Sosial Politik

Selasa, 22 Desember 2015

TEORI STRATIFAKASI SOSIAL

Teori Stratifikasi Sosial
  1. Teori-Teori Stratifikasi Sosial Beserta Tokohnya
            Abrahamson berpendapat, bahwa teori stratifikasi sosial dari Weber, sebenarnya merupakan suatu tanggapan terhadap ajaran-ajaran Marx mengenai masalah tersebut. Salah satu pokok permasalahannya adalah mengenai dimensi stratifikasi sosial, yakni dimensi ekonomis, soial dan politis. Weber berpendapat bahwa di dalam setiap tertib, warga-warga masyarakat terbagi dalam kelas-kelas (ekonomis), kelompok status (sosial), dan partai-partai (politis).
Hubungan antara ketiganya bersifat timbal balik ; Marx menganggap, bahwa dimensi ekonomis menentukan dimensi-dimensi lainnya. Uraian di bawah ini, akan mempersalahkan hal-hal tersebut.
Sebagaimana dijelaskan, Weber menyatakan bahwa suatu kelas mencakup orang-orang yang mempunyai peluang-peluang kehidupan yang sama, dipandang dari sudut ekonomis. Dengan peluang-peluang kehidupan dimaksudkan sebagai kondisi hidup, pengalaman hidup dan kesempatan mendapatkan benda dan jasa.
            Menurut Weber pengertian kelas adalah untuk mengkaitkannya dengan pengertian pemilikan yang dipandangnya sebagai masalah situasi pasaran. Sebagaimana halnya dengan Marx, maka Weber melihat pasaran kapitalistik sebagai gejala yang mengeluarkan golongan yang tidak bermodal dari proses persaingan terhadap barang-barang bernilai tinggi.
Menurut pendapat Marx golongan borjuis memegang monopoli terhadap kesempatan-kesempatan atau peluang-peluang tertentu. Yang dikeluarkan dari proses persaingan adalah golongan proletar yang hanya dapat memberikan jasa-jasa. Akan tetapi, Weber mengadakan penjabaran lebih lanjut terhadap posisi-posisi di dalam kelas-kelas tersebut.
Menurut Weber, maka berbagai golongan borjuis, sesuai dengan varisai harta kekayaan yang dimilikinya. Hal yang sama juga merupakan gejala yang dapat dijumpai pada golongan yang tidak mempunyai harta kekayaan, yang hanya mampu memberikan atau menjual tenaganya.
            Marx beranggapan, bahwa golongan proletar tidak mengakui kepentingan sesungguhnya dari kelasnya ; dia berpendapat bahwa mereka harus mengakuinya dan akan berbuat demikian kelak dikemudian hari. Dengan cara lebih memberi tekanan pada konstruksi subyektif dari keadaan, Weber memintakan perhatian terhadapa halangan terjadinya aksi kelas.
Weber menganggap pertimbangan-pertimbangan terhadap kedudukan, sebagai halangan tambahan terhadap terjadinya aksi kolektif yang didasarkan pada posisi kelas. Di sini lah muncul perbedaan pendapat anatara Weber dengan Marx. Mengenai status atau kedudukan, Weber menganggapnya sebagai hal yang menyangkut gaya hidup, kehormatan dan hak-hak istimewa.
Hubungan antara kelas dengan status, merupakan masalah yang sangat penting bagi Weber. Di satu pihak Weber menyatakan, bahwa status dapat didarkan pada pemilikan (harta kekayaan), dan cenderung demikian pada masa mendatang.
Di samping itu, dia membedakan (secara tajam) antara status dengan ketamakan ekonomis semata-mata. Dia juga menyatakan bahwa kelompok bahwa kelompok status yang sama mencakup orang-orang dari situasi kelas yang berbeda-beda.
Weber juga mengetengahkan kondisi-kondisi di dalam mana suatu kelompok cenderung status cenderung menjadi kasta. Kondisi yang penting adalah, kalau status kehormatan status adalah identik dengan posisi kelas, serta berlangsung lama. Demikian juga halnya, apabila perbedaan status dikaitkan dengan perbedaan-perbedaan etnik atau rasial.
TERDAPAT BEBERAPA TEORI MENGENAI STRATIFIKASI SOSIAL :  
1. Teori Stratifikasi Sosial Fungsional
Teori stratifikasi sosial merupakan teori sosial yang dikembangkan oleh Kingsley Davis dan Wilbert Moore (1945). Mereka memandang stratifikasi sosial sebagai sesuatu yang universal dan bagi mereka tidak ada masyarakat yang tidak terstratifikasi, karena masyarakat memerlukan sistem semacam itu dan terwujud dalam sistem stratifikasi. Stratifikasi sebagai struktur, dengan menegaskan bahwa stratifikasi tidak berarti individu dalam sistem stratifikasi namun sebagai sistem posisi.
Dalam hal ini Davis dan Moore tidak menekankan bagaimana mendapatkan posisi atau kedudukan itu dalam masyarakat, akan tetapi menekankan pada bagaimana cara posisi tertentu mempengaruhi tingkat prestise dalam masyarakat.
Persoalan dalam stratifikasi sosial-fungsional adalah bagaimana masyarakat memotivasi dan menempatkan individu pada posisi atau kedudukannya yang tepat di masyarakat, dan bagaimana masyarakat menanamkan motivasi kepada individu untuk memenuhi persyaratan dalam mengisi posisi tersebut. Penempatan sosial yang tepat dalam masyarakat seringkali menjadi masalah karena:
a.       Posisi tertentu lebih menyenangkan dari pada posisi yang lain.
b.      Posisi tertentu lebih penting untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat dari posisi yang lain.
c.       Posisi-posisi sosial yang berbeda memerlukan bakat dan kemampuan yang berbeda pula.
Dari ketiga hal di atas Davis dan Moore lebih memberikan perhatian pada posisi yang penting dalam masyarakat untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat. Ini merupakan posisi yang lebih tinggi tingkatannya dalam stratifikasi masyarakat yang memerlukan bakat dan kemampuan terbaik meski dianggap kurang menyenangkan. Oleh karena itu masyarakat harus memberikan penghargaan yang terbaik bagi individu yang menduduki posisi ini agar dapat bekerja dengan tekun. Sebaliknya posisi-posisi lainnya dianggap lebih rendah dalam stratifikasi masyarakat, kurang penting, dan tidak terlalu memerlukan bakat dan kemampuan terlalu besar namun menyenangkan. Selain itu masyarakat tidak terlalu menuntut individu yang menduduki posisi rendah ini untuk malaksanakan kewajiban mereka dengan tekun. Individu yang berada di puncak stratifikasi harus menerima hadiah/imbalan yang memadai dari fungsi yang dilaksanakannya itu dalam bentuk prestise yang tinggi, gaji besar, dan kesenangan yang cukup. Ini untuk meyakinkan bahwa individu mau menduduki posisi yang tinggi itu dalam masyarakat.
Namun teori stratifikasi sosial fungsional ini mendapatkan Banyak kritik, khususnya terkait dengan :
a.       Hak-hak istimewa yang diterima individu yang menduduki stratifikasi struktural yang tinggi dari masyarakat. Dan hal ini akan melanggengkan posisi istimewa orang-orang yang telah memiliki kekuasaan, prestise, dan uang. Karena orang-orang ini berhak mendapatkan hadiah/imbalan seperti itu dari masyarakat demi kebaikan masyarakat sendiri.
b.      Teori ini menyatakan bahwa struktur sosial yang terstratifikasi sudah ada sejak masa lalu, maka ia akan tetap ada di masa datang. Padahal ada kemungkinan bahwa masyarakat di masa depan akan ditata menurut cara lain tanpa stratifikasi.
c.       Ide tentang posisi fungsional yang berbeda-beda arti pentingnya bagi masyarakat sangatlah absurd. Pengumpul sampah meski dalam posisi rendah, tidak bergengsi dan berpenghasilan kecil namun mungkin lebih penting bagi kelangsungan hidup masyarakat di banding dengan seorang manajer periklanan yang berpenghasilan besar. Imbalan yang lebih besar tidak selalu berlaku untuk posisi yang lebih penting. Perawat mungkin lebih penting daripada seorang bintang film atau sinetron. Tetapi bintang film atau sinetron lebih besar kekuasaan atau pengaruhnya, prestisenya, dan penghasilannya dibandingkan dengan seorang perawat.
d.      Orang yang mampu menduduki posisi tinggi sebenarnya tidak terbatas. Hanya saja banyak orang yang terhalang secara struktural untuk mencapai kedudukan tinggi di masyarakat khususnya untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan untuk mencapai posisi bergengsi itu meski memiliki kemampuan. Dengan kata lain banyak orang yang memiliki kemampuan namun tidak pernah mendapatkan atau diberikan kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya. Mereka yang berada pada posisi tinggi mempunyai kepentingan tersembunyi untuk mempertahankan agar jumlah mereka tetap kecil, dan kekuasaan serta pendapatan mereka tetap tinggi.
e.       Kita tidak harus menawarkan kepada orang kekuasaan, prerstise dan uang untuk membuat mereka mau menduduki posisi tingkat tinggi. Orang dapat sama-sama termotivasi oleh kepuasan mengerjakan pekerjaan yang baik atau oleh peluang yang tersedia untuk malayani orang lain.
2. Teori Evolusioner Fungsionalis (Talcott Parsons)
Teori ini menjelaskan bahwa evolusi sosial secara umum terjadi karena sifat kecenderungan masyarakat untuk berkembang yang disebut sebagai kapasitas adaptif. Kapasitas adaptif adalah kemampuan masyarakat untuk merespon lingkungan dan mengatasi berbagai masalah yang selalu dihadapi manusia sebagai makhluk sosial. Timbulnya stratifikasi sebagai aspek penting dalam evolusi akibat meningkatnya kapasitas adaptif dalam kehidupan sosial.
Beberapa kelemahan teori Parsons :
a.       Konsep tentang kapasitas adaptif sanagt diragukan. Parsons berpendapat bahwa semakin kontemporer dan kompleks masyarakat, semakin unggul efektivitas etnosentrisme. Padahal semakin kontemporer masyarakat maka mekanisme adaptifnya berbeda dari masyarakat terdahulu.
b.      Parsons tidak melihat sisi negatif dari stratifikasi sosial yang mungkin berpengaruh.
3. Teori Surplus
Teori surplus dikemukakan oleh Gerhard Lenski. Teori ini berorientasi materialistis dan berdasarkan teori konflik. Teori konflik menegaskan dominasi beberapa kelompok sosial tertentu oleh kelompok sosial yang lain, melihat tatanan didasarkan atas manipulasi dan kontrol oleh kelompok dominan, dan melihat perubahan sosial terjadi secara cepat dan tidak teratur ketika kelompok subordinat menggeser kelompok dominan. Teori konflik yang bertentangan dengan teori Parsons, berasumsi bahwa manusia adalah makhluk yang mementingkan diri sendiri dan selalu berusaha untuk mensejahterakan dirinya.
Kesamaan dasar dapat terjadi dalam masyarakat dimana kerjasama menjadi hal yang esensial dalam mencapai kepentingan individu. Jika terjadi surplus, perebutan tidak dapat dihindari dan surplus akhirnya dikuasai oleh individu atau kelompok yang paling berkuasa. Besarnya surplus ditentukan oleh kemampuan teknologi.
4. Teori Kelangkaan
Teori kelangkaan yang merupakan devasi pemikiran Michael Hammer, Morton Fried dan Rac Lesser. Teori kelangkaan beranggapan bahwa penyebab timbulnya stratifikasi adalah tekanan jumlah penduduk. Tekanan penduduk yang semakin besar menyebabkan semakin kuatnya egoisme dalam pemilikan tanah, dan hubungan produksi (dalam pemikiran Marxisme) telah menghilangkan apa yang disebut sebagai pemilikan bersama. Perbedaan akses terhadap sumber daya muncul dan suatu kelompok memaksa kelompok lainnya bekerja keras untuk menghasilkan surplus ekonomi melebihi apa yang dibutuhkan. Dengan meningkatnya tekanan penduduk dan teknologi, perbedaan akses terhadap sumber daya makin nyata dan stratifikasi semakin intensif dengan dorongan politik yang semakin besar.


B. Pengaruh Startifikasi Sosial dalam Masyarakat
Stratifikasi social adalah pembedaan masyarakat kedalam lapisan-lapisan social berdasatrkan demensi vertical akan memiliki pengaruh terhadap kehidupan bersama dalam masyarakat. Ikuti urain tentang dampak stratifikasi social dalam kehidupan masyarakat berikut ini.
1.      Eklusivitas
Stratifikasi social yang membentuk lapisan-lapisan social juga merupakan sub-culture, telah menjadikan mereka dalam lapisan-lapisan gtertentu menunjukan eklusivitasnya masing-masing. Eklusivitas dapat berupa gaya hidup, perilaku dan juga kebiasaan mereka yang sering berbeda antara satu lapisan dengan lapisan yang lain.
Gaya hidup dari lapisan atas akan berbeda dengan gaya hidup lapisan menengah dan bawah. Demikian juga halnya dengan perilaku masing-masing anggotanya dapat dibedakan; sehingga kita mengetahui dari kalangan kelas social mana seseorang berasal.
Eklusivitas yang ada sering membatasi pergaulan diantara kelas social tertentu, mereka enggan bergaul dengan kelas social dibawahnya atau membatasi diri hanya bergaul dengan kelas yang sanma dengan kelas mereka.
2.      Etnosentrisme
Etnosentrisme dipahami sebagai mengagungkan kelompok sendiri dapat terjadi dalam stratifikasi social yang ada dalam masyarakat. Mereka yang berada dalam stratifikasi social atas akan menganggap dirinya adalah kelompok yang paling baik dan menganggap rendah dan kurang bermartabat kepada mereka yang berada pada stratifikasi social rendah.
3.       Konflik Sosial
Pola perilaku kelas social atas dianggap lebih berbudaya dibandingkan dengan kelas social di bawahnya. Sebaliknya kelas social bawah akan memandang mereka sebagai orang boros dan konsumtif dan menganggap apa yang mereka lakukan kurang manusiawi dan tidak memiliki kesadaran dan solidaritas terhadap mereka yang menderita. Pemujaan terhadap kelas sosialnya masing-masing adalah wujud dari etnosentrisme.
Perbedaan yang ada diantara kelas social dapt menyebabkan terjadinya kecemburuan social maupun iri hati. Jika kesenjangan karena perbedaan tersebut tajam tidak menutup kemungkinan terjadinya konflik social antara kelas social satu dengan kelas social yang lain.
Misalnya demonstrasi buruh menuntut kenaikan upah atau peningkatan kesejahteraan dari perusahaan dimana mereka bekerja adalah salah satu konflik yang terjadi karena stratifikasi social yang ada dalam masyarakat.
[1] Soerjono soekanto, berberapa teori sosiologi tentang struktur masyarakat, (jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1993), hlm. 248.
[2]  Ibid., hlm. 248-249
[3]  Ibid., hlm. 250.
[4]  Ibid., hlm. 252-256.
[5]  Suryanirian, blogspot.com/2010/10/stratifikasi-sosial.html.
[6]  Ibid.,
[7]  Ibid.,
[8]  Suryanirian, blogspot.com/2010/10/stratifikasi-sosial.html.
[9]  Ibid.,
[10]  Soerjono Soekanto, SOSIOLOGI suatu pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm 314-315.

Senin, 21 Desember 2015

Islam dan Perubahan Sosial

1
ISLAM DAN PERUBAHAN SOSIAL
(Suatu Reori Tentang Perubahan Masyarakat)
OLEH : AdhyMuliadi
PENDAHULUAN
Perubahan sosial adalah perubahan dalam hubungan interaksi antar orang,
organisasi atau komunitas, ia dapat menyangkut “struktur sosial” atau “pola nilai dan
norma” serta “pran”. Dengan demikina, istilah yang lebih lengkap mestinya adalah
“perubahan sosial-kebudayaan” karena memang antara manusia sebagai makhluk
sosial tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan itu sendiri.
Cara yang paling sederhana untuk mengerti perubahan sosial (masyarakat)
dan kebudayaan itu, adalah dengan membuat rekapitulasi dari semua perubahan yang
terjadi di dalam masyarakat itu sendiri, bahkan jika ingin mendapatkan gambaran
yang lebih jelas lagi mengenai perubahan mayarakat dan kebudayaan itu, maka suatu
hal yang paling baik dilakukan adalah mencoba mengkap semua kejadian yang
sedang berlangsung di tengah-tengah masyarakat itu sendiri.
Kenyataan mengenai perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat dianalisa
dari berbagai segi diantaranya : ke “arah” mana perubahan dalam masyarakat itu
“bergeak” (direction of change)”, yang jelas adalah bahwa perubahan itu bergerak
2
meninggalkan faktor yang diubah. Akan tetapi setelah meninggalkan faktor itu
mungkin perubahan itu bergerak kepada sesuatu bentuk yang baru sama sekali, akan
tetapi boleh pula bergerak kepada suatu bentuk yang sudah ada di dalam waktu yang
lampau.
Lalu apa sebenarnya yang kita maksud dengan perubahan masyarakat disini?
Kebanyakan definisi membicarakan perubahan dalam arti yang sangat luas. Wilbert
Moore misalnya, mendefinisikan perubahan sosial sebagai “perubahan penting dari
stuktur sosial” dan yang dimaksud dengan struktur sosial adalah “pola-pola perilaku
dan interaksi sosial"1. Dengan demikian dapat diartikan bahwa perubahan sosial
dalam suatu kajian untuk melihat dan mempelajari tingkah laku masyarakat dalam
kaitannya dengan perubahan. Nah, apakah Islam juga mempunyai konsep tentang
ingkah laku dan struktur masyarakat dalam kaitannya dengan perubahan? Mari kita
lihat dalam uraian berikutnya.
II
TEORI TENTANG PERUBAHAN
A. Arti Perubahan
Dalam menghadapi perubahan sosial budaya tentu masalah utama yang perlu
diselesaikan ialah pembatasan pengertian atau definisi perubahan sosial (dan
1 Wilbert E. Maore, Order and Change, Essay in Comparative Sosiology, New York, John Wiley &
Sons, 1967 : 3.
3
perubahan kebudayaan) itu sendiri. Ahli-ahli sosiologi dan antropologi telah banyak
membicarakannya.
William F. Ogburn berpendapat, ruang lingkup perubahan sosial meliputi
unsur-unsur kebudayaan, baik yang material ataupun yang bukan material. Unsurunsur
material itu berpengaruh besar atas bukan-material. Kingsley Davis
berpendapat bahwa perubahan sosial ialah perubahan dalam struktur dan fungsi
masyarakat. Misalnya, dengan timbulnya organisasi buruh dalama masyarakat
kapitalis, terjadi perubahan-perubahan hubungan antara buruh dengan majikan,
selanjutnya perubahan-perubahan organisasi ekonomi dan politik2.
Mac Iver mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan hubunganhubungan
sosial atau perubahan keseimbangan hubungan sosial. Gillin dan Gillin
memandang perubahan sosial sebagai penyimpangan cara hidup yang telah diterima,
disebabkan baik oleh perubahan kondisi geografi, kebudayaan material, komposisi
penduduk, ideologi ataupun karena terjadinya digusi atau penemuan baru dalam
masyarakat. Selanjutnya Samuel Koeing mengartikan perubahan sosial sebagai
modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia, disebabkan oleh
perkara-perkara intren atau ekstern3.
Akhirnya dikutip definisi Selo Soemardjan yang akan dijadikan pegangan
dalam pembicaraan selanjutnya. “Perubahan –perubahan sosial adalah segala
perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang
2 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Penantar, (Jakarta : Yayasan Penerbit Universitas Indonesia,
1974), hal. 217
3 Ibid, hal. 218
4
mempengaruhi sistem sosialnya, termasuka didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan
pola-pola per-kelakukan diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat”. Definisi
ini menekankan perubahan lembaga sosial, yang selanjutnya mempengaruhi segi-segi
lain struktur masyarakat. Lembaga sosial ialah unsur yang mengatur pergaulan hidup
untuk mencapai tata tertib melalui norma.
Perubahan masyarakat yang berlangsung dalam abad pertama Islam tiada tara
bandingannya dalam sejarah dunia Kesuksesan Nabi Besar Muhammad SAW. Dalam
merombak masyarakat jahiliyah Arab, membentuk dan membinanya menjadi suatu
masyarakat Islam, masyarakat persaudaraan, masyarakat demokratis, masyarakat
dinamis dan progresif, masyarakat terpelajar, masyarakat berdisiplin, masyarakat
industri, masyarakat sederhana, masyarakat sejahtera adalah tuntunan yang sangat
sempurna dan wahyu ilahi. Allah berfirman, yang artinya : “Kitab ini tidak ada
keraguan atasnya bagi orang-orang yang bertakwa” (Q.S. 2 :2).
Nabi Muhammad adalah Nabi yang paling sukses diantara para pemimpin
agama, mendapat pengakuan dunia. Ajaran Islam yang dibawanya berhasil dan kuasa
membasmi kejahatan yang sudah berurat berakar, penyembahan berhala, minuman
keras, pembunuhan dan saling bermusuhan sampai tidak berbekas sama sekali, dan
Muhammad berhasil membina di atasnya suatu bangsa yang berhasil menyalakan
ilmu pengetahuan yang terkemuka, bahkan menjadi sumber kebangunan Eropa.
Proses perubahan masyarakat yang digerakkan oleh Muhammad adalah proses
evolusi. Proses itu berlangsung dengan mekanisme interaksi dan komunikasi sosial,
dengan imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati. Strategi perubahan kebudayaan yang
5
dicanangkannya adalah strategi yang sesuai dengan fitrah, naluri, bakat, azas atau
tabiat-tabiat universal kemanusiaan. Stratagi dan dikumandangkannya strategi
mencapai salam, mewujudkan perdamaian, mewujudkan suatu kehidupan masyarakat
yang sejahtera, persaudaraan, dan ciri-ciri masyarakat Islam yang dibicarakan di atas
tadi.
Walaupun demikian Muhammad harus mempersiapkan bala tentara untuk
mempertahankan diri dan untuk mengembangkan dakwahnya, adalah karena
tantangan yang diterima dari kaum Quraish dan penantang-penantang jahiliyah
lainnya untuk menghapuskan eksistensi Muhammad dan pengikutnya. Justru karena
tantangan itu, kaum muslimin kemudian bertumbuh dengan cepat dan
mengembangkan masyarakat dan kebudayaan dengan sempurna.
Dalam situasi yang demikian, kita perlu merenungkan mengapa Muhammad
SAW, junjungan kita, panutan kita, mampu membuat perubahan suatu masyarakat
bodoh, terkebelakang, kejam, menjadi suatu masyarakat sejahtera, terpelajar, dinamis
dan pogresif dalam waktu yang begitu singkat. Strategi kebudayaan yang
dibandingkan Muhammad itu perlu kita kaji kembali Metode perjuangannya perlu
kita analisa. Semua itu harus mampu membenkan anda suatu pisau analisa untuk
kemudian menytrsttn suatu strategi kebudayaan untuk masa kini, untuk membangun
kembali umat Islam dari keadaannya yang sekarang ini.
Suatu hipotesa patut diketengahkan. Muhammad pada dasarnya membawa
suatu sistem teologi yang sangat berlainan dengan sistem teologi jahiliyah Arab.
6
B. Teori Perubahan Masyarakat
Karena perubahan masyarakat merupakan fakta, tidak heranlah kita kenapa
filosof-filosof tertarik untuk merumuskan prinsip-prinsipnya dan kenapa ilmuwanilmuwan
berusaha menemukan hukum-hukumnya. Banyak diantara mereka
berpendapat bahwa kecenderungan kepada perubahan sosial adalah gejala yang
wajar, timbul dari pergaulan hidup manusia.
Ada yang berpendapat, terjadinya perubahan sosial ialah karena timbulnya
perubahan pada unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat,
misalnya perubahan pada unsur geografi, biologi, ekonomi atau kebudayaan.
Ada pula teori yang menyatakan bahwa perubahan sosial ada yang bersifat
berkala dan tidak berkala. Selanjutnya ada teori yang menyimpulkan, bahwa
perubahan sosial terjadi karena kondisi-kondisi sosial primer, misalnya kondisi
ekonomi, teknologi, geografi atau biologi. Kondisi-kondisi inilah yang menyebabkan
terjadinya perubahan pada aspek-aspek kehidupan sosial lainnya. Pendapat
selanjutnya ialah, semua kondisi tersebut sama pentingnya, baik salah: situ ataupun
kesemuanya memungkinkan terjadinya perubahan sosial4.
Karena masyarakat itu bersifat dinamik, adalah masyarakat Muslim sebaga
salah satu masyarakat manusia tentu mengalami perubahan-perubahan pula. Kajian
sejarah umat Islam membuktikan bahwa telah terjadi perubahan demi perubahan
dalam perjalanan hidup umat. Sejarah adalah kisah tentang perkembangan
masyarakat. Kalau masyarakat itu berubah, seperti batu atau gunung, barulah ia tidak
4 Ibid, hal. 219
7
bersejarah. Tetapi betapapun perubahan itu jadi gejala umum, is seolah-olah
dinafikan oleh ulam tradisional. Efek dari paham taklid terjadi pembekuan pemikiran.
Mereka hanya bersedia menerima fakwa gurunya. Si guru itu menerima dari gurunya
pula. Guru dari guru menerima dari gurunya pula, demikianlah selanjutnya. Sikap ini
tidak terbatas pada perkara-perkara di bidang agama, tapi juga di bidang sosiobudaya.
Urusan sosiobudaya diatur oleh adat. Adat mewariskan dan mengawal peraturan,
nilai, kepercayaan, sikap dan pandangan nenek-moyang dari generasi ke generasi.
Pendukunga adat hanya taat kepada adat. Perkara-perkara yang diluar adat, apalagi
yang berlawanan, mestilah ditolak. Seperti pula orang taklid yang hanya bersedia
menerima fakwa gurunya. Fatwa yang bukan dari pada guru, apalagi yang
berlawanan, mestilah ditolak. Maka tertutuplah kemungkinan untuk menerima fatwa
baru dalam bidang agama (baru dalam pengertian bukan fatwa lama yang turun
menurun, atau fatwa yang dirumuskan oleh tafsiran dan pandangan baru), dan
tertutup pula kemungkinan menerima perkara baru dalam sosiobudaya. Dengan
demikian tersekatlah perubahan. Orang mempertahankan apa yang selama ini ada.
Apa yang ada itu berasal dari masa lalu. Tanpa perubahan pembaharuan tidak
mungkin timbul. Masyarakat menjadi statik (lawan dari pada dinamik), mereka dekat
oleh tradisi, menjadi tradisional.
Suatu teori perubahan yang baik juga disinggung disini ialah prinsip
perubahan imanen (dari dalam) yang dibicarakan oleh Sokorin dalam bukunya Social
and Cultural Dynamics. Suatu sistem sosiobudaya semenjak ujudnya tidak hentihentinya
bekerja dan bertindak. Dalam menghadapi lingkungan tertentu sistem itu
8
menimbulkan perubahan, disamping dirinya sendiri juga ikut mengalami perubahan.
Karena telah mengalami perubahan, maka dalam menghadapi lingkungan yang sama
dengan yang sebelumnya, is memberikan reaksi yang berbeda dari pada reaksinya
yang pertama. Jadi lingkungan tetap sama, tapi sistem itu dan reaksinya berubah.
Demikianlah selanjutnya, reaksi yang ketiga terhadap lingkungan yang sama
mengalami pula perubahan. Perubahan tidak hanya pada sistem dan reaksinyam tapi
juga pada lingkungan itu sendiri5.
Bagaimana dengan perubahan sosial budaya? Apakah perubahan-perubahan
yang sudah berlangsung tidak tentu arah, ataukaah is bergerak kepada suatu tujuan?
Apakah perubahan-perubahan itu digerakkan atau ditentukan oleh manusia sendiri,
ataukah is ditentukan oleh kekuasaan di luar manusia? Pertanyaan-pertanyaan itu
membawa kita kepada perdebatan filsafat serba tentu dan tak serba tentu yang tidak
habis-habisnya.
C. Faktor Penyebab Perubahan
a. Bertambahnya atau Berkurangnya Penduduk
Seperti telah diuraikan bertambahnya penduduk yang cepay menyebabkan
terjadinya perubahan dalam struktur masyarakat yang diikuti pula dengan
perubahan pola kebudayaan masyarakat (pola sikap, pola perilaku dan pola sarana
fisik), nyata terjadi misalnya, perubahan dalam sistem hak milik atas tanah; orang
5 Pitrim A. Sarokin, Social and Cultural Dynamies, (Boston : Sargent, 1957), hal. 415
9
mengenal hak milik individual atas tanah, sewa tanah, gadai tanah, bagi hasil dan
seterusnya, yang sebelumnya tidak dikenal orang.
Berkurangnya penduduk dapat disebabkan oleh hal-hal yang alamiah
(wabah, bencana alam dan sebagainya); tetapi dapat pula karena berpindahnya
sebagian penduduk dari desa ke kota atau dari suatu daerah (pulau) ke daerah
(pulau) lain. Gejala pertama yang kini banyak kita temui di Indonesia, khususnya
di Pulau Jawa, dikenal dengan gejala urbanisasi (gejala ini meningkat pada
negara-negara dimana industri berkembang). Dalam hal yang kedua, perpindahan
penduduk dari pulau Jawa ke Pulau lainnya (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
Irian Jaya) dan dikenal dengan transmigrassi.
Perpindahan penduduk tersebut mungkin mengakibatkan kekosongan,
misalnya nampak pada gejala stratifikasi sosial atau pembagian kerja dan lain-lain
yang akan mempengaruhi lembaga-lembaga lainnya. Perpindahan penduduk atau
imigrasi itu (antar negara dikenal sebagai emigrasi dan bagi negara yang
menerimanya dikenal sebagai imigrasi) telah berkembang beratus-ratus ribu tahun
lamanya di dunia ini. Hal ini sejajar pula dengan meningkatnya jumlah penduduk
di dunia itu. Pada masyarakat-masyarakat yang mata pencahariannya yang utama,
berburu, perpindahan selalu dilakukan, karena kehidupan mereka khususnya
dalam hal persediaan hewan-hewan perburuan, sangat “tergantung” dari alam
(dikenal sebagai masyarakat “nomaden”). Apabila hewan-hewan tersebut habis,
mereka akan berpindah ke tempat-tempat lain.
10
b. Penemuan-penemuan Baru
Suatu proses soisial dan kebudayaan yang besar, tetapi yang terjadi dalam
jangka waktu yang tidak lama, disebut “inovasi” (innovation). Proses tersebut
bermula pada suatu penemuan baru, dikenal sebagai suatu “Discovery”. Jalannya
penyebaran dan penerimaan unsur baru itu dalam masyarakat yang sering kali
menyebabkan berkembangnya hal-hal baru pula yang mendukung penemuan
(discovery) tersebut dikenal sebagai proses “invention”. Hal baru yang ditemukan
itu bisa berupa unsur-unsur kebudayaan (nilai, norma, cita-cita, yang
mengarahkan pola bersikap, atau pola perilaku atau pola sarana fisik), atau bisa
berupa unsur struktur masyarakat (hubungan, status atau organisasi baru).
c. Pertentangan (Conflic)
Pertentangan dalam masyarakat dapat pula menjadi sebab dari pada
terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan. Pertimbangan itu bisa terjadi antara
orang perorangan dengan kelompoknya atau pertentangan antar kelompok.
Pertentangan antara kepentingan individu dengan kelompoknya misalnya
terjadi pada masyarakat tradisionil di Indonesia, yang mempunyai ciri kehidupan
kolektif. Segala kegiatan didasarkan pada kepentingan individu dengan
kelompoknya yang menyebabkan mempunyai fungsi sosial. Tidak jarang timbul
pertentangan antara kepentingan individu dengan kelompoknya yang
menyebabkan perubahan. Misalnya, pada masyarakat yang patrilineal seperti
masyarakat Batak terdapat suatu kekuasaan/adat, bahwa apabila suami meninggal
11
maka keturunannya berada di bawah kekuasaan kerabat suami. Dengan terjadinya
proses individualisasi, terutama pada orang-orang Batak yang pergi merantau,
kemudian terjadi penyimpangan, yaitu bahwa anak-anak tetap tinggal dengan
ibunya, walaupun hubungan antara si ibu dengan keluarga almarhum suaminya
telah putus, karena meninggalnya suami. Keadaan tersebut membawa perubahan
besar pada peranan keluarga batih dan juga pada kedudukan wanita, yang selama
ini dianggap tidak mempunyai hak apa-apa apabila dibandingkan dengan lakilaki.
Pertentangan antara kelompok mungkin terjadi antara generasi tua dengan
generasi muda, khususnya pada masyarakat berkembang yang mengalami
perubahan masyarkataa tradisionil ke tahap mayarakat moderen. Generasi muda
yang belum terbentuk kepribadiannya, lebih mudah untuk menerima unsur-unsur
kebudayaan asing (misalnya kebudayaan Barat) yang dalam beberapa hal
mempunyai taraf lebih lanjut, sehingga menimbulkan perubahan tertentu (contoh :
pergaulan bebas antara pria dan wanita karena kedudukan kedua jenis kelamin
setaraf).
d. Terjadinya Pemberontakan (Revolusi) dalam Masyarakat itu Sendiri
Suatu revolusi dalam massyarakat seperti, revolusi pada bulan Oktober
1917 di Rusia, atau tanggal 17 Agustus 1945 di Indonesia, menyebabkan
terjadinya perubahan-perubahan besar, baik struktural maupun dalam pola
kebudayaan mayarakat. Seperti sudah diuraikan pada BAB X, lazimnya suatu
12
revolusi merupakan perubahan yang cepat dan mengenai dasar-dasar atau sendisendi
pokok dari kehidupan massyarakat.
Suatu perubahan sosial dan kebudayaan dapat pula bersumber pada sebabsebab
yang berasal dari luar masyarakat itu sendiri seperti berikut ini.
e. Sebab Perubahan Berasal dari Lingkungan Alam Fisik yang Ada di
Sekitar Manusia
Terjadinya gempa bumi, taufan, banjir besar dan lain-lain dapat
menyebabkan, bahwa masyarakat yang mendiami daerah-daerah tersebut terpaksa
harus meninggalkan tempat tinggalnya. Di tempat yang baru mereka harus
menyesuaikan diri dengan keadaan alam yang baru tersbeut, hal mana dapat
merubah kehidupan mereka (contoh : jika biasanya di tempat yang lama suatu
pencaharian adalah berburu, kemudian di tempat yang baru adalah harus bertani,
maka timbullah suatu lembaga baru yaitu pertanian).
Kadang-kadang sebab perubahan yang bersumber pada lingkungan alam
fisik, dapat disebabkan oleh tindakan-tindakan dari warga masyarakat itu sendiri
(contoh : penebangan hutan, penggalian tanah secara melampaui batas). Hal ini
jelas akan mengakibatkan perubahan, dimana warga itu karenanya harus
meninggalkan tempat tinggalnya.
13
f. Peperangan
Peperangan dengan negara lain dapat pula menyebabkan terjadinya
perubahan, karena biasanya negara yang memang akan memaksakan negara yang
takluk untuk menerima kebudayaannya yang dianggap sebagai kebudayaan yang
lebih tinggi tarafnya. Negara-negara yang kalah dalam Perang Dunia Ketiga
seperti Jerman dan Jepang, mengalami perubahan-perubahan yang besar dalam
masyarakatnya. Jerman, misalnya mengalami perubahan yang menyangkut bidang
kenegaraan, dimana negara tersebut akhirnya dipecah menjadi dua negara yaitu
Jerman Barat (Republik Federasi Jerman) dan Jerman Timur (Republik Demokrat
Jerman), yang masing-masing beroerientasi pada Blok Barat dan Blok Timur.
D. Arah Perubahan (Direction of Change)
Apabila seseorang mempelajari perubahan masyarakat, perlu pula diketahui
ke arah mana perubahan dalam masyarakat itu bergerak. Yang jelas, perubahan
bergerak meninggalkan faktor yang diubah. Akan tetapi setelah meninggalkan faktor
itu, mungkin perubahan itu bergerak kepada sesuatu bentuk yang sama sekali baru,
namun mungkin pula bergerak ke arah suatu bentuk yang sudah ada di dalam waktu
yang lampau. Usaha-usaha masyarakat Indonesia bergerak ke arah modernisasi dalam
pemerintahan, angkatan bersenjata, pendidikan dan industrialisasi yang disertai
dengan usaha untuk menemukan kembali kepribadian Indonesia, merupakan contoh
dari kedua arah yang berlangsung pada waktu yang sama dalam masyarakat kita.
14
Guna memperoleh gambaran jelas mengenai arah perubahan termaksud, akan
diberikan suatu contoh yang diambil dari Social Changes in Yogyakarta.
Jauh sebelum orang Belanda datang ke Indonesia, orang Jawa telah
mempunyai lembaga-lembaga pendidikan tradisionalnya. Dalam cerita-cerita
wayang, sering diceritakan bahwa guru yang bijaksana, mengumpulkan kaum muda
sebagai cantriknya ke tempat kediamannya serta mengajarkan kepada mereka
bagaimana caranya untuk dapat hidup sebagai warga masyarakat yang baik. Cantrikcantrik
tersebut hiudp bersama-sama dengan guru mereka dalam pondok-pondok,
dimana mereka bekerja untuk kelangsungan hidupnya dan kehidupan gurunya, sambil
menerima ajaran-ajaran sang guru di sela-sela pekerjaan sehari-hari. Sistem tersebut
berlangsung berabad-abad lamanya, baik waktu pengaruh Hindu, Budha maupun
Islam masuk, hingga kini. Dengan masuknya pengaruh Islam para guru dinamakan
kiai, sedangkan pondok-pondok tersebut dinamakan pesantren yang artinya adalah
tempat para santri (yaitu orang-orang yang mendalami ajaran-ajaran agama Islam).
Banyak yang berguru pada para kiai tersebut untuk mempelajarai dan memperdalam
ajaran agama Islam. Oleh karena kiai hanya mempunyai satu atau beberapa keahlian
saja, maka banyak murid-murid yang belajar pada beberapa orang kiai, agar
mendapatkan pengetahuan yang lebih luas. Tidak ada persyaratan khusus yang harus
dipenuhi oleh seseorang yang hendak belajar pada pesantren tersebut, kecuali bahwa
dia sungguh-sungguh ingin belajar dan memenuhi segala persyaratan yang ditentukan
oleh hukum agama. Kehidupan di pesantren diatur sebagai satu keluarga yang
15
dipimpin oleh kiai. Di luar pesantren, para muda mudi dapat pula memperoleh
pendidikan keagamaan, misalnya di masjid-masjid.
Akhir-akhir ini, banyak sekolah-sekolah yang didirikan oleh lembagalembaga
agama Islam dimana para siswa juga mendapatkan pelajaran mengenai halhal
yang berhubungan dengan soal keduniawian (sekuler). Sekolah-sekolah tersebut
dinamakan madrasah. Sistem pendidikan yang demikian di daerah Istimewa
Yogyakarta tidak mengalami perubahan-perubahan yang mencolok, kecuali para
santri kemudian diperkenankan mengikuti pelajaran-pelajaran pada sekolah-sekolah
biasa di pagi hari. Sesudah revolusi fisik, kecenderungan yang mengarah ke
sekulerisasi sebagai pandangan hidup masyarakat Yogyakarta, semakin nyata.
Persoalan-persoalan individual maupun sosial, lebih ditafsirkan dalam pengertianpengartian
yang sekuler dan rasional. Kecenderungan tersebut tampak pula pada
madrasah-madrasah dimana para siswa meminta agar diajarkan lebih banyak hal-hal
yang menyangkut soal-soal keduniawian, seperti sejarah, ilmu bumi, ilmu pasti dan
sebagainya, supaya menyamai pelajaran-pelajaran yang diberikan pada sekolahsekolah
biasa. Pemerintah dalam hal ini tampak memberikan bantuan dan semakin
banyak pula siswa-siswa madrasah yang mengikuti pelajaran-pelajaran pada sekolah
biasa.
Dari gejala tersebut di atas, tidaklah dapat disimpulkan bahwa madrasah dan
pesantren-pesantren tersebut sebagai lembaga pendidikan akan terdesak oleh
lembaga-lembaga pendidikan yang sekuler. Akan tetapi keinginan-keinginan yang
kuat untuk mendapat pendidikan yang sekuler rupa-rupanya lebih kuat pada generasi
16
muda. Pendidikan di Indonesia dianggap sebagai alat utama untuk mengadakan
perbaikan-perbaikan, dahulu pusat perhatian adalah kebahagiaan di dunia akhirat,
tetapi dewasa ini pusat perhatian lebih ditujukan pada kehidupan di dunia ini.
Pendidikan keagamaan seyogyanya disesuaikan dengan aspirasi generasi muda sejak
proklamasi kemerdekaan.
Sebagaimana telah dikatakan, suatu perubahan bergerak meninggalkan faktor
yang diubah. Salah satu jenis perubahan dapat dilakukan dengan mengadakan
modernisasi.
III
KONSEP ISLAM TENTANG PERUBAHAN
A. Perubahan Sebagai Hukum Alam
Alam ini selalu dalam perubahan. Dalam filsafat metafisika filosof berkata,
tidak ada yang ada, yang ada itu ialah perubahan. “Panta rei”, kata Heraklitos. Semua
mengalir bagai air di sungai. Islam menyebut alam itu “makhluk”, yang diciptakan.
Tuhan sebagai pencipta disebut khalik. Makhluk itu senantiasa dalam perubahan,
hanya Khaliklah yang serba tetap.
Pelajarilah sejarah bumi kita ! Dari tidak ada suatu ketika is menjadi ada. Dari
matahari is lahir 3.350 juta tahun yang lalu. Ketika itu bumi berbentuk bintang kabut
pijar. Tidak ada air setetespun di bumi. Perubahan-perubahan dalam jarak waktu
hampir semilyar tahun, menjadikan bumi dingin. Terbentuk kerak bumi, gunung,
17
batuan, sungai, laut. Tetapi tak satu pun ada kehidupan di bumi. Kira-kira dua milyar
tahun yang lalu baru ada hayat yang pertama di dalam air. Sejarah perubahan bumi
dua milyar tahun terakhir berlangsung bersama dengan evolusi flora dan fauna, yang
tumbuh dan berkembang di permukaan bumi. Perubahan demi perubahan yang
dialami oleh lumut karang, setelah dua milyar tahun terbentuklah tumbuh-tumbuhan
berbunga. Teori evolusi beranggapan fauna dimulai oleh binatang satu sel dua milyar
tahun yang lalu, berujung dengan beberapa juta terakhir dengan manusia.
Demikianlah jagat raya dengan nebula serta bintang-bintangnya berubah. Bumi
berubah. Hewan, tanaman, lautan, sungai, daratan, pegunungan, pantai pulau-pulau
berubah serba terus6.
Manusia sebagai makhluk juga dikenal oleh hukum perubahan. Dari tidak ada
suatu ketika is menjadi ada. Dalam “adanya” itu is mengalami perubahan demi
perubahan. Dari bayi is menjadi kanak-kanak, menjadi pemuda, dewasa, tua, mati.
Kalau filsafat meterialisme menutup riwayat hidup manusia dengan kematian, Islam
mengajarkan masih berlanjutnya eksistensi manusia di seberang kuburan. Tetapi
riwayat manusia setelah wafat inipun berubah-ubah : di alam barzakh roh menunggu
kedatangan kiamat, kepada roh diberikan lagi jasad, mulailah perjalanan menuju
tempat pembalasan “nar” dan “jannah”. Di dalam tempat-tempat itupun manusia
mengalami perubahan-perubahan melalui pengalaman-pengalamannya.
Kalau tidak ada perubahan masyarakat dalam perjalanan waktu, sejarah tidak
ada. Lucy M. Salmon memberi syarat “perkembangan” (jadi perubahan) kepada
6 Sidi Gazalba, Antropologi Budaya Gaya Baru II, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974), hal. 121
18
sejarah. “Sejarah untuk menjadi sejarah haruslah kajian tentang perkembangan, dan
suatu sayatan atau stadium yang manapun juga baru menjadi sejarah apabila sayatan
itu diperbandingkan dengan sayatan lain, sedemikian rupa hingga perkembangannya
menjadi jelas.
B. Perubahan pada Masyarakat Muslim
Sebab-sebab perubahan yang bersumber di dalam dan dari luar masyarakat
tentu ditemukan juga pada umat Islam. Dalam masyarakat Islam perubahan itu
terkawal. Perubahan selalu boleh terjadi, selama prinsip asas-asas sosial yang
ditentukan oleh then tidak ikut berubah. Tetapi dalam masyarakat Muslim kawalan
itu tidak ada atau lemah sekali. Mereka tidak atau kurang memahami atau tidak
menyadari lembaga-lembaga apa yang boleh dan yang tidak boleh berubah,
selanjutnya apa perubahan sosio budaya yang sesuai dan yang berlawanan menurut
then Islam.
Kalau dikaji pandangan-pandangan yang hidup di kalangan umat Islam, kita
temukan kebanyakan menolak perubahan. Terutama aliran kaum tua kuat berpegang
pada pandangan ini. Menolak perubahan bermakna menolak yang baru. Yang baru itu
mungkin berbentuk ide, konsepsi, teori, prinsip atau tindakan. Mereka berbuat
demikian demi mempertahankan iman dan menyelamatkan agama. Kalau pandangan
menolak perubahan itu kita tinjau dari konsep lembaga-lembaga yang boleh dan tak
boleh berubah (Pasal 7), maka pandangan itu hanya “separoh” benar. Karena yang
tidak boleh berubah ialah prinsip-prinsip atau asas then dan pelaksanaan agama.
19
Selain daripada itu masyarakat Islam terbuka untuk perubahan, apakah karena
terciptanya sesuatu yang baru, ataupun karena asimilasi, difusi dan akulturasi.
Ada pula orang-orang di kalangan umat Islam yang menerima perubahan
tanpa batas. Demi untuk maju semua perubahan dihalalkannya, apakah mengenai
prinsip sosial atau cara pelaksanaannya. Dengan menerima prinsip yang bukan
daripada then Islam maka is tergelincir kepada cara hidup yang bukan daripada then
Islam, maka is tergelincir kepada cara hidup bukan-Islam, sekalipun is tetap bertahan
di dalam agama Islam. Karena sosiobudayanya tidak tertakluk kepada agama Islam,
artinya dalam kehidupannya sehari-hari di luar Rukun Islam, is melupakan Allah,
tidak berpedoman kepada Wur’an dan dalam tindak tanduknya tidak
memperhitungkan akhirt, maka Muslim itu menjadi sekularis. Agamanya tetap Islam,
tapi cara hidupnya putus daripada agama itu.
Mereka yang menolak perubahan sosial menjadi statik. Statik dalam
pengamalan agama adalah tersuruh. Prinsip dan cara pengamalannya diputuskan oleh
naqal. Akal tidak berwenang untuk merubahnya. Tetapi statik dalam pengamalan
prinsip-pinsip kebudayaan membawa orang terkebelakang, ketinggalan dalam dunia
yang selalu bergerak maju. Cara pelaksanaan prinsip kebudayaan diputuskan oleh
akal, karena is mengenal dunia yang selalu berubah.
Kenyataan yang dapat diamati pada sebagian terbesar umat Islam dewasa ini
ialah mereka memang statik dalam sosial. Mereka bertahan dengan cara pelaksanaan
prinsip-prinsip kebudayaan ratusan tahun yang lewat, bahkan ada yang sampai seribu
tahun. Mereka mempertahankan dunia lamanya. Mereka mempertahankan cara-cara
20
lama dalam sosial, ekonomi, politik, pendidikan, teknik, kesenian, seolah-olah polapola
kebudayaan sejagat itu adalah agama. Dilihat dari segi ini maka salah satu
masalah pokok umat Islam dewasa ini ialah sikapnya tentang perubahan masyarakat.
Karena kebanyakan umat Islam tidak mau meninggalkan unsur kebudayaan lama atau
norma-norma lama, tidak bersedia menggantikannya dengan yang lebih maju, dan
unsur dan norma itu dengan setia diwariskan dari satu angkatan kepada angkatan
berikutnya, maka masyarakat Muslim pada umumnya menjadi statik. Yang baru
ditolak, yang lama dipertahankan dengan gigih, maka buntulah gerak masyarakat,
mereka menjadi statik, ketinggalan atau terbelakang di tengah-tengah gerak
kemajuaan dunia yang dahsyat dalam abad ke-XX ini yang ditimbulkan oleh
kebudayaan Barat.
C. Nilai Perubahan
Ruang lingkup pengertian perubahan sosiobudaya atau perubahan masyarakat
adalah luas, didalamnya termasuk : pertumbuhan, perkembangan, penyimpangan,
gerak. Kalau dikatakan masyarakat itu berubah, adalah ungkapan ini bernilai netral.
Bagaimana perubahan itu? Apakah positif atau negatif, “progress” atau “regress”,
majukah atau mundur? Pertanyaan ini menyangkut nilai perubahan.
Tidak tiap perubahan bersifat maju, mungkin juga bersifat mundur. Apakah is
berisfat maju atau mundur banyak bergantung pada ukuran yang dipakai. Seorang
pemuda desa datang ke kota, melepaskan ikatan-ikatan adat daerahnya,
menggantikannya dengan cara hidup Barat, dipandang oleh orang “modern” sebagai
21
perubahan yang maju, tapi sebaliknya oleh orang-orang desanya. Orang tuanya
mengeluh, karena anaknya sudah rusak, artinya mundur. Tetapi kalau perubahan
menyangkut hasil metarial, ukuran mudah disatukan. Menjahit pakaian dengan tangan
diubah dengan menjahit dengan mesin bermakna maju, karena lebih cepat, lebih rapi,
tidak banyak membuang tenaga.
Pada umumnya orang berpendapat bahwa motivasi perubahan adalah
kemajuan teknik. Tetapi setiap penemuan teknik berakibat pada perubahan mental.
Dengan demikian perubahan teknik dapat menyebabkan perubahan masyarakat
disemua sektor. Pendapat dan penilaian berubah, sehingga penemuan teknik dan
penggunaannya menghendaki filsafat hidup baru, meninggalkan filsafat hidup lama.
Dari pandangan sejarah di atas tersimpul, perubahan teknik mengubah
ekonomi, perubahan ekonomi mengubah kebudayaan. Bagi Marx ekonomilah yang
jadi faktor penentu kehidupan manusia. Jadi perubahan ekonomi mengubah
kehidupan manusia. Soal ekonomi ialah soal materi. Tindakan dalam ilmu, seni,
agama, moral, hukum dan politik (aspek-aspek kebudayaan menurut Marx) adalah
endapan dan keadaan ekonomi. Jadi kebudayaan adalah hasil daripada keadaan
materi. Kalau kehidupan dibagi dua, yaitu bangunan atas dan bangunan bawah,
adalah bagian atas itu kebudayaan yang bersifat rohaniah; dan bangunan bawah :
ekonomi, bersifat materi. Bangunan atas bergantung pada bangunan bawah.
Selanjutnya Marx berteori, ekonomi ditentukan oleh produksi dan produksi
ditentukan oleh adat. Alat-alat itu materi, yang dihasilkannyapun materi. Karena
itulah perkembangan masyarakat ditentukan oleh materi. Perkembangan masyarakat
22
itu adalah “histrory” (sejarah). History ditentukan oleh materi. Karena itulah filsafat
Marx itu disebut orang historis materialisma.
Berbeda dari teori materialisma itu, Islam memandang motivasi perubahan
ialah rohani. Mari kita ikuti kembali jalan fikiran materialisma itu kembali.
Masyarakat berubah karena perubahan ekonomi. Ekonomi berubah karena perubahan
teknik (alat). Jalan pikiran ini tidak dapat ditolak, karena memang demikianlah
adanya. Sekarang kita lanjutkan. Kenapa terjadi perubahan teknik? Karena manusia
mendapat ilham, atau karena manusia berpikir, atau hasil dari pemikiran manusia.
Kalau kita bicara tentang ilham atau pemikiran, kita bicara tentang rohaniah. Jadi
perubahan teknik rupanya bukan berpangkal dari teknik itu sendiri, tapi dari rohani
manusia. Jadi motivasi perubahan masyarakat ialah rohani manusia, melalui teknik.
Penemuan dan penggunaan teknik baru membawa kepada perubahan nilai.
Filsafat hidup lama menjadi disangsikan, perubahan teknik itu menghendaki filsafat
hidup baru. Perubahan teknik menimbulkan perubahan antara kesatuan-kesatuan
sosial dalam masyarakat. Untuk masa tertentu terganggu keseimbangan dalam
masyarakat, sebab setiap perubahan sikap suatu kesatuan sosial meminta perubahan
sikap pula pada kesatuan sosial lainnya. Akibatnya seluruh pola masyarakat menjadi
berubah.
Masyarakat Muslim yang “sedang berkembang” menghadapi masalah dalam
pembangunan itu. Apakah dengan memperbaiki keadaan materinya masalah sudah
selesai? Kemajuan materi dapat membawa mereka kepada sekularisma. Menurut
penilaian Islam sekularisma itu bukanlah kemajuan, tapi kemunduran. Dilihat dari
23
segi materialisma is maju, tapi dipandang dari segi rohaniah ia mundur. Sekularisma
hanya memperhitungkan kepentingan kebudayaan. Kepentingan agama diabaikan,
seterusnya ditolak. Kebahagiaan bagi sekularisma ada di dunia, bukan di akhirat.
Karena itu kemajuan teknik dan ilmu-ilmu modern itu mesti diimbangi oleh
kemajuan agama (kepahaman, amalan dan penghayatan). Kemajuan materi saja tanpa
kemajuan rohaniah, menimbulkan ketidakseimbangan agama dan kebudayaan.
Ketakpaduan (desintegrasi) then Islam akan membawa kepada krisis, terutama dalam
bentuk sekularisma itu.
IV
PENUTUP
Agama Islam memainkan peranan dalam kehidupan pribadi dan masyarakat,
sekalipun masyarakat itu telah disusupi oleh kebudayaan Barat atau dipengaruhi oleh
sekularisma. Dalam masa massyarakat mengalami perubahan sosial yang dahsyat,
maka pribadi danm masyarakat kehilangan pegangan, karena lembaga-lembaga yang
sesungguhnya merupakan pemberi pegangan (seperti kebudayaan, keluarga,
pendidikan) sedang dalam perobahan dan lembaga-lembaga itu sendiri tidak dapat
mengatasi persoalannya. Dalam suasana dan keadaaan beginilah agama dapat
membantu dengan memberi pegangan agar pribadi dan masyarakat tidak gelisah dan
menemukan pegangan yang pasti dan benar pada ajaran Tuhan. Tetapi untuk ini
metoda atau pendekatan ajaran agama itu mestilah di hidangkan sesuai dengan
24
perobahan sosial. Misalnya tafsiran dan penjelasan diberikan sesuai dengan
perobahan cara berfikir masyarakat dan ilmu-ilmu modern di manfaatkan untuk
menerangkan ajaran-ajaran agama.
Agama Islam mampu, bahkan justeru berfungsi, untuk mengawal dan
mengarahkan perobahan-perobahan sosiobudaya, baik perobahan lembaga dan
norma-normanya ataupun konsepsi-konsepsi. Karena is (berbeda dengan agama
Nasrani yang hanya mengatur urusan agama) memberikan prinsip dan asas
kebudayaan dan menentukan arah perobahan masyarakat. Prinsip, asas dan arah itu
bersifat serba tetap. Kembali kita kepada teori then Islam. Agama yang serba tetap
menggariskan pegangan hidup, menentukan prinsip dan asas yang serbatatap
sosiobudaya dan menunjukkan tujuan kehidupan. Pelaksanaan sosiobudaya boleh
berobah serbaterus yang di laksanakan oleh akal, tapi tetap dalam pola yang di
gariskan oleh agama. Maka perobahan-perobahan tidak menimbulkan krisis. Banyak
kita dengar misalnya krisis kehidupan pribadi berujung dengan bunuh diri. Ini tidak
ditemukan pada Muslim. Kalau ia terbentur dengan krisis ada tempat pelariannya.
Tuhan adalah tempat pelarian yang terjamin dan selamat.
Agar agama Islam kembali berperanan dalam perobahan-perobahan
sosiobudaya umat Islam, konsepsi then Islam yang lengkap dan utuh perlu
diamankan, yaitu perpaduan agama Islam dengan kebudayaan Islam. Asas dan
prinsip kebudayaan di kembalikan kepada agama untuk menentukannya, sehingga
norma-norma sosial di kawal dan di arahkan oleh agama.

Jangan Hidup Seperti Burung

Jangan Hidup Seperti Burung

      Dalam al-Qur'an terdapat kisah yang sangat menarik untuk dijadikan uswah. Di mana ada seorang ibu yang bercita-cita ingin menjadikan anknya seorang hamba yang shalih. Hamba yang akan menegakkan agama Allah di permukaan bumi.

     Kisah itu tertuang pada surah Ali 'Imran 35: "(Ingatlah), ketika isteri 'Imran berkata: 'Ya Rabbku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu daripadaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui'."

   Dia tidak menginginkan anaknya menjadi seorang yang punya gelar kesarjanaan, jabatan dan kedudukan yang terhormat. Dia tidak menginginkan sesuatu yang sifatnya keduniawian yang hanya berkisar pada pemenuhan kebutuhan perut, syahwat dan tempat tinggal.
      
      Mencari nafkah memang perlu, bahkan wajib. Demikian juga mencari tempat tinggal, juga perlu. Akan tetapi hidup yang dikaruniakan Allah ini, bukan hanya untuk mencari makan, lalu menikah dan beranak pinak saja. Setelah anaknya dewasa disuruhlah mereka mencari nafkah sendiri.

   Jika hidup hanya seperti ini, sama dengan hidupnya burung. Pagi-pagi sudah bertebaran mencari makanan, kembali ke sarang perutnya sudah kenyang. Anak-anaknya yang masih kecil-kecil di dalam sarang dikasih makanan yang dibawanya. Malamnya kumpul kembali sekeluarga di sarang. Pekerjaan ini terus berlangsung setiap hari sampai anaknya bisa mencari makan sendiri. Burung-burung yang telah dewasa mengerjakan pula rutinitas seperti seniornya. Mencari makan, kawin, bikin rumah dan membesarkan anak.

      Bila gelar, pangkat dan kedudukan yang tinggi hanya untuk memenuhi kebutuhan perut dan di bawah perut, tentulah hidupnya berada pada derajat yang rendah. Tidak ada cita-cita lain dalam hidupnya kecuali untuk itu. Bekerja untuk mencari makan. Makan untuk bekerja. Berputar terus dari itu ke itu.

      Padahal tugas manusia bukan untuk itu. Tugas manusia adalah menjadi khalifah, wakil Allah di muka bumi. Sebagai wakil Allah, haruslah ia berusaha menjalankan aturan-aturan Allah di permukaan bumi. Menegakkan kalimah-Nya dan memenangkan agama-Nya.

      Jika hidup hanya unutk mencari makan saja, cecak pun bisa. Dia yang hanya menempel di dinding dan tidak bisa terbang, tapi tetap bisa hidup dengan memakan hewan-hewan yang punya sayap. Dia hanya menunggu nyamuk-nyamuk yang kekenyangan hinggap di dinding, sehingga dapat menangkapnya dengan mudah.

     Lihatlah istri 'Imran, dia hanya mencita-citakan anaknya menjadi anak yang shalih dan berkhidmat di Baitul Maqdis. Dia tidak mencita-citakan anaknya mendapatkan pangkat, kedudukan, kekayaan dan lain sebagainya yang sifatnya hanya duniawi semata.

      Adakah di zaman sekarang ini seorang ibu yang mempunyai cita-cita seperti itu? Rasanya hanya sedikit orang saja yang mempunyai cita-cita seperti itu. Pastilah kita dapati kebanyakan ibu-ibu menghendaki anaknya mempunyai status sosial yang tinggi. Punya gelar, kedudukan, pangkat, jabatan, atau menjadi orang kaya.
Cita-cita yang dimiliki istri 'Imran ini memang langka dan aneh menurut ukuran dan pola pandang orang sekarang. Tapi itulah cita-cita yang akan membedakan kedudukan manusia dengan makhluk lainnya. Manusia mulia karena fungsi kekhalifahannya didayagunakan. Yakni menegakkan kalimah tauhid di belahan bumi manapun. Itulah tugas utama seorang hamba. Dari tingkat rasul sampai kepada tingkat kita sebagai manusia biasa.
Sang ibu bila mempunyai cita-cita yang mulia ini, janganlah lupa bila telah terlahir seorang anak, maka cepat-cepatlah meminta pertolongan, perlindungan dan pemeliharaan Allah dari syetan yang terkutuk. Syetan tidak akan tinggal diam membiarkan anak tersebut mencapai cita-citanya. Pastilah dia akan menggoda, merayu dan membisikkan bisikannya yang penuh tipu daya agar anak tersebut langkah-langkahnya menyimpang dan tersesat. Syetan akan berusaha menggelincirkannya pada jalan yang menjerumuskannya pada kemungkaran.
Inilah perlunya meminta pertolongan dan perlindungan Allah. Jika Allah telah melindunginya pastilah dia akan terpelihara dari godaan syetan yang akan menyesatkannya.

      Akan tetapi cita-cita yang luhur, agung dan mulia saja belum cukup untuk mendapatkan anak yang diidam-idamkan itu. Masih ada perangkat lain yang menunjang tercapainya tujuan ini. Yakni pendidikan dan lingkungan.

     Maryam -anak keluarga 'Imran- menjadi hamba yang shalihah dan taat berkat adanya didikan dan lingkungan yang mengantarkannya. Dia dididik oleh manusia pilihan Allah, Nabi Zakaria. Maryam dididiknya dengan baik dan pemeliharaan yang penuh kasih sayang. Tumbuhlah Maryam menjadi seorang manusia yang suci. Manusia yang diberi keistimewaan oleh Allah SWT.

   Jelaslah di sini bahwa untuk mewujudkan cita-cita itu perlu pendidikan, lingkungan dan suasana yang mendukung. Keinginan untuk menjadikan anak yang shalih harus didukung faktor-faktor tersebut. Tanpa itu, jangan harap bisa menjadi kenyataan. Berat untuk mewujudkan kalau anak-anak kita dididik dengan pendidikan yang jauh dari norma-norma agama.

      Pendidikan yang berkiblat ke Barat yang sekuler, adalah pendidikan yang membentuk kepribadian anak menjadi materialistis dan hedonis. Ditambah lagi dengan lingkungan yang bisa menyeret pada tindak kelakuan menyimpang dari fitrah kemanusiaan. Yang hanya menumbuhkembangkan dominasi nafsu dan mematikan peran serta ruh.

    Langkah-langkah yang dipakai atau digunakan untuk membentuk anak yang shalih dan mempunyai cita-cita menegakkan kalimah Allah adalah dengan memasukkan anak-anak kita pada tempat yang telah dikondisikan untuk itu. Di tempat yang sudah menyiapkan perangkat-perangkat yang memprogram proses penumbuhan cita-cita mulia ini. Lingkungan dan pendidikan yang bisa menjabarkan tentang tugas dan kewajiban seorang hamba yang diciptakan Allah.

   Apa perlunya Allah menciptakan manusia? Dan apa peranannya di muka bumi? Apakah hanya untuk makan, kawin dan bikin pondokan? Perlu sekali kita sebagai seorang muslim untuk mengetahui itu semua. Apalah artinya kita hidup di dunia ini bila tidak mengetahui peran dan fungsi kita. Tidak ada nilai lebih yang kita dapati, bila dalam kehidupan ini tidak mengetahui arah dan tujuannya.

       Untuk mencari tempat atau lingkungan seperti itu di zaman sekarang ini memang cukuplah sulit. Lingkungan yang ditata secara alamiah, ilmiah dan Islamiah. Lingkungan yang menumbuhkembangkan ghirah keislaman dan pendayagunaan peranan manusia sebagai seorang khalifah. Seseorang yang menjadi pesuruh-pesuruh Allah dalam menerapkan aturan-aturan-Nya, ayat-ayat-Nya atau ketentuan-ketentuan-Nya di permukaan bumi. Seseorang yang akan berjuang terus selama kalimah la ilaha illallah belum bisa ditegakkan. Selama syariat-syariat Allah belum dijalankan. Dan selama firman-firman Allah belum diterapkan.

      Kesulitan untuk mencari tempat seperti ini janganlah menjadikan kita berputus asa. Insya Allah bila kita telah mencita-citakan untuk li i'laikalimatillah yang mulia dan berusaha untuk terus mencari, pastilah Allah akan mengantarkan kita pada tempat yang diidamkan. Allah SWT akan mengantarkan dan menunjuki jalan kepada hamba-Nya yang selalu mencari kebenaran. Hidayah Allah akan diberikan kepada makhluk yang Dia kehendaki.

      Sungguh agung cita-cita ini. Tiada lagi cita-cita yang bisa mengantarkan kemuliaan kecuali cita-cita menegakkan kalimah Allah. Berbahagialah hamba-hamba Allah yang berkeinginan mendapatkan derajat kemanusiaan yang tertinggi dan terhormat. Cita-cita yang akan mendapatkan imbalan dari Allah berupa kenikmatan yang tiada taranya, yakni jannah. Kenikmatan yang belum pernah terlintas pada pendengaran, penglihatan, dan hati. Hidup kekal selamanya dalamnya.