Sosial Politik

Selasa, 22 Desember 2015

MODEL-MODEL FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIK

Model Formulasi Kebijakan Publik
1.      Model Kelembagaan (Institusional)
Pada model ini secara sederhana bermakna bahwa “tugas membuat kebijakan publik adalah tugas pemerintah”. Jadi semua yang dibuat oleh pemerintah dengan cara apa pun merupakan kebijakan publik. Model ini pada dasarnya lebih mengutamakan fungsi-fungsi setiap kelembagaan dari pemerintah, di setiap sektor dan tingkat dalam memformulasikan kebijakan. Menurut Thomas R. Dye, ada tiga hal yang membenarkan tentang pendekatan teori ini, yaitu ; pemerintah memang sah dalam membuat kebijakan publik, formulasi kebijakan publik yang dibuat oleh pemeritah bersifat universal (umum), pemerintah memonopoli/menguasai fungsi pemaksaan (koersi) dalam kehidupan bersama.
Model ini sebenarnya merupakan derivasi/turunan dari ilmu politik tradisional dimana dalam ilmu tersebut lebih menekankan pada strukturnya daripada proses atau perilaku politik. Proses yang dilakukan dalam model ini menunjukan tugas lembaga-lembaga pemerintah dalam melakukan formulasi kebijakan tetapi dalam memformulasi kebijakan tersebut dilakukan secara otonom tanpa berinteraksi/berkomunikasi dengan lingkungan sekitar. Hal tersebut menjadi salah satu kelemahan dari model ini yaitu terabaikannya masalah-masalah lingkungan di mana kebijakan itu diterapkan. (Wibawa, 1994 : 6).
2.      Model Proses (Process)
Pada model ini politik diasumsikan sebagai sebuah aktivitas sehingga mempunyai proses. Oleh karena itu, kebijakan publik juga merupakan suatu proses politik yang menyertakan rangkaian kegiatan:
Identifikasi Permasalahan
Mengemukakan tuntutan agar pemerintah mengambil tindakan.
Menata Agenda Formulasi Kebijakan
Memutuskan isu apa yang dipilih dan permasalahan apa yang hendak dikemukakan.
Perumusan Proposal Kebijakan
Mengembangkan proposal kebijakan untuk menangani masalah tersebut.
Legitimasi Kebijakan
Memimilih satu buah proposal yang dinilai terbaik untuk kemudian mencari dukungan politik agar dapat diterima sebagai sebuah hukum.
Implementasi Kebijakan
Mengorganisasikan birokrasi, menyediakan pelayanan dan pembayaran dan pengumpulan pajak.
Evaluasi Kebijakan
Melakukan studi program, melaporkan outpputnya, mengevaluasi pengaruh (impact) kelompok sasaran dan non-sasaran, dan memberikan rekomendasi penyempurnaan kebijakan.
Model ini menunjukan tentang bagaimana kebijakan dibuat atau seharusnya dibuat, akan tetapi kurang memberikan tekanan pada substansi seperti apa yang harus ada dalam kebijakan tersebut. Jadi lebih mengutamakan step by step pembuatan kebijakan tetapi kurang fokus terhadap isi/hal-hal penting yang harus ada dalam kebijakan itu.
3.      Model Teori Kelompok (Group)
Dalam pengambilan kebijakan penganut teori ini mengandaikan kebijakan sebagai titik keseimbangan (equilibrium). Intinya adalah interaksi yang terjadi di dalam kelompok akan menghasilkan keseimbangan dan keseimbangan tersebut adalah yang terbaik. Individu di dalam kelompok kepentingan berinteraksi secara formal maupun informal, secara langsung atau melalui media massa menyampaikan tuntutan/gagasan kepada pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan publik yang diperlukan. Sistem politik pada model ini berperan untuk memanage konflik yang muncul akibat adanya perbedaan tuntutan, melalui :
a.       Merumuskan aturan main antarkelompok kepentingan.
b.      Menata kompromi dan menyeimbangkan kepentingan.
c.       Memungkinkan terbentuknya kompromi di dalam kebijakan publik (yang akan dibuat).
d.      Memperkuat kompromi-kompromi tersebut.
Menurut model ini dalam melakukan formulasi kebijakan, beberapa kelompok kepentingan berusaha mempengaruhi isi dan bentuk kebijakan secara interaktif. (Wibawa, 1994 : 9).
4.      Model Teori Elit (Elite)
Model teori ini mengasumsikan bahwa dalam setiap masyarakat terdapat 2 kelompok, yaitu pemegang kekusaan (elit) dan yang tidak berkuasa (massa). Di dalam formulasi kebijakan, sedemokratis apa pun selalu ada bias karena pada akhirnya kebijakan tersebut merupakan preferensi politik dari para elit-politik. Sisi negatifnya adalah dalam sistem politik, para elit-politiklah yang akan menyelengarakan kekuasaan sesuai kehendaknya. Sisi positifnya adalah seorang elit-politik yang berhasil memenangkan gagasan membawa negara-bangsa ke kondisi yang lebih baik dibanding dengan pesaingnya. Secara top down, elit-politiklah yang membuat kebijakan, sedang implementasi kepada rakyat dilakukan oleh administrator publik. Jadi model elit merupakan abstraksi dari proses formulasi kebijakan dimana kebijakan publik merupakan perspeksi elit-politik. Prinsip dasarnya kebijakan yang dibuat  bersifat konservatif karena para elit-politik ingin mempertahankan status quo. Kelemahannya yaitu kebijakan yang dibuat elit-politik tidak selalu mementingkan kesejahteraan rakyat.
5.      Model Teori Rasionalisme (Rational)
“Kebijakan publik sebagai maximum social gain”, maksudnya pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang memberikan manfaat optimum bagi masyarakat, dalam formulasinya harus berdasar keputusan yang sudah diperhitungkan rasionalitasnya yaitu perbandingan antara pengorbanan dan hasil yang akan dicapai sehingga model ini lebih menekankan pada aspek efisiensi atau ekonomis. Cara-cara formulasi kebijakan disusun dalam urutan : (1) Mengetahui preferensi publik dan kecenderungannya, (2) Menemukan pilihan-pilihan, (3) Menilai konsekuensi masing-masing pilihan, (4) Menilai rasio nilai sosial yang dikorbankan, (5) Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien. (Wibawa, 1994 : 10, Winarno, 2002 : 75, Wahab, 2002 : 19). Model ini termasuk yang ideal dalam formulasi kebijakan dalam arti untuk mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas kebijakan. Beberapa kelemahan pokonya antara lain konsep maximum social gain berbeda di antara kelompok kepentingan sehingga dikhawatikan menimbulkan perbedaan/perselisihan, kebijakan maximum social gain sulit dicapai mengingat birokrasi yang cenderung melayani diri sendiri daripada melayani publik. Namun idealisme dari model ini perlu ditingkatkan dan diperkuat karena di setiap negara pasti ada birokrat-birokrat yang cakap, cerdas dan handal demi memajukan bangsa dan negaranya. Untuk itu model ini perlu menjadi kajian dalam proses formulasi kebijakan.
6.      Model Inkrementalis (Incremental)
Pada dasarnya merupakan kritik terhadap model rasional, diamana para pembuat kebijakan tidak pernah melakukan proses seperti yang diisyaratkan oleh pendekatan rasional karena mereka tidak memiliki cukup waktu, intelektual, maupun biaya, ada kekhawatiran muncul dampak yang tidak diinginkan akibat kebijakan yang belum pernah dibuat sebelumnya, adanya hasil-hasil dari kebijakan sebelumnya yang harus dipertahankan dan menghindari konflik. (Wibawa, 1994 : 11, Winarno, 2002 : 77-78, Wahab, 2002 : 21). Jadi kebijakan publik merupakan variasi/kelanjutan dari kebijakan di masa lalu. Karena pengambilan kebijakan dihadapkan kepada ketidakpastian yang muncul di sekelilingnya maka pilihannya adalah melanjutkan kebijakan di masa lalu dengan melakukan modifikasi seperlunya, pemerintah dengan kebijakan inkrementalis berusaha mempertahankan komitmen kebijakan di masa lalu untuk mempertahankan kinerja yang telah dicapai.
7.      Model Teori Permainan (Game Theory)
Model ini di-cap sebagai model konspiratif, dimana mulai muncul sejak berbagai pendekatan yang sangat rasional tidak mampu menyelesaikan pertanyaan yang muncul yang sulit diterangkan dengan fakta-fakta yang tersedia. Gagasan pokok dari teori ini : (1) formulasi kebijakan berada pada situasi kompetisi yang intensif, (2) para aktor berada dalam situasi pilihan yang tidak independent ke dependent melainkan situasi pilihan yang sama-sama bebas/independent. Konsep kunci teori ini adalah strategi, dimana kuncinya bukanlah  yang paling aman tetapi yang paling aman dari serangan lawan. Jadi teori ini memiliki tingkat konservativitas yang tinggi karena pada intinya merupakan strategi defensif, tetapi bisa juga dikembangkan menjadi strategi ofensif asal yang bersangkutan memiliki posisi superior dan dukungan sumber daya yang memadai.
8.      Model Pilihan Publik (Public Choice)
Dalam model ini kebijakan sebagai proses formulasi keputusan kolektif dari setiap individu yang berkepentingan atas keputusan tersebut. Akar dari kebijakan ini adalah dari teori ekonomi pilihan publik (economic of public choice) yang mengatakan bahwa manusia itu homo economicus yang memiliki kepentingan yang harus dipuaskan dan pada prinsipnya adalah buyer meet seller; supply meet demand. Intinya setiap kebijakan yang dibuat pemerintah harus merupakan pilihan dari publik yang menjadi pengguna (beneficiaries/customer). Dalam menyusun kebijakan, pemerintah melibatkan publik melalui kelompok-kelompok kepentingan dan ini secara umum merupakan konsep formulasi kebijakan yang paling demokratis karena memberi ruang yang luas kepada publik untuk mengkontribusikan pilihan-pilihannya kepada pemerintah sebelum diambil keputusan. Meskipun ideal dalam konteks demokrasi dan kontrak sosial, namun memiliki kelemahan pokok dalam realitas interaksi itu sendiri karena interaksi akan terbatas pada publik yang mempunyai akses dan di sisi lain terdapat kecenderungan dari pemerintah untuk memuaskan pemilihnya daripada masyarakat luas.
9.      Model Sistem (System)
Menurut David Easton pendekatan dalam model ini terdiri dari 3 komponen : input, proses dan output. Salah satu kelemahan dari pendekatan ini adalah terpusatnya perhatian pada tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah dan pada akhirnya kita kehilangan perhatian pada apa yang tidak pernah dilakukan pemerintah. (Wibawa, 1994 : 7, Winarno, 2002 : 70). Jadi formulasi kebijakan dengan model sistem mengibaratkan bahwa kebijakan merupakan hasil (output) dari sistem politik. Seperti dalam ilmu politik, maka sistem politik terdiri dari input, throughput dan output. Sehingga dapat dipahami, proses formulasi kebijakan publik dalam sistem politik mengandalkan masukan (input) yang terdiri dari tuntutan dan dukungan.
10.  Model Pengamatan Terpadu (Mixed-Scaning)
Model ini berupaya menggabungkan antara model rasional dengan model inkremental. Tokohnya adalah Amitai Etzioni, pada 1967 yang memperkenalkan model ini sebagai suatu pendekatan terhadap formulasi keputusan-keputusan pokok dan inkremental, menetapkan proses-proses formulasi kebijakan pokok dan urusan tinggi yang menentukan petunjuk-petunjuk dasar, proses-proses yang mempersiapkan keputusan-keputusan pokok dan menjalankannya setelah keputusan itu terapai. Jika diibaratkan seperti dua kamera; kamera wide angle untuk melihat keseluruhan, kamera dengan zoom untuk melihat detailnya. (Winarno, 2002 : 78, Wahab, 2002 : 23-24).
11.  Model Demokratis
“Pengambilan keputusan harus sebanyak mungkin mengelaborasi suara dari stakeholders”. Pernyataan tersebut dapat dikatakan sebagai “Model Demokrasi” karena menghendaki agar setiap “pemilik hak demokrasi” diikut sertakan sebanyak-banyaknya.  Model ini implementasinya pada good governance bagi pemerintahan yang mengamanatkan agar dalam membuat kebijakan, para konstituten, dan pemanfaat (beneficiaries) diakomodasi keberadaan. Model ini sebenarnya sudah baik akan tetapi kurang efektif dalam mengatasi masalah-masalah yang bersifat kritis, darurat dan dalam kelangkaan sumber daya. Namun apabila model ini mampu dijalankan maka sangat efektif karena setiap pihak mempunyai kewajiban untuk ikut serta mencapai keberhasilan kebijakan karena masing-masing pihak bertanggung jawab atas kebijakan yang dirumuskan.
12.  Model Strategis
Inti dari teori ini adalah bahwa pendekatan menggunakan rumusan runtutan perumusan strategi sebagai basis perumusan kebijakan. Tokohnya adalah John D. Bryson. Perencanaan strategis yaitu upaya yang didisiplinkan untuk membuat keputusan dan tindakan penting yang membentuk dan memandu bagaimana menjadi organisasi (atau etnis lainnya), apa yang dikerjakan organisasi (atau etnis lainnya), dan mengapa organisasi (atau etnis lainnya) mengerjakan hal seperti itu (Bryson, 2002 : 4-5). Perencanaan strstegis mensyaratkan pengumpulan informasi secara luas, eksploratif alternatif dan menekankan implikasi masa depan dengan keputusan sekarang (Bryson, 2002 : 5). Fokusnya lebih kepada pengidentifikasian dan pemecahan isu-isu, lebih menekankan kepada penilaian terhadap lingkungan di luar dan di dalam organisasi dan berorientasi kepada tindakan (Bryson, 2002 : 7-8). Perencanaan strategis dapat membantu organisasi untuk; berpikir secara strategis dan mengembangkan strategi-strategi yang efektif, memperjelas arah masa depan, menciptakan prioritas, membuat keputusan sekarang dengan memperhatikan konsekuensi masa depan, kontrol organisasi, memecahkan masalah utama organisasi, menangani keadaan yang berubah dengan cepat secara efektif. Proses perumusannya adalah; mengusulkan dan menyepakati perencanaan strategi (memahami manfaat perencanaan strategi dan mengembangkannya), merumuskan panduan proses, memperjelas wewenang dan misi organisasi, melakukan analisa SWOT ( menilai kekuatan dan kelemahan, peluang dan ancaman). Mengidentifikasi isu strategi yang dihadapi, merumuskan strategi untuk mengelola isu. Jadi dapat disimpulkan bahwa model ini fokusnya lebih kepada rincian-rincian langkah manajemen strategis.

TEORI STRATIFAKASI SOSIAL

Teori Stratifikasi Sosial
  1. Teori-Teori Stratifikasi Sosial Beserta Tokohnya
            Abrahamson berpendapat, bahwa teori stratifikasi sosial dari Weber, sebenarnya merupakan suatu tanggapan terhadap ajaran-ajaran Marx mengenai masalah tersebut. Salah satu pokok permasalahannya adalah mengenai dimensi stratifikasi sosial, yakni dimensi ekonomis, soial dan politis. Weber berpendapat bahwa di dalam setiap tertib, warga-warga masyarakat terbagi dalam kelas-kelas (ekonomis), kelompok status (sosial), dan partai-partai (politis).
Hubungan antara ketiganya bersifat timbal balik ; Marx menganggap, bahwa dimensi ekonomis menentukan dimensi-dimensi lainnya. Uraian di bawah ini, akan mempersalahkan hal-hal tersebut.
Sebagaimana dijelaskan, Weber menyatakan bahwa suatu kelas mencakup orang-orang yang mempunyai peluang-peluang kehidupan yang sama, dipandang dari sudut ekonomis. Dengan peluang-peluang kehidupan dimaksudkan sebagai kondisi hidup, pengalaman hidup dan kesempatan mendapatkan benda dan jasa.
            Menurut Weber pengertian kelas adalah untuk mengkaitkannya dengan pengertian pemilikan yang dipandangnya sebagai masalah situasi pasaran. Sebagaimana halnya dengan Marx, maka Weber melihat pasaran kapitalistik sebagai gejala yang mengeluarkan golongan yang tidak bermodal dari proses persaingan terhadap barang-barang bernilai tinggi.
Menurut pendapat Marx golongan borjuis memegang monopoli terhadap kesempatan-kesempatan atau peluang-peluang tertentu. Yang dikeluarkan dari proses persaingan adalah golongan proletar yang hanya dapat memberikan jasa-jasa. Akan tetapi, Weber mengadakan penjabaran lebih lanjut terhadap posisi-posisi di dalam kelas-kelas tersebut.
Menurut Weber, maka berbagai golongan borjuis, sesuai dengan varisai harta kekayaan yang dimilikinya. Hal yang sama juga merupakan gejala yang dapat dijumpai pada golongan yang tidak mempunyai harta kekayaan, yang hanya mampu memberikan atau menjual tenaganya.
            Marx beranggapan, bahwa golongan proletar tidak mengakui kepentingan sesungguhnya dari kelasnya ; dia berpendapat bahwa mereka harus mengakuinya dan akan berbuat demikian kelak dikemudian hari. Dengan cara lebih memberi tekanan pada konstruksi subyektif dari keadaan, Weber memintakan perhatian terhadapa halangan terjadinya aksi kelas.
Weber menganggap pertimbangan-pertimbangan terhadap kedudukan, sebagai halangan tambahan terhadap terjadinya aksi kolektif yang didasarkan pada posisi kelas. Di sini lah muncul perbedaan pendapat anatara Weber dengan Marx. Mengenai status atau kedudukan, Weber menganggapnya sebagai hal yang menyangkut gaya hidup, kehormatan dan hak-hak istimewa.
Hubungan antara kelas dengan status, merupakan masalah yang sangat penting bagi Weber. Di satu pihak Weber menyatakan, bahwa status dapat didarkan pada pemilikan (harta kekayaan), dan cenderung demikian pada masa mendatang.
Di samping itu, dia membedakan (secara tajam) antara status dengan ketamakan ekonomis semata-mata. Dia juga menyatakan bahwa kelompok bahwa kelompok status yang sama mencakup orang-orang dari situasi kelas yang berbeda-beda.
Weber juga mengetengahkan kondisi-kondisi di dalam mana suatu kelompok cenderung status cenderung menjadi kasta. Kondisi yang penting adalah, kalau status kehormatan status adalah identik dengan posisi kelas, serta berlangsung lama. Demikian juga halnya, apabila perbedaan status dikaitkan dengan perbedaan-perbedaan etnik atau rasial.
TERDAPAT BEBERAPA TEORI MENGENAI STRATIFIKASI SOSIAL :  
1. Teori Stratifikasi Sosial Fungsional
Teori stratifikasi sosial merupakan teori sosial yang dikembangkan oleh Kingsley Davis dan Wilbert Moore (1945). Mereka memandang stratifikasi sosial sebagai sesuatu yang universal dan bagi mereka tidak ada masyarakat yang tidak terstratifikasi, karena masyarakat memerlukan sistem semacam itu dan terwujud dalam sistem stratifikasi. Stratifikasi sebagai struktur, dengan menegaskan bahwa stratifikasi tidak berarti individu dalam sistem stratifikasi namun sebagai sistem posisi.
Dalam hal ini Davis dan Moore tidak menekankan bagaimana mendapatkan posisi atau kedudukan itu dalam masyarakat, akan tetapi menekankan pada bagaimana cara posisi tertentu mempengaruhi tingkat prestise dalam masyarakat.
Persoalan dalam stratifikasi sosial-fungsional adalah bagaimana masyarakat memotivasi dan menempatkan individu pada posisi atau kedudukannya yang tepat di masyarakat, dan bagaimana masyarakat menanamkan motivasi kepada individu untuk memenuhi persyaratan dalam mengisi posisi tersebut. Penempatan sosial yang tepat dalam masyarakat seringkali menjadi masalah karena:
a.       Posisi tertentu lebih menyenangkan dari pada posisi yang lain.
b.      Posisi tertentu lebih penting untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat dari posisi yang lain.
c.       Posisi-posisi sosial yang berbeda memerlukan bakat dan kemampuan yang berbeda pula.
Dari ketiga hal di atas Davis dan Moore lebih memberikan perhatian pada posisi yang penting dalam masyarakat untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat. Ini merupakan posisi yang lebih tinggi tingkatannya dalam stratifikasi masyarakat yang memerlukan bakat dan kemampuan terbaik meski dianggap kurang menyenangkan. Oleh karena itu masyarakat harus memberikan penghargaan yang terbaik bagi individu yang menduduki posisi ini agar dapat bekerja dengan tekun. Sebaliknya posisi-posisi lainnya dianggap lebih rendah dalam stratifikasi masyarakat, kurang penting, dan tidak terlalu memerlukan bakat dan kemampuan terlalu besar namun menyenangkan. Selain itu masyarakat tidak terlalu menuntut individu yang menduduki posisi rendah ini untuk malaksanakan kewajiban mereka dengan tekun. Individu yang berada di puncak stratifikasi harus menerima hadiah/imbalan yang memadai dari fungsi yang dilaksanakannya itu dalam bentuk prestise yang tinggi, gaji besar, dan kesenangan yang cukup. Ini untuk meyakinkan bahwa individu mau menduduki posisi yang tinggi itu dalam masyarakat.
Namun teori stratifikasi sosial fungsional ini mendapatkan Banyak kritik, khususnya terkait dengan :
a.       Hak-hak istimewa yang diterima individu yang menduduki stratifikasi struktural yang tinggi dari masyarakat. Dan hal ini akan melanggengkan posisi istimewa orang-orang yang telah memiliki kekuasaan, prestise, dan uang. Karena orang-orang ini berhak mendapatkan hadiah/imbalan seperti itu dari masyarakat demi kebaikan masyarakat sendiri.
b.      Teori ini menyatakan bahwa struktur sosial yang terstratifikasi sudah ada sejak masa lalu, maka ia akan tetap ada di masa datang. Padahal ada kemungkinan bahwa masyarakat di masa depan akan ditata menurut cara lain tanpa stratifikasi.
c.       Ide tentang posisi fungsional yang berbeda-beda arti pentingnya bagi masyarakat sangatlah absurd. Pengumpul sampah meski dalam posisi rendah, tidak bergengsi dan berpenghasilan kecil namun mungkin lebih penting bagi kelangsungan hidup masyarakat di banding dengan seorang manajer periklanan yang berpenghasilan besar. Imbalan yang lebih besar tidak selalu berlaku untuk posisi yang lebih penting. Perawat mungkin lebih penting daripada seorang bintang film atau sinetron. Tetapi bintang film atau sinetron lebih besar kekuasaan atau pengaruhnya, prestisenya, dan penghasilannya dibandingkan dengan seorang perawat.
d.      Orang yang mampu menduduki posisi tinggi sebenarnya tidak terbatas. Hanya saja banyak orang yang terhalang secara struktural untuk mencapai kedudukan tinggi di masyarakat khususnya untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan untuk mencapai posisi bergengsi itu meski memiliki kemampuan. Dengan kata lain banyak orang yang memiliki kemampuan namun tidak pernah mendapatkan atau diberikan kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya. Mereka yang berada pada posisi tinggi mempunyai kepentingan tersembunyi untuk mempertahankan agar jumlah mereka tetap kecil, dan kekuasaan serta pendapatan mereka tetap tinggi.
e.       Kita tidak harus menawarkan kepada orang kekuasaan, prerstise dan uang untuk membuat mereka mau menduduki posisi tingkat tinggi. Orang dapat sama-sama termotivasi oleh kepuasan mengerjakan pekerjaan yang baik atau oleh peluang yang tersedia untuk malayani orang lain.
2. Teori Evolusioner Fungsionalis (Talcott Parsons)
Teori ini menjelaskan bahwa evolusi sosial secara umum terjadi karena sifat kecenderungan masyarakat untuk berkembang yang disebut sebagai kapasitas adaptif. Kapasitas adaptif adalah kemampuan masyarakat untuk merespon lingkungan dan mengatasi berbagai masalah yang selalu dihadapi manusia sebagai makhluk sosial. Timbulnya stratifikasi sebagai aspek penting dalam evolusi akibat meningkatnya kapasitas adaptif dalam kehidupan sosial.
Beberapa kelemahan teori Parsons :
a.       Konsep tentang kapasitas adaptif sanagt diragukan. Parsons berpendapat bahwa semakin kontemporer dan kompleks masyarakat, semakin unggul efektivitas etnosentrisme. Padahal semakin kontemporer masyarakat maka mekanisme adaptifnya berbeda dari masyarakat terdahulu.
b.      Parsons tidak melihat sisi negatif dari stratifikasi sosial yang mungkin berpengaruh.
3. Teori Surplus
Teori surplus dikemukakan oleh Gerhard Lenski. Teori ini berorientasi materialistis dan berdasarkan teori konflik. Teori konflik menegaskan dominasi beberapa kelompok sosial tertentu oleh kelompok sosial yang lain, melihat tatanan didasarkan atas manipulasi dan kontrol oleh kelompok dominan, dan melihat perubahan sosial terjadi secara cepat dan tidak teratur ketika kelompok subordinat menggeser kelompok dominan. Teori konflik yang bertentangan dengan teori Parsons, berasumsi bahwa manusia adalah makhluk yang mementingkan diri sendiri dan selalu berusaha untuk mensejahterakan dirinya.
Kesamaan dasar dapat terjadi dalam masyarakat dimana kerjasama menjadi hal yang esensial dalam mencapai kepentingan individu. Jika terjadi surplus, perebutan tidak dapat dihindari dan surplus akhirnya dikuasai oleh individu atau kelompok yang paling berkuasa. Besarnya surplus ditentukan oleh kemampuan teknologi.
4. Teori Kelangkaan
Teori kelangkaan yang merupakan devasi pemikiran Michael Hammer, Morton Fried dan Rac Lesser. Teori kelangkaan beranggapan bahwa penyebab timbulnya stratifikasi adalah tekanan jumlah penduduk. Tekanan penduduk yang semakin besar menyebabkan semakin kuatnya egoisme dalam pemilikan tanah, dan hubungan produksi (dalam pemikiran Marxisme) telah menghilangkan apa yang disebut sebagai pemilikan bersama. Perbedaan akses terhadap sumber daya muncul dan suatu kelompok memaksa kelompok lainnya bekerja keras untuk menghasilkan surplus ekonomi melebihi apa yang dibutuhkan. Dengan meningkatnya tekanan penduduk dan teknologi, perbedaan akses terhadap sumber daya makin nyata dan stratifikasi semakin intensif dengan dorongan politik yang semakin besar.


B. Pengaruh Startifikasi Sosial dalam Masyarakat
Stratifikasi social adalah pembedaan masyarakat kedalam lapisan-lapisan social berdasatrkan demensi vertical akan memiliki pengaruh terhadap kehidupan bersama dalam masyarakat. Ikuti urain tentang dampak stratifikasi social dalam kehidupan masyarakat berikut ini.
1.      Eklusivitas
Stratifikasi social yang membentuk lapisan-lapisan social juga merupakan sub-culture, telah menjadikan mereka dalam lapisan-lapisan gtertentu menunjukan eklusivitasnya masing-masing. Eklusivitas dapat berupa gaya hidup, perilaku dan juga kebiasaan mereka yang sering berbeda antara satu lapisan dengan lapisan yang lain.
Gaya hidup dari lapisan atas akan berbeda dengan gaya hidup lapisan menengah dan bawah. Demikian juga halnya dengan perilaku masing-masing anggotanya dapat dibedakan; sehingga kita mengetahui dari kalangan kelas social mana seseorang berasal.
Eklusivitas yang ada sering membatasi pergaulan diantara kelas social tertentu, mereka enggan bergaul dengan kelas social dibawahnya atau membatasi diri hanya bergaul dengan kelas yang sanma dengan kelas mereka.
2.      Etnosentrisme
Etnosentrisme dipahami sebagai mengagungkan kelompok sendiri dapat terjadi dalam stratifikasi social yang ada dalam masyarakat. Mereka yang berada dalam stratifikasi social atas akan menganggap dirinya adalah kelompok yang paling baik dan menganggap rendah dan kurang bermartabat kepada mereka yang berada pada stratifikasi social rendah.
3.       Konflik Sosial
Pola perilaku kelas social atas dianggap lebih berbudaya dibandingkan dengan kelas social di bawahnya. Sebaliknya kelas social bawah akan memandang mereka sebagai orang boros dan konsumtif dan menganggap apa yang mereka lakukan kurang manusiawi dan tidak memiliki kesadaran dan solidaritas terhadap mereka yang menderita. Pemujaan terhadap kelas sosialnya masing-masing adalah wujud dari etnosentrisme.
Perbedaan yang ada diantara kelas social dapt menyebabkan terjadinya kecemburuan social maupun iri hati. Jika kesenjangan karena perbedaan tersebut tajam tidak menutup kemungkinan terjadinya konflik social antara kelas social satu dengan kelas social yang lain.
Misalnya demonstrasi buruh menuntut kenaikan upah atau peningkatan kesejahteraan dari perusahaan dimana mereka bekerja adalah salah satu konflik yang terjadi karena stratifikasi social yang ada dalam masyarakat.
[1] Soerjono soekanto, berberapa teori sosiologi tentang struktur masyarakat, (jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1993), hlm. 248.
[2]  Ibid., hlm. 248-249
[3]  Ibid., hlm. 250.
[4]  Ibid., hlm. 252-256.
[5]  Suryanirian, blogspot.com/2010/10/stratifikasi-sosial.html.
[6]  Ibid.,
[7]  Ibid.,
[8]  Suryanirian, blogspot.com/2010/10/stratifikasi-sosial.html.
[9]  Ibid.,
[10]  Soerjono Soekanto, SOSIOLOGI suatu pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm 314-315.