Sosial Politik

Jumat, 19 Januari 2018

MODEL-MODEL FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIK

MODEL-MODEL FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIK

1.      Model Kelembagaan (Institusional)
Pada model ini secara sederhana bermakna bahwa “tugas membuat kebijakan publik adalah tugas pemerintah”. Jadi semua yang dibuat oleh pemerintah dengan cara apa pun merupakan kebijakan publik. Model ini pada dasarnya lebih mengutamakan fungsi-fungsi setiap kelembagaan dari pemerintah, di setiap sektor dan tingkat dalam memformulasikan kebijakan. Menurut Thomas R. Dye, ada tiga hal yang membenarkan tentang pendekatan teori ini, yaitu ; pemerintah memang sah dalam membuat kebijakan publik, formulasi kebijakan publik yang dibuat oleh pemeritah bersifat universal (umum), pemerintah memonopoli/menguasai fungsi pemaksaan (koersi) dalam kehidupan bersama.
Model ini sebenarnya merupakan derivasi/turunan dari ilmu politik tradisional dimana dalam ilmu tersebut lebih menekankan pada strukturnya daripada proses atau perilaku politik. Proses yang dilakukan dalam model ini menunjukan tugas lembaga-lembaga pemerintah dalam melakukan formulasi kebijakan tetapi dalam memformulasi kebijakan tersebut dilakukan secara otonom tanpa berinteraksi/berkomunikasi dengan lingkungan sekitar. Hal tersebut menjadi salah satu kelemahan dari model ini yaitu terabaikannya masalah-masalah lingkungan di mana kebijakan itu diterapkan. (Wibawa, 1994 : 6).
2.      Model Proses (Process)
Pada model ini politik diasumsikan sebagai sebuah aktivitas sehingga mempunyai proses. Oleh karena itu, kebijakan publik juga merupakan suatu proses politik yang menyertakan rangkaian kegiatan:
Identifikasi Permasalahan
Mengemukakan tuntutan agar pemerintah mengambil tindakan.
Menata Agenda Formulasi Kebijakan
Memutuskan isu apa yang dipilih dan permasalahan apa yang hendak dikemukakan.
Perumusan Proposal Kebijakan
Mengembangkan proposal kebijakan untuk menangani masalah tersebut.
Legitimasi Kebijakan
Memimilih satu buah proposal yang dinilai terbaik untuk kemudian mencari dukungan politik agar dapat diterima sebagai sebuah hukum.
Implementasi Kebijakan
Mengorganisasikan birokrasi, menyediakan pelayanan dan pembayaran dan pengumpulan pajak.
Evaluasi Kebijakan
Melakukan studi program, melaporkan outpputnya, mengevaluasi pengaruh (impact) kelompok sasaran dan non-sasaran, dan memberikan rekomendasi penyempurnaan kebijakan.
Model ini menunjukan tentang bagaimana kebijakan dibuat atau seharusnya dibuat, akan tetapi kurang memberikan tekanan pada substansi seperti apa yang harus ada dalam kebijakan tersebut. Jadi lebih mengutamakan step by step pembuatan kebijakan tetapi kurang fokus terhadap isi/hal-hal penting yang harus ada dalam kebijakan itu.
3.      Model Teori Kelompok (Group)
Dalam pengambilan kebijakan penganut teori ini mengandaikan kebijakan sebagai titik keseimbangan (equilibrium). Intinya adalah interaksi yang terjadi di dalam kelompok akan menghasilkan keseimbangan dan keseimbangan tersebut adalah yang terbaik. Individu di dalam kelompok kepentingan berinteraksi secara formal maupun informal, secara langsung atau melalui media massa menyampaikan tuntutan/gagasan kepada pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan publik yang diperlukan. Sistem politik pada model ini berperan untuk memanage konflik yang muncul akibat adanya perbedaan tuntutan, melalui :
a.       Merumuskan aturan main antarkelompok kepentingan.
b.      Menata kompromi dan menyeimbangkan kepentingan.
c.       Memungkinkan terbentuknya kompromi di dalam kebijakan publik (yang akan dibuat).
d.      Memperkuat kompromi-kompromi tersebut.
Menurut model ini dalam melakukan formulasi kebijakan, beberapa kelompok kepentingan berusaha mempengaruhi isi dan bentuk kebijakan secara interaktif. (Wibawa, 1994 : 9).
4.      Model Teori Elit (Elite)
Model teori ini mengasumsikan bahwa dalam setiap masyarakat terdapat 2 kelompok, yaitu pemegang kekusaan (elit) dan yang tidak berkuasa (massa). Di dalam formulasi kebijakan, sedemokratis apa pun selalu ada bias karena pada akhirnya kebijakan tersebut merupakan preferensi politik dari para elit-politik. Sisi negatifnya adalah dalam sistem politik, para elit-politiklah yang akan menyelengarakan kekuasaan sesuai kehendaknya. Sisi positifnya adalah seorang elit-politik yang berhasil memenangkan gagasan membawa negara-bangsa ke kondisi yang lebih baik dibanding dengan pesaingnya. Secara top down, elit-politiklah yang membuat kebijakan, sedang implementasi kepada rakyat dilakukan oleh administrator publik. Jadi model elit merupakan abstraksi dari proses formulasi kebijakan dimana kebijakan publik merupakan perspeksi elit-politik. Prinsip dasarnya kebijakan yang dibuat  bersifat konservatif karena para elit-politik ingin mempertahankan status quo. Kelemahannya yaitu kebijakan yang dibuat elit-politik tidak selalu mementingkan kesejahteraan rakyat.
5.      Model Teori Rasionalisme (Rational)
“Kebijakan publik sebagai maximum social gain”, maksudnya pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang memberikan manfaat optimum bagi masyarakat, dalam formulasinya harus berdasar keputusan yang sudah diperhitungkan rasionalitasnya yaitu perbandingan antara pengorbanan dan hasil yang akan dicapai sehingga model ini lebih menekankan pada aspek efisiensi atau ekonomis. Cara-cara formulasi kebijakan disusun dalam urutan : (1) Mengetahui preferensi publik dan kecenderungannya, (2) Menemukan pilihan-pilihan, (3) Menilai konsekuensi masing-masing pilihan, (4) Menilai rasio nilai sosial yang dikorbankan, (5) Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien. (Wibawa, 1994 : 10, Winarno, 2002 : 75, Wahab, 2002 : 19). Model ini termasuk yang ideal dalam formulasi kebijakan dalam arti untuk mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas kebijakan. Beberapa kelemahan pokonya antara lain konsep maximum social gain berbeda di antara kelompok kepentingan sehingga dikhawatikan menimbulkan perbedaan/perselisihan, kebijakan maximum social gain sulit dicapai mengingat birokrasi yang cenderung melayani diri sendiri daripada melayani publik. Namun idealisme dari model ini perlu ditingkatkan dan diperkuat karena di setiap negara pasti ada birokrat-birokrat yang cakap, cerdas dan handal demi memajukan bangsa dan negaranya. Untuk itu model ini perlu menjadi kajian dalam proses formulasi kebijakan.
6.      Model Inkrementalis (Incremental)
Pada dasarnya merupakan kritik terhadap model rasional, diamana para pembuat kebijakan tidak pernah melakukan proses seperti yang diisyaratkan oleh pendekatan rasional karena mereka tidak memiliki cukup waktu, intelektual, maupun biaya, ada kekhawatiran muncul dampak yang tidak diinginkan akibat kebijakan yang belum pernah dibuat sebelumnya, adanya hasil-hasil dari kebijakan sebelumnya yang harus dipertahankan dan menghindari konflik. (Wibawa, 1994 : 11, Winarno, 2002 : 77-78, Wahab, 2002 : 21). Jadi kebijakan publik merupakan variasi/kelanjutan dari kebijakan di masa lalu. Karena pengambilan kebijakan dihadapkan kepada ketidakpastian yang muncul di sekelilingnya maka pilihannya adalah melanjutkan kebijakan di masa lalu dengan melakukan modifikasi seperlunya, pemerintah dengan kebijakan inkrementalis berusaha mempertahankan komitmen kebijakan di masa lalu untuk mempertahankan kinerja yang telah dicapai.
7.      Model Teori Permainan (Game Theory)
Model ini di-cap sebagai model konspiratif, dimana mulai muncul sejak berbagai pendekatan yang sangat rasional tidak mampu menyelesaikan pertanyaan yang muncul yang sulit diterangkan dengan fakta-fakta yang tersedia. Gagasan pokok dari teori ini : (1) formulasi kebijakan berada pada situasi kompetisi yang intensif, (2) para aktor berada dalam situasi pilihan yang tidak independent ke dependent melainkan situasi pilihan yang sama-sama bebas/independent. Konsep kunci teori ini adalah strategi, dimana kuncinya bukanlah  yang paling aman tetapi yang paling aman dari serangan lawan. Jadi teori ini memiliki tingkat konservativitas yang tinggi karena pada intinya merupakan strategi defensif, tetapi bisa juga dikembangkan menjadi strategi ofensif asal yang bersangkutan memiliki posisi superior dan dukungan sumber daya yang memadai.
8.      Model Pilihan Publik (Public Choice)
Dalam model ini kebijakan sebagai proses formulasi keputusan kolektif dari setiap individu yang berkepentingan atas keputusan tersebut. Akar dari kebijakan ini adalah dari teori ekonomi pilihan publik (economic of public choice) yang mengatakan bahwa manusia itu homo economicus yang memiliki kepentingan yang harus dipuaskan dan pada prinsipnya adalah buyer meet seller; supply meet demand. Intinya setiap kebijakan yang dibuat pemerintah harus merupakan pilihan dari publik yang menjadi pengguna (beneficiaries/customer). Dalam menyusun kebijakan, pemerintah melibatkan publik melalui kelompok-kelompok kepentingan dan ini secara umum merupakan konsep formulasi kebijakan yang paling demokratis karena memberi ruang yang luas kepada publik untuk mengkontribusikan pilihan-pilihannya kepada pemerintah sebelum diambil keputusan. Meskipun ideal dalam konteks demokrasi dan kontrak sosial, namun memiliki kelemahan pokok dalam realitas interaksi itu sendiri karena interaksi akan terbatas pada publik yang mempunyai akses dan di sisi lain terdapat kecenderungan dari pemerintah untuk memuaskan pemilihnya daripada masyarakat luas.
9.      Model Sistem (System)
Menurut David Easton pendekatan dalam model ini terdiri dari 3 komponen : input, proses dan output. Salah satu kelemahan dari pendekatan ini adalah terpusatnya perhatian pada tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah dan pada akhirnya kita kehilangan perhatian pada apa yang tidak pernah dilakukan pemerintah. (Wibawa, 1994 : 7, Winarno, 2002 : 70). Jadi formulasi kebijakan dengan model sistem mengibaratkan bahwa kebijakan merupakan hasil (output) dari sistem politik. Seperti dalam ilmu politik, maka sistem politik terdiri dari input, throughput dan output. Sehingga dapat dipahami, proses formulasi kebijakan publik dalam sistem politik mengandalkan masukan (input) yang terdiri dari tuntutan dan dukungan.
10.  Model Pengamatan Terpadu (Mixed-Scaning)
Model ini berupaya menggabungkan antara model rasional dengan model inkremental. Tokohnya adalah Amitai Etzioni, pada 1967 yang memperkenalkan model ini sebagai suatu pendekatan terhadap formulasi keputusan-keputusan pokok dan inkremental, menetapkan proses-proses formulasi kebijakan pokok dan urusan tinggi yang menentukan petunjuk-petunjuk dasar, proses-proses yang mempersiapkan keputusan-keputusan pokok dan menjalankannya setelah keputusan itu terapai. Jika diibaratkan seperti dua kamera; kamera wide angle untuk melihat keseluruhan, kamera dengan zoom untuk melihat detailnya. (Winarno, 2002 : 78, Wahab, 2002 : 23-24).
11.  Model Demokratis
“Pengambilan keputusan harus sebanyak mungkin mengelaborasi suara dari stakeholders”. Pernyataan tersebut dapat dikatakan sebagai “Model Demokrasi” karena menghendaki agar setiap “pemilik hak demokrasi” diikut sertakan sebanyak-banyaknya.  Model ini implementasinya pada good governance bagi pemerintahan yang mengamanatkan agar dalam membuat kebijakan, para konstituten, dan pemanfaat (beneficiaries) diakomodasi keberadaan. Model ini sebenarnya sudah baik akan tetapi kurang efektif dalam mengatasi masalah-masalah yang bersifat kritis, darurat dan dalam kelangkaan sumber daya. Namun apabila model ini mampu dijalankan maka sangat efektif karena setiap pihak mempunyai kewajiban untuk ikut serta mencapai keberhasilan kebijakan karena masing-masing pihak bertanggung jawab atas kebijakan yang dirumuskan.
12.  Model Strategis
Inti dari teori ini adalah bahwa pendekatan menggunakan rumusan runtutan perumusan strategi sebagai basis perumusan kebijakan. Tokohnya adalah John D. Bryson. Perencanaan strategis yaitu upaya yang didisiplinkan untuk membuat keputusan dan tindakan penting yang membentuk dan memandu bagaimana menjadi organisasi (atau etnis lainnya), apa yang dikerjakan organisasi (atau etnis lainnya), dan mengapa organisasi (atau etnis lainnya) mengerjakan hal seperti itu (Bryson, 2002 : 4-5). Perencanaan strstegis mensyaratkan pengumpulan informasi secara luas, eksploratif alternatif dan menekankan implikasi masa depan dengan keputusan sekarang (Bryson, 2002 : 5). Fokusnya lebih kepada pengidentifikasian dan pemecahan isu-isu, lebih menekankan kepada penilaian terhadap lingkungan di luar dan di dalam organisasi dan berorientasi kepada tindakan (Bryson, 2002 : 7-8). Perencanaan strategis dapat membantu organisasi untuk; berpikir secara strategis dan mengembangkan strategi-strategi yang efektif, memperjelas arah masa depan, menciptakan prioritas, membuat keputusan sekarang dengan memperhatikan konsekuensi masa depan, kontrol organisasi, memecahkan masalah utama organisasi, menangani keadaan yang berubah dengan cepat secara efektif. Proses perumusannya adalah; mengusulkan dan menyepakati perencanaan strategi (memahami manfaat perencanaan strategi dan mengembangkannya), merumuskan panduan proses, memperjelas wewenang dan misi organisasi, melakukan analisa SWOT ( menilai kekuatan dan kelemahan, peluang dan ancaman). Mengidentifikasi isu strategi yang dihadapi, merumuskan strategi untuk mengelola isu. Jadi dapat disimpulkan bahwa model ini fokusnya lebih kepada rincian-rincian langkah manajemen strategis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar