Sosial Politik

Sabtu, 05 Desember 2015

ETOS DAN MORALITAS POLITIK Bag, V & VI

V. POLITIK SEBAGAIMANA UPAYA MEWUJUDKAN HAK ASASI MANUSIA
A. Tujuan Politik
1. Kepentingan umum
    Tujuan politik ialah menyelenggarakan bonum commune (kepentingan umum, kesejahteraan bersama) yang berarti: memfasilitasi manusia untuk mengusahakan apa yang dibutuhkannya untuk hidup layak manusiawi.
2. Hidup layak manusiawi
    Hidup layak manusiawi berarti kemudahan untuk memenuhi kebutuhan untuk hidup yang sesuai dengan martabat pribadi manusia. Bahkan lebih dari pada itu, tak hanya secukupnya seperti yang diukur menurut kebutuhan pokok, melainkan juga kebutuhan untuk berkembang labih lanjut, seperti akan disinggungg lagi dibawah ini.
B. Perwujudan Hak Asasi Manusia, Tuntutan Martabat Manusia
     Perlu dicamkan dua hal: dalam gagasan ongoing formation tidaklah cukup bahwa manusia dapat memenuhi kebutuhannya, apalagi kalau dibatasi pada kebutuhan pokok, tetapi juga berhak untuk berkembang lebih lanjut.
1. Memenuhi kebutuhan
    Ini berarti dapat memenuhi hak-haknya yang asasi, karena pelbagai kebutuhan adalah mutlak, artinya harus dipenuhi, kalau tidak akan timbul gangguan berat dan bahkan kematian. Juga biarawan yang mengikrarkan kaul kemiskinan tetap membutuhkan sarana yang perlu untuk hidup layak manusiawi dan berkembang. Penilaian mengenai perlunya kebutuhan bisa berbeda, tetapi ada kebutuhan-kebutuhan yang mutlak tidak dapat diperdebatkan lagi.
2. Memenuhi hak untuk berkembang
    Hidup sesuai dengan martabat manusia tidak hanya berarti memenuhi kebutuhan, apalagi sesaat. Tetapi juga segala perlu atau bermanfaat untuk berkembang. Bukankah dewasa ini makin disadari pemenuhan kebutuhan manusia tidak hanya minimal untuk hidup tetapi juga lebih daripada itu untuk berkembang.

VI. POLITIK INDONESIA
A. Teori
     Ada banyak hal yang bagus, namun sayangf implementasinya kurang meyakinkan. Tetapi, adanya dasar hukum saja sudah menjanjikan. Maka perlu disyukuri dan terutama diusahakan imp;ementasinya.
1. Pengakuan hak asasi manusia
a. UUD 1945 dan Pancasila
    Dalam UU, juga setelah amandemen tercantum sejumlah hak asasi manusia yang diakui negara kita.
b. UU RI No. 39/1999 tentang hak asasi manusia
    Selain dalam UU, secara eksplisit juga dicanangkan hak-hak asasi manusia yang diundang-undangkan.
2. Aneka peraturan perundang-undangan
    Masih ada aneka peraturan perundang-undangan lain yang menjabarkan lebih lanjut gagasan pokok hak asasi manusia, misalnya:
a. Kepres RI No. 50 Tahun 1993 tentang Komnas HAM
b. UU RI No. 5 tahun 1998 tentang pengesahan konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia.
c. Kepres RI No. 181 tahun 1993 tentang komisi nasional anti kekerasan terhadap perempuan.
d. Kepres RI No. 120 tahun 1998 tentang rencana aksi nasional hak-hak asasi manusia indonesia.
    Mungkin aneka peraturan perundang-undangan itu masih terlalu baru untuk menunjukkan buahnya yang meyakinkan. Tetapi, pencanangannya saja sudah kemajuan besar, asalkan tidak terus-menerus dinaungi aneka -isme yang de fakto memandulkan.
B. Praksis
1. Soal penegakan hukum
    Yang indah di atas tidak diperaktekkan. Ada orang yang mengatakan bahwa penegakan hukum di Indonesia sudah mencapai titik nadir. Kalau dikatakan bahwa keadaan tertentu dibiarkan saja, dijawab: tidak ada hukumnya atau dilaksanakan secara amat praktis segalanya dapat ditebus dengan uang. Juga produksi undang-undang sendiri tak luput dari uang.
2. Pragmatisme
    Kiranya hambatan terbesar menjalankan politik yang berorientasi pada pemenuhan hak asasi manusia ialah pragmatisme yang menjadi akar aneka -isme lain. Paham kristiani tentang hak asasi manusia tidak hanya pragmatisme dan fungsional, tetapi bersumber pada rencana Allah pencipta dan penebus. Kiranya perlu disadari godaan pragmatisme yang amat besar, terutama dalam keadaan terjepit.
C. HAM dan Etika Politi Indonesia
1. Wawasan jangka panjang
    "Masyarakat yang adil dan makmur" merupakan cita-cita besar yang dapat dikaitkan dengan HAM dan perwujudannya menuntut perencanaan dan kerja keras jangka panjang. Hal ini sudah disadari dalam Orde Baru yang memang gagal mewujudkannya. "Masyarakat adil dan makmur" yang dikaitkan denga HAM menyangkut pengembangan manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya. Hal ini berarti: manusia menurut aneka aspeknya dan berlaku bagi semua warga negara, sedangkan keadaan dewasa ini - sudah melulu menurut aspek ekonomis - jauh dari adil dan makmur, karena kesenjangan sosial dan kemiskinan masih amat besar.
2. Wawasan jangka pendek
    Sayang bahwa visi tentang masyarakat adil dan makmur itu kini memudar, dan kebanyakan politisi berwawasan pendek, yakni pemilu y.a.d. dan begaimana dapat mempertahankan kekuasaan elite politik. Namun, politik Indonesia taj hanya kekurangan visi jangka panjang itu, tetapi bahkan juga politik dengan wawasan jangka pendek ini dalam kenyataan sudah kehilangan dimensi etisnya.
D. Kesabaram?
     Apakah kita terlalu keras menilai diri kita sendiri?
1. Perkembangan negara-negara maju
    Amerika Sarikat dan eropa Tengah sering kali ditampilkan sebagai negara maju. Tentu juga negara-negara itu mempunyai ketidakberesan, tetapi strukturnya sedemikian rupa sehingga ketidakberesan itu dibongkar sendiri dari dalam, melawan kekuatan komplotan yang berkepentingan mendiamkannya. Ingatlah kasus 
'watergate", lalu dapat diajukan pertanyaan: keadaan demikian itu tercapai setelah perkembangan berabad-abad, meskipun sering kali bukan proses yang mulus, melainkan disertai jatuh-bangun, maju-mundur. Siapa yang mengira bahwa tokoh seperti adolf hitler mendapat dukungan sehingga ia bisa berkuasa di tengah Eropa? Setelahnya bahkan masih terjadi begitu banyak pelanggaran HAM, sehingga timbul kesan bahwa orang tidaj belajar dari sejarah.
2. Perkembangan negara-negara yang sedang berkembang
    Dulu dipakai istilah "Dunia Ketiga" atau "Dunia Keempat", kebanyakan bekas daerah penjajahan dan baru merdeka pada tahun 1950-an. Meskipun perkembangan dewasa ini, misalnya karena kemajuan teknologi dan globalisasi, lebih cepat daripada yang dulu. Dapat ditanyakan, apakah tidak diperlukan kesabaran lebih besar menghadapi keadaan dalam dunia ketiga atau keempat ini. Tuntutan HAM amat tinggi, apalagi kalau ditanyakan, apa yang harus diprioritaskan. Implementasi HAM yang perlu untuk perkembangan bersama seluruh masyarakat ataukah implementasi HAM pada orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu. Implementasi HAM yang perlu bagi perkembangan bersama seluruh masyarakat membutuhkan lebih banyak waktu. Maka juga diperlukan kesabaran untuk secara bertahap mewujudkannya lewat politik yang memang dirancang untuk memenuhi HAM setiap orang seluruh masyarakat. Tetapi laju perkembangan harus lebih cepat daripada laju yang dijalani masyarakat yang kini dianggap sudah maju. Dan terutama: proses perkembangan berabad-abad dikawasan dunia barat tidak boleh menjadi alasan atau kedok untuk berlambat-lambat dalam mewujudkan politik yang berorientasi pada HAM.

VII. Penutup
     Jatuhnya Orde Baru dan lengsernya Presiden Soeharto pada mei 1998 diikuti dengan Orde Reformasi, tetapi harapan yang menyertainya kini sirna. Pelanggar hak asasi manusia dan kejahatan lain tak diusut dan ditindaklanjuti secara tuntas (impunity). Apa yang mulai dengan krisis moneter, menjadi krisis multidimensional. Penegakan hukum mencapai titik nadir. Korupsi merajalela, sehingga dana yang sebetulnya diperuntukkan bagi upaya menyejahterahkan masyarakat dicuri sejumlah orang yang mendapat kepercayaan untuk memimpin bangsa ini. Rakyat tak berdaya menghadapi kemerosotan elite politik.
     Orang bertanya, kapan ini semua akan berakhir?
     Tentu juga di kawasan lain seperti Eropa dan Amerika Sarikat terjadi pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan lain, tetapi keadaannya tidak separah di Indonesia. Meskipun perkembangan sekarang jauh lebih besar daripada dulu, tetap harus dikatakan bahwa di kawasan barat membutuhkan perkembangan berabad-abad untuk sampai pada keadaan yang relatif baik. Sistem dan mentalitas saling mendukung untuk membongkar borok-borok, sedangkan orang-orang yang terlibat di negara kita saling menutup-nutupi. Tak mungkin keadaan sekarang ini terus berlangsung tanpa henti. Oleh karena itu, kita semua mengharap agar tiba saatnya supaya diperjuangkan hak asasi manusia dalam etika politik di Indonesia, masyarakat yang majemuk. Keluhan sudah banyak, kritik konstruktif sudah banyak, pelaksanaanya belum, Menunggu apa lagi??????

ETOS DAN MORALITAS POLITIK Bag.IV

IV. HAK ASASI MANUSIA
A. Nilai-Nilai HAM
1. Keprihatinan akan nilai
    Di balik kebhinnekaan gagasan, dapat dan harus ditemukan keprihatinan yang sama:
Apa pun yang diperjuangkan, bagaimanapun rupanya, dapat da harus diangkat kesamaannya yaitu, nilai baik yang bersifat objektif maupun yang subjektif.
2. Perlindungan
    Nilai itu dipertahankan sebagai suatu tameng atau tembok untuk melawan berbagai pihak yang dianggap lebih kuat dan dapat mengancam pihak yang lebih lemah (atau minoritas).
a. Negara
    Hak Asasi Manusia dirumuskan agar dilindungi terhadap pihak yang lebih berkuasa dan condong menyalahgunakan kekuasaannya bahkan dengan melanggar HAM itu. Sering kali pihak yang berkuasa demikian itu dilihat dalam negara, sehingga hak asasi manusia dirumuskan dan dicanangkan terhadap kuasa negara, meskipun sebenarnya ancaman terhadap hak asasi manusia dapat datang dari pihak lain. Biasanya yang lebih kuat misalnya, mafia atau sindikat kejahatan mendapat backing dari oknum pejabat yang seharusnya melindungi hak asasi manusia (kasus perdagangan narkoba, perempuan, anak, perjudian, dsb).
b. Agama
    Begitu juga kalangan agama yang dapat menjadi penguasa, bahkan mengesankan upaya memutlakkan otoritasnya (yang tak dapat dibantah seperti biasanya aliran yang cenderung fundamentalistis) dengan mengacu pada kepada Tuhan sendiri yang dipercayai sebagai Mahakuasa dan diakui sebagai sumber kuasa tinggi.
B. Intuisi dan Kesepakatan Tentang HAM?
     HAM itu "in" dengan akibat, bahwasanya seperti hal-hal lain yang menjadi populer. Mengalami inflasi dan pengertiannya cenderung menjadi kabur dan bahkan lebih mendangkal. Oleh karena itu, sebaiknya dicamkan sebentar sebagai hal sehubungan dengan HAM, terutama sejauh menyangkut politik.
1. Intuisi
    Bukan segala nilai langsung merupakan hasil refleksi, melainkan berawal dari intuisi manusia visioner yang mempunyai intuisi yang memicu perjuangan antara pro dan kontra serta proses refleksi, sejauh itu intuisi amat bermanfaat.
2. Kesepakatan
    Proses demikian itu dapat berlangsung di kalangan tertentu, di kawasan tertentu, di zaman tertentu, sampai akhirnya disetujui kebanyakan wakil bangsa-bangsa seperti pencanangan hak asasi manusia di PBB pada tanggal 10 Desember 1948 yang kemudian seiring dengan perkembangan zaman dikembangkan lebih lanjut.
C. Proses Perumusan Hak Asasi Manusia
1. Perkembangan kesadaran\
    Dapat ditanyakan, bahwasanya mengapa umat manusia baru pada akhir tahun 1948 berhasil mencanangkan piagam hak asasi manusia. Memang perang dunia Ke II dapat berpengaruh, tetapi sejarah umat manusia sejat jutaan tahun penuh dengan kekerasan yang di mata dewasa ini termasuk pelanggaran hak asasi manusia.
2. Universal atau partikular
    Pencanangan piagam hak asasi manusia pada tahun 1948 dalam PBB itu memang mengedepankan universalitasnya. Tetapi kemudian muncul aneka piagam yang lebih mengedepankan partikularitasnya, yang mempertanyakan pengertian "asasi", misalnya:
1989 Hak Asasi Manusia rumusan Afrika
1998 Hak Asasi Manusia rumusan Asia
1998 Hak Asasi Manusia kalangan Islam
Maka, dapat diajukan soal: HAM itu universal atau partikular?
3. Dalam dunia yang makinmenggelobal atau sebaliknya
    Kita dapat mensinyalir dua arah perkembangan yang tampaknya berseberangan:
Disatu pihak, dapat disinyalir  (antara lain karena perkembangan budaya dan tekhnologi komunikasi sosial) arah perkembangan menggelobal (Uni Eropa, ASEAN, Nato).
Tetapi di pihak lain, juga makin mencolok kecenderungan regionalisasi dan proteksionisme.
D. Proses Perwujudan
1. Pencanangan piagam hak asasi manusia
    Pencnangan itu sendiri belum berarti perwujudan. Dalam kenyataan, dapat dicatat banyak pelanggaran HAM yang bukan hanya cermin perbedaan persepsi, melainkan juga ketidakmampuan atau bahkan lemahnya kesanggupan untuk mewujudkannya.
2. Upaya mewujudkan hak asasi manusia
    Tetapi, kita juga harus mengakui kemajuan yang telah dicapai, baik upaya yang tampaknya jujur, maupun upaya menyembunyikan pelanggaran hak asasi manusia, juga suatu tanda pengakuan hak asasi manusia.
E. Kewajuban dan Hak
1. Kewajiban
    Manusia itu makhluk sosial. Ia tidak akan dapat hidup sendiri atau tanpa bantuan orang lain, tidak hanya dalam arti bahwa hak asasi manusia tak dapat dipenuhi tanpa hidup bersama, tetapi juga bahwa hak itu dipahami korelatif dengan kewajiban:
Manusia tak hanya mempunyai hak asasi, melainkan juga mempunyai kewajiban. Seringkali bahkan tidak mudah memisahkan hak dan kewajiban, dan kedua-duanya dipakai (kewajiban dan hak atau hak dan kewajiban).
2. Pelaksanaan Hak
    Perlu dibedakan antara hak (ius) dan pelaksanaan hak (exercitium iuris). Bisa saja orang mempunyai hak, tetapi pelaksanaannya harus mempertimbangkan keadaan yang tak jarang diatur oleh kekuasaan. Demi kepentingan umum, hak hanya terbentur pada hak orang lain bila keduanya tak dapat bersama-sama dilaksanakan.

Jumat, 04 Desember 2015

ETOS DAN MORALITAS POLITIK Bag. III

II. ETOS POLITI
A. Perlunya Perpaduan Antara Etika dan Politik
1. Politik tanpa etika
    Kinerja politisi de fakto jelek. Ungkapan ini didasari atas realita yang terjadi, karena dewasa ini bila mendengan istilah "politik", orang mengernyitkan alis dan dahinya seraya berkata, "Politik itu kotor". Politik menjadi kotor tidak hanya karena "money-polics", "mob-politics", "politik dagang sapi", tetapi juga karena beberapa - isme yang sebagai mentalitas mendasari sikap dan perilaku seperti itu. isme-isme yang akan kitas bahas merupakan sumber politik tanpa etika. imbauan apapun tidak ada gunanya, karena ketumpulan atau kebusukan politik sudah demikian jauh sehingga yang dimengerti bukan bahasa etis, melainkan bahasa hukum dalam arti sanksi tegas! Andaikata perkembangan etis para politisi diukur menurut skema lawrence kohlberg!
a. Materialisme praktis:
Verbal dan ritual, banyak orang memang religius dan mengakui peran Tuhan dalam hidup, jadi tidak menganut materialisme filosofis, tetapi dalam kenyataan sehari-hari tak jarang mereka hidup "etsi deus non daretur". seolah-olah tidak ada Allah, atau paling banyak hanya selektif menghayatinya. 
b. Pragmatisme:V
erbal, memang sering mengucapkan slogan-slogan yang menjanjikan dan merdu kedengarannya, tetapi dalam kenyataan menempuh jalan pintas tanpa mengindahkan prinsip-prinsip yang dijanjikan dalam sumpah jabatan dan berlawanan dengan semboyan-semboyan yang diucapkan, terutama janji-janji kosong menjelang pemilu.
c. Oportunisme:
Obral janji sebelum pelantikan, tetapi kemudian habis-habisan memanfaatkan posisi untuk memperkaya diri tanpa memperdulikan kepentingan umum, khususnya nasib rakyat kecil. Inilah logika mekanisme komersialisasi jabatan: bila jabatan diperjual belikan, maka pejabat cenderung merebut kembali dana yang telah dikeluarkannya untuk memperoleh jabatan itu, ditambah dengan keuntungan yang diharapkannya.
d. Formaisme:
Tampil memukau seperti (bukan: sebagai) tokaoh panutan, tetapi hanya secara munafik dan pura-pura tanpa hati nurani yang terusik. Demikianlah politikus tanpa hati nurani yang menjalankan polotik tanpa etika. yang penting bukan keyakinan pribadi, melainkan citra baik dalam masyarakat, entah citra itu mencerminkan kebenaran yang de fakto ada atau tidak. Kalau mengikuti skema perkembangan moral menurut lowrence kohlberg, tahap dan tingkatan perkembangan banyak orang yang termasuk elite bangsa kita amat rendah."
e. Positivisme hukum:
Bukan kebenaran dan Keadilan, melainkan kepentingan dan "dagang sapi" yang dijadikan tolak ukur. Bukan argumen, melainkan kekuasaan yang menentukan. Hal ini dikukuhkan dengan praktek "impunity" (yang tak selalu secara formalitas memanfaatkan celah-celah hukum, bahkan terang-terangan) dalm penafsiran dan penerapan hukum, sesuatu tanda kelemahan penegakan hukum.
2. Etika tanpa politik: etika melulu individual
    Tak disangkal lagi dan perlu ditegaskan bahwa bangsa kita yang notabenenya sebagai bangsa yang mempunyai etika dan berpegang teguh pada tradisi etis, tetapi ada kesan bahwasanya etika dan politik terpisah: politik tanpa etika dan etika tanpa politik. Sebagaimana Sokrates telah mengingatkan bahwa: "Pengetahuan saja bukanlah jaminan bahwa orang akan menghayati dan mengamalkannya". Ada kesan: Agama memang mempunyai kedudukan yang terhormat, tetapi lebih sebagai ritual belum menjadi inspirasi kehidupan nyata. Hal ini dipertajam oleh etika individual(istis) yang telah dikecam oleh Konsili Vatikan II. Dimana etika indivudualistis kurang berminat dan kurang peduli akan bidang sosial politik. Dalam kenyataan, dari ketidakpedulian ini lah yang kemudian membiarkan politik tanpa etika. Hal yang sama juga berlaku bagi orang beragama, dimana dalam penghayatannya agama lebih terarah pada lingkup batin dan pribadi yang sempit, bahkan lebih sebagai pelarian dari kesulitan hidup sehari-hari daripada sebagai inspirasi kehidupan.
B. Etika Dalam Masyarakat Majemuk
1. Masyarakat majemuk
    Etika dihayati dan diamalkan tidak hanya dalam ruang lingkup hampa, tetapi dalam keadaan konkret hidup dan karya kita sehari-hari yang majemuk. Oleh karena itu, faktor ini perlu diperhatikan.
a. Hidup bersama dalam kemajemukan
    Kita hidup dalam masyarakat yang berbeda keyakinan dan pendapat dalam banyak hal yang mendasar, tetapi harus hidup bersama dengan damai. Meskipun sering kali sifat-sifat pribadi seperti tabiat, watak, kepribadian lebih menentukan daripada keyakinan dan pandangan. Maka, generalisasi tidak tepat. Kemajemukan mempunyai banyak aspek atau sudup pandang, sehubungan dengan moral. Kemajemukan pandangan kiranya menyangkut kemajemukan agama atau keyakinan yang dipeluk. Selain itu, juga paham tentang moral sendiri (belum isinya) dapat berbeda, misalnya faktorkebebasan hati nurani.
b. Kemajemukan luas dalam masyarakat luas
    Indonesia memiliki kemajemukan dari aneka sudut, misalnya:
    - Kemajemukan sosio-religius
    - Kemajemukan sosio-kultural
    - Kemajemukan sosio-ekonomis
    - Kemajemukan sosio-politis
2. Kemajemukan, peluang atau ancaman?
    Kemajemukan merupakan fakta, maka dari itu semboyan negara kita "Bhinneka Tunggal Ika". ini berarti:
a. Kemajemukan sebagai peluang
    Ada kesadaran bahwa kita saling membutuhkan, saling melengkapi dan saling memperkaya untuk berkembang. Dari fakta, terutama juga kesadaran akan kemajuan itu, harus disimpulkan tanggung jawab etis untuk mendayagunakannya demi kesejahteraan bersama seluruh masyarakat (dan sebaiknya) dipahami sebagai peluang dan tanggung jawab untuk saling melengkapi dan saling memperkaya.
b. Kemajemukan sebagai ancaman
    Tetapi, perlu disadari juga bahwa kemajemukan bagi banyak orang tampil sebagai ancaman (SARA) meskipun bahaya ini realitas dan memang juga sudah sering terjadi, terutama selama beberapa tahun terakhir yang lalu pada akhir milenium kedua dan awal milenium ketiga. Ancaman itu menjadi kenyataan bila ada pihak-pihak berkepentingan untuk memanfaatkan kerawanan kemajemukan itu untuk kerusuhan tertentu atau dalam masyarakat bisa dikenal sebagai PROVOKATOR.
c. Kemajemukan sebagai tantangan
    Bagaimana mendayagunakan kemajemukan tersebut sebagai suatu peluang untuk saling melengkapi dan saling memperkaya itu? Disinilah para elite dapat berperan positif, sebagai satu kesatuan yang saling bersinergi sebagai suatu bangsa yang kaya akan kemajemukannya. Tetapi dalam kenyataannya tidak demikian.
C. Aspirasi kristiani etika kristiani
1. Aspirasi kristiani
    Kiranya pengertian "etika kristiani" sendiri tak selalu jelas. Ada beberapa kemungkinan menafsirkannya.
a. Sejauh bersumber pada Alkitab
    Tetapi, sejauh mana perntyataan etis Alkitab dari kontes yang berbeda ribuan tahun yang lalu juga berlaku untuk umat kristiani di sini, dalam kontes ini dan di zaman ini? Dalam kenyataan: tidak semua norma Alkitab dianggap berlaku!
b. Sejauh berkaitan dengan iman kristiani
    Tetapi sejauh mana pasal-pasal iman kristiani dapat disimpulkan bahwa norma-norma etika kristiani dalam kenyataan: dari pokok-pokok iman, misalnya kasih, memang ditarik norma (perintah) untuk mengasihi, tapi masih terlalu umum sifatnya.
c. Sejauh diajarkan gereja
    Tetapi dari mana gereja mengambilnya?
Dalam kenyataan: memang gereja dipandang berwenang menyatakan hal-hal yang menyangkut moral kristiani, sehingga sering menjadi tempat bertanya, meskipun hal ini bukan jaminan bahwa ajaran Gereja akan dianut, karena tidak sedikit yang bersikap selektif.
d. Sejauh berasal dari tradisi kristiani
    Tetapi sejauh mana tradisi itu masih berlaku untuk kita dewasa ini dalam dunia dengan keadaan yang tak hanya makin rumit, tetapi juga berbeda dan berkembang mekin pesat (akselerasi)? Dalam kenyataan, tak jarang juga masih ditanyakan: dulu bagaimana?
2. Apanya yang kristiani?
    Sebaiknya diperhatikan bahwa "kristiani" tidak hanya berkaitan dengan wahyu adikodrati dan tata penebusan, tetapi juga dengan wahyu kodrati dan tata penciptaan yang tak dilenyapkan, malahan justru diteguhkan dan diangkat. dengan kata lain, "kristiani" meliputi hal-hal yang bersumber pada wahyu adikodrati dan hal-hal yang pada dasarnya terbuka bagi penalaran akal sehatdan dengan demikian menyangkut apa yang juga dapat disebut nilai-nilai inklusif. Tetapi, juga sejauh menyangkut nilai-nilai "ekslusif", Gereja tetap menghargai keyakinan dan kebebasan hati nurani sesama, maka mampu hidup dalam kebhinnekaan. Karena itu, setiap kali harus diperiksa lebih teliti apa yang dimaksudkan kalau dipergunakan istilah "kristiani", tidak hanya menyangkut aspek-aspek inklusif dan ekslusif, melainkan juga soal apanya yang kristiani itu.
                                                          --- /Isinya?
                              Dapat ditanyakan< ataukah
                                                          --- \motivasinya?

                             /isinya
a. Bisa salah satu < atau
                             \motivasinya

    Bisa menyangkut hal yang isinya bersifat inklusif dalam arti "terbuka bagi penalaran akal budi", misalnya nilai kemanusiaan universal, sehingga dianut juga oleh kalangan non-kristiani, tetapi motivasinya termasuk nilai ekslusif, misalnya teladan kasi Yesus Kristus.

                                      /isinya
b. Bisa kedua-duanya < dan
                                      \motivasinya

    Bisa juga menyangkut ini yang dikaitkan dengan wahyu kristiani, jadi termasuk nilai ekslusif, misalnya perayaan Ekaristi atau hormat terhadap Sakramen Mahakudus, dan juga motivasinya bersumber pada wahyu kristiani itu, misalnya "lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku".
D. Peran penalaran akal sehat
1. Lebih inklusif daripada ekslusif
    Tak jarang apa yang dicap "lain" dianggap sama sekali berbeda, sedangkan ada banyak unsur kesamaan dan kebersamaan, sehingga mencari titik temu tak berarti mengingkari unsur-unsur ekslusif yang merupakan ciri khas suatu kalangan.
a. Inklusif               = lebih mengedepankan kesamaan dan kebersamaan
b. Ekslusif              = lebih mengedepankan hal-hal ciri khas yang tak dipunyai pihak lain.
2. Kesamaan dan kebersamaan semua
a. Kesamaan dan kebersamaan harus dikedepankan sebagai suatu pijakan bersama dalam hidup serta kerja sama di masyarakat majemuk.
b. Penalaran akal sehat = birpijak pada landasan kebersamaan dan mengutamakan titik temu semua pihak dalam hidup bersama dalam keadilan dan perdamaian.
3. Etika kristiani
    Istilah "kristiani" tak harus menakutkan karena mengandung banyak nilai inklusif.
a. Meskipun etika merupakan implikasi atau konsekuensi iman, namun etika etika bukan dogma atau misteri (bukan soal percaya atau tidak).
b. kesimpulan argumentasi etika berdasarkan penalaran akal sehat dalam cahaya iman, maka harus persuasif (meyakinkan).
c. Praktis semua norma etika kristiani termasuk hasil penalaran akal sehat, maka pada prinsipnya terbuka bagi semua.
4. Isinya bisa sama, motivasinya bisa beda
a. Sama isinya
    Menghayati norma kristiani tak harus berarti berprilaku berbeda, karena kesamaa dan kebersamaan jauh lebuh baik daripada perbedaan, khususnya bila menyangkut nilai-nilai kemanusiaan lintas-batas.
b. Beda motivasinya
    Agama dapat memberimotivasi khusus. Misalnya, perawat kristiani melaksanakan tugasnya penuh kasih, tetapi motivasinya (pendorong dan penjiwaan) bisa diambilnya dari mat 25:36 "ketika aku sakit, kamu mengunjungi aku", sedangkan perawat non-kristiani bisa menimba inspirasi lain dari agama yang dianutnya.
KESIMPULAN:
Perbedaan agama juga dalam masyarakat majemuk ini tak usah menjadi penghambat dalam mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan, bahkan sebaliknya sebagai suatu bangsa yang majemuk justru harus mendorong untuk mencari titik temu dalam usaha mensejahterahkan masyarakat.

Kamis, 03 Desember 2015

ETOS DAN MORALITAS POLITIK Bag. II

I. POLITIK SEBAGAI PERJUANGAN
a. Aspek Positif
       Aspek positif ini perlu dikedepankan karena citra politik dicemari oleh mereka yang mentalitas, sikap, dan perilakunya tak terpuji, sehingga citra politik yang hidup dalam masyarakat ialah:
Politik itu kotor, atau mengejar posisi tertentu dengan harapan memperkaya diri atau mendapat keuntungan lain dengan membawa atas nama rakyat.
1. Politik Harus Ada
       ada hal-hal yang harus ada, entah dalam kenyataannya baik atau buruk, entah kita puas atau tidak, misalnya Negara dengan para politisinya. Kodrat sosial manusia mentut manusia bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. kalau Negara dan Politik sudah merupakan tuntutan kodrat, tidak ada jalan lain selain memenuhinya. Tetapi, tetap harus ada usaha untuk memperbaiki negara dan politinya yang selama ini kurang sesuai dengan tujuannya. Agar usaha itu jangan hanya membabi buta, maka juga perenungan soal etika politik. Dalam ajaran sosial Gereja, negara termasuk lembaga kodrati yang harus ada, apa pun dan bagaimana pun teori untuk menerangkannya.
       Ada negara yang menurut pandangan dewasa ini kurang baik, bukanlah argumen melawan tesis perlunya negara. Negara yang menurut pandangan dewasa ini dinilai kurang baik, telah berfungsi pada zamannya. dimaksudkan, adanya perkembangan. Mungkin saja masih ada masyarakat tranpa bentuk negaranya seperti yang kita kenal sekarang, tetapi sekurang-kurangnya yang menurut adanya instansi yang mengatur hidup bersama sedikit banyak dipenuhi, sekurang-kurangnya dalam bentuk rudimenter.
2. Politik Demi Kepentingan Umum atau Kepentingan Bersama
      kita lahir sudah d:alam konteks bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. dalam hal ini kita dapat mengajukan pertanyaan: untuk apa ?
Jawaban yang sering kita dengan dari ajaran sosial Gereja ialah : Bonum Commune (istilah ini sulit diterjemahkan dalam bahasa Indonesia) yang artinya kurang lebih : kepentingan umum, kesejahteraan bersama, sebagai ringkasan dan lambang segala sesuatu yang kita butuhkan untuk hidup layak amnusiawi, termasuk peluang untuk berkembang, dan sulit-untuk tidak mengatakan mustahil-diusahakan sendiri-sendiri saja.
      Untuk mewujudkan kesejahteraan bersama sebagaimana uang dimaksud sebelumnya, diperlukan mentalitas yang sesuai, yakni keprihatinan efektif untuk kesejahteraan bersama, semangat gotong royong, prinsip solidaritas yang membuat manusia, terutama pimpinan yang menentukan, tahu, mau, mampu dan sanggup mengutakan kepentingan umum diatas kepentingan diri sendiri atau golongan. Pimpinan seperti itu bukanya takut akan sanksi, melainkan karena keyakinan dan kesadaran akan tugasnya menyelenggarakan kesejahteraan bersama. tetapi kebersamaan bersama saja tidak cukup, harus ada kerjasama yang terbagi untuk saling bekerja sama satu sama lain dengan dari beberapa subjek yang bertanggung jawan dan berwenang dengan pembagian tugas yang baik : prinsip subsidiaritas, kalo tidak bisa terjadi bahwasanya suatu tugas menjadi rebutan aneka pihak, sedangkan tugas lain diaabaikan sama sekali. maka dari itu, ketiga prinsip sosial gereja merupakan kesatuan. namun hal tersebut tetap ada perbedaan pandangan diantara mereka, ada yang menggap negara juga sebagai alat untuk memenuhi aspirasi agama atau pandangan hidup tertentu, terutama bila merasa diri kuat untuk mendesakkan pendapatnya dan menempuh segala cara untuk mewujudkannya. Dapat dibayangkan bagaimana segalanya dalam negara menurut aspirasi itu diarahkan untuk mewujudkan nilai-nilai pandangan hidup dianutnya. Kecenderungan demikian ini memang mudah untuk diwujudkan dalam masyarakat yang homogen dan tertutup dewasa ini dalam era global makin berkurang. Cita-cita negara juga sebagai sarana mewujudkan nilai-nilai pandangan hidup yang sama makin lama makin sulit di wujudkan, karena juga dalam hal pandangan hidup masyarakat menjadi makin majemuk.
b. Aspek Negatif
      Harus diakui bahwa baik dalam sejarah dahulu maupun dewasa ini citra politik tidak lepas dari aspek negatif. Hal ini tidaklah mengherankan, karena kekuasaan tidak hanya menjadi godaan, tetapi dalam kenyataan sering menjadi godaan : "Corruptio optimi pessima" (makin tinggi kedudukan seseorang, makin parah kejahatannya). Namun aspek negatif ini tidak lantas harus membuat kita putus asa, karena masih ada secerca harapan dan setitik kebaikan di luar sana yang mampu membuat perubahan, tergantung dari abagaimana kita atau negara memandangnya akan hal tersebut.
1. Sejarah dan Kinerja
     a. Sejarah
    Terlepas dari faktor perkembangan umat manusia (misalnya perkembangan kesadaran akan hak-hak asasi manusia), dari sejarah dapat kita liat atau ajukan beberapa contoh bahwa tujuan negara tidak hanyak untuk diarahkan hanya atau terutama untuk kepentingan umum, tetapi juga untuk kepentingan pribadi atau golongan, misalnya Raja-raja dan sanak saudaranya, baik itu di kawasan Barat maupun di kawasan Timur. Namun, secara berangsur-angsur gagasan beberapa orang-juga berkat makin tersebarnya aneka pemikiran para pakar dan peran media massa - menjadi kesadaran bersama dari banyak orang dan masyarakat yang tidak dapat menerima paham oligarkis tentang negara.Itulah proses lahirnya demokrasi, namun dalam pelaksanaannya tidak mudah sebagaimana pada negara-negara yang memang menyebut diri mereka demokratis (misalnya negara-negara komunis), tapi pada kenyataannya tetap otoriter. bukan hanya dalam sejarah monarki absolut, tetapi juga zaman modern ini ada penguasa-penguasa yang main kuasa yang sering berarti KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme),tidak hanya dalam zaman otoriter, melainkan juga dalam era reformasi.
     b. Kinerja
    Tak jarang politik dianggap "Kotor" bukan hanya karena rakyat dipermainkan, tetapi jg karena perjuangan untuk kepentingan pribadi itu dilaksanakan dengan cara-cara kriminal dan tanpa pemulihan keadilan ("impunity" atau "impunidad" yang dinikmati jederal-jenderal di Amerika Latin), meskipun secara verbal dipertegas dengan konsep negara sebagai negara hukum dan berlakunya undang-undang tanpa pandang bulu.Tetapi undang-undang yang baik tidak hanya diterapkan secara selektif tetapi juga diskriminatif.
     Namun dibalik itu semua (undang-undang maupun penegakannya), dapat ditemukan kinerja manusia yang amat menentukan: "The man behind the gun". undang-undang adalah produk DPR (dan Pemerintah). Penegakan hukum juga terletak ditangan para aparat penegak hukum itu sendiri, baik itu dibelakang meja hijau maupun di lapangan yang sering ditarget atasannya. Penaran kinerja manusia untuk penghayatan  dan pengamalan etika politik amat besar. dalam pemilihan umum yang paling demokratis pun tidak menjadi jaminan, karena juga tergantung pada kinerja orang terpilih. mingkin kinerjanya masih baik pada permulaannya, tetapi pelaksanaannya juga tergantung pada kinerja manusia bagitupun sebaliknya. Dan kinerja pada gilirannya juga tergantung pada mentalitas dan sikap (kepribadian, watak, dan tabiat) orang yang bersangkutan dan lingkungan yang mempengaruhinya.
2. Penyalagunaan Kekuasaan
a. Kekuasaan tak terbatas
    Sejarah juga dapat memberi contoh kekuasaan yang tak terbatas seperti yang terungkap dalam "1'Etat c'estmoi", negara adalah SAYA. sehingga saya (Raja) dapat berbuat apa saja sesukanya. Bandingkan juga istilah etatisme yang membesar-besarkan peran negara dan menyempitkan ruang publik serta ruang privat.
     Meskipun zaman monarki absolut telah berakhir dan meskipun HAM sudah diakui kebanyakan negara, meskipun sudah ada undang-undang yang sehsrusnya berfungsi sebagai dasar hukum untuk tindakan, secara lebih halus kecenderungan ini masih nampak dalam apa yang lazim disebut "etatisme" itu, yaitu kecenderungan negara (lewat pemerintah, bahkan menurut huruf undang-undang) mengatur (hampir) segalanya, terutama di mana ruang "publik" menjadi amat sempit. Namun etatisme sulit berkembang di dalam masyarakat yang sadar akan hak-kaknya (hak asasi manusia, hak sipil), dan terutama bila DPR sungguh menyuarakan sikap rakyat dan tidak terlalu sibuk dengan urusan lain (urusan pribadi/kelompok).
b. Godaan kekuasaan
     Politik juga berarti kekuasaan. tak jarang kekuasaan yang dimaksudkan untuk memperjuangkan kepentingan umum itu disalahgunakan untu kepentingan lain. Godaan kekuasaan ini sudah diketahui dan menjadi rahasia umum, maka ada trias Politika yang membatasi dengan membagi-bagi kekuasaan agar jangan segalanya di satu tangan yang dapat berbuat semaunya dan perlunya status "independen". Dan juga Godaan kekuasaan sulit menjadi kenyatadengaan jika apabila fungsi DPR dijalankan dengan jeli dan baik, dan terutama dalam wawasan jangka panjang, dengan tetap memperhatikan pelaksanaannya bertahap lewat perencanaan jangka menengah dan pendek, dan tak hanya atau terutama memikirkan pemilihan umum berikutnya.
c. Negara dan Agama
1. Sumber kekuasaan
a. Kecenderungan memutlakkan diri
    baik penguasa negara maupun penguasa agama cenderung memutlakkan diri. dalam sejarah ada banyak contoh hubungan persaingan antara kebudayaan, dan bila dua ekor gajah bertengkar, rakyatlah, terutama rakyat kecil tanpa peluang untuk meloloskan diri, yang terjerit dan paling menderita.
b. Yang Ilahi sebagai sumber kekuasaan
     agama cenderung memutlakkan diri karena menganggap diri sebagai sumber pda wahyu ilahi yang dianggap mutlak atau menganggap dirinya sebagai yang paling benar. Misalnya kaisar yang dianggap sebagai keturunan dewa-dewa. Alasan atau tetapi motivasi sepanjang zaman bisa berbeda-beda, tetapi akibatnya sama-sama menindas demokrasi atau lebih jelas: menindas hak-hal asasi manusia yang dengan demikian tidak dihargai sesuai dengan nartabatnya. maka, perlu kebijaksanaan seperti yang ditunjukkan para pendiri Republik Indonesia tahun 1945. mereka menetapkan negara Pancasila, dan kesepakatan tersebut dipegang teguh para pewarisnya: bagaimana hubungan antara negara dan agama jangan terus-menerus menjadi sumber keresahan, misalnya dalam membuat rancangan undang-undang menjadi undang-undang menjadi undang-undang yang merupakan landasan hidup bersama dalam keadilan dan perdamaian.
2. Kesatuan atau Pemisahan?
a. Kesatuan
    Dalam sejarah pun dapat kita liat atau dapat kita temukan kesatuan antara negara dan agama, sedemikian rupa sehingga raja sekaligus kepala Gereja (bdk. Ratu Inggris dan Gereja Anglikan), dan uskup pada Abad Pertengahan sekaligus sebagai kepala Negara. ada kesatuan tahta dan altar. Teokrasi! Kiranya sudah menjadi rahasia umum bahwa kesatuan ini lebih merugikan daripada menguntungkan. Secara sederhana dapat di jelaskan: Negara dan Agama berbeda dan mempunyai tugas dan bidang berbeda pula, meskipun bisa menyangkut bidang yang sama (misalnya perkawinan) dan manusia yang sama yang sekaligus adalah warga negara dan warga agama tertentu. Diperlukan suatu tingkat independensi untuk dapat melakukan tugas itu sebaik-baiknya tanpa mencampuradukkannya, apalagi kalau batas-batasnya kurang tajam.
b. Pemisahan
    Tingkat pemisahan bisa berbeda-beda: 
Negara dan Agama jalan sendiri-sendiri, tak saling mencampuri urusan yang lain, dan mungkin juga saling tak tahu dan tak mau tahu. Misalnya:
Warga negara, menikah menurut hukum perkawinan sipil; dan sebagai warga Gereja, menikah menurut hukum Gereja. Pola pemisahan ini tak jarang menjadi momok "sekuler", yang ditolak dengan menunjuk sifat bangsa yang religius. Kiranya perlu disadari perbedaan antara "sekulerisasi" yang masih sehat dalam arti mengindahkan otonomi wajar tata dunia, dan "sekulerisme" yang tidak sesuai dengan Negara Pancasila yang mencanangkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
c. Kerja sama
    Negara dan Agama memang mempunyai tugas sendiri-sendiri. Namun, dalam kesadaran akan manusia yang sama yang sekaligus warga negara dan warga agama, negara dan agama tidak memberi beban lebih daripada perlu. Maka, negara dan agama bekerja sama. Warga pun memperoleh kebebasan:
Pernikahan menurut hukum agama diakui oleh negara, dan sebaliknya. bagaimana bentuk kerja sama itu juga tergantung pada aneka faktor, antara lain sejarah dan budaya, maka diperlukan seni kontekstualisasi.
d. Negara pancasila
    Berulang kali ditegaskan bahwa Indonesia bukan negara agama, juga bukan negara sekuler. Indonesia adalah negara Pancasila yang dikehendaki para Bapak Pendiri Republik Indonesia yang majemuk. Tetapi, kalau ditanyakan lebih lanjut dan lebih mendalam, apa negara Pancasila itu tetapnya, sulit diperoleh jawaban yang tuntas dan memuaskan. Bila teorinya saja sulit dirumuskan, tidaklah mengherankan bila prakteknya tak jarang membingungkan. Kiranya tak cukup pembatasan yang terutama negatif:
Bukan ini dan bukan itu. Diperlukan pengisian yang lebih positif, agar juga perwujudannya konsisten.

ETOS DAN MORALITAS POLITIK

ETOS DAN MORALITAS POLITIK

Jika politik dipahami sebagai sebuah perjuangan, dapat di ajukan pertanyaan utama apa yang di perjuangkan dan bagaimana memperjuangkannya ?
"Apa" : tujuan semua Negara memperjuangkan masyarakatyang adil dan makmur "Bagaimana "?
      Cara memperjuangkan tujuan itu dapat amat berbeda. terutama dalam politik, sering kali soalnya tidak terletak hanya pada tujuan, tetapi juga pada cara mencapai tujuan tersebut. Negara Demokratis dan Negara Diktator bertuan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur (masyarakat mana yang tidak menghendakinya?), tetapi jalan yang ditempuh untuk mewujudkannya dapat berbeda. dapat diandaikan untuk memakai cara berfikir dengan prinsip skolastik bahwa apa pun yang dikejar, mempunyai sesuatu yang dianggap baik (ratio boni) atau lebih baik, betapa pun subjektif penilaian apa yang baik atau lebih baik itu. orang yang bunuh diri pun  dalam keadaan putus asa mengharapkan sesuatu yang lebih baik daripada terus hidup dalam keadaan seperti itu.
      Dalam hal ini diangkat sesuatu yang dianggap baik yaitu HAM. Pemahaman HAM dan cara memperjuangkannya, terutama bila dianggap bersaing dengan hal lain yang diperjuangkan, dapat amat berbeda, apabila orang secara pragmatis terdorong menempuh jalan pintas untuk mencapai suatu tujuan. dapat kita liat kenyataan di lapangan :
Bukankah sering kali banyak pejabat (baik dari kalangan eksekutif, yudikatif, dan bahkan legislatif) bukannya terutama meperjuangkan HAM, namun melainkan KORUPSI mengusahakan kepentingannya sendiri (pribadi atau golongan). bila jabatan makin dian anggap sebagai peluang untuk memperjuangkan kepentingan golongan atau agenda politik tersembunyi, dan/atau memperkaya diri dan diperjualbelikan, maka meskipun diawali dengan sumpah jabatan, meski termasuk Orde Reformasi, konsekuensi logisnya ialah keadaan dewasa ini yang amat menyedihkan :
Politik tanpa etika dan khususnya tanpa hati nurani. maka dari itu, kiranya baik dalam keadaan seperti ini merenungkan kaitan antara HAM dan politik, apalagi dalam rangka membicarakan etika politik.

Senin, 06 Juli 2015

Contoh Jurnal Profesionalisme



PENGARUH PROFESIONALISME KERJA PEGAWAI TERHADAP EFEKTIVITAS PELAYANAN
PUBLIK DI KANTOR DISDUKCAPIL
KABUPATEN BONE

MULIADI 1, MAPPAMIRING 2, IHYANI MALIK 3

1)      Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara Unismuh Makassar
2)      Dosen Ilmu Administrasi Negara Unismuh Makassar
3)      Dosen Ilmu Administrasi Negara Unismuh Makassar

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh profesionalisme kerja pegawai terhadap efektivitas pelayanan di Kantor Disdukcapil Kabupaten Bone. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif. Adapun populasi dalam penelitian ini yaitu pegawai Disdukcapi dan masyarakat yang dilayani. Sampel yang di gunakan sebanyak 70 orang dengan menggunakan teknik sampling nonprobability samping untuk pegawai dan teknik sampling insidental untuk masyarakat yang dilayani. Adapun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh langsung antara profesionalisme kerja pegawai terhadap efektivitas pelayanan publik di Kantor Disdukcapil Kabupaten Bone.
Kata Kunci : Efektivitas Pelayanan, Perofesionalisme Kerja

ABSTARCT
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh profesionalisme kerja pegawai terhadap efektivitas pelayanan di Kantor Disdukcapil Kabupaten Bone. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif. Adapun populasi dalam penelitian ini yaitu pegawai Disdukcapi dan masyarakat yang dilayani. Sampel yang di gunakan sebanyak 70 orang dengan menggunakan teknik sampling nonprobability samping untuk pegawai dan teknik sampling insidental untuk masyarakat yang dilayani. Adapun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh langsung antara profesionalisme kerja pegawai terhadap efektivitas pelayanan publik di Kantor Disdukcapil Kabupaten Bone.
Kata Kunci : Efektivitas Pelayanan, Perofesionalisme Kerja

PENDAHULUAN
Pembangunan di Indonesia dimaksudkan untuk mewujudkan cita-cita nasional, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pesatnya pembangunan nasional dalam segala bidang era reformasi ini memerlukan tenaga kerja yang handal. Artinya tenaga kerja yang dapat meneruskan kesinambungan pembangunan nasional melalui peningkatan sumber daya manusia yang ada secara profesional. Profesionalisme membutuhkan tenaga kerja yang berdedikasi tinggi, moralitas yang baik, loyalitas terjamin dan mempunyai disiplin kerja yang tinggi.
Pelaksanaan pembangunan mengikutsertakan pegawai atau aparatur pemerintah bersama rakyat memegang peranan penting yaitu sebagai pelaksana dalam menjalankan pembangunan dan sebagai penggerak laju pembangunan disegala bidang. Peranan pegawai atau aparatur negara sangat dituntut dalam menjalankan tugas dibidang masing-masing untuk lebih ulet, terampil, cekatan, berdedikasi tinggi dan menuju kepada suatu efisiensi untuk dapat mencapai tujuan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata dan berkesinambungan baik materil maupun spiritual.
Pembangunan dan pengembangan sumber daya manusia adalah satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan satu sama lain. Dimana pembangunan dapat terlaksana dengan baik apabila sumber daya manusianya memadai, baik itu pembangun skala national maupun regional, begitupun dalam suatu organisasi. Profesional artinya ahli dalam bidangnya. Jika seorang manajer mengaku sebagai seorang yang profesional, maka ia harus menunjukkan bahwa dia ahli dalam bidangnya dan harus menunjukkan kualitas tinngi dalam pekerjaannya. Berbicara mengenai profesionalisme, maka itu mencerminkan sikap seseorang terhadap profesinya. Secara sederhana profesionalisme diartikan sebagai suatu perilaku, cara dan kualitas yang menjadi ciri suatu profesi. Seseorang dikatakan profesional apabila pekerjaannya memiliki ciri standar teknis atau etika suatu profesi Oerip dan Oetomo (2000:264-265).
Kehidupan suatu organisasi secara mendasar adalah sangat ditentukan oleh adanya manusia dan segenap sumber dayanya. Manusialah yang dapat menggerakkan suatu organisasi dengan menghubungkan segenap tenaga, pikiran, bakat, kreativitas dan berupaya demi keberlangsungan kehidupan organisasi tersebut. Manusia adalah sumber daya yang memiliki nilai tertinggi bagi setiap organisasi, karena dapat memberikan manfaat yang besar sekali bila penggunaan tenaga manusia secara tepat guna.
Sumber daya manusia yang dimiliki organisasi memiliki berbagai karakteristik, termasuk kemampuan/profesionalitas kerja, motivasi dan kinerja yang dimilikinya. Ketiga komponen tersebut sangat berkaitan dan berada dalam diri pegawai yang melaksanakan tugas sehari-hari. Sehingga kemampuan atau sumber daya manusia sangat penting. Sebagaimana yag kita ketahui bahwa profesionalisme merupakan suatu bentuk perilaku, cara dan kualitas yang menjadi ciri suatu profesi. Seseorang dikatakan profesional apabila pekerjaannya memiliki ciri standar teknis atau etika suatu profesi Oerip dan Oetomo (2000:264-265).
Oleh karena itu, sumber daya manusia adalah karyawan atau pegawai yang terdapat dalam sebuah organisasi yang dimana harus dikelola secara efektif dan efisien supaya menjadi sebuah organisasi yang efektif dan efisien dalam mencapai tujuannya. Dan untuk menghasilkan tenaga yang profesional, maka berbagai hal perlu diperhatikan. Seperti pengelolaan sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan untuk menghasilkan tenaga-tenaga yang professional. Sumber daya manusia yang profesional akan melahirkan sebuah kinerja yang efektif dan efisien, sehingga memberikan hasil yang maksimal.
Untuk mencapai tingkat profesionalisme kerja aparatur, maka pengembangan sumber daya manusia sebagai faktor utama dalam profesionalisme sangat penting dan harus sejalan antara profesionalisme dengan pengembangan sumber daya manusia. Sebagaimana Harvard (Wibowo,2012:436-441) mengatakan bahwa untuk mengembangkan sumber daya manusia ia menganjurka langka dimulai dengan memahami pekerja, baru kemudian mengembangkan rencana, dan akhirnya menyusun taktik dalam mengembangkan pekerja.
Pelayanan publik merupakan suatu kewajiban bagi para penyelenggara atau apratur negara yang bergerak di wilayah pelayanan publik dalam memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Namun, dalam proses pelaksanaan pelayanan publik pada masyarakat tersebut tidaklah mudah. Banyak permasalahan serius yang kemudian muncul dan dihadapi oleh organisasi,misalnya adanya kesalahan manajemen atau kesalahan operasional, sehingga organisasi tersebut jadi kurang produktif atau macet sama sekali. Akibatnya pekerjaan banyak yang terbengkalai sehingga berdampak pada masyarakat.
Menurut Kotler (Sinambela dkk,2010:4) bahwa pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk  secara fisik. Selanjutnya karena pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yg terjadi dalam interaksi langsung antara seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik dan menyediakan kepuasan pelanggan. Sementara dalam kamus bahasa Indonesia dijelaskan bahwa pelayanan sebagai suatu hal, cara atau hasil pekerjaan melayani. Sedangkan melayani adalah menyuguhi (orang) dengan makan atau minuman, menyediakan keperluan orang, mengiyakan, menerima dan menggunakan.
Dalam mencapai pelayanan publik yang baik, maka profesionalme kerja pegawai merupakan faktor yang paling urgen. Dimana, profesionalisme adalah cikal bakal dari tercapainya suatu pelayanan publik yang baik. Oleh karena itu, profesionalisme sumber daya aparatur harus dikelolah dengan baik. Karena, semakin tinggi kualitas sumber daya aparatur yang ada, maka semakin baik pula kinerja atau tingkat efektivitas pelayanan yang dihasilkan, terutama dalam hal pelayanan publik.
The Liang Gie (1988:34) berpendapat “Efektivitas merupakan keadaan yang mengandung pengertian mengenai terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki, maka perbuatan itu dikatakan efektif kalau menimbulkan akibat atau mencapai maksud sebagaimana yang dikehendaki. Maksud dari pengertian di atas adalah efektif atau tidaknya suatu pekerjaan atau usaha suatu organisasi dapat dilihat dari sasaran dan tujuan yang dicapai.
Kemudian di pertegas oleh “Sondang P. Siagian (1981:151) berpendapat bahwa efektivitas terkait penyelesaian pekerjaan tepat pada waktu yang telah ditetapkan sebelumnya atau dapat dikatakan apakah pelaksanaan sesuatu tercapai sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya”.
METODE PENELITIAN
Adapun lokasi penelitian ini di Kabupaten Bone Kecamatan Tanete Riattang Barat Kelurahan Macanang jalan Andi Mappanyukki Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bone. Penelitian ini adalah survei langsung dengan tipe kuantitatif untuk mengetahui bagaimana hubungan dan pengaruh profesionalisme kerja pegawai terhadap efektivitas pelayanan publik.
Populasi dalam penelitian ini adalah pegawai dan masyarakat yang dilayani dengan menggunakan teknik sampling nonprobability samping untuk pegawai dan sampling insidental untuk masyarakat yang dilayani. Adapun sampel yang di ambil adalah semua pegawai dengan jumlah 50 orang dan masyarakat yang dilayani sebanyak 20 orang.
Dan dari sampel yang ada sebanyak 70 orang tersebut kemudian digunakan sebagai rujukan dalam menguji atau sebagai parameter penelitian dengan menggunakan kuesioner. Yang dimana dari hasil kuesioner tersebut diolah dan divalidasi lebih lanjut sebagai sebuah hasil penelitian yang akan digunakan dengan menggunakan sistem SPSS versi 17.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bone merupakan tempat  di  mana  seluruh  kegiatan  pencatatan  dan   pengadministrasian   tentang
kependudukan dilakukan. Dimana semua kegiatan kemasyarakatan, baik berupa data kependudukan, akta kelahiran, kartu tanda penduduk, kartu keluarga dilakukan di kantor ini.
Namun sebelum dilakukan pemekaran atau pemisahan, kantor ini masih benama Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kependudukan (PMK). Tetapi pada tahun 2006 berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bone No. 05 Tahun 2006, maka dilakukan pemekaran menjadi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bone.
Kabupaten Bone sebagai salah satu daerah yang berada di pesisir timur Sulawesi Selatan memiliki posisi strategis dalam perdagangan barang dan jasa di Kawasan Timur Indonesia yang secara administratif terdiri dari 27 kecamatan, 333 desa dan 39 kelurahan. Kabupaten ini terletak 174 km ke arah timur Kota Makassar, berada pada posisi 4°13'- 5°6' LS dan antara 119°42'-120°30' BT. Luas wilayah Kabupaten Bone 4.559 km² dengan rincian lahan sebagai berikut: (a) Persawahan: 88.449 Ha, (b) Tegalan/Ladang: 120.524 Ha, (c) Tambak/Empang: 11.148 Ha, (d) Perkebunan Negara/Swasta: 43.052,97 Ha, (e) Hutan: 145.073 Ha, (f) Padang rumput dan lainnya: 10.503,48 Ha.
Dan berdasarkan hasil sensus penduduk pada tahun 2010 jumlah penduduk Kabupaten Bone adalah 717.268 jiwa, terdiri atas 341.335 lakilaki dan 375.933 perempuan. Dengan luas wilayah Kabupaten Bone sekitar 4.559 km2 persegi, ratarata tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Bone adalah 157 jiwa per km2.
Karakteristik Responden
Penggambaran karakteristik 70 responden dengan pembagian yaitu, 50 Pegawai kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bone dan 20 orang masyarakat yang dilayani yang menjadi responden akan dikemukakan antara lain berdasarkan jenis kelamin, umur/usia, pangkat/golongan dan tingkat pendidikan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka identitas responden dapat diuraikan sebagai berikut:
Jenis Kelamin
Tabel . 1
Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
NO
Jenis Kelamin
Frekuensi
Persentase %
1
Laki – laki
33
47,14 %
2
Perempuan
37
52,86 %
Jumlah
70
100 %
Sumber : Data kuesioner  tahun 2015
            Berdasarkan Tabel.1 di atas, dari 70 responden yang paling banyak adalah kategori jenis kelamin perempuan yakni, sebanyak 37 orang (52,86%). Artinya perempuan lebih dominan daripada laki-laki yang hanya 33 orang (47,14%).
Usia
            Adapun rata–rata usia yang menjadi responden pada kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bone yaitu kategori usia ≥ 30 Tahun dan 30 dapat dilihat pada table 2 dibawah ini:
Tabel. 2
Jumlah Responden Berdasarkan Usia
NO
Usia
Frekuensi
Persentase %
1
30
15
21,43 %
2
30
55
78,57 %
Jumlah
70
100 %
Sumber : Data kuesioner tahun 2015
Berdasarkan Tabel.2 diatas dari 70 responden yang paling banyak adalah kategori usia ≥ 30 Tahun yakni sebanyak 55 orang (78,57%) artinya, usia ≥ 30 tahun lebih dominan pada kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bone.
Pangkat/Golongan
            Adapun raata–rata pangkat/golongan yang menjadi responden pada kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bone adalah sebagai berikut:
Tabel. 3
Jumlah Responden Berdasarkan Pangkat/Golongan
NO
Pangkat/Golongan
Frekuensi
Persentase %
1
Eselon II.B
1
1,43%
2
Eselon III.A
1
1,43%
3
Eselon III.B
4
5,71%
4
Eselon IV
15
21,43%
5
Staf
13
18,57%
6
Lain-lain
20
28,57%
Jumlah
70
100 %
Sumber : Data kuesioner tahun 2015
            Berdasarkan tabel.3 diatas, dari 70 responden yang paling banyak dalam kategori pangkat/golongan tertinggi/Eselon IV yakni sebanyak 15 orang (21,43%). Hal ini dikarenakan jenjang pengabdian/karier di instansi pemerintahan tersebut, sehingga didominasi oleh jabatan/golongan eselon IV. Meskipun ada sekitar 20 orang (28,57%) yang memiliki jumlah persentase tinggi namun tidak termasuk pada golongan/pangkat tertinggi karena berada pada kategori lain-lain/campuran.
Pendidikan
            Responden yang mengenyam pendidikan terakhir S1 yang paling dominan di kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bone dibandingkan dengan pendidikan S2 atau yang lainnya. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada tabel 4 dibawah ini :
Tabel. 4
Jumlah Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
NO
Pendidikan
Frekuensi
Persentase %
1
S II
8
11,43%
2
S I
47
67,14%
3
SMA
15
21,43%
Jumlah
70
100 %
Sumber : Data kuesioner tahun 2015
Berdasarkan tabel.4 diatas, dari 70 responden yang paling banyak adalah kategori pendidikan S1 yakni sebanyak 47 orang (67,14%), dominannya status berpendidikan S1 karena tingkat kesadaran untuk mengikuti jenjang pendidikan yang lebih tinggi masih rendah.
Akumulasi Frekuensi Frofesionalisme Kerja
            Profesionalisme kerja sangat penting di dalam sebuah organisasi maupun dalam kegiatan kerja.Karena profesionalisme kerja sangat menentukan kualitas pelayanan maupun efektifitas suatu pelayanan yang diberikan, sebagaimana dalam konsep pelayanan prima.Baik atau tidak suatu pelayanan, begitupun berhasil atau tidaknya suatu organisasi dapat di liat dari seberapa besar tingkat profesional kerja pegawai yang berada di dalamnya.
            Profesionalisme kerja pegawai sangat ditentukan oleh kemampuan pegawai yang tercermin melalui perilakunya sehari-hari. Tingkat kemampuan pegawai yang tinggi akan lebih cepat mengarah pada pencapaian tujuan organisasi yang telah direncanakan sebelumnya dan begitupun sebaliknya. Dengan demikian, keberhasilan atas pelayanan yang diberikan tergantung dari seberapa besar tingkat profesionalisme kerja pegawai, terutama pada kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bone.
Tabel. 5
Akumulasi Frekuensi Profesionalisme Kerja Pegawai Di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bone
NO
Pernyataan
Rata-rata Skor
Rata-rata Persentase
1
IQ atau Pengetahuan
3,02
43,14 %
2
Inovatif
2,8
40 %
3
Kreatif
2,88
41,14 %
4
Equality
2,91
41,57 %
5
Equity
2,87
41 %
6
Loyality
2,86
40,86 %
7
Accountability
2,76
39,43 %
Rata-rata skor dan rata-rata persentase
2,87
41,02 %





Sumber : diolah dari data primer, maret 2015
            Berdasarkan data pada tabel.5  diatas yang merupakan akumulasi dari ketujuh penjabaran yang telah dipaparkan dapat diketahui bahwa profesionalisme kerja pegawai di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bone jika dinilai, berada pada kategori kedua atau baik. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata akumulasi yang menunjukkan nilai rata-rata skor dan rata-rata persentase dengan persentase 2,87 ( 41,02 % ). Dapat disimpulkan bahwa pegawai di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bone telah memiliki tingkat profesionalitas yang cukup baik.
            Dari hasil diatas menunjukkan bahwa profesionalisme kerja pegawai di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bone termasuk sudah cukup baik. Namun diharapkan profesionalisme kerja pegawai pada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bone dapat lebih meningkatkan kualitas pelayanan sehingga tercipta efektivitas pelayanan yang maksimal melalui penguatan atau peningkatan profesionalitas kerja pegawai yang ada.
Akumulasi Frekuensi Efektivitas Pelayanan Publik
            Pada hakikatnya, efektivitas merupakan suatu pencapai atau hasil dari apa yang telah dilakaukan berdasarkan tujuan atau apa yang telah ditentukan sebelumnya. Efektivitas sangat penting terutama efektivitas dalam pelayanan karena hal tersebut sudah merupakan kewajiban sebabagaimana pada visi yang ada. Suatu organisasi dapat dikatana berhasil, ketika semua kegiatan kerja dalam hal pelayanan yang diberikan efektif dan efisien serta kualitas atau output yang dihasilkan memberi kepuasan kepada pengguna jasa atau masyarakat.
Tabel. 6
NO

Pernyataan
Rata-rata skor
Rata-rata  persentase
1
Kesederhanaan
3,13
78,25 %
2
Kejelasan dan kepastian
3,1
77,5 %
3
Ekonomis
3,35
83,75 %
4
Ketepatan waktu
2,97
74,25 %
Rata-rata skor dan rata-rata persentase
3,14
78,44 %
Akumulasi Frekuensi Efektivitas Pelayanan Publik di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bone
Sumber : diolah dari data primer, maret 2015
            Berdasarkan data pada tabel.6 di atas merupakan akumulasi dari keempat penjabaran yang telah dipaparkan dapat diketahui bahwa efektivitas pelayanan publik jika dinilai berada pada kategori kedua atau baik. Hal ini dapat dilihat dari rata akumulasi yang menunjukkan nilai rata-rata skor dan rata-rata persentase 3,14 ( 78,44 % ). Dapat disimpulkan bahwa tingkat efektivitas pelayanan publik sudah baik.
            Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bone diharapkan dapat meningkatkan dengan lebih baik lagi kinerja para pegawai sehingga efektivitas pelayanan publik dapat tercapai dengan baik. Semakin profesional suatu pelayanan yang diberikan maka semakin efektif pula hasil yang kita dapatkan dan pencapaian tujuan dari apa yang direncanakan sebelumnya dapat tercapai dengan masksimal.
Analisis Pengaruh Profesionalisme Kerja Pegawai Terhadap Efektivitas Pelayanan Publik Di Kantor Disdukcapil Kabupaten Bone
            Sebagaimana yang telah diuraikan diatas, maka penulis akan mencoba menganalisis data-data tersebut secara simultan. Setelah dilakukan pengolahan data keseluruhan variable independen maka diperoleh data profesionalisme kerja pegawai secara keseluruhan sebagai variable independen dan efektivitas pelayanan publik variabel dependen. Maka hasilnya, penulis akan dapat melihat besar hubungan antara variable independen dan dependen.
            Berdasarkan analisis tersebut, diketahui bahwa profesionalisme kerja pegawai sebagai variabel independen ternyata tidak berpengaruh pada efektivitas pelayanan publik sebagai variable dependen dengan bagian kolom Sig. (2-tailed) di dapat angka probabilitas sebesar 0,05 yang berarti bahwa, adanya profesionalisme kerja pegawai terhadap efektivitas pelayanan publik berkorelasi secara signifikan karena probabilitasnya lebih besar dari 0,01
Analisis Data
            Sebagaimana yang telah diuraikan pada rumusan masalah dan berdasarkan data-data yang telah penulis peroleh dan kumpulkan, akan dilihat apakah ada pengaruh profesionalisme kerja pegawai terhadap efektivitas pelayanan publik, serta berapa besar pengaruh profesionalisme kerja pegawai terhadap efektivitas pelayanan publik. Sebelumnya, terlebih dahulu ditentukan variable independen (X) dan variable dependen (Y) yaitu :
Variabel Independen (X) adalah : X1 = IQ atau Pengetahuan, X2 = Inovatif, X3 = Kreatif, X4 = Equality, X5 = Equity, X6 = Loyality, X7 = Accountability
Variabel Dependen (Y) adalah : Y1 = Kesederhanaan, Y2 = Kejelasan dan Kepastian, Y3 = Ekonomis, Y4 = Ketepatan Waktu
Variabel Independen (X) adalah Profesionalisme Kerja Pegawai
Variabel dependen (Y) adalah Efektivitas Pelayanan Publik
            Karena akan diketahui apakah ada pengaruh profesionalisme kerja pegawai terhadap efektivitas pelayanan publik, maka akan dilakukan uji regresi linear. Tetapi karena ada dua pengaruh yang ingin diketahui yaitu pengaruh variable independen secara parsial terhadap profesionalisme kerja pegawai dan pengaruh secara simultan variable independen terhadap efektivitas pelayanan publik. Maka akan dijelaskan pengaruh variable independen secara parsial terhadap profesionalisme kerja pegawai, kemudian yang kedua yaitu pengaruh variable independen profesionalisme kerja pegawai secara simultan terhadap pengaruh efektivitas pelayanan publik.
Dan berdasarkan dari hasil perhitungan regresi linear sederhana, dengan menggunakan SPSS 17 maka didapatkan hasil sebagai berikut :
Tabel.7



PROFESIONALISME
EFEKTIFITAS
PROFESIONALISME
Pearson Correlation
1
.658*
Sig. (2-tailed)

.028
N
11
11
EFEKTIFITAS
Pearson Correlation
.658*
1
Sig. (2-tailed)
.028

N
11
11
Hasil Perhitungan Variabel Independen Dan Dependen Secara Simultan Dengan Menggunakan Uji Korelasi Bivariate Correlations
Ket : hasil Pengolahan SPSS 17
Pada tabel diatas dapat dilihat pada perolehan angka probabilitas untuk Profesionalisme Kerja Pegawai terhadap Efektivitas Pelayanan Publik sebesar 0,028 menunjukkan bahwa Efektifitas Pelayanan Publik berpengaruh terhadap Profesionalisme Kerja Pegawai  karena nilai signifikannya lebih kecil dari 0,05.
            Dari hasil pengamatan penulis dengan melihat hasil olahan data yang telah di isi oleh responden, secara simultan sangat terlihat bahwa adanya pengaruh profesionalisme kerja pegawai terhadap efektivitas pelayanan publik, dengan perolehan 0,028 yang menunjukkan bahwa Profesionalisme Kerja Pegawai variable (X) berpengaruh terhadap EfektivitasPelayanan Publik (Y).
KESIMPULAN
            Setelah diadakan suatu pembahasan berupa hasil kuesioner dan pengujian regresi linear sederhana serta korelasi mengenai pengaruh profesionalisme kerja pegawai terhadap efektivitas pelayanan publik, maka kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut :
            Pada data pada tabel.5  diatas yang merupakan akumulasi dari ketujuh penjabaran yang telah dipaparkan dapat diketahui bahwa profesionalisme kerja pegawai di Kantor Disdukcapil Kabupaten Bone jika dinilai, berada pada kategori kedua atau baik. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata akumulasi yang menunjukkan nilai rata-rata skor dan rata-rata persentase dengan persentase 2,87 (41,02 %). Dapat disimpulkan bahwa pegawai di Kantor Disdukcapil Kabupaten Bone telah memiliki tingkat profesionalitas yang cukup baik, namun masih perlu lagi ditingkatkan lagi.
            Sedangkan data pada tabel.6 di atas merupakan akumulasi dari keempat penjabaran yang telah dipaparkan dapat diketahui bahwa efektivitas pelayanan publik jika dinilai berada pada kategori kedua atau baik. Hal ini dapat dilihat dari rata akumulasi yang menunjukkan nilai rata-rata skor dan rata-rata persentase 3,14 ( 78,44 % ). Dapat disimpulkan bahwa tingkat efektivitas pelayanan publik sudah baik.
            Dan berdasarkan hasil uji regresi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa profesionalisme kerja pegawai berpengaruh signifikan terhadap efektivitas pelayanan publik, ini dapat dilihat pada perolehan angka probabilitas padaa sig.(2-tailed). Untuk efektivitas sebesar 0,028, kemudian nilai pearson correlation 0,658 dalan hal ini H1 di terima artinya, ada pengaruh profesionalisme kerja pegawai terhadap efektivitas pelayanan publik. Berdasarkan hal ini lah maka dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat profesionalitas pegawai, maka semakin tinggi pula tingkat efektivitas pelayanan yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Burhan M, 2011.Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Moenir, A.S, 1995. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakatra: BumiAksara.
Oerip dan Oetomo, 2000, Peran Profesionalisme Kerja Pegawai dalam Pelayanan Publik. Respisitory.usu.ac.id diakses 2 maret 2015
Sinambela, dkk, 2010. Reformasi Pelayanan Publik, Jakarta: BumiAksara
Siagian, Sondang P. 1981, Efektifitas Pelayanan Publik di Kecamatan Maritengngae Kabupaten Sidenreng Rappang. Respisitory.unhas.ac.id diakses 6 maret 2015
Sugiyono, 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta.
Republik Indonesia. UU No. 43 Tahun 1999 Perubahanatas UU No. 8 Tahun 1974 Tentang “Pokok-Pokok Kepegawaian” Pasal 31 ayat 1.
Wibowo, 2012. Manajemen Kinerja, Jakarta: Rajawali Pers.
Wojowisoto, 1980, Efektifitas Pelayanan Publik di Kecamatan Maritengngae Kabupaten Sidenreng Rappang. Respisitory.unhas.ac.id 6
Maret 2015