Sosial Politik

Senin, 21 Desember 2015

Evaluasi Kebijakan Publik I Perda No. 10 Tahun 1990

EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK
A.     Perda No. 10 Tahun 1990 tentang “Pembinaan Pedagang Kaki Lima Dalam Kotamadya Daerah Tingkat II Ujung Pandang”
Dewasa ini, sejalan dengan semakin berkembangnya peradaban di muka bumi merupakan salah satu faktor dari pertumbuhan/perubahan dari semua sendi-sendi kehidupan. Mulai dari aspek kehidupan sosial kemsyarakatan maupun dari aspek kehidupan lingkungan. Dimana, perubahan pola tingkah laku masyarakat (sosial kemsyarakatan) juga berdampak pada kehidupan lingkungan. Karena tak bias dipungkiri bahwa masyarakat merupakan bagian dari lingkungan dan begitupun sebaliknya. Lingkungan pada umumnya merupakan salah satu faktor  penentu dari sebuah perubahan peradaban, baik itu dari segi lingkungan tempat tinggal maupun dari segi pola tingkah laku masyarakatnya.
Sejalan dengan hal tersebut diatas, dampak perubahan peradaban tersebut Indonesia pada umumnya dan Makassar pun juga terjadi atau ikut merasakan dari perubahan tersebut. Dimana Makassar yang notabenenya merupakan salah satu kota besar di Indonesia telah mengalami perubahan yang cukup pesat dari aspek kehidupan masyarakat maupun dari aspek lingkungannya. Daerah kabupaten atau kota adalah ungkapan dari dampak perubahan yang ada, baik itu dari segi masyarakatnya ataupun dari segi lingkungannya. Makassar satu kota madya yang ada di Indonesia timur karena telah mampu mengikuti arus perubahan yang ada, baik dari pola tingkah laku masyarakatnya maupun dari lingkungan atau tata kelolah pemukiman/kota yang ada. Dan terbukti telah meraih 2 kali penghargaan Adipura pada tahun 1998 sebagai kota kecil terbaik dan pada tahun 2011 sebagai kota metropolitan.
Hal tersebut di atas telah membuktikan bahwa Kota Makassar merupakan salah satu kota yang memiliki predikat baik segalah aspek. Mulai dari kehidupan masyarakat, tata kelolah pemukiman dan perkotaan, yang menjadi nilai plus.
B.       Evaluasi Perda No. 10 Tahun 1990
Berdasarkan penjelasan singkat diatas, maka saya akan mencoba mengungkap atau flashback kembali bagaimana Kota Makassar dan seperti apa implementasi perda no. 10 tahun 1990 sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan Kota Makassar saat ini.
Berbicara mengenai Kota Makassar dan kaitannya dengan perda no. 10 tahun 1990 mengenai pedagang kaki lima tidak terlepas dari tata kelolah lingkungan yang ada. Dimana, perda no. 10 tahun 1990 tentang “pembinaan pedagang kaki lima kotamadya tingkat II Ujung Pandang” tidak terlepas dari bagaimana menciptakan suatu keadaan atau suasana dalam perkotaan terhadap hiruk pikuk perkotaan dan sosial ekonomi masyarakat Kota Makassar. Sebagaimana peraturan tersebut yang telah di undangkan dalam lembaran Daerah Kotamadya Tingkat II Ujung Pandang Nomor : 8 Tahun 1991 Seri : C Nomor 1 pada tanggal 17 Juni 1991. Disahkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan dengan Surat Keputusan Nomor : 673/VI/1991, tanggal 5 Juni 1991.
Hal tersebut sudah menggambarkan bahwa betapa pentingnya tata kelolah perkotaan dari berbagai macam aspek, termasuk dalam hal ini tentang pedagang kaki lima yang merupakan salah satu komoditi Makassar yang harus dikelolah dan dikoordinasi dengan baik. Sehingga dalam proses pelaksanaannya dapat berjalan lancar dan tidak memberikan dampak negatip terhadapa tata kelolah Pemukiman dan Perkotaan. Dimana, dalam peraturan tersebut sudah jelas digambarkan bagaimana pengelolaan dan pengkoordinasian yang baik antara para pedagang kaki lima dengan tidak memberikan dampak negatif, seperti pembangun lapak yang sembarangan tempat yang mengurangi esensi keindahan kota dan bahkan dapat menimbulkan dampak kemacetan.
Namun, hal yang terjadi saat ini dan telah menjadi pemandangan sehari-hari kita dimana para pedagang dan lapak mereka yang bertebaran berserakan di berbagai sudut-sudut kota dan bahkan di wilayah jan protokol  sendiri semestinya tidak  boleh malah menjadi lokasi strategis bagi para pedagang. Sehingga implementasi dari peraturan yang telah ditetapkan seolah-olah hanya menjadi arsip pelengkap dokumen pemerintah saja.
Dari pemandangan yang ada saat ini, sudah bias kita katakana bahwa implementasi perda nomor 10 tahun 1990 tidak berhasil atau gagal total. Hal ini terjadi karena koordinasi dari para pihak yang terkait tidak maksimal. Mulai dari pihak keamanan, dinas tata kelolah pemukiman dan perkotaan, dinas kebersihan, sampai dinas pekerjaan umum yang tidak memiliki jalur komunikasi dan koordinasi yang baik antara satu sama lain. Karena dengan adanya  PEKA LIMA liar atau illegal akan menimbulkan dampak yang besar, mulai dari dampak pemandangan di perkotaan yang kurang nyaman yang berkaitan dengan dinas tata kelolah pemukiman dan perkotaan, pengrusakan tempat-tempat umum yang berkaitan dengan dinas PU, menimbulkan kemacetan, dan sampah yang berserakan yang berkaitan dengan dinas kebersihan.
Hal ini sebanarnya telah menjadi sorotan bagi pemerintah dan pihak terkait yang semestinya bertanggung jawab akan hal tersebut sebagaimana Perda no. 10 tahun 1990 yang telah ditetapkan.
C.      Rekomendasi
Adapun rekomendasi yang dapat saya tawarkan atau berikan mengenai hal di atas sebagai bahan evaluasi oleh pemerintah atau pihak terkait, yaitu :
1.        Memberikan tindakan keras bagi para pedagang kaki lima yang illegal dan para pengguna jasa PEKA LIMA tersebut.
2.        Pembukaan lahan atau penataan para pedagang kaki lima dengan lokasi yang dapat saling menguntungkat satu sama lain.
3.        Membangun jalur komunikasi dan koordinasi dari beberapa pihak yang terkain, sehingga implementasi PERDA tersebut dapat terealisasi dengan baik.

Senin, 07 Desember 2015

MAKNA "KESATUAN" DALAM KERAGAMAN

MAKANA "KESATUAN" DALAM KEBERAGAMAN
(Adhymuliadi)
I. Kotak-Kotak Sosial
    Sejak awal abad lalu para pecinta Nusantara kian menyadari pentingnya peran kesatuan dalam kawasan penjajahan Belanda. Kesadaran ini lahir dari penerapan polotik pecah-belah (devide et impera) oleh pemerintahkolonial Belanda. Masyarakat dipecah-belah sesuai perbedaan latar belakang hidup sosial, agama, kebudayaan. Masyarakat yang satu berstatus lebih tinggi, sedangkan masyarakat lain berstatus lebih rendah. Kelas-kelas dan sekat-sekat sosial terbentuk dalam suatu sistem sosial serba majemuk, sehingga langsung atau tidak era penjajahan melahirkan benih-benih diskriminasi individual dan sosial dalam masyarakat. Perbedaan status sosial menimbulkan kecemburuan sosial yang ujung-ujungnya memperkental semangat diskrimitatif sosial dan membabi buta.
    Pengotak-ngotakan berdasarkan politik apartheid melahirkan fragmentasi sosial di tengah masyarakat majemuk. Manusia yang satu menganggap diri lebih tinggi daripada sesamanya, merasa lebih berhak daripada yang lain; malah terjadi proses perendahan harkat dan martabat sesama yang pada hakikatnya setara. Perbedaan yang memperlebar kesenjangan sosial  ini mengundang manusia membentuk sekat-sekat hidup sosial.  Politik apartheid memandang manusia berdasarkan warna kulit, latar belakang kebudayaan, bahasa, dan status sosial. Situs apartheid melahirkan tatanan sosial retak dan terpecah, yang memprihatinkan, ditengah perbedaan-perbedaan muncul pemisahan anak-anak manusia.
    Pengotak-ngotakan sosial bangsa kita ternyata menguntungkan penjajah yang berpolitik  devide et impera. Masyarakat retak, mereka tak berdaya menghadapi kekuatan penguasa asing. Yang dikotak-kotakkan bukan hanya manusia, melainkan juga mencakup kodrat setara dalam keunikannya masing-masing. Pengotak-ngotakan ini turut membentuk pola pikir dan cara pandang manusia terhadap sesamanya karena dalam diri manusia muncul sekat-sekat apriori. Dalam otak manusia, terbentuk ruang-ruang diskriminatif yang diwariskan turun-temurun dalam hampir semua bidang hidup. Kecenderungan diskriminatif masih berkembang subur dalam sejumlah lapisan hidup manusia.
    Sistem pengotak-ngotakan ini diteruskan oleh mereka yang berhasil "merebut" kemerdekaan dan memerintah Indonesia. Status kewarganegaraan rakyat Indonesia de facto masih memiliki perbedaan. Penggunaan istilah pribumi dan non-pribumi, misalnya membuktikan adanya kelanjutan politik devide et impera, warisan penjajah tempo doloe. Dosa sosial politik tempo doloe diturunkan dan dijabarkan dalam hidup sosial dewasa ini. Dimana manusia  yang satu memandang sesamanya bukan sebagai saudara, tetapi sebagai objek yang boleh diperlakukan sesuka hati tanpa menimbang dimensi keluhuran harkat dan martabat manusia. Pribadi manusia dipandang sebagai anggota etnis yang memiliki klise latar belakang hidup. Rasisme masih eksis dan berkembang disejumlah kalangan masyarakat dan di seluruh dunia.
     Pengotak-ngotakan sosial ini diperkental oleh aneka bentuk konflik individual dan sosial sejak runtuhnya rezim Soeharto dkk. Konflik, kekerasan dan kerusuhan sosial yang menimpah seluruh tanah air, khususnya sumatera, jawa, kalimantan, sulawesi, maluku, lombok, papua membuktikan adanya keretakan dalam tubuh bangsa kita. Tapi kelompok sosial memiliki dan mewarisi semangat fragmentasi dan balas dendam. Hidup bersama diwarnai oleh sekat-sekat yang memisahkan dan mencerai-beraikan mereka. Identitas bangsa dan ke-Indonesiaan menjadi sebuah pertanyaan mendasar hari ini, besok, dan di masa mendatang. Akan ke manakah bangsa kita?
II. Pluralisme Radikal
     Pluralisme adalah sebuah realitas sosial yang eksistensial. Ciri khas masyarakat kita adalah kemajemukan radikal yang mencakup berbagai bidang hidup manusia. Masyarakat monokultur telah lenyap dari permukaan bumi, termasuk dalam negara kita. Kemajemukan sosial ini dari satu sisi, memberikan sumbangan positif demi kemajuan manusia, yang dialami sebagai salah satu kekayaan dalam hidup sosial. Keunikan dan keistimewaan pola pikir, bahasa, budaya, agama, pandangan hidup, daca kerja tiap manusia atau tiap kelompok sosial pada hakikatnya dapat saling mengisi dan memperkaya. Praksis hidup lintas-bahasa, lintas-budaya, lintas-agama, lintas-pandangan hidup, dan lintas-cara hidup dengan sendirinya menawarkan alternatif mutu hidup yang lebih bervariasi. Kemajemukan yang dianggap tulen pada dasarnya dapat membangun dialog konstruktif dan kerja sama yang akan saling memperkaya.
     Kemajemukan iniseharusnya menjadi kesadaran awal dan hakiki pengendali roda pemerintahan dalam menentukan kabijakan dalam negara kita. Semua anasir sosial yang berwarna-warni perlu diperhatikan dalam tiap perencanaan pembangunan. Keberadaan kelompok mayoritas dan minoritas tak bisa mengurangi hak-hak dasar tiap manusia  yang mengatur prinsip keadilan sosial. Tiap pribadi manusia sebagai warga negara memiliki hak dan kewajiban yang setara dan (secara teoretis) tanpa diskriminasi sosial. Perwujudan nilai demokrasi dalam kemajemukan sosial sangat mendesak. Apakah pengambilan keputusan hanya berdasarkan jumlah suara mayoritas mutlak atau sunggu-sunggu mendengarkan suara dari tiap golongan? Kalupun keputusan sudah diambil, apakah tidak ditemukan pasal-pasal pengecualian sebagai penghargaan terhadap kelompok lain yang aspirasinya tak tertampung dalam perumusan undang-undang itu?
    Salah satu kasus yang menarik untuk disimak adalah lolosnya RUU Sisdiknas menjadi UU Sisdiknas, walaupun RUU itu di tolak dengan terang-terangan oleh sejumlah anasir sosial. Jelas, keputusan itu suara pihak-pihak lain diabaikan. Inikah bentuk demokrasi yang dicita-citakan dalam suatu negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945? Langkah-langkah prosedural apakah yang haru7s ditempuh dalam rangkah mengambil keputusan yang terkait dengan orang banyak? Apakah kelompok yang dianggap "minoritas" dalam arti tertentu harus selalu menjadi korban keadilan dalam pengambilan keputusan?
     Hanya, sejak dulu kemajemukan sosial ini diperalat dan dimanfaatkan oleh mereka yang terjun dalam politik kotor. Kemajemukan ini turut menentukan kodrat hidup politik suatu negara. Hak dan kemampuan untuk mengambil keputusan misalnya, tidak hanya terletak pada tangan orang-orang atau kelompok tertentu, tetapi sungguh-sungguh melibatkan semua pihak yang berhak mengambil keputusan politik. Pemerintah, baik nasional maupun daerah, berperan sebagai pusat yang memperhatikan kepentingan-kepentingan tiap kelompok dalam masyarakat.Tuntutan-tuntutan dan aspirasi sosial masyarakat mutlak diperhatikan sambil memperhatikan kepentingan umum dan yang lebih tinggi daripada kepentingan sektarian. Kepentingan dan pelayanan umum mendapat tempat utama dalam masyarakat kita.Kemajemukan radikal dalam zaman kita menimbulkan masalah-masalah yang mendalam dan rumit bagi mereka yang sungguh-sungguh ingin menempuh hidup dengan integritas intelektual, moral, dan spiritual. Mengapa? karena kemajemukan radikal mengundang manusia untuk dengan bijaksana mempertimbangkan sesuatu sebelum mengambil keputusan. Keterlibatan pihak-pihak yang berbeda pendapat perlu dipikir secara mendalam sambil mempertimbangkan dampak sampingan yang bakal muncul. kekurangan kesadaran akan kemajemukan membuat manusia cenderung melakukan sesuatu "sesuka hati" dan melupakan suara-suara dari kelompok kecil dalam masyarakat.
III. "Kesatuan", Sbuah Gejala Dilematis
     Indonesia adalah sebuah negara artifisial warisan zaman penjajahan Belanda. Pada awal pendirian republik ini, belum perna diadakan pemungutan suara secara demokratis dalam menentukan bentuk dan arah negara kita. Yang ada adalah mereka yang dianggap sebagai wakil-wakil rakyat kita. Kecenderungan untuk mewujudkan kesatuan dalam hidup bersama termasuk kodrat hidup manusia. Mpu tantular, seorang pujangga di zaman Majapahit, pengarang kakawin Sutasoma, antara lain, telah meluncurkan semboyan Bhinneka tunggal ika, yang berarti walaupun berbeda, tetapi tetap bersatu. Jiwa saling keterkaitan berpengaruh dalam hidup manusia. Kesatuan disadari sebagai kekuatan yang dapat diandalkan untuk menghadapi penjajah.Ini tampak dalam pembentukan Jong Sumatera, Jong Jawa, Jong Sulawesi dan dalam pembicaraan-pembicaraan BPUPKI dan PPKI.
     Dimensi kesatuan dan persatuan bangsa kita terungkap dalam rumusan Pancasila sebagai dasar dan falsafa bangsa. Dari sila I hingga sila V, bisa kita temukan gagasan kesatuan dan persatuan dalam hidup rohani dan jasmani. Dalam sila I, diungkapkan "keesaan" ("monotheismus") Tuhan; sila II menggarisbawahi bahwa semua manusia mempunyai kemanusiaan yang satu dan sama; sila III menekankan persatuan Indonesia; sila IV menyoroti kerakyatan (kebersamaan dalam kesatuan) yang dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan; sila V menyoroti keadilan sosial lagi seluruh rakyat Indonesia. Malah dalam BAB I Pasal I UUD 1945, dinyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Kesatuan dikaitkan dengan kebersamaan manusia sebagai makhluk sosial.
     Dalam perjaloan sejarah bangsa kita, tidak semua pihak merasa dan mengalami diri sebagai bagian integral RI. Beberapa tahun setelah kemerdekaan, bentuk negara kesatuan mulai dirongrong. Ada pihak tertentu yang ingin melepaskan diri dari RI, seperti Aceh dan Maluku selatan. Mereka merasakan Republik ini sebagai tempat tinggal mereka yang sebenarnya. Dari sisi lain, RI berambisi memperluas wilahnya dengan "mencaplok" kawasan yang bertangga RI, seperti Timor Timur (sekarang Timor Timur telah merdeka dan mengenakan nama Loro Sae!) dengan alasan-alasan  yang kebenarannya masih perlu dikaji lebih mendalam.
     Berkenaan dengan bentuk dan sistem pemerintahan kesatuan, muncul pendapat-pendapat berbeda.
1. ada pihak yang beranggapan bahwa bentuk pemerintahan negara kesatuan yang kaku ini sudah saatnya ditinjau ulang. Alasannya, birokrasi selama ini tidak menyalurkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sistem pemerintahan federal sudah saatnya diterapkan di Indonesia.
2. Ada pihak yang tetap berpendangan bahwa sistem pemerintahan yang menekankan kesatuan masih diperlukan oleh bangsa kita. Suara ini umumnya muncul dari kalangan pemegang tampuk pemerintahan.
     Haruskah kesatuan dan persatuan dipertahankan dalam negara kita? Sebenarnya, tidak ada jawaban tunggal dan defenitif atas pertanyaan ini, karena berbagai kepentingan sosial., ekonomi, dan politik akan melatarbelakangi dan mewarnai jawaba? tidak sedikit daerah yang berkekayaan alam ?(seperti Aceh, Riau, Irian jaya) ingin melepaskan diri dari pemerintahan pusat di jakarta. Selama rezim Orba, kekayaan daerah tersebut telah disedot ke pusat. Pembagian kekayaan alam sama sekali tidak adil dan merata kalau dibandingkan dengan kebutuhan rakyat jelata. Secara nasional misalnya, Kalbar adalah penyumbang nasional kelima, namun provinsi ini hanya menempati peringkat ke-25 dari urutan daerah termakmur di Indonesia. Pembangunan di banyak daerah merana. Hidup dan perkembangan daerah ditelantarkan. Kriteria apakah yang diterapkan oleh pusat dalam pembangunan dan pengembangan daerah? Rakyat jelata merasa dikibuli dan dibohongi oleh mereka yang pintar memainkan angka-angka dalam RAPBN. Sistem pemerintahan yang memiskinkan dan menyengsarakan hidup rakyat jelata di daerah akan digugat terus-menerus oleh mereka yang sebenarnya lebih berhak menikmati kekayaan alam. Tak heran, kalau sistem pemerintahan yang menjunjung tinggi kesatuan dan persatuan akan menjadi persoalan dalam nusa dan bangsa kita.
     Kesatuan ini akan terus menerus menjadi bahan diskusi dan masalah sosial dalam negara yang serba majemuk. Dapatkah kesatuan ini dipertahankan terus kalau keadilan sosial dalam arti luas (dalam bidang hukum, politik, ekonomi, kebudayaan) tidak terwujud di tengah-tengah masyarakat? Akankah "balkanisasi ala kita" melanda negara kita di hari-hari mendatang? Pertanyaan ini perlu diantisipasi sejak sekarang sambil memperhatikan keadaan yang sedang berkembang.
IV. Menuju Indonesia Reformatif
    Sejak tragedi kemanusiaan 13-14 Mei 1998, sejumlah anak bangsa meneriakkan ferormasi hidup berbangsa dan bernegara. Dalam banyak bidang, keadaan negara kita kacau setelah rezim Orba selama 30-an tahun. Tampaknya tidak sedikit perilaku yang bertentangan dengan Pancasila dibiarkan berkembang. Pelanggaran HAM sejak kelahiran Orba (kasus penumpasan G 30 S/PKI/Peraku) telah menelan begitu banyak nyawa manusia. Pertumpahan dara terus mencemarkan ibu pertiwi. Kekerasan, kekejaman dan penindasan diskriminatif masih mewarnai seluruh negeri kita. Korupsi besar-besaran mewarnai seluruh republik ini. Tak heran editorial salah satu media dalam negara kita pernah mencap reformasi kita mati muda. "hari-hari ini bangsa kita kembali mengenang tragedi Mei, tetapi dalam realitas yang pahit, sangat pahit. Sangat pahit dan sangat getir yaitu, reformasi sesungguhnya sudah mati muda. Pengorbanan mahasiswa telah menjadi kesia-siaan sejarah karena elite kekuasaan baru yang dihasilkan mereka gagal mengemban tugas reformasi". Secara tak langsung terjadi penghianatan terhadap nilai-nilai dasar yang dicita-citakan olehg para arsitek negara kita.  Tanpa melupakan kemajuan pembangunan fisik, negara kita memang menderita akibat penghianatan atas nilai-nilai dasar dalam pancasila
     Kini masyarakat mendambakan kelahiran Indonesia reformatif yang sungguh konsisten dengan konsensus awal pendirian negara kita. Indonesia non-reformasi tampil sebagai juara dunia dalam bidang korupsi, salah satu negara penggar HAM yang terampil, negara yang menyuburkan benih kebencian antar golongan dengan membakar dan merusak rumah ibadaht, membangkitkan kembali politik kolonial. SARA menjadi konsumsi kekuasaan. "Domba" yang diadu biasanya rakyat jelata, sederhana, penganggur, buta huruf, tak berpendidikan dan saling membutuhkan duit. Indonesia ini hanya menganggap diri sebagai "pengemis" yang menyeleweng dana-dana pinjaman luar negeri. Nama harum Indonesia diperjualbelikan. Kocek jumlah pejabat dan kroninya makin tebal, sementara itu rakyat jelata harus mengadu untung dari hari kehari, tanpa masa depan yang menjanjikan.
    "Indonesia non-reformasi" memiliki suasana sosial yang terkadang lebih memprihatinkan kalau dibandingkan dengan zaman penjajahan. Hingga kini menjadi teka-teki tentang jumlah korban keganasan dan kekejian para perebut kauasa dalam era transisi dari Orla ke Orba. Hanya sang Khalik yang mengetahui semua rahasia yang masih disembunyikan anak-anak manusia. Namun, saksi hidup kekejaman penguasa waktu itu masih bisa dihubungi. Tak heran, negra kita termasuk salah satu unggulan dalam bidang pelanggaran HAM, khususnya dalam rezim-rezim terdahulu.
     Mengapa kita perlukan Indonesia reformatif? reformasi dan transpormasi sosial merupakan tuntutan kodrati setiap manusia hidup, tinggal, dan bekerja di Indonesia. Tanpa reformasi, masa depan dan penderitaan bangsa kita akan bertambah parah. berikut ini dipaparkan beberapa ciri "Indonesia reformatif".
1. Kembali ke cita-cita dasar perjuangan para pendiri Republik seperti yang tertuang dalam pada pembukaan UUD 1945, Pancasila, dan UUD 1945 yang telah diamandemen sesuai aspirasi rakyat Indonesia. Tatanan sosial masyarakat yang serba majemuk perlu mendapat perhatian dalam konteks penerapan cita-cita dasar UUD 1945. Indonesia sama sekali bukan negara liar yang dapat diatur sesuka hati oleh mereka yang kebetulan berkuasa untuk periode waktu tertentu.
2. Supremasi hukum positif adalah ciri khas "Indonesia reformatif" yang beridentitassebagai negara hukum (bukan negara undang-undang). Hukum tidak ;lagi dipermainkan atau diperjualbelikan. Komersialisasi hukum hanya merendahkan kedudukan hukum dan penegak hukum. Mmempermainkan hukum berarti menghianati sumpah jabatan sebagai aparat penegak hukum. Tanpa pandang bulu, yang salah harus ditindak dan yang tidak bersalah jangan dikambinghitamkan.
3. Wujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam semua bidang kehidupan, seperti hukum positif, agama, ekonomi, sosial, budaya dan politik. Bangsa kita sedang menantikan keadilan yang sesungguhnya dan bukan keadilan semu yang sangat membingungkan masyarakat. Contoh kasus: seorang petani yang mencuru seekor ayam dijatuhi hukuman penjara selama tiga bulan, sementara itu seorang pencuru uang negara hingga bermiliaran dan bertriliuanan rupiah luput dari hukuman penjara. Di mana letak keadilan dalam suatu negara yang mengaku diri sebagai negara hukum?
4. "Indonesia reformatif" tidak meneruskan (apalagi menyuburkan!) mentalitas feodal. Hak-hak asasi manusia diinjak demi kepentingan kelompok penguasa. Mereka yang miskin dan tertindas tidak pernah hidup dengan lebih baik  dan terlepas dari belenggu kolonial semu.
"Indonesia reformatif" adalah Indonesia sunggu meninggalkan semangat dan prinsip penjajahan dan penginjakan hak asasi orang-orang lain dalam bentuk apa pun.
     Bagaimanakah bisa terjadi perubahan dan perbaikan dalam hidup sosial sehingga "Indonesia reformatif" yang masih diimpikan dapat menjadi suatu kenyataan? Sebuah reformasi dan transpormasi diri manusia Indonesia sangat diperlukan. Manusia Indonesia yang baru memiliki kepekaan akan tanggung jawab atas nusa dang bangsa. Uang negara yang sudah dikorupsi seharusnya dikembalikan ke kas negara atau disampaikan kepada yang sebenarnya berhak menerima dan menggunakan uang itu. Didambakan bahwa manusia reformatif memiliki kepekaan dan akan tanggung jawab sebagaimana semestinya. Harta benda hasil KKN diserahkan kepada nusa dan bangsa. Yang mengalami dan menganggap diri sebagai manusia Indonesia seharusnya menjadi orang Indonesia yang sungguh pea akan kebobrokan sosial yang sedang merongrong kehidupan masyarakat. Manusia Indonesia yang sejati biasanya tidak menganggap diri lebih nasionalis daripada yang lain, tetapi sungguh berusaha bersama-sama untuk, antara lain memperbaiki keadaan hidup masyarakat dalam berbagai bidang hidup manusia.
     Ketahanan dan kekuatan kesatuan negara kita akan lestari kalau cita-cita dasar dan autentik Republik ini diwujudkan secara adil, tanpa diskriminasi, dan benar menurut pandngan semua pihak. Kalau tidak, ketahanan dan kekuatan "kesatuan" negara kita tetap menjadi sebuah teka-teki hari ini, esok dan seterusnya. "kesatuan" dalam Republik ini, dari satu sisi, dapat mendatangkan hikmah bagi seluruh bangsa kalau dilaksanakan dalam bingkai solidaritas nasional yang berdasarkan keadilan yang dapat diterima oleh semua pihak. "kesatuan" dalam Republik ini dari sisi lain, dapat memicu perpecahan bangsa kalau pemegang roda pemerintahan dan pihak legislatif bersikap diskriminatif, tidak mendahulukan asas keadilan, dan tidak sungguh menghargai suara rakyat dari bawah melainkan hanya suara yang seakan-akan "representatif" yang keluar dari ruang DPR.

Sabtu, 05 Desember 2015

ETOS DAN MORALITAS POLITIK Bag, V & VI

V. POLITIK SEBAGAIMANA UPAYA MEWUJUDKAN HAK ASASI MANUSIA
A. Tujuan Politik
1. Kepentingan umum
    Tujuan politik ialah menyelenggarakan bonum commune (kepentingan umum, kesejahteraan bersama) yang berarti: memfasilitasi manusia untuk mengusahakan apa yang dibutuhkannya untuk hidup layak manusiawi.
2. Hidup layak manusiawi
    Hidup layak manusiawi berarti kemudahan untuk memenuhi kebutuhan untuk hidup yang sesuai dengan martabat pribadi manusia. Bahkan lebih dari pada itu, tak hanya secukupnya seperti yang diukur menurut kebutuhan pokok, melainkan juga kebutuhan untuk berkembang labih lanjut, seperti akan disinggungg lagi dibawah ini.
B. Perwujudan Hak Asasi Manusia, Tuntutan Martabat Manusia
     Perlu dicamkan dua hal: dalam gagasan ongoing formation tidaklah cukup bahwa manusia dapat memenuhi kebutuhannya, apalagi kalau dibatasi pada kebutuhan pokok, tetapi juga berhak untuk berkembang lebih lanjut.
1. Memenuhi kebutuhan
    Ini berarti dapat memenuhi hak-haknya yang asasi, karena pelbagai kebutuhan adalah mutlak, artinya harus dipenuhi, kalau tidak akan timbul gangguan berat dan bahkan kematian. Juga biarawan yang mengikrarkan kaul kemiskinan tetap membutuhkan sarana yang perlu untuk hidup layak manusiawi dan berkembang. Penilaian mengenai perlunya kebutuhan bisa berbeda, tetapi ada kebutuhan-kebutuhan yang mutlak tidak dapat diperdebatkan lagi.
2. Memenuhi hak untuk berkembang
    Hidup sesuai dengan martabat manusia tidak hanya berarti memenuhi kebutuhan, apalagi sesaat. Tetapi juga segala perlu atau bermanfaat untuk berkembang. Bukankah dewasa ini makin disadari pemenuhan kebutuhan manusia tidak hanya minimal untuk hidup tetapi juga lebih daripada itu untuk berkembang.

VI. POLITIK INDONESIA
A. Teori
     Ada banyak hal yang bagus, namun sayangf implementasinya kurang meyakinkan. Tetapi, adanya dasar hukum saja sudah menjanjikan. Maka perlu disyukuri dan terutama diusahakan imp;ementasinya.
1. Pengakuan hak asasi manusia
a. UUD 1945 dan Pancasila
    Dalam UU, juga setelah amandemen tercantum sejumlah hak asasi manusia yang diakui negara kita.
b. UU RI No. 39/1999 tentang hak asasi manusia
    Selain dalam UU, secara eksplisit juga dicanangkan hak-hak asasi manusia yang diundang-undangkan.
2. Aneka peraturan perundang-undangan
    Masih ada aneka peraturan perundang-undangan lain yang menjabarkan lebih lanjut gagasan pokok hak asasi manusia, misalnya:
a. Kepres RI No. 50 Tahun 1993 tentang Komnas HAM
b. UU RI No. 5 tahun 1998 tentang pengesahan konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia.
c. Kepres RI No. 181 tahun 1993 tentang komisi nasional anti kekerasan terhadap perempuan.
d. Kepres RI No. 120 tahun 1998 tentang rencana aksi nasional hak-hak asasi manusia indonesia.
    Mungkin aneka peraturan perundang-undangan itu masih terlalu baru untuk menunjukkan buahnya yang meyakinkan. Tetapi, pencanangannya saja sudah kemajuan besar, asalkan tidak terus-menerus dinaungi aneka -isme yang de fakto memandulkan.
B. Praksis
1. Soal penegakan hukum
    Yang indah di atas tidak diperaktekkan. Ada orang yang mengatakan bahwa penegakan hukum di Indonesia sudah mencapai titik nadir. Kalau dikatakan bahwa keadaan tertentu dibiarkan saja, dijawab: tidak ada hukumnya atau dilaksanakan secara amat praktis segalanya dapat ditebus dengan uang. Juga produksi undang-undang sendiri tak luput dari uang.
2. Pragmatisme
    Kiranya hambatan terbesar menjalankan politik yang berorientasi pada pemenuhan hak asasi manusia ialah pragmatisme yang menjadi akar aneka -isme lain. Paham kristiani tentang hak asasi manusia tidak hanya pragmatisme dan fungsional, tetapi bersumber pada rencana Allah pencipta dan penebus. Kiranya perlu disadari godaan pragmatisme yang amat besar, terutama dalam keadaan terjepit.
C. HAM dan Etika Politi Indonesia
1. Wawasan jangka panjang
    "Masyarakat yang adil dan makmur" merupakan cita-cita besar yang dapat dikaitkan dengan HAM dan perwujudannya menuntut perencanaan dan kerja keras jangka panjang. Hal ini sudah disadari dalam Orde Baru yang memang gagal mewujudkannya. "Masyarakat adil dan makmur" yang dikaitkan denga HAM menyangkut pengembangan manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya. Hal ini berarti: manusia menurut aneka aspeknya dan berlaku bagi semua warga negara, sedangkan keadaan dewasa ini - sudah melulu menurut aspek ekonomis - jauh dari adil dan makmur, karena kesenjangan sosial dan kemiskinan masih amat besar.
2. Wawasan jangka pendek
    Sayang bahwa visi tentang masyarakat adil dan makmur itu kini memudar, dan kebanyakan politisi berwawasan pendek, yakni pemilu y.a.d. dan begaimana dapat mempertahankan kekuasaan elite politik. Namun, politik Indonesia taj hanya kekurangan visi jangka panjang itu, tetapi bahkan juga politik dengan wawasan jangka pendek ini dalam kenyataan sudah kehilangan dimensi etisnya.
D. Kesabaram?
     Apakah kita terlalu keras menilai diri kita sendiri?
1. Perkembangan negara-negara maju
    Amerika Sarikat dan eropa Tengah sering kali ditampilkan sebagai negara maju. Tentu juga negara-negara itu mempunyai ketidakberesan, tetapi strukturnya sedemikian rupa sehingga ketidakberesan itu dibongkar sendiri dari dalam, melawan kekuatan komplotan yang berkepentingan mendiamkannya. Ingatlah kasus 
'watergate", lalu dapat diajukan pertanyaan: keadaan demikian itu tercapai setelah perkembangan berabad-abad, meskipun sering kali bukan proses yang mulus, melainkan disertai jatuh-bangun, maju-mundur. Siapa yang mengira bahwa tokoh seperti adolf hitler mendapat dukungan sehingga ia bisa berkuasa di tengah Eropa? Setelahnya bahkan masih terjadi begitu banyak pelanggaran HAM, sehingga timbul kesan bahwa orang tidaj belajar dari sejarah.
2. Perkembangan negara-negara yang sedang berkembang
    Dulu dipakai istilah "Dunia Ketiga" atau "Dunia Keempat", kebanyakan bekas daerah penjajahan dan baru merdeka pada tahun 1950-an. Meskipun perkembangan dewasa ini, misalnya karena kemajuan teknologi dan globalisasi, lebih cepat daripada yang dulu. Dapat ditanyakan, apakah tidak diperlukan kesabaran lebih besar menghadapi keadaan dalam dunia ketiga atau keempat ini. Tuntutan HAM amat tinggi, apalagi kalau ditanyakan, apa yang harus diprioritaskan. Implementasi HAM yang perlu untuk perkembangan bersama seluruh masyarakat ataukah implementasi HAM pada orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu. Implementasi HAM yang perlu bagi perkembangan bersama seluruh masyarakat membutuhkan lebih banyak waktu. Maka juga diperlukan kesabaran untuk secara bertahap mewujudkannya lewat politik yang memang dirancang untuk memenuhi HAM setiap orang seluruh masyarakat. Tetapi laju perkembangan harus lebih cepat daripada laju yang dijalani masyarakat yang kini dianggap sudah maju. Dan terutama: proses perkembangan berabad-abad dikawasan dunia barat tidak boleh menjadi alasan atau kedok untuk berlambat-lambat dalam mewujudkan politik yang berorientasi pada HAM.

VII. Penutup
     Jatuhnya Orde Baru dan lengsernya Presiden Soeharto pada mei 1998 diikuti dengan Orde Reformasi, tetapi harapan yang menyertainya kini sirna. Pelanggar hak asasi manusia dan kejahatan lain tak diusut dan ditindaklanjuti secara tuntas (impunity). Apa yang mulai dengan krisis moneter, menjadi krisis multidimensional. Penegakan hukum mencapai titik nadir. Korupsi merajalela, sehingga dana yang sebetulnya diperuntukkan bagi upaya menyejahterahkan masyarakat dicuri sejumlah orang yang mendapat kepercayaan untuk memimpin bangsa ini. Rakyat tak berdaya menghadapi kemerosotan elite politik.
     Orang bertanya, kapan ini semua akan berakhir?
     Tentu juga di kawasan lain seperti Eropa dan Amerika Sarikat terjadi pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan lain, tetapi keadaannya tidak separah di Indonesia. Meskipun perkembangan sekarang jauh lebih besar daripada dulu, tetap harus dikatakan bahwa di kawasan barat membutuhkan perkembangan berabad-abad untuk sampai pada keadaan yang relatif baik. Sistem dan mentalitas saling mendukung untuk membongkar borok-borok, sedangkan orang-orang yang terlibat di negara kita saling menutup-nutupi. Tak mungkin keadaan sekarang ini terus berlangsung tanpa henti. Oleh karena itu, kita semua mengharap agar tiba saatnya supaya diperjuangkan hak asasi manusia dalam etika politik di Indonesia, masyarakat yang majemuk. Keluhan sudah banyak, kritik konstruktif sudah banyak, pelaksanaanya belum, Menunggu apa lagi??????

ETOS DAN MORALITAS POLITIK Bag.IV

IV. HAK ASASI MANUSIA
A. Nilai-Nilai HAM
1. Keprihatinan akan nilai
    Di balik kebhinnekaan gagasan, dapat dan harus ditemukan keprihatinan yang sama:
Apa pun yang diperjuangkan, bagaimanapun rupanya, dapat da harus diangkat kesamaannya yaitu, nilai baik yang bersifat objektif maupun yang subjektif.
2. Perlindungan
    Nilai itu dipertahankan sebagai suatu tameng atau tembok untuk melawan berbagai pihak yang dianggap lebih kuat dan dapat mengancam pihak yang lebih lemah (atau minoritas).
a. Negara
    Hak Asasi Manusia dirumuskan agar dilindungi terhadap pihak yang lebih berkuasa dan condong menyalahgunakan kekuasaannya bahkan dengan melanggar HAM itu. Sering kali pihak yang berkuasa demikian itu dilihat dalam negara, sehingga hak asasi manusia dirumuskan dan dicanangkan terhadap kuasa negara, meskipun sebenarnya ancaman terhadap hak asasi manusia dapat datang dari pihak lain. Biasanya yang lebih kuat misalnya, mafia atau sindikat kejahatan mendapat backing dari oknum pejabat yang seharusnya melindungi hak asasi manusia (kasus perdagangan narkoba, perempuan, anak, perjudian, dsb).
b. Agama
    Begitu juga kalangan agama yang dapat menjadi penguasa, bahkan mengesankan upaya memutlakkan otoritasnya (yang tak dapat dibantah seperti biasanya aliran yang cenderung fundamentalistis) dengan mengacu pada kepada Tuhan sendiri yang dipercayai sebagai Mahakuasa dan diakui sebagai sumber kuasa tinggi.
B. Intuisi dan Kesepakatan Tentang HAM?
     HAM itu "in" dengan akibat, bahwasanya seperti hal-hal lain yang menjadi populer. Mengalami inflasi dan pengertiannya cenderung menjadi kabur dan bahkan lebih mendangkal. Oleh karena itu, sebaiknya dicamkan sebentar sebagai hal sehubungan dengan HAM, terutama sejauh menyangkut politik.
1. Intuisi
    Bukan segala nilai langsung merupakan hasil refleksi, melainkan berawal dari intuisi manusia visioner yang mempunyai intuisi yang memicu perjuangan antara pro dan kontra serta proses refleksi, sejauh itu intuisi amat bermanfaat.
2. Kesepakatan
    Proses demikian itu dapat berlangsung di kalangan tertentu, di kawasan tertentu, di zaman tertentu, sampai akhirnya disetujui kebanyakan wakil bangsa-bangsa seperti pencanangan hak asasi manusia di PBB pada tanggal 10 Desember 1948 yang kemudian seiring dengan perkembangan zaman dikembangkan lebih lanjut.
C. Proses Perumusan Hak Asasi Manusia
1. Perkembangan kesadaran\
    Dapat ditanyakan, bahwasanya mengapa umat manusia baru pada akhir tahun 1948 berhasil mencanangkan piagam hak asasi manusia. Memang perang dunia Ke II dapat berpengaruh, tetapi sejarah umat manusia sejat jutaan tahun penuh dengan kekerasan yang di mata dewasa ini termasuk pelanggaran hak asasi manusia.
2. Universal atau partikular
    Pencanangan piagam hak asasi manusia pada tahun 1948 dalam PBB itu memang mengedepankan universalitasnya. Tetapi kemudian muncul aneka piagam yang lebih mengedepankan partikularitasnya, yang mempertanyakan pengertian "asasi", misalnya:
1989 Hak Asasi Manusia rumusan Afrika
1998 Hak Asasi Manusia rumusan Asia
1998 Hak Asasi Manusia kalangan Islam
Maka, dapat diajukan soal: HAM itu universal atau partikular?
3. Dalam dunia yang makinmenggelobal atau sebaliknya
    Kita dapat mensinyalir dua arah perkembangan yang tampaknya berseberangan:
Disatu pihak, dapat disinyalir  (antara lain karena perkembangan budaya dan tekhnologi komunikasi sosial) arah perkembangan menggelobal (Uni Eropa, ASEAN, Nato).
Tetapi di pihak lain, juga makin mencolok kecenderungan regionalisasi dan proteksionisme.
D. Proses Perwujudan
1. Pencanangan piagam hak asasi manusia
    Pencnangan itu sendiri belum berarti perwujudan. Dalam kenyataan, dapat dicatat banyak pelanggaran HAM yang bukan hanya cermin perbedaan persepsi, melainkan juga ketidakmampuan atau bahkan lemahnya kesanggupan untuk mewujudkannya.
2. Upaya mewujudkan hak asasi manusia
    Tetapi, kita juga harus mengakui kemajuan yang telah dicapai, baik upaya yang tampaknya jujur, maupun upaya menyembunyikan pelanggaran hak asasi manusia, juga suatu tanda pengakuan hak asasi manusia.
E. Kewajuban dan Hak
1. Kewajiban
    Manusia itu makhluk sosial. Ia tidak akan dapat hidup sendiri atau tanpa bantuan orang lain, tidak hanya dalam arti bahwa hak asasi manusia tak dapat dipenuhi tanpa hidup bersama, tetapi juga bahwa hak itu dipahami korelatif dengan kewajiban:
Manusia tak hanya mempunyai hak asasi, melainkan juga mempunyai kewajiban. Seringkali bahkan tidak mudah memisahkan hak dan kewajiban, dan kedua-duanya dipakai (kewajiban dan hak atau hak dan kewajiban).
2. Pelaksanaan Hak
    Perlu dibedakan antara hak (ius) dan pelaksanaan hak (exercitium iuris). Bisa saja orang mempunyai hak, tetapi pelaksanaannya harus mempertimbangkan keadaan yang tak jarang diatur oleh kekuasaan. Demi kepentingan umum, hak hanya terbentur pada hak orang lain bila keduanya tak dapat bersama-sama dilaksanakan.

Jumat, 04 Desember 2015

ETOS DAN MORALITAS POLITIK Bag. III

II. ETOS POLITI
A. Perlunya Perpaduan Antara Etika dan Politik
1. Politik tanpa etika
    Kinerja politisi de fakto jelek. Ungkapan ini didasari atas realita yang terjadi, karena dewasa ini bila mendengan istilah "politik", orang mengernyitkan alis dan dahinya seraya berkata, "Politik itu kotor". Politik menjadi kotor tidak hanya karena "money-polics", "mob-politics", "politik dagang sapi", tetapi juga karena beberapa - isme yang sebagai mentalitas mendasari sikap dan perilaku seperti itu. isme-isme yang akan kitas bahas merupakan sumber politik tanpa etika. imbauan apapun tidak ada gunanya, karena ketumpulan atau kebusukan politik sudah demikian jauh sehingga yang dimengerti bukan bahasa etis, melainkan bahasa hukum dalam arti sanksi tegas! Andaikata perkembangan etis para politisi diukur menurut skema lawrence kohlberg!
a. Materialisme praktis:
Verbal dan ritual, banyak orang memang religius dan mengakui peran Tuhan dalam hidup, jadi tidak menganut materialisme filosofis, tetapi dalam kenyataan sehari-hari tak jarang mereka hidup "etsi deus non daretur". seolah-olah tidak ada Allah, atau paling banyak hanya selektif menghayatinya. 
b. Pragmatisme:V
erbal, memang sering mengucapkan slogan-slogan yang menjanjikan dan merdu kedengarannya, tetapi dalam kenyataan menempuh jalan pintas tanpa mengindahkan prinsip-prinsip yang dijanjikan dalam sumpah jabatan dan berlawanan dengan semboyan-semboyan yang diucapkan, terutama janji-janji kosong menjelang pemilu.
c. Oportunisme:
Obral janji sebelum pelantikan, tetapi kemudian habis-habisan memanfaatkan posisi untuk memperkaya diri tanpa memperdulikan kepentingan umum, khususnya nasib rakyat kecil. Inilah logika mekanisme komersialisasi jabatan: bila jabatan diperjual belikan, maka pejabat cenderung merebut kembali dana yang telah dikeluarkannya untuk memperoleh jabatan itu, ditambah dengan keuntungan yang diharapkannya.
d. Formaisme:
Tampil memukau seperti (bukan: sebagai) tokaoh panutan, tetapi hanya secara munafik dan pura-pura tanpa hati nurani yang terusik. Demikianlah politikus tanpa hati nurani yang menjalankan polotik tanpa etika. yang penting bukan keyakinan pribadi, melainkan citra baik dalam masyarakat, entah citra itu mencerminkan kebenaran yang de fakto ada atau tidak. Kalau mengikuti skema perkembangan moral menurut lowrence kohlberg, tahap dan tingkatan perkembangan banyak orang yang termasuk elite bangsa kita amat rendah."
e. Positivisme hukum:
Bukan kebenaran dan Keadilan, melainkan kepentingan dan "dagang sapi" yang dijadikan tolak ukur. Bukan argumen, melainkan kekuasaan yang menentukan. Hal ini dikukuhkan dengan praktek "impunity" (yang tak selalu secara formalitas memanfaatkan celah-celah hukum, bahkan terang-terangan) dalm penafsiran dan penerapan hukum, sesuatu tanda kelemahan penegakan hukum.
2. Etika tanpa politik: etika melulu individual
    Tak disangkal lagi dan perlu ditegaskan bahwa bangsa kita yang notabenenya sebagai bangsa yang mempunyai etika dan berpegang teguh pada tradisi etis, tetapi ada kesan bahwasanya etika dan politik terpisah: politik tanpa etika dan etika tanpa politik. Sebagaimana Sokrates telah mengingatkan bahwa: "Pengetahuan saja bukanlah jaminan bahwa orang akan menghayati dan mengamalkannya". Ada kesan: Agama memang mempunyai kedudukan yang terhormat, tetapi lebih sebagai ritual belum menjadi inspirasi kehidupan nyata. Hal ini dipertajam oleh etika individual(istis) yang telah dikecam oleh Konsili Vatikan II. Dimana etika indivudualistis kurang berminat dan kurang peduli akan bidang sosial politik. Dalam kenyataan, dari ketidakpedulian ini lah yang kemudian membiarkan politik tanpa etika. Hal yang sama juga berlaku bagi orang beragama, dimana dalam penghayatannya agama lebih terarah pada lingkup batin dan pribadi yang sempit, bahkan lebih sebagai pelarian dari kesulitan hidup sehari-hari daripada sebagai inspirasi kehidupan.
B. Etika Dalam Masyarakat Majemuk
1. Masyarakat majemuk
    Etika dihayati dan diamalkan tidak hanya dalam ruang lingkup hampa, tetapi dalam keadaan konkret hidup dan karya kita sehari-hari yang majemuk. Oleh karena itu, faktor ini perlu diperhatikan.
a. Hidup bersama dalam kemajemukan
    Kita hidup dalam masyarakat yang berbeda keyakinan dan pendapat dalam banyak hal yang mendasar, tetapi harus hidup bersama dengan damai. Meskipun sering kali sifat-sifat pribadi seperti tabiat, watak, kepribadian lebih menentukan daripada keyakinan dan pandangan. Maka, generalisasi tidak tepat. Kemajemukan mempunyai banyak aspek atau sudup pandang, sehubungan dengan moral. Kemajemukan pandangan kiranya menyangkut kemajemukan agama atau keyakinan yang dipeluk. Selain itu, juga paham tentang moral sendiri (belum isinya) dapat berbeda, misalnya faktorkebebasan hati nurani.
b. Kemajemukan luas dalam masyarakat luas
    Indonesia memiliki kemajemukan dari aneka sudut, misalnya:
    - Kemajemukan sosio-religius
    - Kemajemukan sosio-kultural
    - Kemajemukan sosio-ekonomis
    - Kemajemukan sosio-politis
2. Kemajemukan, peluang atau ancaman?
    Kemajemukan merupakan fakta, maka dari itu semboyan negara kita "Bhinneka Tunggal Ika". ini berarti:
a. Kemajemukan sebagai peluang
    Ada kesadaran bahwa kita saling membutuhkan, saling melengkapi dan saling memperkaya untuk berkembang. Dari fakta, terutama juga kesadaran akan kemajuan itu, harus disimpulkan tanggung jawab etis untuk mendayagunakannya demi kesejahteraan bersama seluruh masyarakat (dan sebaiknya) dipahami sebagai peluang dan tanggung jawab untuk saling melengkapi dan saling memperkaya.
b. Kemajemukan sebagai ancaman
    Tetapi, perlu disadari juga bahwa kemajemukan bagi banyak orang tampil sebagai ancaman (SARA) meskipun bahaya ini realitas dan memang juga sudah sering terjadi, terutama selama beberapa tahun terakhir yang lalu pada akhir milenium kedua dan awal milenium ketiga. Ancaman itu menjadi kenyataan bila ada pihak-pihak berkepentingan untuk memanfaatkan kerawanan kemajemukan itu untuk kerusuhan tertentu atau dalam masyarakat bisa dikenal sebagai PROVOKATOR.
c. Kemajemukan sebagai tantangan
    Bagaimana mendayagunakan kemajemukan tersebut sebagai suatu peluang untuk saling melengkapi dan saling memperkaya itu? Disinilah para elite dapat berperan positif, sebagai satu kesatuan yang saling bersinergi sebagai suatu bangsa yang kaya akan kemajemukannya. Tetapi dalam kenyataannya tidak demikian.
C. Aspirasi kristiani etika kristiani
1. Aspirasi kristiani
    Kiranya pengertian "etika kristiani" sendiri tak selalu jelas. Ada beberapa kemungkinan menafsirkannya.
a. Sejauh bersumber pada Alkitab
    Tetapi, sejauh mana perntyataan etis Alkitab dari kontes yang berbeda ribuan tahun yang lalu juga berlaku untuk umat kristiani di sini, dalam kontes ini dan di zaman ini? Dalam kenyataan: tidak semua norma Alkitab dianggap berlaku!
b. Sejauh berkaitan dengan iman kristiani
    Tetapi sejauh mana pasal-pasal iman kristiani dapat disimpulkan bahwa norma-norma etika kristiani dalam kenyataan: dari pokok-pokok iman, misalnya kasih, memang ditarik norma (perintah) untuk mengasihi, tapi masih terlalu umum sifatnya.
c. Sejauh diajarkan gereja
    Tetapi dari mana gereja mengambilnya?
Dalam kenyataan: memang gereja dipandang berwenang menyatakan hal-hal yang menyangkut moral kristiani, sehingga sering menjadi tempat bertanya, meskipun hal ini bukan jaminan bahwa ajaran Gereja akan dianut, karena tidak sedikit yang bersikap selektif.
d. Sejauh berasal dari tradisi kristiani
    Tetapi sejauh mana tradisi itu masih berlaku untuk kita dewasa ini dalam dunia dengan keadaan yang tak hanya makin rumit, tetapi juga berbeda dan berkembang mekin pesat (akselerasi)? Dalam kenyataan, tak jarang juga masih ditanyakan: dulu bagaimana?
2. Apanya yang kristiani?
    Sebaiknya diperhatikan bahwa "kristiani" tidak hanya berkaitan dengan wahyu adikodrati dan tata penebusan, tetapi juga dengan wahyu kodrati dan tata penciptaan yang tak dilenyapkan, malahan justru diteguhkan dan diangkat. dengan kata lain, "kristiani" meliputi hal-hal yang bersumber pada wahyu adikodrati dan hal-hal yang pada dasarnya terbuka bagi penalaran akal sehatdan dengan demikian menyangkut apa yang juga dapat disebut nilai-nilai inklusif. Tetapi, juga sejauh menyangkut nilai-nilai "ekslusif", Gereja tetap menghargai keyakinan dan kebebasan hati nurani sesama, maka mampu hidup dalam kebhinnekaan. Karena itu, setiap kali harus diperiksa lebih teliti apa yang dimaksudkan kalau dipergunakan istilah "kristiani", tidak hanya menyangkut aspek-aspek inklusif dan ekslusif, melainkan juga soal apanya yang kristiani itu.
                                                          --- /Isinya?
                              Dapat ditanyakan< ataukah
                                                          --- \motivasinya?

                             /isinya
a. Bisa salah satu < atau
                             \motivasinya

    Bisa menyangkut hal yang isinya bersifat inklusif dalam arti "terbuka bagi penalaran akal budi", misalnya nilai kemanusiaan universal, sehingga dianut juga oleh kalangan non-kristiani, tetapi motivasinya termasuk nilai ekslusif, misalnya teladan kasi Yesus Kristus.

                                      /isinya
b. Bisa kedua-duanya < dan
                                      \motivasinya

    Bisa juga menyangkut ini yang dikaitkan dengan wahyu kristiani, jadi termasuk nilai ekslusif, misalnya perayaan Ekaristi atau hormat terhadap Sakramen Mahakudus, dan juga motivasinya bersumber pada wahyu kristiani itu, misalnya "lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku".
D. Peran penalaran akal sehat
1. Lebih inklusif daripada ekslusif
    Tak jarang apa yang dicap "lain" dianggap sama sekali berbeda, sedangkan ada banyak unsur kesamaan dan kebersamaan, sehingga mencari titik temu tak berarti mengingkari unsur-unsur ekslusif yang merupakan ciri khas suatu kalangan.
a. Inklusif               = lebih mengedepankan kesamaan dan kebersamaan
b. Ekslusif              = lebih mengedepankan hal-hal ciri khas yang tak dipunyai pihak lain.
2. Kesamaan dan kebersamaan semua
a. Kesamaan dan kebersamaan harus dikedepankan sebagai suatu pijakan bersama dalam hidup serta kerja sama di masyarakat majemuk.
b. Penalaran akal sehat = birpijak pada landasan kebersamaan dan mengutamakan titik temu semua pihak dalam hidup bersama dalam keadilan dan perdamaian.
3. Etika kristiani
    Istilah "kristiani" tak harus menakutkan karena mengandung banyak nilai inklusif.
a. Meskipun etika merupakan implikasi atau konsekuensi iman, namun etika etika bukan dogma atau misteri (bukan soal percaya atau tidak).
b. kesimpulan argumentasi etika berdasarkan penalaran akal sehat dalam cahaya iman, maka harus persuasif (meyakinkan).
c. Praktis semua norma etika kristiani termasuk hasil penalaran akal sehat, maka pada prinsipnya terbuka bagi semua.
4. Isinya bisa sama, motivasinya bisa beda
a. Sama isinya
    Menghayati norma kristiani tak harus berarti berprilaku berbeda, karena kesamaa dan kebersamaan jauh lebuh baik daripada perbedaan, khususnya bila menyangkut nilai-nilai kemanusiaan lintas-batas.
b. Beda motivasinya
    Agama dapat memberimotivasi khusus. Misalnya, perawat kristiani melaksanakan tugasnya penuh kasih, tetapi motivasinya (pendorong dan penjiwaan) bisa diambilnya dari mat 25:36 "ketika aku sakit, kamu mengunjungi aku", sedangkan perawat non-kristiani bisa menimba inspirasi lain dari agama yang dianutnya.
KESIMPULAN:
Perbedaan agama juga dalam masyarakat majemuk ini tak usah menjadi penghambat dalam mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan, bahkan sebaliknya sebagai suatu bangsa yang majemuk justru harus mendorong untuk mencari titik temu dalam usaha mensejahterahkan masyarakat.

Kamis, 03 Desember 2015

ETOS DAN MORALITAS POLITIK Bag. II

I. POLITIK SEBAGAI PERJUANGAN
a. Aspek Positif
       Aspek positif ini perlu dikedepankan karena citra politik dicemari oleh mereka yang mentalitas, sikap, dan perilakunya tak terpuji, sehingga citra politik yang hidup dalam masyarakat ialah:
Politik itu kotor, atau mengejar posisi tertentu dengan harapan memperkaya diri atau mendapat keuntungan lain dengan membawa atas nama rakyat.
1. Politik Harus Ada
       ada hal-hal yang harus ada, entah dalam kenyataannya baik atau buruk, entah kita puas atau tidak, misalnya Negara dengan para politisinya. Kodrat sosial manusia mentut manusia bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. kalau Negara dan Politik sudah merupakan tuntutan kodrat, tidak ada jalan lain selain memenuhinya. Tetapi, tetap harus ada usaha untuk memperbaiki negara dan politinya yang selama ini kurang sesuai dengan tujuannya. Agar usaha itu jangan hanya membabi buta, maka juga perenungan soal etika politik. Dalam ajaran sosial Gereja, negara termasuk lembaga kodrati yang harus ada, apa pun dan bagaimana pun teori untuk menerangkannya.
       Ada negara yang menurut pandangan dewasa ini kurang baik, bukanlah argumen melawan tesis perlunya negara. Negara yang menurut pandangan dewasa ini dinilai kurang baik, telah berfungsi pada zamannya. dimaksudkan, adanya perkembangan. Mungkin saja masih ada masyarakat tranpa bentuk negaranya seperti yang kita kenal sekarang, tetapi sekurang-kurangnya yang menurut adanya instansi yang mengatur hidup bersama sedikit banyak dipenuhi, sekurang-kurangnya dalam bentuk rudimenter.
2. Politik Demi Kepentingan Umum atau Kepentingan Bersama
      kita lahir sudah d:alam konteks bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. dalam hal ini kita dapat mengajukan pertanyaan: untuk apa ?
Jawaban yang sering kita dengan dari ajaran sosial Gereja ialah : Bonum Commune (istilah ini sulit diterjemahkan dalam bahasa Indonesia) yang artinya kurang lebih : kepentingan umum, kesejahteraan bersama, sebagai ringkasan dan lambang segala sesuatu yang kita butuhkan untuk hidup layak amnusiawi, termasuk peluang untuk berkembang, dan sulit-untuk tidak mengatakan mustahil-diusahakan sendiri-sendiri saja.
      Untuk mewujudkan kesejahteraan bersama sebagaimana uang dimaksud sebelumnya, diperlukan mentalitas yang sesuai, yakni keprihatinan efektif untuk kesejahteraan bersama, semangat gotong royong, prinsip solidaritas yang membuat manusia, terutama pimpinan yang menentukan, tahu, mau, mampu dan sanggup mengutakan kepentingan umum diatas kepentingan diri sendiri atau golongan. Pimpinan seperti itu bukanya takut akan sanksi, melainkan karena keyakinan dan kesadaran akan tugasnya menyelenggarakan kesejahteraan bersama. tetapi kebersamaan bersama saja tidak cukup, harus ada kerjasama yang terbagi untuk saling bekerja sama satu sama lain dengan dari beberapa subjek yang bertanggung jawan dan berwenang dengan pembagian tugas yang baik : prinsip subsidiaritas, kalo tidak bisa terjadi bahwasanya suatu tugas menjadi rebutan aneka pihak, sedangkan tugas lain diaabaikan sama sekali. maka dari itu, ketiga prinsip sosial gereja merupakan kesatuan. namun hal tersebut tetap ada perbedaan pandangan diantara mereka, ada yang menggap negara juga sebagai alat untuk memenuhi aspirasi agama atau pandangan hidup tertentu, terutama bila merasa diri kuat untuk mendesakkan pendapatnya dan menempuh segala cara untuk mewujudkannya. Dapat dibayangkan bagaimana segalanya dalam negara menurut aspirasi itu diarahkan untuk mewujudkan nilai-nilai pandangan hidup dianutnya. Kecenderungan demikian ini memang mudah untuk diwujudkan dalam masyarakat yang homogen dan tertutup dewasa ini dalam era global makin berkurang. Cita-cita negara juga sebagai sarana mewujudkan nilai-nilai pandangan hidup yang sama makin lama makin sulit di wujudkan, karena juga dalam hal pandangan hidup masyarakat menjadi makin majemuk.
b. Aspek Negatif
      Harus diakui bahwa baik dalam sejarah dahulu maupun dewasa ini citra politik tidak lepas dari aspek negatif. Hal ini tidaklah mengherankan, karena kekuasaan tidak hanya menjadi godaan, tetapi dalam kenyataan sering menjadi godaan : "Corruptio optimi pessima" (makin tinggi kedudukan seseorang, makin parah kejahatannya). Namun aspek negatif ini tidak lantas harus membuat kita putus asa, karena masih ada secerca harapan dan setitik kebaikan di luar sana yang mampu membuat perubahan, tergantung dari abagaimana kita atau negara memandangnya akan hal tersebut.
1. Sejarah dan Kinerja
     a. Sejarah
    Terlepas dari faktor perkembangan umat manusia (misalnya perkembangan kesadaran akan hak-hak asasi manusia), dari sejarah dapat kita liat atau ajukan beberapa contoh bahwa tujuan negara tidak hanyak untuk diarahkan hanya atau terutama untuk kepentingan umum, tetapi juga untuk kepentingan pribadi atau golongan, misalnya Raja-raja dan sanak saudaranya, baik itu di kawasan Barat maupun di kawasan Timur. Namun, secara berangsur-angsur gagasan beberapa orang-juga berkat makin tersebarnya aneka pemikiran para pakar dan peran media massa - menjadi kesadaran bersama dari banyak orang dan masyarakat yang tidak dapat menerima paham oligarkis tentang negara.Itulah proses lahirnya demokrasi, namun dalam pelaksanaannya tidak mudah sebagaimana pada negara-negara yang memang menyebut diri mereka demokratis (misalnya negara-negara komunis), tapi pada kenyataannya tetap otoriter. bukan hanya dalam sejarah monarki absolut, tetapi juga zaman modern ini ada penguasa-penguasa yang main kuasa yang sering berarti KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme),tidak hanya dalam zaman otoriter, melainkan juga dalam era reformasi.
     b. Kinerja
    Tak jarang politik dianggap "Kotor" bukan hanya karena rakyat dipermainkan, tetapi jg karena perjuangan untuk kepentingan pribadi itu dilaksanakan dengan cara-cara kriminal dan tanpa pemulihan keadilan ("impunity" atau "impunidad" yang dinikmati jederal-jenderal di Amerika Latin), meskipun secara verbal dipertegas dengan konsep negara sebagai negara hukum dan berlakunya undang-undang tanpa pandang bulu.Tetapi undang-undang yang baik tidak hanya diterapkan secara selektif tetapi juga diskriminatif.
     Namun dibalik itu semua (undang-undang maupun penegakannya), dapat ditemukan kinerja manusia yang amat menentukan: "The man behind the gun". undang-undang adalah produk DPR (dan Pemerintah). Penegakan hukum juga terletak ditangan para aparat penegak hukum itu sendiri, baik itu dibelakang meja hijau maupun di lapangan yang sering ditarget atasannya. Penaran kinerja manusia untuk penghayatan  dan pengamalan etika politik amat besar. dalam pemilihan umum yang paling demokratis pun tidak menjadi jaminan, karena juga tergantung pada kinerja orang terpilih. mingkin kinerjanya masih baik pada permulaannya, tetapi pelaksanaannya juga tergantung pada kinerja manusia bagitupun sebaliknya. Dan kinerja pada gilirannya juga tergantung pada mentalitas dan sikap (kepribadian, watak, dan tabiat) orang yang bersangkutan dan lingkungan yang mempengaruhinya.
2. Penyalagunaan Kekuasaan
a. Kekuasaan tak terbatas
    Sejarah juga dapat memberi contoh kekuasaan yang tak terbatas seperti yang terungkap dalam "1'Etat c'estmoi", negara adalah SAYA. sehingga saya (Raja) dapat berbuat apa saja sesukanya. Bandingkan juga istilah etatisme yang membesar-besarkan peran negara dan menyempitkan ruang publik serta ruang privat.
     Meskipun zaman monarki absolut telah berakhir dan meskipun HAM sudah diakui kebanyakan negara, meskipun sudah ada undang-undang yang sehsrusnya berfungsi sebagai dasar hukum untuk tindakan, secara lebih halus kecenderungan ini masih nampak dalam apa yang lazim disebut "etatisme" itu, yaitu kecenderungan negara (lewat pemerintah, bahkan menurut huruf undang-undang) mengatur (hampir) segalanya, terutama di mana ruang "publik" menjadi amat sempit. Namun etatisme sulit berkembang di dalam masyarakat yang sadar akan hak-kaknya (hak asasi manusia, hak sipil), dan terutama bila DPR sungguh menyuarakan sikap rakyat dan tidak terlalu sibuk dengan urusan lain (urusan pribadi/kelompok).
b. Godaan kekuasaan
     Politik juga berarti kekuasaan. tak jarang kekuasaan yang dimaksudkan untuk memperjuangkan kepentingan umum itu disalahgunakan untu kepentingan lain. Godaan kekuasaan ini sudah diketahui dan menjadi rahasia umum, maka ada trias Politika yang membatasi dengan membagi-bagi kekuasaan agar jangan segalanya di satu tangan yang dapat berbuat semaunya dan perlunya status "independen". Dan juga Godaan kekuasaan sulit menjadi kenyatadengaan jika apabila fungsi DPR dijalankan dengan jeli dan baik, dan terutama dalam wawasan jangka panjang, dengan tetap memperhatikan pelaksanaannya bertahap lewat perencanaan jangka menengah dan pendek, dan tak hanya atau terutama memikirkan pemilihan umum berikutnya.
c. Negara dan Agama
1. Sumber kekuasaan
a. Kecenderungan memutlakkan diri
    baik penguasa negara maupun penguasa agama cenderung memutlakkan diri. dalam sejarah ada banyak contoh hubungan persaingan antara kebudayaan, dan bila dua ekor gajah bertengkar, rakyatlah, terutama rakyat kecil tanpa peluang untuk meloloskan diri, yang terjerit dan paling menderita.
b. Yang Ilahi sebagai sumber kekuasaan
     agama cenderung memutlakkan diri karena menganggap diri sebagai sumber pda wahyu ilahi yang dianggap mutlak atau menganggap dirinya sebagai yang paling benar. Misalnya kaisar yang dianggap sebagai keturunan dewa-dewa. Alasan atau tetapi motivasi sepanjang zaman bisa berbeda-beda, tetapi akibatnya sama-sama menindas demokrasi atau lebih jelas: menindas hak-hal asasi manusia yang dengan demikian tidak dihargai sesuai dengan nartabatnya. maka, perlu kebijaksanaan seperti yang ditunjukkan para pendiri Republik Indonesia tahun 1945. mereka menetapkan negara Pancasila, dan kesepakatan tersebut dipegang teguh para pewarisnya: bagaimana hubungan antara negara dan agama jangan terus-menerus menjadi sumber keresahan, misalnya dalam membuat rancangan undang-undang menjadi undang-undang menjadi undang-undang yang merupakan landasan hidup bersama dalam keadilan dan perdamaian.
2. Kesatuan atau Pemisahan?
a. Kesatuan
    Dalam sejarah pun dapat kita liat atau dapat kita temukan kesatuan antara negara dan agama, sedemikian rupa sehingga raja sekaligus kepala Gereja (bdk. Ratu Inggris dan Gereja Anglikan), dan uskup pada Abad Pertengahan sekaligus sebagai kepala Negara. ada kesatuan tahta dan altar. Teokrasi! Kiranya sudah menjadi rahasia umum bahwa kesatuan ini lebih merugikan daripada menguntungkan. Secara sederhana dapat di jelaskan: Negara dan Agama berbeda dan mempunyai tugas dan bidang berbeda pula, meskipun bisa menyangkut bidang yang sama (misalnya perkawinan) dan manusia yang sama yang sekaligus adalah warga negara dan warga agama tertentu. Diperlukan suatu tingkat independensi untuk dapat melakukan tugas itu sebaik-baiknya tanpa mencampuradukkannya, apalagi kalau batas-batasnya kurang tajam.
b. Pemisahan
    Tingkat pemisahan bisa berbeda-beda: 
Negara dan Agama jalan sendiri-sendiri, tak saling mencampuri urusan yang lain, dan mungkin juga saling tak tahu dan tak mau tahu. Misalnya:
Warga negara, menikah menurut hukum perkawinan sipil; dan sebagai warga Gereja, menikah menurut hukum Gereja. Pola pemisahan ini tak jarang menjadi momok "sekuler", yang ditolak dengan menunjuk sifat bangsa yang religius. Kiranya perlu disadari perbedaan antara "sekulerisasi" yang masih sehat dalam arti mengindahkan otonomi wajar tata dunia, dan "sekulerisme" yang tidak sesuai dengan Negara Pancasila yang mencanangkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
c. Kerja sama
    Negara dan Agama memang mempunyai tugas sendiri-sendiri. Namun, dalam kesadaran akan manusia yang sama yang sekaligus warga negara dan warga agama, negara dan agama tidak memberi beban lebih daripada perlu. Maka, negara dan agama bekerja sama. Warga pun memperoleh kebebasan:
Pernikahan menurut hukum agama diakui oleh negara, dan sebaliknya. bagaimana bentuk kerja sama itu juga tergantung pada aneka faktor, antara lain sejarah dan budaya, maka diperlukan seni kontekstualisasi.
d. Negara pancasila
    Berulang kali ditegaskan bahwa Indonesia bukan negara agama, juga bukan negara sekuler. Indonesia adalah negara Pancasila yang dikehendaki para Bapak Pendiri Republik Indonesia yang majemuk. Tetapi, kalau ditanyakan lebih lanjut dan lebih mendalam, apa negara Pancasila itu tetapnya, sulit diperoleh jawaban yang tuntas dan memuaskan. Bila teorinya saja sulit dirumuskan, tidaklah mengherankan bila prakteknya tak jarang membingungkan. Kiranya tak cukup pembatasan yang terutama negatif:
Bukan ini dan bukan itu. Diperlukan pengisian yang lebih positif, agar juga perwujudannya konsisten.

ETOS DAN MORALITAS POLITIK

ETOS DAN MORALITAS POLITIK

Jika politik dipahami sebagai sebuah perjuangan, dapat di ajukan pertanyaan utama apa yang di perjuangkan dan bagaimana memperjuangkannya ?
"Apa" : tujuan semua Negara memperjuangkan masyarakatyang adil dan makmur "Bagaimana "?
      Cara memperjuangkan tujuan itu dapat amat berbeda. terutama dalam politik, sering kali soalnya tidak terletak hanya pada tujuan, tetapi juga pada cara mencapai tujuan tersebut. Negara Demokratis dan Negara Diktator bertuan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur (masyarakat mana yang tidak menghendakinya?), tetapi jalan yang ditempuh untuk mewujudkannya dapat berbeda. dapat diandaikan untuk memakai cara berfikir dengan prinsip skolastik bahwa apa pun yang dikejar, mempunyai sesuatu yang dianggap baik (ratio boni) atau lebih baik, betapa pun subjektif penilaian apa yang baik atau lebih baik itu. orang yang bunuh diri pun  dalam keadaan putus asa mengharapkan sesuatu yang lebih baik daripada terus hidup dalam keadaan seperti itu.
      Dalam hal ini diangkat sesuatu yang dianggap baik yaitu HAM. Pemahaman HAM dan cara memperjuangkannya, terutama bila dianggap bersaing dengan hal lain yang diperjuangkan, dapat amat berbeda, apabila orang secara pragmatis terdorong menempuh jalan pintas untuk mencapai suatu tujuan. dapat kita liat kenyataan di lapangan :
Bukankah sering kali banyak pejabat (baik dari kalangan eksekutif, yudikatif, dan bahkan legislatif) bukannya terutama meperjuangkan HAM, namun melainkan KORUPSI mengusahakan kepentingannya sendiri (pribadi atau golongan). bila jabatan makin dian anggap sebagai peluang untuk memperjuangkan kepentingan golongan atau agenda politik tersembunyi, dan/atau memperkaya diri dan diperjualbelikan, maka meskipun diawali dengan sumpah jabatan, meski termasuk Orde Reformasi, konsekuensi logisnya ialah keadaan dewasa ini yang amat menyedihkan :
Politik tanpa etika dan khususnya tanpa hati nurani. maka dari itu, kiranya baik dalam keadaan seperti ini merenungkan kaitan antara HAM dan politik, apalagi dalam rangka membicarakan etika politik.