Lukisan Wajah Arung Palakka
Tulisan ini tak hendak ikut-ikutan
memberi cap “pengkhianat” bagi bangsa Indonesia kepada sosok yang dikenal tak
punya rasa takut ini “La Tenri Tatta”, sesuatu yang sejatinya tak layak
disematkan mengingat nama Indonesia sendiri belum lahir saat Arung Palakka
hidup. Meski Hasanuddin, seteru nya dilabeli gelar Pahlawan Nasional oleh
pemerintah Indonesia, tak serta merta kemudian menempatkan Arung Palakka di
kutub berbeda.
Anak Asuhan Karaeng Pattingalloang
Bone
adalah sebuah nama besar. Sejak abad 14M, nama Bone sudah digaungkan dengan
berbagai macam panji kebesaran. Adalah Matasilompoé [Manurungngé ri Matajang]
(1392-1424) yang tercatat dalam tarikh sebagai yang mula-mula menegakkan
kerajaan di pesisir timur semenanjung Sulawesi Selatan ini. Kerajaan yang
berada di bibir teluk Bone ini mulai melenggang dalam panggung sejarah
Indonesia sejak abad 17 hingga di abad modern kini.
Bone,
menyeruak dalam kronik penulisan sejarah nasional Indonesia sejatinya bermula
pada posisi yang kurang simpatik. Ketika pertamakali menyebut nama Bone, maka
ingatan sejarah kita akan memunculkan sosok Arung Palakka, Raja Bone ke-16 yang
bernama lengkap Arung Palakka La Tenritatta To Ureng To-ri SompaE Petta
MalampeE Gemme’na Daeng Serang To’ Appatunru Paduka Sultan Sa’adduddin Matinroe
ri Bontoala (1672-1696) – sosok penting yang menjadi penyebab jatuhnya kerajaan
Gowa Tallo tahun 1669. Juga tak bisa disangkal bahwa dia dan balatentara To
Angke nya turut andil di bawah arahan VOC menumpas pemberontakan Minangkabau
1666 dan Trunojoyo Madura 1679.
Arung
Palakka, sosok kontroversial ini berada di kutub berseberangan dengan Sultan
Hasanuddin, Sultan Gowa yang sezaman dengannya dan kemudian ditahbiskan sebagai
Pahlawan Nasional. Karena pilihan politiknya saat itu, dengan tetap menghormati
latar belakang sosio-historisnya, Arung Palakka kelak kemudian lebih sering
dimasukkan dalam deretan sosok antagonis dalam laku sejarah, berada dalam
barisan yang sama dengan Sultan Haji (Banten), Amangkurat II (Mataram), hingga
Sultan Hamid II (Pontianak). Namun terlepas dari segala kontroversinya, sosok
Arung Palakka nyatanya hingga kini menjadi simbol kehormatan dan perlawanan
rakyat Bone terhadap kekuasaan asing (Gowa-Tallo).
Tulisan
ini tak hendak ikut-ikutan memberi cap “pengkhianat” bagi bangsa Indonesia
kepada sosok yang dikenal tak punya rasa takut ini “La Tenri Tatta”, sesuatu
yang sejatinya tak layak disematkan mengingat nama Indonesia sendiri belum
lahir saat Arung Palakka hidup. Meski Hasanuddin, seteru nya dilabeli gelar
Pahlawan Nasional oleh pemerintah Indonesia, tak serta merta kemudian
menempatkan Arung Palakka di kutub berbeda. Buku Sejarah mesti bijak dan netral
menempatkan sosok ini, kalau tak hendak menyesatkan generasi masa depan dengan
labelisasi yang menyesatkan. Bagi Bone, Arung Palakka adalah pahlawan. Bagi
Gowa Tallo (bukan Indonesia), memang Arung Palakka adalah sosok penentang yang
telah mempermalukan Gowa Tallo hingga beratus tahun kemudian. Bagi kita, Arung
Palakka layak dijadikan salah satu bahan “pembacaan” bijak mengenai sejarah
bangsa bugis mempertahankan kehormatannya.
Arung
Palakka sendiri sejatinya sejak berumur 11tahun sudah diasuh dalam lingkungan
istana Gowa-Tallo. Adalah Karaeng Pattingalloang, tumabbicara butta
(mahapatih) yang turun langsung mengasuh pangeran Bone ini. Bersama puluhan
bangsawan Bone, kala itu Arung Palakka berada dalam pengawasan Gowa Tallo
sebagai duta/tawanan kerajaan Bone yang baru saja takluk. Arumpone saat itu, La
Maddaremmeng (memerintah 1625-1640) dihukum oleh Gowa-Tallo atas desakan
bangsawan Bone termasuk ibundanya sendiri Datu Pattiro We Tenrisoloreng, juga
karena kerajaan Wajo dan Soppeng merasa terganggu dengan kebijakan
politis-ekspansif La Maddaremmeng di wilayah Bone, Wajo dan Soppeng. La
Maddaremmeng sendiri dipercaya mendesakkan keyakinannya untuk menghapuskan
perbudakan, dan penerapan syariat Islam yang ketat dengan pelarangan sabung
ayam, judi dan minum tuak; sebuah kebijakan yang saat itu tidak popular dan
mengancam kedudukan para bangsawan. Dalam sebuah serangan kolosal, psaukan
Gowa-Tallo yang dipimpin langsung Patih Karaeng Pattingalloang berhasil
membekuk Bone dan menawan La Maddaremmeng bersama beberapa pengikutnya,
termasuk bocah Arung Palakka dan keluarganya.
Lukisan rekaan Karaeng Patingalloang
Tentang
Karaeng Pattingalloang, bapak asuh Arung Palakka ini terkenal sebagai sosok
cerdas penyuka sains yang menjadi sentra kebijakan Gowa-Tallo yang cemerlang.
Di masa mahapatih yang menguasai setidaknya tujuh bahasa asing ini, Gowa-Tallo
tumbuh menjadi negara maritim yang kuat dan sangat disegani di kawasan
Indonesia bagian timur. Tak kurang dari Sulu, Sumbawa, Timor, Bima, Aru, Banda,
Borneo merasakan pengaruhnya. Semenjak kejatuhan Melaka tahun 1511 oleh
Protugis, para saudagar beralih ke pelabuhan Makassar yang kebetulan memang
berada di lintas strategis pelayaran dari dan ke Maluku, kepulauan penghasil
rempah yang pesonanya tercium ke seantero dunia hingga bangsa Eropa
membangkitkan visi imperialismenya.
Bangsa-bangsa
asing banyak berdatangan ke Makassar untuk berniaga, termasuk pedagang Melayu,
Inggris, Spanyol, Arab dan Belanda. Pada suatu ketika, pedagang Belanda berbuat
keonaran di pelabuhan Makassar dan karenanya mereka diusir dan tak
diperkenankan lagi berdagang di Makassar setelah kejadian itu. Sejak itu,
dendam mulai dipelihara oleh pedagang Belanda dan menjadi musabab awal
diincarnya Gowa-Tallo untuk dikuasai VOC kemudian. Di masa itu, Arung Palakka
tumbuh menjadi pangeran cerdas yang mengikuti seksama kebijakan-kebijakan
Karaeng Pattingalloang, yang kebetulan juga sangat menghargai kecerdasan
Karaeng Serang, nama remaja Arung Palakka.
Tahun
1654, Karaeng Pattingalloang mangkat dan digantikan putranya yang rupanya
kurang mewarisi kebijaksanaan ayahnya, Karaeng Karunrung. Karaeng muda ini
terkenal sangat temperamental dan lebih menyukai aktifitas militer yang
ekspansif. Untuk memperkuat kerajaan Gowa-Tallo, dia memerintahkan pembangunan
kanal raksasa di sekitar benteng-benteng yang dimiliki kerajaan. Para tawanan
kerajaan dikerahkan dalam pembangunan ini, tidak terkecuali bangsawan-bangsawan
Bone termasuk Arung Palakka. Dengan kerja paksa yang melelahkan dan merendahkan
martabat mereka, Arung Palakka kemudian berpikir untuk mengumpulkan
bangsawan-bangsawan Bone yang jadi pengikutnya untuk melarikan diri dari
Makassar. Bersama 4000 pengikutnya, ia menghindari kejaran pasukan Gowa Tallo
menuju Buton, kemudian pada akhirnya berlabuh di Batavia tahun 1664 yang
disambut oleh sahabatnya Corneelis J Speelman yang saat itu baru saja dipecat
dari posisi Gubernur Jendral VOC di Coromandel, Srilanka.
Triumvirat
Speelman-Arung Palakka-Jonker
Cornelis J Speelman (1628-1684)
Batavia
tahun 1665 menjadi tempat pertemuan tiga pemuda yang masing-masing memiliki
ambisi individual menegakkan kehormatannya. Laksamana Cornelis Janszoon
Speelman (36tahun) adalah petinggi VOC Coromandel yang dipecat karena
perdagangan gelap, Arung Palakka (30tahun) adalah pangeran Bone yang kabur dari
kerajaan Gowa-Tallo, Kapitan Jonker (40an tahun) adalah raja muda muslim
Tahalele asal Maluku yang terusir dari kampungnya. Ketiganya kemudian diam-diam
membentuk sebuah triumvirate yang bergerak di bawah panji perusahaan dagang
Hindia Timur milik Belanda VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie).
Di
tangan triumvirate ini, kekuatan militer menjadi wajah yang lazim digunakan VOC
dalam mengamankan kepentingannya. Riwayat kekerasan di balik politik dagang
monopolistic konon bermuasal dari persekutuan ini. Berbagai ekspedisi militer
dikerahkan di berbagai wilayah kekuasaan VOC, sebutlah misalnya ketika Arung
Palakka dan pasukannya dikerahkan dalam ekspedisi Verspreet yang berhasil
menumpas perlawanan rakyat Minangkabau dan seluruh pantai barat Sumatera.
Ekspedisi militer ini juga berhasil memutus hubungan Minangkabau dengan Aceh,
sekaligus berhasil menguasai sumber tambang emas Salido yang terkenal. Oleh
Arung Palakka bersama Speelman, kekuasaan VOC diperluas hingga Ulakan di
Pariaman yang kemudian mengangkat Arung Palakka diangkat sebagai Raja Ulakan.
Kisah seputar riuh penguasaan tambang emas Salido ini kemudian diangkat menjadi
latar novel fiksi-sejarah bertajuk Rahasia Meede – Misteri Harta Karun VOC
(Penerbit Hikmah, 2007) yang ditulis oleh ES Ito.
Ekpedisi
militer lainnya yang melibatkan triumvirate ini juga berlangsung di beberapa
daerah, terutama yang terkenal adalah penaklukan Gowa-Tallo dalam Perang
Makassar (1667-1669) dan penumpasan pemberontakan Trunojoyo di Jawa Timur
(1679). Tercatat juga mereka turun dalam medan perang di Palembang dan Jambi
(1681), serta Perang Banten saat memadamkan perlawanan Sultan
Abu’lFatah (1682-1683).
Pencapaian
paling penting Arung Palakka bersama dua kompatriotnya ini tak lain adalah
takluknya Gowa-Tallo dalam Perang Makassar (1667-1669) dan Bone kembali
berdaulat setelah sekian lama menjadi kerajaan bawahan. Tak hanya itu saja,
keberhasilan ini menguatkan dominasi dan hegemoni kekuatan Bone, dan Arung
Palakka secara individual atas seluruh semenanjung Sulawesi bagian selatan,
dari Selayar di selatan, hingga Mandar dan Toraja serta Luwu di utara.
Sebaliknya, kekalahan Gowa-Tallo meninggalkan luka sejarah yang mengoyak
hubungan kedua bangsa ini hingga beratus-ratus tahun kemudian.
Makam Kapitan Jonker di Pejonkeran,
Marunda
Persekutuan
tiga serangkai Speelman-Arung Palakka-Jonker ini nyatanya juga meninggalkan
jejak di buku-buku sejarah, syair-syair Makassar, sinrilik dan cerita-cerita
lokal Bugis Makassar. Bahkan riwayat persekutuan ini terabadikan pada sebuah
nama tempat di utara Jakarta. Konon, pasukan Arung Palakka menamakan dirinya
sebagai To Angke’ (Bahasa Bugis: Orang Yang Memiliki Kehormatan),
sebagai bentuk simbolis gerakan pemberontakan mereka untuk mengembalikan
kehormatan Bone dari kuasa kuasa Gowa-Tallo. Hingga kini, tanah perdikan yang
dihibahkan kepada Pasukan Bone di mulut teluk Jakarta itu dinamakan Muara
Angke, tempat menetapnya orang-orang Bugis Bone yang menamakan dirinya orang
Angke’. Hingga kini, kawasan itu banyak didiami oleh orang-orang Bugis
perantauan. Kapitan Jonker sendiri mendapat tanah luas di Marunda, yang kelak
tanah itu di kenal sebagai daerah Pejonkeran.
Persekutuan
236 tahun
Telatennya
Arung Palakka merawat hubungan saling menguntungkan antara dirinya dan Speelman
kala itu menjejakkan sebuah kesepahaman untuk saling menjaga kedaulatan bahkan
hingga keduanya terubujur mati di dalam tanah. Kedudukan VOC terkuatkan dengan
dukungan balatentara dari Bone, dan sebagai imbalannya VOC mendukung penuh
kedaulatan Bone atas wilayah dan pengaruhnya dari gangguan kerajaan-kerajaan
lainnya. Bahkan Arung Palakka kemudian memperlebar dominasi geo-politis
individualnya tidak hanya seluas wilayah Bone yang dia warisi, tapi juga
berhasrat mempersatukan Sulawesi Selatan dalam rengkuhan singgasananya,
termasuk Toraja dan Luwu di utara, yang sejak dulu jauh dari hiruk pikuk
kekuasaan politik di selatan.
Sejatinya,
dominasi Bone di Sulawesi Selatan pada abad 17 dan 18M menimbulkan sederet luka
pada kerajaan-kerajaan sekitarnya. Meski terikat dalam perjanjian kuno Tellumpoccoe
antara tiga kerajaan Bone, Soppeng dan Wajo, namun tak ayal hegemoni Bone
yang berlimpah semenjak Perang Makassar menyebabkan kedudukan kerajaan lainnya
jatuh ke posisi paria, terutama Wajo dan Mandar. Saat Perang Makassar sendiri,
Wajo dam Mandar cenderung memihak ke Gowa-Tallo. Banyak kronik
kerajaan-kerajaan itu menyebutkan banyak bangsawan dan rakyat Wajo, juga Mandar
dan Toraja diperdagangkan sebagai budak oleh Bone. Saat itu, perdagangan budak
memang sempat menjadi komoditas yang sangat menguntungkan. Belum lagi soal
beban pajak yang berat dikenakan kepada Wajo yang dianggap kalah perang. Hal
yang sama berlaku untuk rakyat Mandar dan Toraja yang juga mengalami kekerasan
serupa. Dalam banyak cerita rakyat disebutkan bahwa orang Bone berhak menampar
wajah orang Wajo kalau menolak menyeberangkan mereka ke seberang Danau Tempe.
Juga bagaimana pemeo yang tertanam di kepala orang Toraja melalui cerita-cerita
rakyat bahwa Bone adalah pembawa petaka bagi negerinya. Konflik elite itu
sesungguhnya kemudian sangat membekas di kalangan rakyat bawah yang paling
merasakan dampak langsung pergumulan politis kerajaan-kerajaan itu.
Akhir
hidup tokoh-tokoh persekutuan ini berakhir tragis, kecuali Arung Palakka.
Speelman wafat di Batavia pada 11 Januari 1684, meninggalkan banyak kasus
korupsi dan penyelewengan kekuasaan setelah dipecat dari posisi Gubernur
Jendral VOC. Akhir hidup Kapitan Jonker mengenaskan. Setelah pelindung
utamanya, Speelman wafat, ia sendiri kemudian dikejar-kejar pasukan VOC.
Rumahnya di Marunda dikepung tahun 1689, dan Jonker yang bernama asli
JonckerJouwa de Manipa terbunuh dalam peristiwa itu. Arung Palakka
mangkat pada usia 61 tahun di Bontoala, tahun 1696. Ia dimakamkan di wilayah
kekuasaan Gowa-Tallo yang diperanginya 30 tahun sebelumnya. Ia meninggal karena
penyakit hidung yang menghinggapinya sejak berenang menyeberangi selat Madura
di tahun 1679. Tak ada anak kandung yang didapatnya dari tiga pernikahan dengan
bangsawan Bugis. Penggantinya, La Patau yang memerintah dari tahun 1696-1714
adalah keponakannya yang diangkat sebagai putra mahkota.
Buah
dari hubungan mesra antara Arung Palakka dan Speelman berdampak hingga hingga
dua abad setelah keduanya meninggal. Kerajaan Bone menjadi satu-satunya wilayah
di Sulawesi Selatan, pun mungkin di seantero kepulauan Indonesia, yang masih
bebas merdeka tanpa perlu membayar pajak dan upeti sebagai tanda takluk kepada
pemerintah penjajah Belanda selama masa 236 tahun (1669 – 1905). Inilah hak
khusus Bone yang mungkin tak dimiliki oleh kerajaan lainnya, dan diperbaharui
setiap kali pergantian Gubernur Jendral hingga berakhir pada pecahnya Perang
Bone tahun 1905. Perang yang berlangsung selama lima bulan di masa pemerintahan
Arumpone LaPawawoi Karaeng Sigeri Matinroe ri Jakarta ini kemudian menamatkan
riwayat persekutuan sejati Bone-Belanda sepanjang nyaris 30 windu ini.
Wali Pitue Bugis (sumber la galigo
net)
Arung
Palakka, sosok kontroversial yang berada di antara dua sisi sejarah ini memang
semacam perekat tiga generasi. Dengan persekutuan yang dirintis melalui
Speelman, ia bisa menjaga kedaulatan Bone hingga awal abad ke-20. Yang lebih
hebat lagi adalah bahwa Arung Palakka yang sejatinya tak pernah terbersit
kronik persentuhannya dengan agama Islam, kelak ditahbiskan sebagai salah satu
Wali Pitue tanah Bugis. Mungkin meminjam “mitos” yang mirip dengan Wali Songo,
dimasukkannya Arung Palakka sebagai salah satu tokoh wali sufi kemudian
mengekalkan ketokohannya, sekaligus mencoba membersihkan tangannya yang penuh
lumuran darah kekerasan bahkan saudara seperjuangannya Arung Bakke yang tewas
dipenggalnya di Mandar. Di luar segala kontroversinya, Arung Palakka wajar
dikagumi sebagai salah satu tokoh yang berpengaruh luas dan teramat panjang di
lintas masa peradaban Bugis dan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar