sama melawan Gowa. Jadi tunggulah di sini.
Kalau Kompeni kembali dari Ternate barulah singgah disini dan kita sama-sama ke
Jakarta”.
Oleh karena itu, La Tenri Tatta
Arung Palakka dan seluruh pengawalnya tinggal beberapa waktu di Butung menunggu
kembalinya Kompeni Belanda.
Tobala kawin dengan sepupu satu
kalinya yang bernama We Maisuri anak dari We Daompo dengan suaminya yang
bernama La Uncu Arung Paijo. Inilah yang melahirkan To Sibengngareng Maddanreng
Bone. Kemudian To Sibengngareng kawin dengan anaknya Opu Bontobangung di
Selayar yang melahirkan anak perempuan tiga orang. Yang pertama bernama We
Kelli Arung Paijo, yang kedua bernama We Sadia Petta Punna BolaE dan ketiga We
Panido Arung Atakka.
Sedangkan anak laki-laki Tobala dari
isterinya We Maisuri, La Tenri To Marilaleng Pawelaiye ri Kaluku BodoE.
Kemudian La Tone To Marilaleng Pawelaiye ri Pattingaloang. Inilah yang kawin
dengan We Tungke Arung Tessiada. Dari perkawinan itu lahirlah We Sutra Daeng
Tasabbe Arung Tessiada. Kemudian We Sutra Daeng Tasabbe kawin dengan La Rubba
Arung Jaling anak dari La Tenri To Marilaleng Pawelaiye ri Kaluku BodoE dari
isterinya We Sellima Arung Ulo. Dari perkawinan ini lahirlah yang bernama La
Mappa Arung Jaling, La Maddukkelleng Arung Tessiada, To Akkeppeang Sulewatang
Palakka.
La Mappa Arung Jaling kawin dengan
We Saria Arung Palongki dan melahirkan La Supu Arung Palongki. Selanjutnya La
Supu kawin dengan We Sutra Daeng Tasabbe, lahirlah La Esa Arung Palongki.
Kembali kepada La Tenri Tatta
bersama pengawalnya yang sementara berada di Butung. Setelah kapal Kompeni
Belanda kembali dari Ternate untuk selanjutnya ke Jakarta, singgahlah di Butung
mengambil La Tenri Tatta bersama seluruh pengawalnya. Setibanya di Jakarta
ditunjukkanlah tanah yang luas untuk ditempati. Kampung itu kemudian bernama
Kampung To PattojoE, disitulah La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na
membina dan melatih pengawalnya sebagai persiapan untuk kembali ke Tana Ugi
melawan KaraengE ri Gowa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar