Sosial Politik

Rabu, 18 Maret 2015

PLURALISME AGAMA DALAM PERSPEKTIF KRISTEN



(Adhymuliadi36)

DEFINISI PLURALISME AGAMA
            Pluralisme agama bisa dipahami dalam minimum tiga kategori. Pertama, kategori sosial. Dalam pengertian ini, pluralisme agama berarti ”semua agama berhak untuk ada dan hidup”. Secara sosial, kita harus belajar untuk toleran dan bahkan menghormati iman atau kepercayaan dari penganut agama lainnya. Kedua, kategori etika atau moral. Dalam hal ini pluralisme agama berarti bahwa ”semua pandangan moral dari masing-masing agama bersifat relatif dan sah”. Jika kita menganut pluralisme agama dalam nuansa etis, kita didorong untuk tidak menghakimi penganut agama lain yang memiliki pandangan moral berbeda, misalnya terhadap isu pernikahan, aborsi, hukuman gantung, eutanasia, dll. Ketiga, kategori teologi-filosofi. Secara sederhana berarti ”agama-agama pada hakekatnya setara, sama-sama benar dan sama-sama menyelamatkan”. Mungkin kalimat yang lebih umum adalah ”banyak jalan menuju Roma”. Semua agama menuju pada Allah, hanya jalannya yang berbeda-beda. Selanjutnya, dalam tulisan ini, setiap kali kita menyebut pluralisme agama, yang dimaksudkan adalah pluralisme agama dalam kategori teologi-filosofi ini.

FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PLURALISME AGAMA
            Fundamentalisme agama disertai dengan manifestasinya yang salah adalah racun berbahaya yang sedang berkembang luas (ingat peristiwa 11/9). Walaupun demikian, saat ini pluralisme agama sebagai ”lawannya” juga menjelma menjadi virus yang cepat menular. Pluralisme agama kenyataannya makin populer di kalangan orang-orang yang beragama maupun tidak beragama, berpendidikan tinggi maupun rendah, teolog maupun kaum awam. Di kalangan Muslim, walaupun MUI sudah menyatakan pluralisme agama sebagai ajaran yang haram untuk dianut, tetapi perkembangannya tampaknya terus melaju. Ada banyak faktor yang mendorong orang untuk mengadopsi pluralisme agama. Beberapa faktor yang signifikan adalah:
1. Iklim demokrasi   
Dalam iklim demokrasi, kata toleransi memegang peranan penting. Sejak kecil di    negara ini kita diajar untuk saling menghormati kemajemukan suku, bahasa dan agama. Berbeda-beda tetapi satu jua. Begitulah motto yang mendorong banyak orang untuk berpikir bahwa semua perbedaan yang ada pada dasarnya bersifat tidak hakiki. Beranjak dari sini, kemudian toleransi terhadap keberadaan penganut agama lain dan agama-agama lain mulai berkembang menjadi penyamarataan semua agama. Bukankah semua agama mengajarkan kebaikan? Jadi, tidak masalah Anda menganut yang mana!

2. Pragmatisme
Dalam konteks Indonesia maupun dunia yang penuh dengan konflik horisontal antar pemeluk agama, keharmonisan merupakan tema yang digemakan dimana-mana. Aksi-aksi ”fanatik” dari pemeluk agama yang bersifat destruktif dan tidak berguna bagi nilai-nilai kemanusiaan membuat banyak orang menjadi muak. Dalam konteks ini, pragmatisme bertumbuh subur. Banyak orang mulai tertarik pada ide bahwa menganut pluralisme agama (menjadi pluralis) akan lebih baik daripada seorang penganut agama tertentu yang ”fanatik”. Akhirnya, orang-orang ini terdorong untuk meyakini bahwa keharmonisan dan kerukunan lebih mungkin dicapai dengan mempercayai pluralisme agama daripada percaya bahwa hanya agama tertentu yang benar. Yang terakhir ini tentu berbahaya bagi keharmonisan masyarakat. Begitulah pola pikir kaum pragmatis.

3. Relativisme
Kebenaran itu relatif, tergantung siapa yang melihatnya. Ini adalah pandangan yang populer, sehingga seorang tukang sapu pun memahaminya. Dalam era postmodern ini penganut relativisme percaya bahwa agama-agama yang ada juga bersifat relatif. Masing-masing agama benar menurut penganutnya-komunitasnya. Kita tidak berhak menghakimi iman orang lain. Akhirnya, kita selayaknya berkata ”agamamu benar menurutmu, agamaku benar menurutku. Kita sama-sama benar”. Relativisme agama seolah-olah ingin membawa prinsip win-win solution ke dalam area kebenaran.


4. Perenialisme
Mengutip Komarudin Hidayat, filsafat perennial adalah kepercayaan bahwa Kebenaran Mutlak (The Truth) hanyalah satu, tidak terbagi, tetapi dari Yang Satu ini memancar berbagai “kebenaran” (truths). Sederhananya, Allah itu satu, tetapi masing-masing agama meresponinya dan membahasakannya secara berbeda-beda, maka muncullah banyak agama. Hakekat dari semua agama adalah sama, hanya tampilan luarnya yang berbeda.

SEBUAH MODEL: PLURALISME AGAMA VERSI JOHN HICK
Untuk mengetahui lebih jelas tentang pluralisme agama, kita akan melihat pandangan John Hick sebagai tokoh pluralis yang tulisannya sering dikutip baik oleh orang Kristen maupun pemeluk agama lain. Berikut ini adalah rangkuman pandangan John Hick:
         Semua agama adalah respon terhadap keberadaan tertinggi yg bersifat transenden (Allah-yang disebut The Real).
         “The Real” itu melampaui konsep manusia sehingga semua agama tidak sempurna dalam relasinya terhadap “The Real” tersebut.
         Oleh karena itu, tentang agama-agama John Hick berkata, “agama-agama tidak mungkin semuanya benar secara penuh; mungkin tidak ada yang benar secara penuh; mungkin semua adalah benar secara sebagian
         John Hick membedakan “The Real” sebagai realitas ultimat dan “The Real” yang ditangkap dan dipersepsikan oleh agama-agama sebagai Personae (berpribadi): Allah, Yahweh, Krisna, Syiwa atau Impersonae (tidak berpribadi): Tao, Nirguna Brahman, Nirwana, Dharmakaya
         Dalam konsep Hick, Personae dan Impersonae adalah penafsiran terhadap The Real. The Real itu tidak dapat disebut personal atau impersonal, memiliki tujuan atau tidak memiliki tujuan, baik atau jahat, substansi atau proses, bahkan satu atau banyak. The Real itu melampaui semua kategori manusiawi seperti itu.
         Keselamatan adalah proses perubahan manusia dari berpusat pada diri sendiri (self-centered) menjadi berpusat pada Realitas tertinggi (Real-centered)
         Kriteria untuk mengetahui apakah seseorang sudah diselamatkan atau tidak adalah kehidupan moral dan spiritualnya yang mencerminkan kekudusan. Diantara kualitas-kualitas itu adalah: belas kasihan, kasih kepada semua manusia, kemurnian, kemurahan hati, kedamaian batin dan ketenangan, sukacita yang memancar.

PLURALISME AGAMA: SEBUAH TINJAUAN KRITIS
Pluralisme agama memang ”simpatik” karena ingin membangun teologi yang terdengar amat toleran, ”semua agama sama-sama benar. Semua agama menyelamatkan”. Walaupun demikian teologi pluralisme agama pada dasarnya menyangkali iman Kristen sejati yang kembali pada Alkitab. Kita akan memberikan beberapa kritik terhadap pluralisme agama ini.

1. Pluralisme agama merupakan pendangkalan iman
Orang yang percaya pada teologi pluralisme agama biasanya tidak benar-benar mendasarkan pandangannya atas dasar kitab suci agama yang dianutnya atau tidak benar-benar berteologi berdasarkan sumber utama (kitab suci). Jika kita benar-benar jujur membaca kitab suci agama-agama maka kita menemukan klaim-klaim eksklusif yang memang tidak bersifat saling melengkapi tetapi saling bertentangan. Sebagai contoh: Buddhisme tidak percaya pada kehidupan kekal (surga) sebagai tempat bersama Allah. Buddhisme percaya pada Nirwana dan Reinkarnasi. Nirwana adalah Keadaan Damai yang membahagiakan, yang merupakan kepadaman segala perpaduan yang bersyarat (Dhammapada bab XXV). Bagi Budhisme, tidak ada neraka dalam definisi ”tempat dan kondisi dimana Allah menghukum manusia”. Yang ada adalah reinkarnasi bagi mereka yang belum mampu memadamkan keinginan-keinginan duniawinya. Hal ini tentu bertentangan dengan konsep Kristen yang percaya surga dan neraka. Bahkan jika kita berkata bahwa Islam juga mempercayai surga dan neraka, tetap terdapat perbedaan konsep (Lih.Q.S.6:128; 78:31-34). Disini kita melihat bahwa pluralisme adalah konsep yang mereduksi keunikan pandangan agama masing-masing.

2. Pluralisme agama memiliki dasar yang lemah
Pragmatisme yang mendasari pluralisme agama adalah sebuah cara berpikir yang    tidak tepat. Demi keharmonisan maka mengganggap semua agama benar adalah mentalitas orang yang dangkal dan penakut. Selanjutnya, relativisme kebenaran adalah sebuah pandangan yang salah. Penganut relativisme agama tampaknya sering tidak bisa membedakan antara relativisme dalam hal selera (enak/tidak enak, cantik/tidak cantik), opini (UK Petra akan semakin maju/mundur) dan sudut pandang (ekonomi, sosiologi) dengan kemutlakan kebenaran. Kebenaran itu mutlak, sedangkan selera, opini dan sudut pandang memang relatif.
     
      3. Penganut pluralisme Agama seringkali tidak konsisten
      Penganut pluralisme agama sering menuduh golongan yang percaya bahwa hanya agamanyalah yang benar (sering disebut eksklusivisme atau partikularisme dalam  teologi Kristen) sebagai fanatik, fundamentalis dan memutlakkan agamanya. Padahal dengan menuduh demikian, kaum pluralis telah menyangkali pandangannya sendiri bahwa tiap orang boleh meyakini agamanya masing-masing secara bebas. Jika seorang  pluralis anti terhadap kaum eksklusivis maka ia bukanlah pluralis yang konsisten. Dalam realita, kita menemukan banyak pluralis yang seperti itu dan memutlakkan pandangan bahwa ”semua agama benar”. Kaum pluralis seringkali terjebak dalam eksklusivisme baru yang mereka buat yaitu hanya mau menghargai kaum pluralis lainnya dan kurang menghargai kaum eksklusivis.

      4. Pluralisme agama menghasilkan toleransi yang semu
      Jika kita membangun toleransi atas dasar kepercayaan bahwa semua agama sama-sama benar, hal itu adalah toleransi yang semu. Toleransi yang sejati justru muncul sebagaimana dikatakan Frans Magnis Suseno, ”meskipun saya tidak meyakini iman-kepercayaan Anda, meskipun iman Anda bukan kebenaran bagi saya, saya sepenuhnya menerima keberadaan Anda. Saya gembira bahwa Anda ada, saya bersedia belajar dari Anda, saya bersedia bekerja sama dengan Anda.”
      5. Kritik terhadap pluralisme agama John Hick
      Jika ”The Real” atau Allah-nya Hick  memang melampau konsep yang baik atau yang jahat, mengapa Hick justru menggunakan kriteria ”kekudusan” untuk mengetahui seseorang itu sudah diselamatkan atau tidak diselamatkan? Ini adalah sebuah kriteria yang bisa kita pertanyakan keabsahannya. Selanjutnya, bagi Hick, keselamatan adalah transformasi moral akibat perubahan pusat kehidupannya dari diri sendiri kepada ”The Real” (Allah, Brahman, Tao). Hal ini mencerminkan teologi yang tidak berdasarkan Alkitab, walaupun Hick sendiri mengaku Kristen. Teologi alkitabiah menunjukkan bahwa keselamatan bukan hasil perilaku etika atau moralitas tertentu tetapi kebenaran Allah di dalam karya penebusan Yesus Kristus di kayu salib yang kita terima secara cuma-cuma melalui iman (Roma 3:28-30; 10: 9-10; Mat. 26:28). Keselamatan dalam konsep Kristen juga berbeda dengan keselamatan dalam Islam karena Al Qur’an menyatakan bahwa keselamatan adalah hasil sinergi antara iman dan amal manusia (Q.S.Al Baqarah 25).

Kesimpulan
Pluralisme agama dalam pengetian teologi-filosofi memiliki banyak kelemahan dalam logika dan konsistensi teologi. Selain itu berdasarkan epistemologi Alkitab, kita harus menolak pandangan ”semua agama menuju pada Allah dan semua agama menyelamatkan”. Orang Kristen perlu berani mengakui perkataan Yesus "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Sikap demikian bukanlah fanatik tetapi konsisten. Fanatik adalah mempercayai sesuatu atau seseorang tanpa bersikap kritis terhadapnya. Seseorang yang belum pernah belajar semua agama tetapi terburu-buru mengatakan semua agama pada dasarnya sama justru adalah orang yang fanatik terhadap pluralisme agama. Akhirnya, tentu saja kita perlu menerima pluralisme agama secara sosial, tetapi pluralisme agama dalam kategori teologi-filosofi harus kita tolak dengan tegas.

Manusia dan Perubahan Sosial ”Teori Modernisasi Klasik”




BAB II,
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Modernisasi
- Astrid S Susanto: (1977) modernisasi adalah proses pembangunan kesempatan yang diberikan oleh perubahan demi kemajuan.
- Widjojo Nitisastro: modernisasi mencangkup suatu transformasi total dari kehidupan bersama yang tradisional atau pra modern dalam arti teknologi serta organisasi sosial ke arah pola-pola ekonomis dan politis
- Soerjono Soekanto: modernisasi adalah suatu bentuk perubahan sosial, yan bisanya perubahan sosial yang terarah (directed change) yang didasarkan pada suatu perencanaan yang biasanya dinamakan Sosial Planing .
Syarat-syarat Modernisasi.
  • Cara berfikir ilmiah ( Scientific thinking) yang institutionalized dalam the ruling class maupun masyarakat.
  • Sistem administrasi negera yang baik, yang benar-benar mewujudkan bureaucracy (birokrasi).
  • Adanya system pengumpula data yang baik dan teratur yang terpusat pada suatu lembaga atau badan tertentu.
  • Penciptaan iklim yang favoureble dan masyarakat terhadap modernisasi dengan cara pengunaan alat-alat komunikasi masa.
  • Tingkat organisasi yang tinggi, yang disatu pihak berarti disiplin, sedangkan dilain pihak berarti pengurangan kemerdekaan.
  • Sentrasi wewenang dalam social planning.
2.2 Warisan pemikiran
Sejak awal perumusan, aliran pemikiran modernisasi secara sadar mencari suatu bentuk teori. Dalam usahanya menjelaskan persoalan pembangunan negara-negara Dunia Ketiga, perpektif ini banyak menerima warisan pemikiran dari teori evolusi dan teori fungsionalisme. Ini terjadi kerena pengaruh teori evolusi telah terbukti mampu membantu menjelaskan proses masa peralihan dari masayarakat tradisional ke masyarakat modern negara-negara Eropa Barat, selain juga mampu menjelaskan arah yang perlu ditempuh negara Dunia Ketiga dalam proses modernisasinya.
Pewarisan pemikiran struktural-fungsionalisme ke dalam teori modernisasi terjadi lebih disebabkan oleh kenyataan, bahwa sebagian besar pendukung utama teori modernisasi seperti: Daniel Larner, Marion Levy, Neil Smelser, Samuel Eisenstadt, dan Gabriel Almond, lebih banyak terdidik dalam aliran pemikiran struktural-fungsionalisme, sewaktu mereka tengah berada dalam bangku kuliah dahulu. Oleh karena itu, kan bermanfaat apabila sebelum menyampaikan secara detail konsep-konsep pokok teori modernisasi, disampaikan terlebih dahulu secara singkat pola pikir teori evolusi dan teori fungsionalisme.
Teori Evolusi
Teori evolusi lahir pada awal abad ke-19 sesaat sesudah Revolusi Indistri dan Revolusi Perancis yang merupakan dua revolusi yang tidak sekedar menghancurkan tatanan lama, tetapi juga membentuk acuan dasar baru. Revolusi Industri menciptkan dasar-dasar ekspansi ekonomi, sedangkan Revolusi Perancis meletakkan kaidah-kaidah pembangunan politik yang berdasarkan keadilan, kebebasan, dan demokrasi.
Teori Evolusi menggambarkan perkembangan masyarakat, pertama, yaitu teori evolusi mengganggap bahwa perubahan sosial merupakan gerakan searah seperti garis lurus. Masyarakatnya berkembang dari masyarakat primitif menuju masyarakat maju. Kedua, teori evolusi membaurkan antara pandangan subjektif tentang nilai dan tujuan akhir perubahan sosial. Perubahan menuju bentuk masyarakat modern, merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Oleh kerena itu masyarakt modern merupakan bentuk masyarakat yang dicita-citakan.
Teori Stuktural Fungsionalisme
Pemikiran Talcott Parsons memandang masyarakat manusia tak ubahnya seperti organ tubuh manusia, dan oleh kerena itu masyrakat manusia dapat juga dipelajari seperti mempelajari tubuh manusia.
Pertama, seperti struktur tubuh manusia yang memiliki berbagai bagian yang saling berhubungan satu sama lain. Oleh kerena itu, masyarakat menurut Parson juga mempunyai berbagai kelambagaan yang saling terkait dan keterhantungan satu sama lain.
Kedua, karena setiap bagian tubuh manusia memiliki fungsi yang jelas dan spesifik, maka dengan demikian pula setiap bentuk kelambagaan dalam masyarakat. Parson merumuskan istilah ”fungsi pokok” (fungtional imperative) untuk menggambarkan empat macam tugas utama yang harus di lakukan agar masyaraklat tidak ”mati”, yang terkenal dengan sebutan AGIL (adaptation to the envorontment, goal attaintment, integration dan latency).
Analogi dengan tubuh manusia mengakibatkan Parson merumuskan konsep ”keseimbangan dinamis-stasioner” (homeostatic equilibrium). Jika satu bagian tubuh manusia berubah, maka bagian lain akan mengikutinya. Ini dimaksudkan untuk menguragi ketegangan intern dan mancapai keseimbangan baru. Demikian juga yang terjadi pada masyarakat. Masayarakat selalu mengalami perubahan, tetapi teratur. Perubahan sosial yang terjadi pada satu lembaga lain untuk mencapai keseimbangan baru.
Namun demikian, teori fungsionalisme sering disebut sebagai konservatif, karena menganggap bahwa masyarakat akan selalu berada pada situasi harmoni, stabil, seimbang, dan mapan. Bias ini terjadi karena analogi dari masyarakat dan tubuh manusia yang dilakukan oleh Parson bisa diilustrasikan, bahwa tidak mungkin terjadi konflik antara tangan kanan dengan tangan kiri dengan tangan kanan, demikian pula tidak mungkin terjadi ada satu tubuh manusia yang membunuh dirinya sendiri dengan sengaja. Demikian pula karakter yang terdapat dalam masyarakat. Lembaga masyarakat akan selalu terkait secara harmonis, berusaha menghindari konflik, dan tidak mungkin akan menghancurkan keberadaannya sendiri.
Parson merumuskan konsep ”faktor kebakuan dan pengukur (pattern variables), dalam rangka menjelaskan perbedaan masyarakat tradisional dengan masyarakat modern. Faktor kebakuan dan pengkur (FKP) ini menjadi alat utama untuk memahami hubungan sosial yang langgeng, berulang dan mewujud dalam sistem kebudayan, yang bagi Parson merupakan sistem yang tertinggi dan terpenting.
Selanjutnya, dalam kaitannya dengan hal tersebut, ada sesuatu yang disebut dengan hubungan ”kecintaan dan kenetralan” (affective dan effective-neutral). Masyarakat tradisional cenderung memiliki hubungan ”kecintaan”, yakni hubungan yang mempribadi dan emosional. Masayarakt modern memiliki hubungan kenetralan, yakni hubungan kerja yang tidak langsung, tidak mempribadi dan berjarak. Parson juga merumuskan hubungan ”kekhususan dan universalitas” (particularistic dan universalistic). Masyarakat tradisional cenderung untuk berhubungan dengan anggota masyarakat dari satu kelompok tertentu, sehingga ada rasa untuk memilkul beban tanggung jawab bersama, sementara anggota masyarakat modern berhubungan satu sama lain dengan batas-batas norma universal, lebih tidak terkait dengan tanggung jawab kelompok dan kekhususan. Masyarakat tradisional biasanya memiliki kewajiban-kewajiban kekeluargaan, komunitas dan kesukuan (orientasi kolektif), sementara masyarakat modern lebih bersifat individualistik (orientasi diri-self orientation). Parson juga mneyatakan, bahwa masyarakat tradisional memandang penting status warisan dan bawaan (achievement). Selanjutnya Parson menyatakan bahwa masyarakat tradional belum merumuskan fungsi-fungsi kelembagaannya secara jelas (functionally diffused) dan karenanya akan terjadi pelaksanaan tugas yang tidak efisien, sebaliknya masyarakat modern tidak merumuskan secara jelas tugas masing-masing kelembagaannya (functionally specific)
Smelser : Differensiasi Struktural
Baginya modernisasi akan selalu melibatkan diferensiasi struktural. Ini terjadi karena, dengan proses modernisasi, ketidakteraturan masyarakat yang menjalankan berbagai fungsi yang lebih khusus. Bangunan bari ini sebagai suatu kesatuan yang terdiri dari berbagai substruktur yang terkait dalam menjalankan keseluruhan fungsi yang dilakukan oleh bangunan struktur lama. Perbedaannya, setelah adanya diferensiasi struktural, pelaksanaan fungsi akan dapat dijalankan secara efisien.
Contoh klasik diferensisasi struktural dapat dijumpai pada lembaga ”keluarga”. Pada masa lalu, keluarga tradisional memilki struktur yang tidak teratur rumit. Didalam suatu atap berdiam banyak keluarga, terdiri dari berbagai generasi, dan biasanya berjumlah banyak. Keluarga hanya bertanggung jawab terhadap beban penerusan keturunan dan penanggungan emosi bersama, melainkan juga bertanggung jawab terhadap produktivitas kerja (ladang pertanian bersama), pendidikan (proses sosialisasi), kesejahteraan (memberikan perawatan manusia usia lanjut) dan pendidikan agama (pemujaan kepada arwah orang tua yang meninggal).
2.3 Implikasi Kebijaksanaan pembangunan
Pertama, teori modernisasi membantu memberikan secara implisit pembenaran hubungan kekuatan yang bertolak-belakang antara masyarakat ”tradisional” dan ”modern”. Kerena Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat disebut sebagai negara maju dan negara Dunia Ketiga dikatakan sebagai tradisional dan terbelakang, maka negara Dunia Ketiga perlu melihat dan menjadikan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat sebagai model dan panutan.
Kedua, teori modernisasi menilai idiologi komunisme sebagai ancaman pembangunan negara Dunia Ketiga, jika negara Dunia Ketiga hendak melakukan modernisasi, mereka perlu menempuh arah yang telah dijalani oleh Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat, dan oleh karena itu mereka hendaknya berdiri jauh dari pahan komunisme. Untuk mencapai tujuan itu, teori modernisasi menyarankan agar negara Dunia Ketiga melakukan pembangunan ekonomi, meninggalkan dan mengganti nilai-nilai tradisional dan melembagakan demokrasi politik.
Ketiga, teori modernisasi mampu memberikan legitimasi tentang perlunya bantuan asing, khususnya dari Amerika Serikat. Jika dan kerena yang diperlukan negara Dunia Ketiga adalah kebutuhan investasi produktif dan pengenalan nilai-nilai modern, maka Amerika dan megara maju lainnya dapat membantu dengan mengirimkan tenaga ahli, mendorong para pengusaha untuk melakukan investasi di luar negeri dan memberikan bantuan untuk negara Dunia Ketiga.
2.4 Hasil Kajian Teori Modernisasi Klasik
Inkeles: Manusia Modern
Menurut Inkeles, mausia modern akan memiliki berbagai karakteristik pokok berikut ini:
 Terbuka terhadap pengalaman baru. Ini berarti, bahwa manusia modern selalu berkeinginan untuk mencari sesuatu yang baru.
 Manusia modern akan memilki sikap untuk semakin independen terhadap berbagai bentuk otoritas tradisional, seperti orang tua, kepala suku dan raja.
 Manusia modern percaya terhadap ilmu pengetahuan, termasuk percaya akan kemampuannya untuk menundukkan alam semesta
 Manusia modern memiliki orientasi mobilitas dan ambisi hidup yang tinggi. Mereka berkehendak untuk meniti tangga jenjang pekerjaannya.
 Manusia modern memilki rencana jangka panjang. Mereka selalu merencanakan sesuatu jauh didepan dan mengetahui apa yang kan mereka capai dalam waktu lima tahun kedepan.
 Manusia modern aktif terlibat dalam percaturan politik. Mereka bergabung dengan berbagai organisasi kekeluargaan dan berpartisipasi aktif dalam urusan masyarakat lokal.
2.5 Kritik Terhadap Teori Modernisasi
Pengkritik meyatakan keberatannya pada asumsi teori fungsionalisme, tentang pertentangan antara tradisi dengan modern. Pertama, menanyakan tentang apakah sesungguhnya yang disebut dengan tradisi? Apakah benar bahwa Dunia Ketiga memiliki seperangkat nilai tradisional yang hogen dan harmonis? Menurut mereka, negara Dunia Ketiga memiliki sistem nilai yang heterogen. Di negara Dunia Ketiga , misalnya, dapat dijumpai nilai tradisional kebesaran yang dimilki oleh para elite masyarakatnya, dan sekaligus juga nilai tradisional kebanykan yang dimilki oleh massa rakyat banyak. Elite masyarakat memilki rasa dan apresiasi yang tinggi terhadap puisi, lukisan, tarian, pemburuan, kenikmatan, dan filsafat; sementara massa rakyat banyak memberikan rasa apresiasi yang tinggi pada kerja keras, ketekunan, kehematan, dan ketidaktergantungan pada penghasilan.
Kedua, menanykan tentang apakah sesungguhnya nilai tradisional dan nilai modern selalu bertolak belakang? Disatu pihak, menut pengkritik, dalam masyarakat tradisional juga terdapat nilai-nilai modern. Sebagai contoh, didalam masyarakat tradisisonal Cina yang memberikan nilai penting pada status warisan dan bawaan, disaat yang sama juga memberikan nilai penting pada sistem ujian yang tidak mengenal hubungan pribadi dan juga menekankan pentingnya kebutuhan berprostasi. Di pihak lain, nilai-nilai tradisional juga dijumpai dan hadir dengan tagar ditengah-tengah masyarakjat modern. Nilai-nilai khusus, seperti usia, suku, jenis kelamin, tidak mungkin dapat dihilangkan sama sekali dalam, misalnya, proses penarikan dan promosi tenaga kerja pada birokrasi modern. Oleh karena itu, menurut pengkritik ini, nilai tradisional dan nilai modern akan selalu hidup berdampingan.
Ketiga, menyatakan tentang apakah sesungguhnya nilai-nilai tradisional selalu menghambat modernisasi? Apakah selalu diperkirakan untuk menghilanghkan nilai-nilai tradisional jika hendak mencapai modernisasi?. Bagi pengritik, terkadang nilai-nilai tradisional sangat membantu dalam upaya modernisasi. Sekadar contoh, dalam proses modernsasi Jepang. Nilai-nilai tradisional seperti ”loyalitas tanpa batas pada kaisar” akan dengan mudah untuk diubah menjadi ”loyalitas pada perusahaan”, yang akan membantu meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan mengurangi perputaran dan perpindahan tenaga kerja antarperusahaan.
Terakhir, pengritik meragukan tentang kemampuan proses modernisasi untuk secara total menghapuskan niali tradisional. Untuk pengkritik dengan jelas menyatakan, bahwa nilai tradisisonal memang masih akan selalu hadir ditangah proses modernsasi. Ini seperti yang telah dijelaskan oleh teori kelambatan budaya (cultural lag theory), bahwa nilai tradisional masih akan tetap hidup untuk jangka waktu yang panjang, sekalipun faktor situasi awal yang menumbuhkan nilai tradisional tersebut telah tiada.
2.6 Hasil Kajian Baru Teori Modernisasi
Dengan adanya berbagai pengritik tentang teori modernisasi klasik, maka teori ini menguji kembali berbagai asumsi dasarnya. Jika demikian halnya, maka hasil kajian baru ini, dalam batas-batas tertentu yang berarti, berbeda dengan teori modernisasi klasik dalam beberapa landas pijak berikut ini.
Pertama, hasil kajian baru teori modernsasi ini sengaja menghindar untuk memperlakukan nilai-nilai tradisional dan modern sebagai dua pengkat sistem nilai yang secara total bertolak belakang. Dalam hasil kajian baru ini, dua perangkat sistem nilai tersebut bukan saja dapat saling mewujud saling berdampingan, tetapi bahkan dapat saling mempengaruhi dan bercampur satu sama lain. Disamping itu, hasil kajian batu ini tidak lagi melihat bahwa nilai tradisional merupakan faktor penghambat pembangunan, bahkan sebaliknya, kajian baru ini secara sungguh-sungguh hendak berusaha menunjukkan sumbangan positif yang dapat diberikan oleh sistem nilai tradisional. Konsepsi ini telah banyak membukua pintu dan merumuskan agenda penelitian baru, yang oleh karenanya, peneliti teori modernisasi, kemudian lebih banyak memberikan perhatian kepada pengkajian nilai-nilai tradisonal (seperti: familisme, agama rakyat, budaya lokal), dibanding pada masa-masa sebelumnya.
Kedua, secara metodologis, kajian baru ini juga berbeda. Hasil harya baru ini tidak lagi berstandar teguh pada pada analisa yang abstrak dan tipologi, tatapi lebih cenderung untuk menberikan perharian yang seksama pada kasus-kasus nyata. Hasil kajian baru ini tidak lagi merupakan unsur keunikan sejarah. Sejarah sering dibggap sebagai faktor yang signifikan untuk menjelaskan pole perkembangan dari satu negara tertentu. Bahkan dalam kajian kasus-kasus yang mendalam sering di jumapi dibantui dengan analisa dari perspektif studi bandingnya. Karya baru ini secar jernih menanyakan berbagai kemungkinan dan sebab mengapa seperangkat pranarta sosial yang sama memainkan pern yang berbeda di negara yang berbeda.
Ketiga, sebagai akibat dari perhatiannya terhadap sejarah dan analisa anggapan tentang gerak satu arah pembangunan yang menjadikan barat sebagi satu-satunya model. Sebagai gantinya, karya-karya penelitian ini kemudian begitu saja menerima kenyataan bahwa negara Dunia Ketiga dapat memilki kesermpatan untuk menempuh arah dan menentukan model pembangunannya sendiri.
Terakhir, hasil kajian baru teori moderinsasi ini lebih memberikan perhatian pada faktor eksternal (lingkungan internasional) dibanding pada masa sebelumnya. Sekalipun perhatian utamanya masih pada faktor internal, perana faktor internasional dalam mempengaruhi proses pembangunan Negar Dunia Ketiga ini juga menaruh perhatian pada faktor konflik. Bahkan dalam analisanya, karya baeru ini sering berhasil mengintegrasikan dengan baik faktor konflik kelas, dominasi idiologi dan peranan agama.
Tabel persamaan dan perbedaan antara teori modernisasi klasik dengan teori modernisasi baru

Teori Modernisasi Klasik
Teori Modernisasi Baru
Persamaaan


Keprihatinan
Negara Dunia Ketiga
Sama
Tingkat analisa
Nasional
Sama
Variable pokok
Faktor internal:
Nilai-nilai budaya pranata sosial
Sama
Konsep pokok
Tradisional dan modern
Sama
Implikasi kebijaksanaan
Modernisasi memberi muatan positif
Sama
Perbedaan


Tradisi
Sebagai penghalang pembangunan
Faktor positif pembangunan
Metode kajian
Abstrak dan kontruksi tipologi
Studi kasus dan analisa sejarah
Arah pembangunan
Garis lurus dan menggunakan USA dan negara-negara Eropa Barat sebagai model
Berarah dan mermodel banyak
Faktor ekstern dan konflik
Tidak memperhatikan
Lebih memperhatikan
2.7 Modernisasi Di Indonesia
Negara Indonesia merupakan Negara yang sedang berkembang yang sedang berupaya membangun masyarakatnya dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Hal itu dilakukan dengan adanya pembangunan masyarakat secara keseluruhan dalam bidang modernisasi.
Tujuannya adalah meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia agar setara dengan masyarakat modern bangsa lain. Oleh sebab itu modernisasi di Indonesia dapat dikatakan terbuka, artinya bahwa dalam proses modernisasi tidak tertutup kemungkinan untuk menerima unsur-unsur dari luar. Namun tentunya harus ada filterisasi (penyaringan) terhadap unsur-unsur dari luar.
Gejala-gejala yang tampak dari proses modernisasi di Indonesia meliputi segala bidang, baik teknologi, politik, sosial, ekonomi, agama dan kepercayaan.